Plagiarism Checker X Originality Report

Plagiarism Quantity: 45% Duplicate

Date Senin, April 27, 2020
Words 28903 Plagiarized Words / Total 63836 Words
Sources More than 1673 Sources Identified.
Remarks High Plagiarism Detected - Your Document needs Critical Improvement.

NORMA & ETIKA SISTEM PERBANKAN SYARIAH DR. HUSAIN INSAWAN, M.Ag. BAB I KONSEPSI EKONOMI ISLAM A. Pengertian Ekonomi Islam Dalam al-Quran, ekonomi Islam diidentikkan dengan Iqtishad,1 yang artinya "ummat pertengahan" atau bisa diartikan dengan menggunakan rezeki yang ada di sekitar kita dengan cara berhemat agar menjadi manusia-manusia yang baik dan tidak merusak nikmat apapun yang diberikan kepada-Nya.2 Pesan al-Quran di atas menyiratkan bahwa manusia dalam mengelola sumber-sumber ekonomi tidak terlalu �selangit�, sehingga melupakan perhatiannya pada level bawah dan sebaliknya manusia juga tidak membiarkan dirinya Dari sini bisa dinyatakan bahwa nama ekonomi Islam bukan nama baku dalam terminologi Islam, tidak ada peraturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa harus bernama ekonomi Islam, sehingga orang bisa saja menamakan ekonomi Ilahiyah, ekonomi Syariah, ekonomi Qurani, ataupun hanya ekonomi saja.

Nama ekonomi Islam lebih populer dikarenakan masyarakat lebih mudah mengidentifikasi nama Islam, sebab nama tersebut lebih familiar dengan masalah masyarakat sehari- hari. Disamping itu, ekonomi Islam bisa berarti, suatu ilmu yang dasar hukumnya berbeda dengan ekonomi konvensional. Dari sumber hukum inilah yang menyebabkan ilmu ekonomi ini disebut ekonomi Islam. Kata Islam dari ekonomi Islam menimbulkan arti "sebuah ilmu didasarkan atas al- Quran dan al-Hadis."

Jadi, kata "Islam" sebagai syarat suatu perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya didasarkan pada pedoman ekonomi Islam. Bila tidak menggunakan kata Islam dalam kata ekonomi maka jelas tidak menggunakan al-Quran dan al-Hadis sebagai dasar pijakannya. Tetapi hal ini akan menimbulkan masalah bila dalam prakteknya ekonomi Islam tidak sesuai dengan konsep yang diidealkan, sehingga menyebabkan Islam akan kehilangan makna sebagai pedoman yang paling sempurna untuk manusia.3 S. M.

Hasanuz Zaman, seorang bankir Pakistan berpendapat bahwa ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari suruhan-suruhan dan tata aturan syariah yang bertujuan mencegah ketidakadilan dalam pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber material guna memenuhi kebutuhan manusia sehingga memungkinkan mereka melaksanakan perintah-perintah Allah dan kewajiban masyarakat.4 M. Abdul Manan, mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah bagian dari suatu tata kehidupan lengkap berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu pengetahuan yang diwahyukan (al- Quran), praktek-praktek yang berlaku pada waktu itudalam masyarakat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dan ucapan-ucapannya yang bernash (al-Sunnah dan al-Hadis), deduksi analogik, penafsiran berikutnya dan konsensus yang tercapai kemudian dalam masyarakat oleh para ulama (al- Ijma').

5 Selanjutnya Mannan mempertegas bahwa ekonomi islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.6 Dengan demikian sistem ekonomi Islam mempunyai dua hubungan, yaitu hubungan dengan Tuhan secara vertikal dan hubungan dengan manusia secara horisontal.7 Dalam rangka menjaga hubungan-hubungan tersebut, sistem ekonomi Islam berfungsi untuk memecahkan masalah ekonomi dalam kaitannya dengan keadilan yang dicita-citakan. Hal inilah yang 1 Q.S. Al-Maidah (5): 66, " �. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan �." 2 Fuad Fachruddin, Ekonomi Islam, (Jakarta: Mutiara, 1982), h.

9. 3 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Cet. I, Yogyakarta: Ekonisia, 2002), h. 5-6. 4 S. M. Hasanuz Zaman, "Definition of Islamics Economics", Journal of Research in Islamics Economics, Vol. 1, No., 2, Winter, (1984), h. 52. 5 M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997), h. 15. 6 Ibid., h. 19. 7 Kamaruzzaman Bustamam dan Ahmad, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, (Cet. I, Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 15. menjadi tujuan dari sistem ekonomi Islam yang akan meuwujudkan keseimbangan dan keadilan bagi masyarakat.8 M.

Akram Khan menyatakan bahwa ekonomi Islam bertujuan untuk menyelidiki keberhasilan manusia (human falah) yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber-sumber di bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi.9 M. M. Metwally merumuskan ekonomi islam sebagai ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al-Quran, Hadis Nabi, Ijma', dan Qiyas.10

Khursid Ahmad, seperti yang dikutip Umer Chapra menyatakan bahwa ekonomi Islam adalah suatu usaha sistematis untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan persoalan tersebut menurut perspektif Islam.11 Nejatullah Siddiqi, seperti yang dikutip Umer Chapra, mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada zamannya. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh al-Quran, al-Sunnah, akal, dan pengalaman.12

Umer Chapra sendiri memberikan definisi ekonomi Islam sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber- sumber daya langka yang seirama dengan maqasid, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat.13 Sejalan dengan definisi Umer Chapra, Louis Cantori mengemukakan bahwa ekonomi Islam pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk memformulasikan suatu ilmu ekonomi yang berorientasi kepada manusia dan masyarakat yang tidak mengakui individualisme yang berlebih-lebihan sebagaimana dalam ekonomi klasik.14

Munawar Iqbal memberikan definisi bahwa ekonomi Islam adalah sebuah disiplin ilmu yang mempunyai akar dalam syariat Islam. Islam memandang wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling utama. Prinsip-prinsip dasar yang dicantumkan dalam al-Quran dan hadis adalah batu ujian untuk menilai teori-teori baru berdasarkan doktrin-doktrin ekonomi Islam. Dalam hal ini, himpunan hadis merupakan sebuah buku sumber yang sangat berguna.15 B.

Konstruksi Sistem Ekonomi Syariah Ada beberapa pandangan tentang konstruksi (bangunan) Sistem Ekonomi Syariah (SES), yaitu: 1. Konstruksi ekonomi syariah yang digambarkan oleh Adiwarman Karim bahwa sistem ekonomi syariah bagaikan sebuah rumah yang terdiri dari: a. Landasan/fondasi berupa Tauhid, �Adil, Khilafah, dan Tazkiyah b. Tiang yang terdiri dari tiga pilar, yaitu: 1) Multiownership (individu, kelompok, dan negara) 2) Kebebasan ekonomi (selama tidak melanggar rambu syariah) 3) Keadilan sosial (dalam rizki ada hak orang lain) c.

Atap, yakni akhlakul karimah (Rasul menekankan perlunya akhlakul karimah dalam perang dan ekonomi; Rasul diutus untuk menyempurnakan akhlakul karimah) 8 Muchtar Ahmad, "Kajian Ekonomi dan Dunia Islam", Ulumul Quran, Vol. II, No. 9, (1991), h. 9. 9 M. Arkam Khan, "Islamic Economics: Nature and Need", Journal of Research in Islamics Economics, Vol. I, No. 2, Winter, (1984), h. 55. 10 M. M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta: Bangkit Daya Insani, 1995), h. 1.

11 Umer Chapra, Masa Depan Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 12. 12 Ibid., h. 121. Lihat pula Mohammed Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis, (Kuala Lumpur: Ikrag, 1995), h. 30-45. 13 Lihat Umer Chapra, op. cit., h. 121. 14 Ibid. 15 Munawar Iqbal, dalam M. Akram Khan "Pengantar", Economic Teaching of Prophet Muhammad (May Peace Upon Him), (t.tp.: 1999), h. 22. Dalam mengilustrasikan konstruksi ekonomi syariah tersebut leih bersifat bottom up mulai dari fondasi sampai ke atap, di dalamnya berisi bidang-bidang aplikasi mulai bank syariah, asuransi syariah, dan seterusnya.

Nampaknya ilustrasi ini lebih dipengaruhi oleh pandangan ilmu ekonomi konvensional yang sistemnya terbangun dari bawah secara evolusioner. Pola-pola pembentukannya searah dengan pendekatan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai sumber penentu dan digunakan untuk kepentingan manusia. Model demikian lebih bersifat modifikatif dari bangunan yang sudah ada, yakni sistem ekonomi konvensional kemudian diberi muatan syariah dan menghilangkan segala yang bertentangan dengan ajaran Islam. 2.

Konstruksi ekonomi syariah yang digambarkan dalam bentuknya sebagai upaya islamisasi ekonomi konvensional dengan menggunakan rumus: [Ekonomi Konvensional � Riba (batil) + Nilai Islam = Ekonomi Syariah] Penggambaran ini bertitik tolak dari sebuah kaidah fikih: al-ashlu �an al-syay�i al-ibahah hatta yadulla dalilun li tahriymiha (hukum asal segala sesuatu itu boleh sepanjang tidak ada dalil/ayat yang melarangnya secara tegas. Oleh karena itu, semua bentuk-bentuk konvensional yang tidak menyalahi syariah dapat diakomodasi sebagai bagian integral dari sistem ekonomi syariah.

Secara kritis, tampilan konstruksi ini jika dipandang pada tataran aplikasi tidak terlalu ruwet permasalahannya banyak memiliki relevansi dengan ekonomi syariah, namun pada tataran filosofis dan nilai tentunya memiliki banyak ketidaksinkronan karena bersumber dari ideologi yang berbeda, sistem ekonomi konvensional berbasis liberalisme, kapitalisme, individualisme, hedonisme, dan sekularisme. Sementara Islam menentang konstruksi seperti itu. 3. Konstruksi ekonomi syariah yang diperkenalkan M. Arfin Hamid dalam bentuk konstruksi piramida (segitiga lancip).

Pada posisi puncak terdapat nilai tertinggi, yakni nilai Ilahiyah, kemudian posisi di bawahnya yang lebih lebar ditempati posisi asas/prinsip sebagai derivasi nilai tertinggi itu, kemudian posisi di bawahnya lagi ditempati norma/kaidah sebagai derivasi prinsip/asas dan nilai. Kemudian pada posisi terbawah dan paling lebar ditempati aplikasi/institusi ekonomi syariah di dalamnya terdapat akad-akad syariah yang lebih operasional, berupa bank, asuransi, dan akad-akad lain seperti yang disebutkan dalam fatwa DSN-MUI.

Konstruksi ini merupakan kajian langsung dari ajaran Islam yang terdiri dari akidah, syariah, dan akhlak. Ekonomi syariah lahir dari pilar syariah yang merupakan bagian dari muamalah, yaitu muamalah iqtishadiyyah (ekonomi). Konstruksi ini nampak lebih orsinil keislaman yang berasal dari agama samawi. Karena itu, pola bangunannya bersifat top down/samawi (dari atas ke bawah). Hal ini relevan dengan karakteristik Islam sebagai agama langit. Tidak terbentuk secara bottom up baik secara evolusioner maupun secara revolusioner.

Meskipun bangunan ini bersifat top down (samawi) tidak berarti menolak atau menentang terhadap semua yang berbau bottom up atau konvensional, melainkan tetap memiliki relevansi sepanjang tidak bertentangan dengan syariah itu sendiri. Namun di sinilah letak perbedaannya yang signifikan dengan dua kontruksi sebelumnya, yaitu tidak lagi menjadikan sistem konvensional sebagai basisnya tetapi hanya menjadikannya sebagai sumber sekunder sepanjang relevan dengan syariah.

Pertimbangan utamanya adalah bahwa praktik-praktik ekonomi konvensional yang menggurita selama ini sejatinya benih-benihnya telah ada di masa Muhammad, yakni ketika Muhammad menjalani kehidupan enterpreneur maupun setelah ia menjadi khalifah. Jadi praktik yang tampak saat ini adalah pengembangan dari basisnya yang terdahulu dan tampak lebih modern sesuai perkembangan IPTEK dan tuntutan peradaban. Jika konstruksi SES yang ketiga ini digunakan, maka pandangan yang miris bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional yang hanya berganti kostum sudah tidak argumentatif lagi. 4 BAB II NORMA-NORMA ETIKA SISTEM PERBANKAN SYARIAH A.

Hakikat Norma �Norma� adalah term yang digunakan dalam bahasa Indonesia yang kebetulan sama dengan term yang digunakan dalam bahasa Latin. Pada mulanya, norma berarti carpenter�s square, yaitu siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mencek apakah benda yang dikerjakannya (meja, bangku, kursi, dan sebagainya) betul-betul lurus atau tidak. Dengan demikian, maka dapat dipahami maksudnya bahwa norma adalah aturan atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu.16

Norma memiliki beragam bentuk, ada yang terkait dengan benda dan ada pula yang terkait dengan tingkah laku manusia. Misalnya, norma yang menilai benda sebagai norma-norma teknis yang dipakai untuk menentukan kelaikan udara suatu pesawat terbang atau kelaikan laut sebuah kapal laut. Jika sesuai dengan norma-norma itu, maka pesawat boleh terbang dan kapal laut boleh berlayar. Jika tidak, maka pesawat dan kapal harus diperbaiki dulu, hingga akhirnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Norma yang berhubungan dengan tingkah laku manusia juga bermacam-macam. Ada yang disebut norma umum yang menyangkut tingkah laku manusia sebagai keseluruhan dan norma khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu dari apa yang dilakukan manusia. Misalnya, norma bahasa. Tata Bahasa Indonesia adalah norma yang menentukan apakah orang memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar atau sebaliknya. Jika dalam berbicara dan menulis sesuai dengan tata bahasa itu, maka berarti seseorang memakai bahasa Indonesia dengan semestinya.

Bila tidak sesuai, maka pemakaian bahasa Indonesia yang dilakukan tidak benar sebab tidak memenuhi syarat. Norma umum terbagi dalam tiga bagian, yaitu norma kesopanan (etiket); norma hukum; dan norma moral. Norma kesopanan atau etiket hanya menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah perilaku seseorang itu sopan atau tidak sopan. Kemudian norma hukum tampil dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang berlaku untuk ditaati dan dilaksanakan oleh setiap individu dan kelompok masyarakat.

Sedangkan norma moral adalah norma yang menentukan apakah perilaku seorang individu baik atau buruk dari sudut etis. B. Konsep Etika 1. Hakikat Etika Secara etimologis, term etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat.17 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).18 K. Bertens menyebutkan secara lebih detail bahwa term etika berasal dari bahasa Yunani, yakni Ethos yang merupakan bentuk tunggal; dan Ta Etha sebagai bentuk jamaknya yang berarti kebiasaan, akhlak, atau watak.19 Dalam pengertian etimologis ini terkesan bahwa etika ini berhubungan dengan upaya untuk menentukan tingkah laku manusia.

Dalam pengertian umum, etika diartikan dengan usaha yang sistematis untuk memahami pengalaman moral individu dan masyarakat sedemikian rupa untuk menentukan aturan-aturan yang seharusnya mengatur tingkah laku manusia, nilai-nilai yang dikembangkan, dan sifat-sifat yang perlu dikembangkan dalam hidup.20 Etika pada segmen ini mengarah pada pengalaman moral individu dan masyarakat secara empirik, lalu dari situ muncul nilai-nilai dan sifat-sifat yang urgen untuk dikembangkan dalam kehidupan manusia. Berbagai aturan pun lahir sebagai standar etis yang mengatur tindakan manusia. 16 K.

Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 148. 17 Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika (Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers, 1980), h. 13. 18 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. XII; Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 278. 19 K. Bertens, op. cit., h. 4. 20 Heru Satyanugraha, Etika Bisnis: Prinsip dan Aplikasi, edisi kedua (Cet. II; Jakarta: LPFE Universitas The Encyclopaedia Americana menyebutkan bahwa: �Ethicos (�moral�) and ethos (�character�) refers to the values or rules of conduct held by a group or individual.�21 (Etika [moral] atau watak mengacu pada nilai- nilai atau aturan perilaku kelompok atau individu).

Dalam prakteknya, etika selalu mengacu pada nilai- nilai positif yang diakui dan berlaku secara universal tanpa tawar-menawar atau mengacu pada aturan- aturan berperilaku dalam masyarakat. Pengertian di atas menegaskan bahwa pengalaman moral merupakan bagian dari etika; dan etika mencakup sejumlah aturan bertindak yang harus dipatuhi serta mengandung nilai-nilai dan sifat- sifat positif yang harus dikembangkan baik dalam kehidupan individual, maupun dalam kehidupan kelompok.

Jadi di dalam etika tercakup unsur-unsur penting, yaitu aturan, nilai, dan sifat. Makna etika sebagai watak atau kebiasaan, sesungguhnya mengacu pada masing-masing pribadi seseorang yang mempunyai kebiasaan, akhlak atau watak tertentu. Dalam perjalanan hidup seseorang, proses pembentukannya berlangsung secara perlahan tetapi berkelanjutan, sehingga terbentuk kebiasaan dan kemudian menjadi watak yang kuat dan melekat dalam diri individu.

Ibaratnya, lapisan demi lapisan kulit pada sebatang pohon yang semakin lama semakin membesar, hingga pada akhirnya terbentuk pohon yang kukuh dan kuat. Konsepsi ini identik dengan paradigma berpikir Steven R. Covey yang menyatakan: �taburlah gagasan, tuailah perbuatan; taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan; dan taburlah kebiasaan, tuailah karakter.�22 Jadi pada awalnya yang muncul adalah gagasan, lalu gagasan tersebut termanifestasi dalam bentuk perbuatan.

Jika perbuatan tersebut secara sadar dilakukan secara terus menerus, maka terbentuklah suatu kebiasaan; dan kebiasaan yang secara sadar dijalankan dengan berkelanjutan, maka akan berubah menjadi watak atau karakter. Gagasan, perbuatan, kebiasaan, serta watak dan karakter bisa positif dan bisa pula negatif. Makna etika pada segmen ini hampir sama dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, yakni Mos (dalam bentuk jamak adalah Mores) yang juga berarti kebiasaan atau adat.23

Sebagai kata sifat, moral mengandung makna berkenaan dengan perbuatan yang baik dan buruk, seperti dalam ungkapan �masalah moral�; �standar moral�; �tanggung jawab moral�; dan �bantuan moral.� Konsep moral dapat pula diartikan dengan memahami perbedaan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana yang tampak dalam ungkapan: �Manusia adalah makhluk yang bermoral�.

Sebagai kata benda, moral berarti norma-norma tingkah laku yang baik atau buruk yang diterima secara umum, misalnya dalam kalimat: �Moral mereka sudah bejat karena mereka hanya berjudi dan bermabuk- mabukan�. Kata moral dapat juga diartikan sebagai semangat atau disiplin, yang dalam bahasa Inggris disebut Morale, misalnya dalam kalimat: �Tentara kita mempunyai moral dan daya tempur yang tinggi.� Kalimat ini menunjukkan bahwa moral bermakna semangat atau disiplin.

Makna etika dalam bentuk jamaknya Ta Etha, berarti adat istiadat, yaitu norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan atau masyarakat tertentu mengenai perbuatan yang baik dan buruk, misalnya etika ekonomi dan bisnis; etika perbankan; etika politik dan pemerintahan; etika Kristen, etika Hindu; etika Jawa; etika Bugis, etika Makassar; etika Muna; dan sebagainya. Ethos yang merupakan asal usul term etika, juga berarti semangat khas yang dimiliki oleh kelompok tertentu. Encyclopaedia Britanica menyebutkan Ethos hanya dengan satu arti, yaitu Character.24

Menurut Bertens, Ethos menunjukkan ciri-ciri, pandangan, dan nilai-nilai yang menandai kelompok tertentu, atau menurut Concise Oxford Dictionary: �Character is spirit of community, people or system [Etos/karakter adalah semangat suatu komunitas, manusia, atau sistem tertentu].�25 Hal ini tercermin pada beberapa konsep, seperti konsep etos kerja atau etos profesi. Secara operasional, semangat, ciri-ciri, dan pandangan khas yang dirumuskan untuk profesi tertentu disebut kode etik, misalnya kode etik kedokteran, kode etik guru, kode etik dosen, kode etik jurnalistik, kode etik mahasiswa, kode etik nasabah, kode etik pegawai/karyawan, dan sebagainya.

21 The Lottery, The Encyclopaedia Americana, Vol. X (USA: Grolier Incorporated, 1995), h. 610. 22 Steven R. Covey, Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif (Jakarta: Binarupa Aksara, 1994), h. 35. 23 K. Bertens, op. cit., h. 5. 24 The Lottery, Encyclopaedia Britanica, Vol. VIII; (Chicago: William Benton Publisher, 1965), h. 752. 25 The Lottery, Concise Oxford Dictionary, dalam Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Cet. I; Etika juga dipandang sebagai sebuah paradigma keilmuan.

Etika dikategorikan sebagai bagian dari filsafat. Soegarda Purbakawatja menyatakan bahwa etika sebagai filsafat nilai; kesusilaan tentang baik-buruk; serta berusaha mempelajari nilai-nilai; dan juga merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.26 Jadi etika dalam perspektif ini berfungsi sebagai instrumen yang dapat mempelajari dan mengetahui tentang nilai-nilai. Seiring dengan pendapat tersebut, Heru Satyanugraha menyatakan bahwa etika dapat diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral dalam suatu masyarakat.

Dalam pengertian ini, maka etika sama artinya dengan moral atau moralitas, yaitu apa yang harus dilakukan; apa yang tidak boleh dilakukan; apa yang pantas dilakukan, apa yang tidak pantas dilakukan, dan sebagainya.27 Aspek normatif berupa apa yang mesti dikerjakan dan apa yang tidak boleh dilakukan; apa yang wajar atau tidak wajar dilaksanakan; dan sebagainya merupakan wilayah etika.

Jauh sebelum ini, di zaman Kolonial Belanda, Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan (--dan keburukan) dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan suatu perbuatan.28 Sementara itu Austin Fogothey, seperti yang dikutip Ahmad Charris Zubair berpendapat bahwa etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat yang tampil sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik, dan ilmu hukum.29

Dinyatakan pula bahwa etika sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya. Lalu Frankena mengatakan bahwa etika adalah cabang filsafat, yakni filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral.30 Sementara itu Ahmad Amin menterjemahkan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk; menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia; menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka; dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.31

Pengertian etika seperti yang dikemukakan oleh Purbakawatja, Satyanugraha, Dewantara, Fogothey, Frankena, dan Amin lebih mengarah kepada suatu pemahaman bahwa sesungguhnya etika merupakan suatu ilmu pengetahuan, yakni sebagai bagian dari ilmu filsafat yang membahas tentang pikiran, perasaan, sikap, dan tindakan manusia yang baik atau buruk, benar atau salah, yang diharuskan atau yang dilarang, sasaran yang harus dituju, dan sebagainya. Bahkan antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik, dan ilmu hukum merupakan tampilan sosial dari etika.

Etika dapat diartikan pula sebagai studi tentang prinsip-prinsip perilaku yang baik dan buruk. Beberapa penulis mengunakan istilah �ilmu�, tetapi di sini sengaja digunakan istilah �studi�, untuk menghindari adanya salah pengertian dengan konsep ilmu pengetahuan. Sebab seni, religi, filsafat, dan ilmu pengetahuan sebagai produk proses budi manusia masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Dalam hubungan ini, etika merupakan salah satu cabang filsafat, yaitu filsafat moral.

Grolier Academic Encyclopedia menyatakan bahwa �ethics or moral philosophy, the branch of philosophy concerned with conduct and character, is the systematic study of principles and methods for distinguishing right from wrong and good from bad [etika atau filsafat moral merupakan bagian dari filsafat yang perhatiannya terfokus pada tingkah laku dan karakter, yaitu suatu studi yang sistematis mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip untuk membedakan yang benar dari yang salah dan yang baik dari yang buruk]�.32 26 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 1979), h. 82. 27 Heru Satyanugraha, loc. cit.

28 Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan (Yogyakarta: Gunung Agung, 1966), h. 82. 29 Ahmad Charris Zubair, op. cit., h. 15. 30 Ibid., h. 16. 31 Ahmad Amin, Al-Akhlaq, terj. Farid Ma�ruf, Etika (Ilmu Akhlak), (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 3. 32 The Lottery, Grolier Academic Encyclopedia Americana, Vol. VII (USA: Grolier Incorporated, 1985), h. 250. Jadi tujuan etika atau filsafat moral adalah mempelajari fakta pengalaman manusia, yaitu bahwa manusia mampu membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk dan mempunyai rasa wajib untuk melakukan tindakan tertentu.

Dalam diri manusia terdapat keharusan dan tuntutan yang perlu ditaati jika ia hendak hidup secara manusiawi. Dalam hal ini manusia dihadapkan pada keputusan mengenai tindakan yang sepantasnya atau seharusnya ia laksanakan; yang tidak sepantasnya atau tidak seharusnya dilakukan; dan yang boleh dilakukan atau yang boleh tidak dilakukan. Berdasarkan konsepsi di atas, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Berbagai konsep sebagai pemikiran terhadap perbuatan baik atau buruk dapat dikategorikan sebagai pemikiran etika.

Dengan demikian, etika bersifat humanistik dan antroposentris, yaitu berdasar pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Etika dapat diistilahkan juga sebagai aturan atau pola tingkah laku manusia yang dihasilkan oleh akal manusia yang bersandar pada wahyu Tuhan, kebiasaan masyarakat umum, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari sejumlah definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa etika paling tidak berhubungan dengan empat hal, yaitu:33 a.

Dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan manusia. b. Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber dari akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran manusia, maka etika tidak bersifat mutlak, tidak absolut, dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan, dan sebagainya.

Di samping itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia, seperti antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, dan sebagainya. Keterkaitan ini sangat rasional karena kesemua ilmu tersebut memiliki obyek pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia. c. Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai instrumen penilai, penentu, dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yakni apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina, dan sebagainya.

Dengan demikian, etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Pada konteks ini, etika berfungsi sebagai penengah. Ia merupakan konsep atau pemikiran tentang nilai- nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan manusia. Etika lebih mengacu pada pengkajian terhadap sistem nilai yang ada. d. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yaitu dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan dan kondisi zaman. 2.

Fungsi dan Peranan Etika Etika mempunyai fungsi yang sangat penting dalam aktivitas kehidupan manusia karena:34 Pertama, fungsi motivasi dan kemandirian (motivation and independent), yaitu bahwa etika dapat mengajak dan memotivasi orang untuk bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri yang dapat dipertanggung jawabkan. Kedua, fungsi pengarahan dan pengembangan (direction and development), yaitu bahwa etika dapat mengarahkan masyarakat untuk dapat berkembang menjadi masyarakat yang tertib, teratur, damai, dan sejahtera dengan mentaati norma-norma yang berlaku guna mencapai ketertiban dan kesejahteraan sosial.

Hal ini dinamakan juga justitia legalis atau justitia generalis, yaitu keadilan yang menuntut ketaatan setiap orang terhadap semua kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya demi ketertiban dan kesejahteraan masyarakat (bona communie). Sumber utama krisis multidimensional dari bangsa ini terletak pada sisi lemahnya penegakkan hukum (law enforcement), sehingga praktik KKN berjalan mulus hampir tidak tersentuh oleh hukum.

Padahal terdapat justitia vendicativa, yaitu keadilan untuk memberikan hukuman sesuai dengan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. 33 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Cet. V; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h. 91-92. 34 Ibid., h. 19. Etika mempunyai peranan yang sangat strategis dalam membimbing dan mengarahkan perbuatan manusia. Tidak cukup hanya sekedar norma hukum saja, meskipun norma hukum amat penting, dengan dasar argumentasi bahwa: Pertama, norma hukum tidak mencakup semua aktivitas manusia, khususnya yang merupakan wilayah abu-abu. Norma hukum tidak memerinci semua jenis, kadar, serta motif kejahatan yang diancam dengan hukuman.

Misalnya, masalah pencurian aliran listrik, yang semula dikatakan bukan pencurian benda, tetapi hakim memanfaatkan Teori Relativitas Einstein (E=mc2), sehingga akhirnya pencuri tersebut tetap dihukum. Keputusan ini akhirnya menjadi yurisprudensi.35 Kedua, norma hukum cepat ketinggalan zaman disebabkan oleh adanya perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga senantiasa muncul celah-celah hukum yang memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh kacung-kacung hukum yang selalu bermain curang.36

Ketiga, mekanisme pasar tidak memberikan sinyal secara efektif kepada pemilik dan manajer perusahaan untuk merespons situasi kritis yang memiliki dampak etis di kemudian hari. Misalnya, sebuah perusahaan tidak diharuskan mempekerjakan semua karyawannya pada waktu krisis ekonomi 1997 atau setelah ledakan bom Bali 12 Oktober 2002.37 Keempat, masalah etika mensyaratkan pemahaman dan kepedulian terhadap kejujuran, keadilan, dan prosedur yang wajar terhadap manusia, kelompok manusia, dan masyarakat.

Biasanya dunia perusahaan, perbankan, dan pemerintahan mempunyai kebijakan dan prosedur yang tidak lengkap dan terperinci untuk menutupi biaya sosial dan lingkungan hidup manusia. Misalnya, pemerintah tidak harus memikul semua beban biaya dan kesalahan atas banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang diusir dari Malaysia sebab pemerintah tidak tahu-menahu tentang keberangkatan mereka.38 Kelima, asas legalitas harus dibedakan dari asas moralitas.

Boleh saja elit politik, baik eksekutif maupun legislatif menyatakan bahwa pemberian sejumlah hadiah dalam bentuk uang kepada anggota legislatif di daerah dengan jumlah bervariasi sebagai sesuatu yang sah menurut hukum karena memang mereka sendiri yang menganggarkannya dalam APBD yang dikukuhkan melalu PERDA. Mereka tidak pernah melihat persoalan ini dari sudut asas moralitas. Dipandang tidak etis, jika mereka membagi-bagi hadiah dengan sengaja menggelembungkan anggaran dewan yang uangnya berasal dari rakyat, sementara pada sisi lain masih banyak rakyat Indonesia yang berada dalam situasi kritis dengan bergelimang kemiskinan.

Jadi persoalannya adalah tidak memadai jika hanya dipandang dari segi asas legalitas dengan menafikan asas moralitas. Hukum positif dibuat oleh elit politik yang sangat boleh jadi mengabaikan etika sosial. Asas legalitas harus tunduk pada asas moralitas. Oleh sebab itu, pengangkatan pejabat tinggi negara biasanya didahului dengan fit and proper test untuk menilai kesesuaian skill dan kompetensi serta track record mereka dari sudut kewajaran dan kepatutan etika.

Ini merupakan langkah maju bagi DPR, meskipun fit and proper test tersebut belum memiliki instrumen yang sahih dan handal.39 Dengan melihat realitas empirik tentang desain dan aplikasi hukum di bangsa ini memberikan indikasi kuat bahwa norma-norma hukum nyaris kehilangan arah karena kurang memperhatikan nilai- nilai dan prinsip-prinsip etika. Hal ini menyiratkan bahwa bila suatu norma hukum ingin dirancang dan ditetapkan, maka akomodasi terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip etika merupakan suatu keniscayaan.

3. Indikator Etika Meskipun materi pokok pembicaraan antara etika dan hukum adalah sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia. Demikian pula dengan tujuannya, yakni mengatur perbuatan manusia untuk keselamatan, keselarasan, keserasian, dan kebahagiaan hidup manusia. Namun keduanya juga banyak memiliki titik perbedaan. 35 Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 17. 36 Ibid. 37 Ibid., h. 18 38 Ibid. 39 Ketut Rindjin, loc. cit. Etika memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang segala perbuatan yang menimbulkan kemudharatan, sedangkan hukum tidak demikian, karena banyak perbuatan berguna yang tidak diperintahkan oleh hukum, seperti berbuat baik kepada fakir miskin.

Menyantuni fakir miskin dinilai baik dan terpuji oleh etika, tetapi dalam hukum ada yang mengharuskan perbuatan itu, namun tidak ada sanksi manakala diabaikan. Demikian pula dengan beberapa perbuatan yang mendatangkan kemudharatan tidak semua dapat dicegah oleh hukum, misalnya dusta dan dengki. Hukum tidak mencampuri urusan ini karena hukum hanya dapat menjatuhkan hukuman kepada orang yang menyalahi perintah dan larangannya.40 Hukum melihat suatu perbuatan dari akibatnya yang lahir, tetapi etika di samping menyelidiki perbuatan yang lahir, ia juga menyelami gerak jiwa manusia yang batin.

Etika menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan penilaian baik atau buruk. Tidak semua perbuatan itu dapat diberikan penilaian etika karena perbuatan manusia ada yang timbul bukan karena kehendaknya, seperti bernafas, detak jantung, atau gerak refleks. Perbuatan yang timbul dengan kehendak atau diikhtiarkan dan disengaja serta mengetahui waktu melakukannya merupakan wilayah etika yang dapat diberi penilaian baik atau buruk. Demikian juga dengan perbuatan yang timbul tidak dengan kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan penjagaannya sewaktu sadar.41

Etika berbicara mengenai value judgement, yakni mengenai penilaian baik-buruk, benar-salah, dan patut-tidak patut. Sedangkan hukum adalah kodifikasi dari pelembagaan secara resmi dari hal-hal yang dianggap benar atau salah dalam bentuk peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat untuk masa tertentu. Etika menentukan baik buruk perbuatan manusia dengan tolok ukur akal pikiran, sedangkan hukum menentukan perbuatan manusia dengan tolok ukur peraturan dan perundang-undangan.42

Hukum menetapkan boleh tidaknya perbuatan itu dilakukan disertai sanksi-sanksi yang akan diterima pelaku. Sanksi hukum bersifat eksternal, yaitu dalam bentuk penangkapan, penahanan, atau penjara; sedangkan sanksi etika bersifat internal berupa penyesalan, merasa berdosa atau rasa malu dari pelakunya. Dengan mencermati pembahasan tentang etika di atas, maka dapat disimpulkan bahwa etika memiliki beberapa indikator, yaitu: Pertama, bahwa sesuatu yang dimaksud adalah perbuatan manusia; Kedua, bahwa perbuatan itu dilakukan atas dasar kehendak atau keinginan manusia; Ketiga, bahwa perbuatan itu dilakukan dengan sengaja tanpa ada unsur paksaan; Keempat, bahwa perbuatan itu diketahui waktu melakukannya; dan Kelima, menilai perbuatan tersebut dengan kategori baik-buruk, benar-salah, atau patut-tidak patut. 4. Prinsip dan Norma Etika Sebelumnya telah dibahas tentang wawasan nilai-nilai etika dan yang terkait dengannya.

Nilai- nilai etika pada dasarnya merupakan kualitas-kualitas atau sifat-sifat yang mengandung unsur kebaikan yang terdapat di dalam tindakan, akhlak, watak, dan kebiasaan manusia. Nilai-nilai etika dianggap sebagai bagian dari kepribadian individu dan memberikan corak khusus pada perilaku serta menjadi kriteria penyeleksi tindakan dan patokan untuk bertindak. Dalam aplikasinya, nilai-nilai etika mesti dihargai, dipelihara, dan dipertahankan mengingat esensinya yang sangat luhur dan agung.

Nilai etika merupakan pandangan hidup tentang perbuatan manusia yang diwujudkan dalam bentuk pola tingkah laku atau tindakan-tindakan sosial yang berisi perintah, larangan, dan kebolehan, serta menjadi penilai atas pola tingkah laku tersebut. Nilai-nilai etika secara ideal bersumber dari nash-nash al-Quran dan al-Sunnah sebagai landasan filosofis atau filsafat sistem. Nilai-nilai yang disarikan dari nash ini masih berwujud teks dan abstrak, belum nampak dalam bentuk perbuatan.

Setelah nilai-nilai etika dijabarkan menjadi prinsip-prinsip etika secara sosiologis, maka terkesan bahwa nilai-nilai etika sudah tampil secara konkret. Inilah 651. 40 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, edisi pertama (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 41 Ibid., h. 652. 42 Ibid. kemudian yang disebutkan dengan landasan sosiologis atau nilai dasar sistem, yakni prinsip dasar yang dianut dan dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya prinsip-prinsip etika dijabarkan menjadi norma-norma etika yang diistilahkan dengan landasan praktis atau nilai instrumental sistem, yakni norma-norma etika yang menjadi alat atau titik star untuk mencapai dan mengamalkan nilai-nilai etika secara filosofis dan sosiologis.

Norma-norma etika selaku landasan praktis serta menjadi bagian dari landasan sosiologis, ingin melihat bagaimana prinsip-prinsip etika itu diaplikasikan oleh manusia atau unit sosial tertentu dalam masyarakat. Prinsip-prinsip dan norma-norma etika merupakan bagian integral dari nilai-nilai etika yang tidak dapat dipisahkan. Prinsip-prinsip etika yang secara implisit terkandung di dalamnya norma-norma etika yang berbentuk perintah, larangan, atau kebolehan untuk melakukan tindakan sosial sekaligus menilai dan menentukan posisi tindakan tersebut menurut paradigma etika. BAB III PERBANKAN SYARIAH A.

Overview Perbankan Syariah Lembaga perbakan merupakan inti dari sistem keungan dari setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Dalam Black�s Law Dictionary, bank dirumuskan sebagai: �...

an institution usually incopated, whose business to receive money on deposit, cash, checks or drafts, discount commercial paper, make loans, and issue promissory notes payable to bearer known as bank notes�.43 Bank merupakan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.

Dalam kamus istilah hukum Fockema Andreae yang mengatakan bahwa bank adalah suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga. Berhubung dengan adanya cek yang hanya dapat diberikan kepada bankir sebagai tertarik, maka bank dalam arti luas adalah orang atau lembaga yang dalam pekerjaannya secara teratur menyediakan uang untuk pihak ketiga.44 G.M.

Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik berpendapat bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.45 Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak- pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Berkaitan dengan pengertian bank, Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.46 Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalulintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.47

Sementara itu Warkum Sumitro memaknai bank syariah sebagai bank yang tata cara operasionalnya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam, yakni mengacu pada ketentuan al- Quran dan al-Hadis.48 Bank syariah/Islam didirikan dengan tujuan utama untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait.

Prinsip utama yang diikuti oleh bank syariah/Islam itu adalah: a) larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi; b) melakukan kegiatan usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang sah; dan c) memberikan zakat.49 43 Henry Champbell Black, Black�s Dictionary, (St. Paul: West Publishing Co, 1979), dalam Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional di Indonesia, Ed. I, (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 7. 44 Lihat Hermansyah, Ibid., h. 8. 45 Hermansyah, Ibid. 46 Lihat Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 47 Abdul Aziz Dahlan et. al.,

Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 1, (Cet. I; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 194. 48 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait: BAMUI, TAKAFUL, dan Pasar Modal Syariah di Indonesia, (Cet. IV; Jakarta: RajaGrafindo, 2004), h. 5. 49 Zainul Arifin, Op. Cit., h. 3. Kegiatan dan usaha perbankan syariah selalu terkait dengan komoditas, antara lain: a) memindahkan uang; b) menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran; c) mendiskonto surat wesel, surat order, maupun surat berharga lainnya; d) membeli dan menjual surat- surat berharga; e) membeli dan menjual cek, surat wesel, dan kertas dagang; f) memberi kredit; dan g) memberi jaminan bank.50

Sementara itu sistem operasional perbankan syariah yaitu sejumlah unsur yang terdiri dari beberapa sub sistem yang menjadi pedoman penyelenggaraan aktivitas keuangan pada lembaga perbankan syariah. Subsistem dimaksud adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, dan jasa layanan yang diberikan.51 B. Latar Historis Perbankan Syariah Walaupun di zaman Rasulullah SAW. belum terdapat institusi bank, ajaran Islam sudah memberikan prinsip-prinsip dan filosofi dasar yang harus dijadikan pedoman dalam aktivitas perdagangan dan perekonomian.

Oleh karena itu, dalam menghadapi permasalahan muamalah kontemporer yang harus dilakukan hanyalah mengidentifikasi prinsip-prinsip dan filosofi dasar ajaran Islam dalam bidang ekonomi, dan kemudian mengidentifikasi semua hal yang dilarang dalam syariah Islam. Setehah kedua hal ini dilakukan, kita dapat melakukan inovasi dan kreativitas (ijtihad) seluas- luasnya untuk memecahkan segala persoalan muamalah kontemporer, termasuk persoalan perbankan.

Namun, sebelum proses ijtihad dalam persoalan perbankan ini dilakukan, sebaiknya diteliti terlebih dahulu apakah persoalan perbankan ini benar-benar merupakan suatu persoalan yang baru bagi umat Islam atau bukan. Apkah konsep �bank� merupakan konsep yang asing dalam sejarah perekonomian umat Islam? Pertanyaan ini amat penting untuk dijawab karena akan sangat menentukan langkah selanjutnya. Bila konsep bank adalah konsep yang baru bagi umat Islam, maka ijtihad harus dilakukan mulai dari awal.

Namun, bila konsep bank bukan konsep yang baru, artinya umat Islam sudah mengenal bahkan mempraktikkan fungsi-fungsi perbankan dalam kehidupan perekonomiannya, maka proses ijtihad yang dilakukan tentu akan menjadi lebih mudah. Beberapa tema berikut akan mendeskripsikan perkembangan Bank Syariah dalam lintasan sejarah umat Islam sejak zaman Rasulullah hingga sekarang ini dan mulai dari Timur Tengah, Eropa, hingga di Indonesia. 1.

Praktik perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian umat Islam, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW.

Praktik-praktik seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk kepentingan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah SAW.52 Rasulullah SAW.

yang dikenal dengan julukan al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin Abi Thalib r.a. untuk mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya.53 Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan. 50 Abdul Aziz Dahlan et. al., Loc. cit. 51 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Cet. I; Jakarta: Djambatan, 2001), h.

24. dalam Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Ed. Revisi, (Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo, 2006), h. 81. 52 Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Ed. 3, (Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 18. 53 Sami Hamoud, Islamic Banking, (London: Arabian Infromation Ltd, 1985), dalam Adiwarman Azwar Karim, Ibid. Seorang sahabat Rasulullah SAW., Zubair bin al- Awwam r.a., memilih tidak menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman.

Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni: Pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, ia mempunyai hak untuk memanfaatkannya; Kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikannya secara utuh. Dalam riwayat yang lain disebutkan, Ibnu Abbas r.a. juga pernah melakukan pengiriman uang ke Kufah dan Abdullah bin Zubair r.a. melakukan pengiriman uang dari Makkah ke adiknya Mis�ab bin Zubair r.a. yang tinggal di Irak.54

Penggunaan cek juga telah di kenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan, pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin al-Khattab r.a. menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini, mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir.55 Disamping itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, muzara�ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah SAW.,

meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja. Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah kredit (Inggris: credit; Romawi: credo) yang diambil dari istilah qard.

Credit dalam bahasa Inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan: sedangkan qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (Inggris: check dan Prancis: cheque) yang diambil dari istilah Suq. Suq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang dapat digunakan di pasar. Gambar 1 Skema Fungsi Perbankan Pada Masa Sahabat56 Menerima Simpanan Menyalurkan Pembiayaan Fungsi Perbankan Pada Masa Sahabat Mengirim Uang Satu Orang Hanya Melakukan Satu Fungsi 54 Sudin Haron, Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, (Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn Bhd, 1996), h. 5.

55 Kadim Sadr, Money and Monetary Policies in Islam, dalam Abbas Mirakhor dan Baqir al-Hasani, essay on Iqtishad: An Islamic Approach to Economic Problems, (Silver Spring: nur Corp., 1989), h. 202. 56 Adiwarman Azwar Karim, Op. Cit., h. 20. 2. Praktik Perbankan di Zaman Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah Jelas saja institusi bank tidak dikenal dalam kosa kata fiqih Islam, karena memang institusi ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam, baik di masa Rasulullah SAW., al-Khulafa al- Rasidun, Dinasti Umayyah, maupun Dinasti Abbasiyah.

Namun demikian, fungsi-fungsi perbankan, yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah lazim dilakukan, tentunya dengan akad yang sesuai syariah. Di zaman Rasulullah SAW. fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi. Baru kemudian, di zaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu, dalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Hal ini di perlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula.

Orang yang mempunyai keahlian khusus ini di sebut Naqid, Sarraf, dan Jihbiz.57 Aktivitas ekonomi ini cikal-bakal dari apa yang kita kenal sekarang sebagai praktik penukaran mata uang (money changer). Istilah Jihbiz itu sendiri mulai dikenal sejak zaman Khalifah Muawiyah (661-680 M) yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, Kahbad atau Kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.

Peranan bankir pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah Muqtadir (908-932 M). Pada saat itu hampir setiap Wazir (menteri) mempunyai bankir sendiri. Misalnya, Ibn Furat menunjuk Harun ibn Imran dan Joseph ibn Wahab sebagai bankirnya; Ibn Abi Isa menunjuk Ali ibn Isa; Hamid Ibn Wahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana; bahkan Abdullah al-Baradi mempunyai tiga orang bankir sekaligus, yakni dua Yahudi dan satu Kristen. Kemajuan praktik perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran.

Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf al-Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol).58 Gambar 2 Skema Perbandingan Antara Jihbiz dan Bank = PERSAMAAN x PERBEDAAN h. 63.

57 Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (jakarta: Gema Insani Press, 2001), 58 Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and Regulations, (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1997), h. 2. Lihat Sami Hassan Homoud, �Progress of Islamic Banking: The Aspirations and the Realitites�, Islamic Economic Studies, Vol. 2, No. 1, Desember 1994, h. 71-80, dalam Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam�, Op. cit., h. 22. 3.

Praktik Perbankan di Eropa Dalam perbankan berikutnya, kegiatan yang dilakukan oleh perorangan (jihbiz) kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini dikenal sebagai bank. Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktik perbankan, persoalan mulai timbul karena transaksi yang dilakukan menggunakan instrumen bunga yang dalam pandangan fiqih adalah riba, dan oleh karenanya haram.

Transaksi berbasis bunga ini semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545 membolehkan bunga (interest) meskipun tetap mengharamkan riba (usury) dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda (excessive). Setelah wafat, Raja Henry VIII digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang. Hal ini tidak berlangsung lama. Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali membolehkan praktik pembungaan uang. Ketika mulai bangkit dari keterbelakangannya dan mengalami renaissance, bangsa Eropa melakukan penjelajahan dan penjajahan keseluruh penjuru dunia, sehingga aktivitas perekonomian dunia didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa.

Pada saat yang sama, peradaban Muslim mengalami kemerosotan dan negara-negara Muslim satu per satu jatuh ke dalam cengkeraman penjajahan bangsa- bangsa Eropa. Akibatnya, institusi-institusi perekonomian umat Islam runtuh dan diganti oleh institusi ekonomi bangsa Eropa. Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman modern kini. Oleh karena itu, institusi perbankan yang ada sekarang di mayoritas negara-nagara Muslim merupakan warisan dari bangsa Eropa yang notabene berbasis bunga. 4.

Perbankan Syariah Modern Oleh karena bunga uang secara fiqih di kategorikan sebagai riba yang berarti haram, di sejumlah negara Islam dan penduduk mayoritas Muslim mulai timbul usaha-asaha untuk mendirikan lembaga bank alternatif non-ribawi. Hal ini terjadi terutama setelah bangsa-bangsa Muslim memperoleh kemerdekaannya dari para penjajah Eropa. Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an, tetapi usaha ini tidak sukses.

Eksperimen lain di lakukan di Pakistan pada akhir tahun 1950-an, dimana suatu lembaga perkreditan tanpa bunga didirikan di pedesaan negara itu. Namun demikian, eksperimen pendiri bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank ini mendapat sambutan yang cukup hangat di Mesir, terutama dari kalangan petani dan masyarakat pedesaan. Jumlah deposan bank ini meningkat luat biasa dari 17,560 di tahun pertama (1963/1964) menjadi 251, 152 pada 1966/1967.

jumlah tabungan pun meningkat drastis dari LE 40,944 di akhir tahun pertama (1963/1964) menjadi LE 1,828,375 di akhir periode 1966/1967. Namun sayang, karena terjadi kekacauan politik di Mesir, Mit Ghamr mulai mengalami kemunduran, sehingga operasionalnya diambil alih oleh National Bank of egypt dan bank sentral Mesir pada tahun 1967. Pengambilalihan ini menyebapkan prinsip nir-bunga pada Mit Ghamr mulai di tingkatkan, sehingga bank ini kembali beroperasi berdasarkan bunga.

Pada 1971, akhirnya konsep nir-bunga kembali di bangkitkan pada masa rezim Sadat melalui pendirian Nasser Social Bank. Tujuan bank ini adalah untuki menjalankan kembali bisnis yang berdasarkan konsep yang telah dipratikkan oleh Mit Ghamr.59 Kesuksesan Mit Ghamr ini memberi inspirasi bagi umat Islam diseluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat di aplikasikan dalam bisnis modern.

Ketika Organisasi Konferensi Islam (OKI) akhirnya terbentuk, serangkaian konferensi intenasional mulai dilangsungkan, dimana salah satu agenda ekonominya adalah pendirian bank Islam. Akhirnya terbentuklah Islamic Development Bank. (IDB) pada bulan Oktober 1975 yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri. Bank ini menyediakan bantuan finansial untuk pembangunan negara-nagara anggotanya, membantu mereka untuk mendirikan bank Islam di negaranya masing-masing, dan memainkan peranan penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan Islam.

Kini, bank yang berpusat di Jeddah-Arab Saudi itu telah memiliki lebih dari 43 negara anggota. 59 Sudin Haron, Ibid., h. 3-4. Lihat juga Rodney Wilson, Banking and Finance in the Arab Middle East, (Surrey: MacMillan Publisher Ltd, 1983), dalam Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam�, Op. cit., h. 23. Pada perkembangan selanjutnya, di era 1970-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa negara seperti Pakistan, Iran dan Sudan, bahkan mengubah seluruh sistem keuangan di negara itu menjadi sistem nir-bunga, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa menggunakan bunga.

Di negara Islam lainnya seperti Malaysia dan Indonesia, bank nir-bunga beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional. Kini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke banyak negara, bahkan negara-nagara Barat. The Islamic Bank Internasional of Denmark tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi di Eropa, yakni pada tahun 1983 di Denmark.60 Kini, bank-bank besar di negara Barat, seperti Citibank, ANZ Bank, Chase Manhattan Bank, dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic Window agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan syariat Islam.

Gambar 3 Skema Evaluasi Aktivitas Perbankan Dalam Masyarakat Islam61 INDIVIDU JIHBIZ BANK Seseorang, baik Nabi maupun Sahabat melaksanakan satu fungsi perbankan  Seseorang dapat melaksanakan ketiga fungsi perbankan  Sebuah institusi melaksanakan ketiga fungsi perbankan Jadi dari segi proses evolusi kegiatan perbankan yang dilakukan oleh masyarakat Muslim, terlihat bahwa embrio kegiatan perbankan dalam masyarakat Islam dilakukan oleh seorang individu untuk satu fungsi perbankan. Kemudian berkembang profesi jihbiz, yaitu seorang individu melakukan ketiga fungsi perbankan.

Lalu kegiatan tersebut diadopsi oleh masyarakat Eropa abad pertengahan, dan pengelolaannya dilakukan oleh institusi, tetapi kegiatannya mulai dilakukan dengan basis bunga. Oleh karena kemunduran peradaban umat Islam serta penjajahan bangsa-bangsa Barat terhadap negara- negara Muslim, evolusi pratik perbankan, yang sesuai syariah sempat terhenti beberapa abad.

Baru pada abad ke-20, ketika negara-negara Muslim mulai merdeka, terbentuklah bank syariah modern di sejumlah negara dan ada keoptimisan bahwa bank syariah atau bank Islam akan terus mengalami perkembangan pada masa-masa yang akan datang. C. Landasan Normatif Bank Syariah Dasar pemikiran terbentuknya Bank Islam bersumber dari adanya larangan riba di dalam al- Quran dan al-Hadis sebagai berikut: ???? ????? ????? ???? ? ???? ?? ??????? ?????? ???? ???? ??? ?? ?????? ? ?????? ?????? ????? ? ?? ??? ?????? ??? ?? ???? ?????? ???? ?? ????? ????? ??? ? ?????? ???? ????? ?? ???? ? ?????? ??? ????? ?? ??? ? ??? ? ??????? ????? ?????? ?? ???? ????? ?????? ???? ?? ? ????? ????? ??????? ??? ??? ????? ???? ???? �Orang-orang yang memakan riba itu tidak akan berdiri melainkan sebagaiman berdirinya orang yang dirasuk setan dengan terhuyung-hunyung karena sentuhannya.

Yang demikian itu karena mereka mengatakan: 60 Eric Trolle-Schultz, �How the First Islamic Bank was Establishe in Europe,� dalam Butterworths Editorial Staff, Islamic Banking and Finance, (London: t. p., 1986), h 43-52, dalam Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam�, Op. cit., h. 24. 61 Adiwarman Azwar Karim, Ibid. �Perdagangan itu sama dengan riba�. �Padahal Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, Barang siapa telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhanya lalu ia berhenti (dari memekan riba), maka baginyalah apa yang telah lalu dan mengulangi lagi (mamakan riba) maka itu ahli neraka mereka akan kekal di dalamnya. Allah (telah) menghapus (barakat) riba dan Ia menyuburkan sedekah.� (QS. Al- Baqarah: 275-276).

Dalam suatu riwayat dikemukakan: terdapat orang-orang yang berjual beli dengan kredit (dengan bayaran berjangka waktu). Apabila telah tiba waktunya pembayaran dan tidak membayar maka bertambah bunganya, dan ditambah pula jangka waktu pembayarannya. Maka turunlah surat Ali-Imran ayat 130 tersebut. Dalam riwayat lain di kemukakan bahwa dizaman jahiliah Tsaqif berutang kepada Bani Nadhlir. Ketika telah tiba waktu membayar, Tsaqik berkata: �Kami bayar bunganya dan undurkan waktu pembayarannya�.

Maka turunlah surat Ali-Imran ayat 130 sebagai larangan atas perbuatan itu. Al-Qur�an surat An-Nisa� ayat 161 menyatakan: ????? ????? ????? ???? ???????? ??????? ? ??????? ????? ????? ?????? ??? ???? ??? ?????? ?????? Dan (karena) mereka memakan riba, padahal telah dilarang (karena) mereka memakan harta manusia dengan (cara) yang tidak betul; dan kami telah sediakan bagi orang-orang kafir dari antara mereka itu sikasaan yang pedih.

Al-Qur�an surat Al-Rum ayat 39 menyatakan: ?? ??????? ?? ??? ?????? ???? ?? ?????? ??? ? ?? ??? ????? ?? ????? ????? ?? ?????? ??? ?? ?????? ??? ???? ???????? Dan suatu riba yang kamu beri supaya jadi tambahan di harta manusia tidak akan jadi tambahan (padahal) di sisi Allah, tetapi zakat yang kamu keluarkan karena mengharap keridhaan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang mendapat pahala berlipat ganda. Al-Qur�an surat Al-Baqarah ayat 278-279 menyatakan: ?? ?? ???? ?????? ?????? ?? ??? ????? ?????? ???? ?? ?????? ?? ??? ?? ????? ?? ????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ?? ?????? ? ??????? ???? ???? ???? ??? ? ??????? Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkan sisa dari riba itu jika memang kamu orang-orang yang beriman.

Tetapi jika kamu tidak berbuat (begitu), maka terimalah pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya dan jika kamu bertaubat maka bagimu pokok hartamu, sehingga kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiya. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunya surat Al-Baqarah ayat 278 dan 279 tersebut berkenaan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada Gubernur Makkah setelah Fathu Makkah, yaitu �Attab bin Asyad tentang utang-utangnya yang mengandung riba sebelum ada hukum penghapus riba, kepada Bani �Amr bin �Auf dari suku Tsaqif.

Bani Mughirah berkata kepada �Attab bin Asyad: �Kami adalah manusia yang paling menderita akibat dihapusnya riba�. Maka berkata Bani �Arm: �Kami minta penyelesaian atas riba kami�, maka Guberbur �Attab menulis surat kepada Rasulullah SAW., yang dijawab oleh Nabi SAW., sesuai dengan ayat diatas. D. Tinjauan Hukum Bank Syariah di Indonesia Asas berlakunya undang-undang dalam arti materiil merupakan sarana semaksimal mungkin ddapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu.

Undang- undang senantiasa harus mencerminkan upayapemenuhan kesejahteraan manusia tersebut dalam suatu negara baik melalui pembaruan ataupun pelestarian ketentuan-ketentuannya.62sebagaimana telah kita 62 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singka, (Cet.II; Jakarta: 1986,) h. 78. ketahui bahwa timbulnya pratik-pratik pelepasan uang perorangan maupun institusional berupal lembaga perbankan, yatiu merupakan awal dari pelaksanaan kegiatan usaha lembaga keuangan di Indonesia, yang terjadi sejak zaman penjajahan merupakan jawaban dari adanya kebutuhan akan sumber dana bagi kelangsungan hidup di masyarakat, baik kebutuhan yang bersifat konsumtif maupun produktif dalam bentuk investasi.

Maka untuk menrtibkan pratik lembaga pelepasan uang tersebut dikeluarkanlah pengaturan baik dalam bentuk undang-undang (wet) maupun berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak pemerintah. Di antara lembaga keuangan yang telah terjadi sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank N. V, tanggal 10 Oktober 1827 yan kemudian dikeluarkannya Undang-Undang De Javashe Bank Wet 1922.63 Bank inilah yang kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui proses nasionalisasi pada tahun 1951 dengan dikeluarkannya UU No.

24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951. Sejak beralihnya kekuasaan negara ketangan pemerintahan Republik Indonesia tahun 1945, dalam rangka mengawali pembangunan dan pengokohan eksistensi negara, maka mulailah menggalakkan peraturan dalam berbagai bentuk perundan-undangan beserta perubahannya mengenai perbankan pemerintah64 dan membuka Bursa Efek melalui penetapan Undang-Undang No.15 Tahun 1952 tentang Bursa. Akhirnya denan dikeluarkannya Undang-Undang No.14

Tahun1967 tentang pokok-pokok perbankan yang merupakan pedoman pengaturan tentang perbankan di Indonesia maka di jaminlah kesatuan penataan dalam keseluruhan perbankan di Indonesia dan sebagai pelaksanaannya, kemudian dikeluarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, yang dilaksanakan Bank Indonesia dan peraturan pelaksanaan lainnya.65 1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentan Pokok-pokok Perbankan adalah undang-undang penbankan pertama yang dibuat oleh pemerintaha RI di zaman kemerdekaan Indonesia.

Yang di maksud dengan Bank menurut undang-undang ini, adalah: Suatu Lembaga Keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Sedangkan pengertian �Lembaga Keuangan �adalah semua badan yang melalui kegiatan-kegiatan di bidang keuangan menarik uang dari dan menyalurkan kembali kepada masyarakat. Kegiatan usaha perbankan konvensinal yang berkembang di negara kita saat itu diinspirasikan oleh sistem ekonomi kapitalis.

Dalam usahanya sebaai lembaga keuangan, Bank mengusahakan keuntungan (profit) dengan memanfaatkan dana simpan-pinjam dari masyarakat melalui bunga (interest). Bunga yang dipungut Bank ini merupakan fixed care, yatiu dengan presentase yang ditetapkan dimuka transaksi. Dengan jalan ini maka bank terhindar dari resiko kerugian atas pinjaman dana yang dilepaskannya kepada peminjam (debitur), dan juga memberi kepastian bagi bank terhadap keuntungan yang akan diperolehnya.66

Keberhasilan bank dalam mengusahakan keuntungan ini tergantung kepada kemampuannya menjaga likuiditas (kemampuan pembayaran) terhadap penyimpanan dana dan mengembalikan pengeluaran dana bagi para peminjam. Untuk itu bank mengusakan pemasukan dananya dari berbagai sumber. Sumber dana lain adalah dari berbagai bentuk penyimpanan, seperti deposito berjangka (penyimpanan uang yang dapat diambil dalam jangka waktu tertentu dengan perolehan bunga), penyimpanan berupa tabungan (seperti: tabanas, taska dan tabungan berprogram haji dan lain-lain), dan juga dari bantuan kredit luar negeri atau grant (hibah) dari luar negeri, ataupun mendapat kredit likuiditas dari bank sentral atau dari dividen (laba) dari hasil kerja sama usaha (joint venture) dengan suatu perusahaan.

Selai itu juga bank memperoleh pemasukan dari pelayanan jasa yang diberikannya dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, seperti mengeluarkan cek, wesel dan surat-surat berharga 63 Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan, (Jakarta: Pradya Paramita, 1997), h.36. 64Untuk jelasnya dapat dibaca sejarah berdirinya perbankan dan lembaga-lembaga keuangan di Indonesia beserta perkembangannya hingga sekarang, dalam buku Soetatwo Hadiwigeno dan Faried Wijaya, Lembaga- Lembaga Keuangan dan Bank Perbankan, Teiri dan Kebijaksanaan, (Cet. III; Jogjakarta: B.P.F.E., 1984,) h. 223-294.

65Lihat Rincian Pengturan Pelaksanaannya dalam Bentuk Skema Yuridis Perbankan, h. 130. 66 Lihat Bab 1 Pasal 1 sub (c) UU No. 14 Tahun 1967. lainnya, memindahkan uang, jual beli valuta asing, delegasi kartu kredit dan lain-lain, yang dengan demikian bank memperoleh komisi-komisi atau bea-bea yang ditariknya atas jasa-jasa tersebut. Dengan demikian juga bank memperoleh hasil keuntungan dari usahanya menyewakan safe loket dan tempat penyimpanan barang-barang berharga dari para nasabahnya (lihat Pasal 23 UU No. 16/1967). Kegiatan usaha bank yang diatur oleh ketentuan Undang-Undang No.

14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok perbankan ini meliput empat jenis bank yaitu: 1) Bank Sentral Yang berfungsi sebagai bank sentral sebagimana dimaksud UUD 1945 Pasal 23 dan penjelasannya adalah bank Indonesia beradasarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang bank sentral. Tugas poko bank sentral adalah: a) Mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah (mata uang Indonesia); b) Mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja.

Rincian dari tugas pokok tersebut adalah: a) Mengedarkan uang kertas dan uang logam; b) Mengawasi dan membina urusan perkreditan dan perbankan; c) Bertindak sebagai pemegang kas (banker) pemerintah dan memberikan jasa-jasa perbankan lainnya; d) Mendorong pengerahan dana masyarakat oleh perbankan untuk tujuan usaha pembangunan yang produktif dan berencana; e) Menjaga dan memelihara posisi likuiditas (kemampuan pembayaran) dan solvabilitas (yang selalu berkelanjutan)dalam dunia perbankan dalam negeri maupun secara internasional.

Bank Indonesia dalam tugasnya sehari-hari dibantu oleh Dewan Moneter untuk membantu pemerintah dalam: a) Merencanakan dan menetapkan kebijaksanaan moneter dengan mengajukan patokan- patokan/pedoman-pedoman guna menjaga kestabilan rupiah/moneter, guna pemenuhan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup rakyat. b) Memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah di tetapkan pemerintah. Ciri-ciri Bank Indonesia menurut UU No. 13 Tahun tentang Bank Sentral ini adalah: a) Merupakan Badan Hukum Milik Negara (Badan Hukum Publik), yang berhak melakukan tugas dan usaha berdasarkan undang-undang ini (Pasal 1 Ayat 2); b) Terhadap Bank Indonesia berlaku segala macam Hukum Indonesia, dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini (Pasal 1 Ayat 3); c) Dia tidak berhubungan langsung dengan publik (umum); d) Bank ini berkedudukan (berdomisili) di Ibu Kota Republik Indonesia dan dapat mempunyai perwakilan diseluruh wilayah Rebublik Indonesia (Pasal 3 Ayat 1); e) Bank ini dapat mempunyai perwakilan dan koresponden-koresponden di luar negeri (Pasal 3 Ayat 2); f) Tugas sehari-hari dijalankan oleh direksi (Pasal 15). Bank Indonesia di samping sebagai Bank Sentral dan bank sirkulasi, merurut UU No.

13 Tahun 1968 juga berfungsi sebagai pengawas, pembimbing dan pembina dari bank-bank lainnya baik bank pemerintah, bank swasta, bank koperasi, bank pembangunan daerah maupun bank asing, serta diberi hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas dan uang logam. b) Bank Umum Bank Umum ialah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama dengan menerima deposito, serta dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka pendek. Giro adalah suatu simpanan nasabah pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap waktu dengan perantaraan cek maupun pemindah bukuan (trasfer).

Sedangkan yang dimaksud jangka pendek yaitu tidak lebih dari 1 (satu) tahun atau satu kali musim panen tanaman yang lebih dari satu tahun. Dari segi pemilikannya, Bank Umum dapat dibedakan antara bank umum milik negara, bank umum koperasi, bank umum swasta, dan bank umum asing. a) Bank Tabungan Bank Tabungan ialah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama dengan menerima simpanan dalam bentuk tabungan dan dalam usahanya terutama memperbungakan dananya dalam bentuk kertas berharga.

Dalam jumlah dana yang agak banyak, bank melepaskan uang tabungan itu dengan bunga yang lebih tinggi dari pada bunga yang dibayarkan kepada para penabung. Selisih antara bunga yang dipungut dengan yang diberikan kepada para penabung (spread) inilah yang menjadi penghasilan bank. Berdasarkan pemilikannya bank tabungan ini dapat dibedakan antara Bank Tabungan Negara (BTN), bank tabungan swasta dan bank tabungan koperasi. b) Bank Pembangunan Bank Pembangunan adalah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk deposito dan/atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang di bidang pembangunan.

Berdasarkan pemilikannya, bank pembangunan ada tiga macam, yaitu Bank Pembangunan Milik Negara, Bank Pembangunan Swasta, dan Bank Pembangunan Koperasi. Pada bank-bank milik negara, Direksi dan Dewan Pengawasnya ditunjuk dan diangkat oleh pemerintah. Sedangkan bank swasta haruslah berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang seluruh saham- sahamnya harus dimiliki oleh warga negara Indonesia atau oleh badan-badan hukum yang peserta- pesertanya serta angota-anggota pimpinannya adalah warga negara Indonesia. Saham tersebut harus dikeluarkan atas nama (jadi tidak boleh saham blanko).

Menurut undang-undang ini dan ketentuan tersendiri yang bersangkutan, bank-bank koperasi haruslah mempunyai bentuk hukum koperasi. Tata kerja bank-bank ini diatur tersendiri oleh bank Indonesia bersama-sama dengan departemen yang mengurus perkoperasian. Dan bank-bank asing hanya dapat didirikan dalam bentuk cabang dari di luar negeri atau suatu percampuran antara bank asing dan bank nasional (perusahaan joint venture) yang berbadan hukum Indonesia dan berbentuk Perseroan Terbatas (PT).

Dalam kegiatan usaha bank, terjadi berbagai jenis perikatan atau pembuatan perjanjian antara bank dengan nasabahnya maupun dengan pihak ketiga, sesuai dengan kebutuhan para nasabahnya tersebut terhadap pihak ketiga maupun pihak bank sendiri dengan para nasabahnya atau terhadap pihak ketiga yang berhubungan dengan kegiatan usaha perbankan. Untuk tolak ukur ketentuan- ketentuan dalam perjanjian di atas serta dalam pengambilan keputusan apabila terjadi pelanggaran- pelanggaran atau wanprestasi, maka pada saat itu disesuaikan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), KUH Dagang dan peraturan-peraturan pelaksanaan dari UU Pokok Perbankan (UU No 14 Tahun 1967) serta kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah pada saat itu. 2. Periode UU No. 7 Tahun 1992 Pada periode UU No.

7 Tahun 1992 tentang perbankan ini diperkenalkan istilah �bagi hasil� dalam sistem perbankan Indonesia. Istilah bagi hasil dalam undang-undang ini terdapat pada pasal 1 ayat 12, Pasal 6 butir m dan Pasal 13 butir o. 1) Pasal 1 ayat 12, berbunyi: �Kredit adalah penyedian uang atas tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan tujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.�

2) Pasal 6, mengenai usaha bank, yang meliputi butir a sampai dengan 1, dan m berbunyi: �Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang diterapkan dalam Peraturan Pemerintah.� 3) Pasal 13, Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi a sampai dengan b dan o berbunyi: �Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.� Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ini belum menjelaskan pengertian bagi hasil dan pengertian bagi hasil itu dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaan dari UU ini.

Dua peraturan pelaksanaan yang pertama, yatiu PP Nomor 70 Tahun1992 tentang Bank Umum dan PP Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat juga tidak menjelaskan tentang pengertian bagi hasil. Baru pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil terdapat keterangan pada pasal 2 sebagai berikut: Prinsip bagi hasil dimaksud adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariat dalam melakukan kegiatan usaha bank, seperti dalam hal: 1) Menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya; 2) Menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupum modal kerja; 3) Menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil...; Lebih lanjut dalam PP No.

72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, diperoleh penjelasan dan ketentuan-ketentuan pertimbangan perlunya bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Antara lain disebutkan sebagai berikut: 1) Bahwa untuk dapat meningkatkan pelayanan jasa perbankan kepada masyarakat, perlu dikembangkan kegiatan usaha bank yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat 2) Bahwa penyediaan jasa perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil merupakan pelayanan jasa perbankan yang dibutuhkan masyarakat 3) Bahwa dalam rangka mengerahkan seluruh potensi masyarakat guna menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dan sejalan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan jasa bank, maka pelayanan jasa bank berdasarkan prinsip bagi hasil perlu dikembangkan dan ditingkatkan.

Selanjutnya untuk meyakini bahwa dalam melakukan kegiatan usaha bank itu sesuai dengan syariat Islam, PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil memperkenalkan istilah Dewan Pengawas Syariah sebagai pengontrol aktivitas perbankan dengan prinsip bagi hasil ini. Mengenai hal ini, PP No. 72 Tahun 1992 menggariskan ketentuan sebagai berikut: 1) Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atau produk perbankan dalam menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar sejalan dengan prinsip syariat; 2) Pembentukan Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh bank yang bersangkutan berdasarkan konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia; 3) Dalam melakukan tugasnya, Dewan Pengawas Syariah berkonsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia dimaksud butir 2; Pada periode berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1992 ini, terdapat penyerderhanaan struktur bank yang ada, sehingga hanya mengenal dua jenis bank saja yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.

Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat diberi keharusan untuk memilih hanya salah satu kegiatan usaha saja. Penegasan mengenai hal ini tampak pada ketentuan sebagai berikut: 1) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata hanya berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenalkan untuk melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil; 2) Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.

Sebagai peraturan pelaksanaan, dari ketentuan ini, lebih lanjut dalam PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum diatur mengenai hal ini pada Pasal A Ayat 3, yang berbunyi: �Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerja harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata berdasarkan prinsip bagi hasil.� Sedangkan dalam peraturan pemerintah nomor 71 tahun 1994 tentang bank perkreditan rakyat, ketentuan lebih lanjut dapat diperoleh pada pasal A ayat 2, yang berbunyi: �Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan angaran dasar dan rencana kerjanya.�

Gambar 4 Skema Susunan Organisasi Bank Sistem Bagi Hasil MUI Pusat Dewan Pengawas Syariah Mewakili Kepentingan Agama/keyakinan Dewan Komisaris Direksi Divisi 3. Periode UU No. 10 Tahun 1998 Divisi Divisi Undang-Undang No 10 Tahun 1998 merupakan ketentuan yang memberikan landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan sistem perbankan Syari�ah di indonesia. Hal inilah yang merupakan suatu perubahan yang signifikan terhadap UU perbankan sebelumnya.

Sebagaimana telah diuraikan pada sub bab terdahulu telah kita lihat bahwa pada Undang-Undang No.7 Tahun 1992 istilah perbankan Syari�ah masih belum dinyatakan secara eksplisit, melainkan hanya dinyatakan dengan menggunakan istilah Bank dengan prinsip bagi hasil, sebagaimana diatur dalam pasal 6 dan pasal 13. Pengertian Bank dengan prinsip bagi hasil yang dimaksudkan dalam Undang-Undang tersebut belum mencakup secara tepat pengertian Bank Syari�at �Islamic Bank� yang memiliki cakupan yang lebih luas dari bagi hasil, meskipun UU tersebut telah memungkinkan berdirinya Bank umum Syari�ah yang pertama di indonesia.

Demikian pula peraturan pelaksanaan yang ada pada masa itu dirasakan belum banyak membuka ruang gerak bagi operasional perbankan Syari�ah di indonesia. 67 Dengan dikeluarkannya UU No. 10 Tahun 1998 yang mengubah undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan serta peraturan-peraturan pelaksanaannya ini, maka Indonesia telah memasuki periode baru yaitu periode perkembangan sistem Perbankan Syariah dengan munculnya bank-bank syariah baru.

Berdasarkan Undang-Undang Perbankan yang baru ini, sistem perbankan di Indonesia terdiri atas bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah (atau digunakan istilah dual Banking System). Salah satu prinsip yang dipegang dalam pengaturan tentang bank syariah dalam undang-undang no. 10 tahun 1998 ini adalah bahwa prinsip syariah meruakan suatu prinsip dalam menjalankan kegiatan usaha bank. Jadi sifatnya bukan merupakan jenis kelembagaan melaikan cara menjalankan kegiatan usaha bank.

Sejalan dengan itu, istilah bank syariah tidak didefenisikan sebagai jenis bank tersendiri, sehingga jenis bank di Indonesia tetap hanya dua, yakni bank umum (BU) dan bank perkreditan rakyat (BPR). Adapun dari kegiatan usahanya, bank umum dan bank perkreditan rakyat tersebut dapat menjalankan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah (menjadi bank umum syariah dan BPR syariah).

Mengenai hal ini dapat dijelaskan perbedaan antara kedua kegiatan usaha perbankan dalam Dual Banking System tersebut seperti pada gambar berikut: Gambar 5 67 Sampai dengan tahun 1998 belum terdapat perangkat hukum operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank Syari�ah. Lihat Subardjo Joyo Sumarto, �Kebijakan Bank Indonesia Dalam Pengembangan Bank Syari�ah�, Paper, disampaikan pada Seminar Aspek Hukum Dan Bisnis Perbankan Syari�ah, (Jakarta: Warens dan Achyar Law Firm, 2000) h. 172. Skema Dual Banking System BANK SYARIAH BANK KONVENSIONAL Pendapatan Dividen Pendapatan Bunga Dana Investor Pembiayaan DANA BANK SYARIAH DANA BANK KONVENSIONAL Dana Nasabah Kredit Bagi Hasil Pendapatan Bunga dari Kredit/Pasar Uang Selain itu, undang-undang ini memungkinkan pengembangan bank syariah melalui pendirian bank syariah baru, perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah dan pelakasanaan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Konvensional.

Khusus bagi bank umum yang selama ini menjalankan kegiatan usaha konvensional, dapat melakukan kegiatan usaha secara prinsip syariah, dengan cara membuka kantor cabang baru yang semata-mata melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau mengubah kantor cabang yang telah ada menjadi kantor cabang yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal suatu bank menjalankan kegiatan usahanya baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah, maka bank yang bersangkutan harus menatausahakan pembukuannya secara terpisah mengingat perbedaan prinsip yang digunakan tersebut.

Hal ini berbeda denan konsep perbankan dengan sistem windows seperti yang pernah di praktikan di Malaysia. Perbedaan struktur organisasi dari bank syariah an bank konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah serta bank konvensional yang menggunakan sistem �windows� adalah sebagaimana terdapat pada gambar Pada prinsipnya undang-unang ini mengatur masalah-masalah hukum yang menyangkut kelembagaan dan operasional bank syariah. Permasalahan hukumtersebut antara lain meliputi: 1. Macam Bank Syariah 2. Pendirian Bank Syariah 3.

Konversi Bank Konvensional menjadi Bank Syariah 4. Pembukaan Kantor Cabang, yang melipiti sisi keuangan dan modal kerja 5. Badan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional (DPS), yang menyangkut mengenai fungsi DPS sebagai Penasihat, Mediator, dan Perwakilan 6. Kegiatan usaha dan produk-produk Bank Syariah 7. Pengawasan Bank Indonesia terhadap Bank Syariah 8. Sanksi-sanksi pidana dan administratif. Dalam undang-undang no. 10 tahun 1998 ini terdapat hal baru yaitu dicantumkan secara tegas mengenai ketentuan pidana dan sanksi administratif dalam rangka penegakan hukum kegiatan usaha perbankan yang bersifat lebih tegas dan mengikat.

Ketentuan pidana yang mengatur kegiatan perbankan diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 46,47, 47A, 48, 49, 50, dan 50A. sedangkan ketentuan sanksi administratif diatur dalam pasal 52 dan 53 undang-undang ini. Mengenai sanksi pidana dalam pengaturan perbankan ini memiliki ciri tersendiri dimana disini ditetapkan jumlah minimal dan maximal sanksi yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa. Ketetuan hukum demikian tentunya tidak terlepas dari pentingnya lembaga perbankan sebagai lembaga penghimpun dana masyarakat.

Ketentuan hukum tersebut berlaku pula untuk Bank Syariah. Dengan adanya sanksi tersebut juga memberi peringatan kepada bankir untuk senantiasa bertindak profesional dan memiliki integritas yang tinggi dalam menjalankan kegiatan usahanya. 4.Ketentuan Pelaksanaan Bank Indonesia bagi Perbankan Syariah Sejak Berlakunya UU No. 10 Tahun 1998 Sejak berlakunya UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, maka segala ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang perbankan yang semula dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah kini telah diahlikan pada kebijaksanaan Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentaral.

Ketentuan yang mencabut peraturan pelaksnaan dibidang perbankan tersebut dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah(PP) yang seca lengkap berjudul Peraturan Pemerintah Republic Indonesia Nomor 30 tahun 1999 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum sebagai mana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1998, Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.

Melalui pencabutan ini seluruh PP tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dimulai sejak dikeluarkannya ketentuan peundangan yang baru oleh Bank Indonesia. Peraturan kebijaksanaan Bank Indonesia yang menggatikan kedudukan Peraturan Pemerintah di bidang perbankan tersebut pada prinsipnya merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang mendukung operasional Perbankan Syariah di Indonesia. Perangkat ketentuan-ketentuan yang diperlukan bagi operasional Perbankan Syariah secara umum dibagi dalam empat kelompok, yaitu peraturan yang terkait dengan: a.

Kelembagaan yang meliputi pengaturan mengenai tata cara pendirian, kepemilikan, dan kegiatan usaha bank. Peraturan yang telah di terbitkan Bank Indonesia adalah: 1. SK Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum. Kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentng Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah jo. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang Perubaha Atas PBI No. 6/24/PBI/2004. 2. SK Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.

Kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. 3. PBI No. 7/17/PBI/2005 tentang Kewajiban Pengeluaran Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. b. Pengaturan yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas dan instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah. 1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum, yang kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia No. 6/21/PBI/2004 tanggal 3 Agustus 2004.

2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indosesia No. 1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus 1999 tentang Penyelenggaran Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antarbank Atas Hasil Kliring Lokal. 3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah jo. PBI No. 7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas PBI No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari tentang PUAS. 4. Peraturan Bank Indonesia No.

2/9/pbi/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Kemusian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia No. 6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. 5. Peraturan Bank Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februri 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah yang kemudian di ubah oleh PBI No. 7/23/PBI/2005 tanggal 7 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas PBI No. 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah. 6.

Peraturan Bank Indonesia No. 7/24/PBI/2005 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. c. Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Pudential Banking Regulation) Pengaturan yang diperluka bagi bank syariah untuk melaksanakan prinsip kegiatan usaha yang berhati-hati dan berdasarkan pratik-pratik usaha yang sehat. (Dewan ini penerapan prinsip kehati-hatian masih mengacu kepada Standar Internasional Perbankan Umum yang diterbitkan oleh Bank for Internasional Settlement (BIS) yang berkedudukan di Basle Swis). d.

Peraturan lainnya merupakan peraturan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia atau lembaga lain sebagai pendukung operasi Bank Syariah. Peraturan ini meliputi: 1. Ketentuan berkaitan dengan pelaksanaan tugas Bank Sentral, 2. Ketentuan Standar Akuntasi dan Audit, 3. Ketentuan pengaturan perselisihan perdata antara bank dengan nasabah (Abitrase Muamalah), 4. Ketentuan mengenai standarisasi fatwa produk Bank Syariah, 5. Dan peraturan pendukung lainnya.

Ketentuan-ketentuan yang disebutkan terakhir diatas merupakan ketentuan pendukung yang sangat penting dalam operasional bank Syariah yang menjadi bagian dari srategi pengembangan sistem Perbankan Syariah yang telah digariskan oleh Bank Indonesia. Di samping itu, sejak i Juni 2001 Bank Indonesia telah membuka Biro Perbankan Syariah yang akan menangani pengaturan, pengawasan, dan perizinan Bank Syariah. Saat itu Biro Perbankan Syariah telah digantikan menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia.

Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah membentuk Dewan Nasional Pengawas Syariah (DNPS) yang bertugas memberikan fatwa dan membetuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) disetiap institusi keuangan syariah di Indonesia. Kedua lembaga ini saling bekerja sama dalam mengeluarkan produk hukum ataupun fatwa untuk pengembangan dan pengawasan terhadap aktivitas dan kegiatan usaha Perbanakan Syariah di Indonesia. E.

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Bank yang secara umum dikenal oleh masyarakat disebut bank konvensional memiliki persamaan dengan bank syariah. Persamaan tersebut terutama dapat dilihat dari segi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, persyaratan umum pembiayaan, dan sebagainya. Namun pada sisi yang lain terdapat sejumlah perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan tersebut dfapat disorot dalam beberapa unsur, seperti akad dan legalitas, lembaga penyelesaian sengketa, struktur organisasi, investasi, prinsip organisasi, tujuan, dan hubungan nasabah.

Untuk memberikan kejelasan mengenai perbedaan tersebut, maka berikut ini akan ditampilkan gambar skema, yaitu: Gambar 6 Skema Perbandingan Antara Bank Syariah dan Konvesional UNSUR BANK SYARIAH BANK KONVESIONAL  Akad & Aspek Legalitas Hukum Islam dan Hukum Positif Hukum Positif  Lembaga Penyelesaian Sengketa Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), sekarang sedang di upayakan pembentukan penggantinya yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BAN)  Struktur Organisasi Ada Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) Tidak ada DNS dan DPS  Investasi Halal Halal dan Haram  Prinsip Organisasi Bagi hasil, jual beli, sewa Perangkat bunga  Tujuan Profit dan Falah oriented Profid oriented  Hubungan Nasabah Kemitraan Debitor-Kreditor   Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa paling tidak ada 7 (tujuh) perbedaan antara sistem perbankan syariah dengan sistem perbankan konvesional.

Konsep halal adalah konsep yang paling utama dalam investasi yang dilaksanakan perbankan syariah, yang menjadi pembela utama antara kedua sistem bank tersebut. Hal ini desebabkan adanya sifat transendental dari setiap transaksi dalam setiap aktivitas muamalah pada hukum Islam. Mengenai prinsip bagi hasil yang menjadi pembeda di samping prinsip jual beli dan sewa menyewa dari sistem bunga yang digunakan oleh Bank Konvesional, mempunyai perbedaan khusus dengan sistem bunga tersebut.

Proses penerapan sistem bunga pada Bank Konvesional dapat dilihat pada skema berikut ini: Gambar 7 Skema Proses Penerapan Sistem Bunga Persaingan Luar Negeri Tingkat Inflasi Luar Negeri Seleksi Yang Mampu Pemindahan Harta Kepada Yang Mampu Persaingan Dalam Negeri Tingkat Bunga Luar Negeri  Tingkat Inflasi Dalam Negeri  Belum Jenuh Proses Penggeseran Biaya Bunga  Spread Bunga Ke Pedagang Ke Pembeli Simpanan + = Pinjaman  Ke Pabrikan  Ke Pembeli Penyimpanan BANK Peminjaman Yang Mampu Ke Upah Buruh Ke Kualitas Proses Pemelaratan  Cukup Sudah Jenuh Bank Rugi  Tidak Cukup  Sita Jaminan Tidak Mampu Membayar Pokok Bunga Gambar di atas menerangkan secara seksama tentang proses penerapan sistem bunga yang biasa dipraktikkan oleh bank-bank konvensional di tanah air.

Dapat dicermati alur yang dipakai lebih tidak berpihak pada rakyat/nasabah. Namun dalam sistem perbankan yang berbasis syariah memakai istilah bagi hasil sebagai lawan yang sepadan dengan sistem bunga tersebut. Dengan sistem bagi hasil ini, maka nasabah akan mendapatkan pembagian hasil yang proporsional sesuai jumlah tabungan yang disimpan pada bank-bank syariah. Sebagai bahan perbandingan antara sistem bunga yang banyak diterapkan pada bank-bank konvensional dengan sistem bagi hasil yang diberlakukan pada setiap bank-bank syariah, maka berikut ini disajikan gambar tabel perbandingan tersebut, yaitu: Gambar 8 Tabel Perbandingan Antara Bunga dan Bagi Hasil BUNGA BAGI HASIL  a.

Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.  b. Besarnya presentase berdasarkan besarnya jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.  c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijanjikan oleh pihak nasabah untung atau rugi.

Bagi hasil bertanggungjawab pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.  d. Jumalah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang �booming�. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai peningkatan jumlah pendapatan.  e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.

 Sedangkan secara khusus perbedaan antara bank syariah dan Bank Konvesional dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu: 1. Akad dan aspek legalitas Dalam Bank Syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena dilakukan berdasarkan Hukum Islam. Produk apapun yang dihasilkan semua perbankan, termasuk didalamnya perbankan syariah, tidak akan terlepas dari proses transaksi yang didalam istilah fiqih muamalahnya disebut dengan �aqd, kata jamaknya al-�uqud. Ada beberapa asal al-�uqud yang harus dilindungi dan dijamin dalam wadah Undang-Undang (UU) Perbankan Syariah.

Asas-asas yang dimaksud terutama: a. Asas ridha�iyyah (rela sama rela) Yang dimaksud asas Ridha�iyyah ialah bahwa transaksi ekonomi Islam dalam bentuk apapun yang dilakukan perbankan dengan pihak lain terutama nasabah harus didasarkan atas prinsip rela sama rela yang hakiki. Asas ini didasarkan pada sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadits, terutama surah an- Nisa: 29: ?? ????? ???? ?? ?? ??????? ????? ??????? ?????? ? ?????? ????? ?????? ???? ????? ??? ??? ?? ?? ? ?????? ?????? ?? ? ???? ???? �Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu�.

Atas dasar asas �an-taradhin, maka semua bentuk transaksi yang mengandung unsur paksaan (ikrah) harus di tolak dan dinyatakan batal demi hukum. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharapkan bentuk transaksi ekonomi apapun yang mengandung unsur kebatilan (al-bathil). b. Asas manfaat Maksudnya adalah bahwa akad yang dilakukan oleh bank dengan nasabah berkenaan dengan hal-hal (objek) yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Itulah sebabnya Islam mengharamkan akad berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudharat /mafsadat. c.

Asas keadilan Di mana para pihak yang bertransaksi (bak dan nasabah) harus berlaku dan diperlakukan adil dalam konteks pengertian yang luas dan konkret. Hal ini didasarkan pada sejumlah ayat al-Quran yang menjunjung tinggi keadilan dan anti kezaliman, termasuk pengertian kezaliman dalam bentuk riba seperti yang tersurat dalan Qs. Al-Hadid: 25: ? ?????? ????? ????? ???????? ?????? ???? ??????? ???????? ????? ?????? ??? ?? ?? ? ?????? ?????? ?????? ?? ?? ?????? ????? ?????? ???? ??? ??? ?????? ??????? ???? ???? ??? �Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.

Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul- Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa�. d. Asas saling menguntungkan Setiap akad yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat memberi keuntungan bagi mereka. Itulah sebabnya Islam pun mengharamkan transaksi yang mengandung unsur gharar (penipuan), karena hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain.

Selai asas-asas tersebut, ada beberapa hal lain yang juga harus diperhatikan dalam suatu akad, yaitu:  a. Akad yang dilakukan para pihak (bank dan nasabah) bersifat mengikat (mulzim); b. Para pihak yang melakukan akad harus memiliki itikad baik (husnun-niyah). Asas ini sangat penting diperhatikan dan akan turut menentukan kelangsungan dari pelaksanaan akad itu sendiri; c. Memperhatiakan ketentuan-ketentuan atau tradisi ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ekonomi selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perekonomian yang telah diatur oleh Islam, dan tidak berlawanan dengan asas-asas al-uqud (konsep Hukum Perikatan Islam); d.

Pada dasarnya, para pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam akad yang mereka lakukan, sepanjang tidka menyalahi ketentuan yang berlaku umum dan semangat moral perekonomian dalam Islam. 2. Lembaga Penyelesaian Sengketa Berbeda dengan Perbankan Konvesional, jika pada perbankan syariah terdapat sengketa atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, maka terhadap sengketa tersebut terdapat alternatif dalam penyelesaiannya.

Pada pihak yang bersengketa dapat menyelesaikannya di pengadilan umum atau di badan arbitrase yang menjalankan hukum materiil berdasarkan syariah. Badan arbitrase ini dimaksudkan untuk menangani setiap permasalahan hukum yang timbul secara lebih efisien dan efektif seerta sejalan dengan nilai-nilai syariah. Di Indonesia, badan arbitrase ini dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan pada tahun 1993. Dalam praktik, pada saat ini apabila ada perselisihan antara bank syariah dan nasabah, maka perselisihan tersebut lebih banyak diselesaikan di pengadilan umum yang mana pengetahuan hakimnya terutama mengenai ekonomi syariah masih kurang.

Padahal seharusnya perselisihan tersebut diselesaikan di Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) karena diharapkan masalah tersebut diselesaikan dan ditangani oleh mereka yang mengerti ekonomi syariah. Hal ini salah satunya disebabkan karena BAMUI dianggap tidak efektif. Saat ini sedang direncanakan pemebntukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang akan menggantikan kedudukan BAMUI dan diharapkan dapat bekerja secara efektif. 3.

Struktur Organisasi Bank syariah memiliki struktur yang relatif sama dengan Bank Konvesional dalam hal komisaris dan direksi, namun unsur utama yang membedakannya adalah keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi operasioal bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS berada pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah dan dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), setelah para anggota DPS tersebut mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN).

DSN merupakan badan otonom Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara eks-officio disebut oleh ketua MUI. DSN didirikan berdasarkan SK MUI No. Kep. 754/II/1999, dengan empat (4) tugas pokok, yaitu:  a. menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian; b. mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan; c. mengeluarkan fatwa atau produk keuagan syariah; d. mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Adapun fungsi dari Dewan Syariah Nasional adalah: a. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai denga syariah. b.

Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan lembaga keuangan syariah; c. Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah; d. Memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika terjadi penyimpangan dari garis panduan yang telah ditetapkan. Gambar 9 Struktur Bank Umum dan Cabang Syariah RUPS Dewan Komisaris DPS DIREKSI DIVISI DIVISI DIVISI DIVISI Kantor Cabang Kantor Cabang Kantor Cabang Gambar 10 Struktur Bank Umum Konvensional yang Membuka Kantor Cabang Syariah R U P S Dewan Komisaris DPRS D i r e k s i Divisi Divisi Divisi Unit Usaha Syariah Kantor Cabang Konvensional Kantor Cabang Konvensional Kantor Cabang Syariah Kantor Cabang Syariah Gambar 11 Skema Mekanisme Kerja DSN Pembahasan Pengajuan Pembahasan Pengajuan Pleno Dewan Syariah Nasional Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Jawaban Jawaban Dewan Pengawas Syariah sebagai wakil Dewan Syariah Nasional Pengajuan Jawaban Rancangan Produk/Jasa/ Implementasi dan Pertanyaan Sosialisasi Bagian/Departemen Terkait DIREKSI Gambar 12 Skema Mekanisme Kerja DPS Dewan Pengawas Syariah Rapat DPS dengan Direksi dan Bagian terkait Jawaban Pengajuan Rancangan Produk/Jasa/Pertanyaan DIREKSI Usulan Instruksi Bagian atau Departemen Terkait Diskusi Implementasi dan Sosialisasi Gambar 13 Skema Hubungan Antara MUI, BI, DSN, DPS, dan Bank Syariah Dewan Gubernur Bank Indonesia MUI Pengawasan Administrasi & Keuangan Biro Perbankan Syariah DSN Koordinasi Syariah Complianse RUPS Dewan Komisaris DPS Direksi BS  Mengawasi kegiatan usaha BS Sedangkan fungsi DPS adalah sebagai berikut: a. Mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar sesuai dengan ketentuan syariah; b.

Membuat pernyataan berkala bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah; c. Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. 4. Bisnis dan Usaha yang Dibiayai Bisnis dan usaha yang dilaksanakan Bank Syariah tidak terlepas dari kriteria syariah. Karena itu bank syarioah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan.

Dengan kata lain, terdapat sejumlah batasan dalam hal pembiayaan. Tidak semua proyek dan objek pembiayaan dapat didanai melalui dana bank syariah, namun harus sesuai dengan kaidah- kaidah syariah. Dalam perbankan syariah, suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut: a. Apakah objek pembiayaan halal atau haram; b. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan dalam masyarakat; c.

Apakah proyek termasuk perbuatan yang melanggar kesusilaan; d. Apakah proyek berkaitan dengan perjudian; e. Apakah usaha tersebut berkaitan dengan industri senjata yang ilegal; f. Apakah proyek merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, pola hubungan antara bank dengan nasabah bersifat kemitraan, di mana pada satu sisi nasabah merupakan penyandang dana atas usaha bank syariah, di sisi lain, nasabah merupakan pengelola atas bank syariah yang sebagian besar juga merupakan dana nasabah. 5.

Lingkungan dan Budaya Kerja Sebuah bak syariah harus memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Hal ini menyangkut etika kerja dan berusaha yang merupakan pantulan dari Sunnah Rasulullah SAW berkaitan dengan ketauladannannya dalam perilaku kehidupan sebagai aplikasi dari nilai-nilai syariah. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: a. Shiddiq Shiddiq adalah nilai yang lahir dari keyakinan yang mendalam bahwa Allah Yang Maha Tahu dan Melihat setiap tindakan manusia.

Nilai itu mamastikan bahwa pengelolaan bank syariah wajib dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. b. Amanah Hal ini merupakan nilai yang lahir dari keyakinan bahwa segala tindakan manusia akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah sehingga setiap tindakan manusia harus dapat dipertanggungjawabkan secara benar. Nilai dapat diterapkan dalam prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana yang diperoleh dari shahibul maal (pemilik dana) sehingga timbul rasa saling percaya antara pihak pemilik dana dan mudharaib (pengelola dana). c.

Al-Huriyah Wal Mas�uliyyah Merupakan nilai yang lahir dari keyakinan bahwa Allah telah memberikan manusia potensi akal sebagai khalifah Allah di dunia. Potensi tersebut menyebabkan manusia berkewajiban memakmurkan dunia dengan mengoptimalkan secara anugrah dengan baik dan benar. Nilai itu mamastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga menghasilkan kebaikan maksimum bagi semua pihak. d. Tabligh Tabligh adalah nilai yang lahir dari keyakinan bahwa Allah adalah Maha Benar, dan setiap manusia memiliki kewajiban untuk menyampaikan kebenaran.

Karena itu, setiap manusia harus menyampaikan secara terbuka, transparan dan komunikatif apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Nilai itu mewujudkan upaya secara berkesinambungan dalam melakukan sosialisasi dan mendidik masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk, dan jasa perbankan syariah. 6.

Paradigma Penghimpunan Dana Dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat, Bank Konvesional dan bank syariah mempunyai perbedaan paradigma yang sangat mendasar, yaitu: a.

Tujuan masyarakat menyerahkan dananya pada Bank Konvesional dimaksudkan untuk menabung dan mengamankan dananya dari kemungkinan hal-hal yang tidak diharapkan di samping menharapkan bunga dari dana yang disimpan tersebut. b. Tujuan masyarakat menyalurkan dananya pada bank syariah adalah untuk diinvestasikan dalam berbagai pembiayaan. Apabila memperoleh laba akan dibagi sesuai nisbah bagi hasil, sedangkan apabila menderita kerugian, maka msyarakat ikut menanggung kerugian tersebut.

Adanya perbedaan paradigma tersebut menyebabkan masyarakat yang menyerahkan dananya pada Bank Konvesional tidak akan pernah menanggung kerugian seandainay Bank Konvesional mengalami kerugian, justru dalam kondisi krisis moneter di mana tingkat bunga yang diterima semakin besar, masyarakat memperoleh keuntungan yang lebih besar karena pendapatan bunga yang diterima semakin tinggi. Sebaliknya, Bank Konvesional semakin terpuruk karena harus membayar bunga yang semakin tinggi sehingga kerugian pun semakin besar.

Hal tersebut tidak akan terjadi pada bank syariah karena masyarakat akan memeperoleh keuntungan yang diperoleh bank dan seandainya bank memperoleh kerugian maka masyarakat tidak akan memperoleh imbalan. 7. Kegiatan Operasional dan Pengelolaan Risiko Dengan adanya laranga riba dalam aktivitas ekonomi, para ahli hukum Islam sepakat bahwa transaksi yang perlu dijadikan dasar dalam perbanka syariah adalah prinsip bagi hasil dan rugi (profit and loss shring principle).

Disamping sistem bunga yang tidak digunakan oleh perbankan syariah, bank syariah juga bertransaksi langsung pada sektor riil si samping sektor finansial, sedangkan perbankan konvesional hanya dapat bertransaksi pada sektor finansial. Dalam penanaman dananya perbankan syariah tidak melakukan pemberian kredit namun dengan kegiatan pemiayaan dengan prinsip mudharabah dan musyarakah, bertransaksi jual beli dengan prinsip murabahah, salam, dan istishna, dan menyewakan aktiva dengan prinsip ijarah, disamping produk pelayanan perbankan umum lainnya.

Risiko usaha merupakan tingkat ketidak pastian mengenai suatu hasil yang diperkirakan atau diharapkan akan diterima. Risiko-risiko tersebut tidak hanya dari sisi aktiva atau penanaman dana juga dari sisi pasiva yaitu penurunan jumlah dana yang dapat dihitung dari masyarakat. Dalam perbankan konvesional, semakin tinggi ketidakpastian yang dihadapi berarti semakin besar kemungkinan risiko yang dihadapi, maka semakin tinggi pula premi risiko atau profit yang dibayar bank kepada nasabahnya.

Didalam perbankan syariah, karena sistem yang digunakan adalah profit sharing, maka premi atau profit tidak dikaitkan secara langsung dengan tingkat resiko yang terjadi. BAB IV NORMA ETIKA PERBANKAN SYARIAH Sebelumnya telah dibahas tentang wawasan nilai-nilai etika dan yang terkait dengannya. Nilai- nilai etika pada dasarnya merupakan kualitas-kualitas atau sifat-sifat yang mengandung unsur kebaikan yang terdapat di dalam tindakan, akhlak, watak, dan kebiasaan manusia.

Nilai-nilai etika dianggap sebagai bagian dari kepribadian individu dan memberikan corak khusus pada perilaku seta menjadi kriteria penyeleksi tindakan dan patokan untuk bertindak. Dalam aplikasinya, nilai-nilai etika mesti dihargai, dipelihara, dan dipertahankan mengingat esensinya yang sangat luhur dan agung. Nilai etika merupakan pandangan hidup tentang perbuatan manusia yang diwujudkan dalam bentuk pola tingkah laku atau tindakan-tindakan sosial yang berisi perintah, larangan, dan kebolehan, serta menjadi penilai atas pola tingkah laku tersebut.

Nilai-nilai etika secara ideal bersumber dari nash-nash al-Quran dan al-Sunnah sebagai landasan filosofis atau filsafat sistem. Nilai-nilai yang disarikan dari nash ini masih berwujud teks dan abstrak, belum nampak dalam bentuk perbuatan. Setelah nilai-nilai etika dijabarkan menjadi prinsip-prinsip etika secara sosiologis, maka terkesan bahwa nilai-nilai etika sudah tampil secara konkret. Inilah kemudian yang disebutkan dengan landasan sosiologis atau nilai dasar sistem, yakni prinsip dasar yang dianut dan dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Selanjutnya prinsip-prinsip etika dijabarkan menjadi norma-norma etika yang diistilahkan dengan landasan praktis atau nilai instrumental sistem, yakni norma-norma etika yang menjadi alat atau titik star untuk mencapai dan mengamalkan nilai-nilai etika secara filosofis dan sosiologis. Norma-norma etika selalu landasan praktis serta menjadi bagian dari landasan sosiologis, ingin melihat bagaimana prinsip-prinsip etika itu diaplikasikan leh suatu unit sosial tertentu dalam masyarakat. Prinsip-prinsip dan norma-norma etika merupakan bagian integral dari nilai-nilai etika yang tiedak dapat dipisahkan.

Prinsip-prinsip etika yang secara implisit terkandung di dalamnya norma- norma etika yang berbentuk perintah, larangan, atau kebolehan untuk melakukan tindakan sosial sekaligus menilai dan menentukan posisi tindakan tersebut menurut paradigma etika. Prinsip dan norma etika itu antara lain: 1) Menghindari Perbuatan Riba Menurut bahasa bahwa yang dimaksud dengan riba, yakni: �bertambah� (al-ziiyadah) karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang diutangnya; �berkembang� atau �berbunga� (al-namu) karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain; �berlebihan� atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari fiman Allah: Bumi jadi subur dan gembur (Q. S. al-Hajj/22: 5)68 ??? ???? ??? ?? ?? ?????? ???? ????? ????? ????? ?????? ???? ...

Apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.69 Para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan riba. Perbedaan itu disebabkan perbedaan mereka dalam memahami dan menginterprestasikan nash al-Quran dan Sunnah Rasul. Al-Jurjani 68 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam (Cet. I, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 57.

Lihat pula �Ali bin Muhammad al-Syarif al-Jurjani, Kitab al-Ta�rifat (Beirut: Maktabah Libnan, 1990), h. 114; Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat fi Gharib al-Quran (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, t.th.) h. 187. Abdulah Saeed, Islamic Banking and Interest; A Study of Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation (Leiden: EJ. Brill, 1996), terj. Arif Maftuhin, Meyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga bank Kaum neo-Revivalis (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2004), h. 25. 69 Departemen Agama RI.,

Al-Quran dan Terjemahannya, edisi baru (Jakarta: Intermasa, 1993), h. 512. misalnya merumuskan defenisi riba sebagai kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad atau transaksi�.70 Pendapat yang dikemukakan oleh Badr al-Din al-Aini bahwa riba secara syar�i adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya aqad atau transaksi jual beli yang riil.71

Pandangan al-Mali bahwa riba ialah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui pertimbangannya menurut ukuran syarak, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kepada kedua belah pihak atau salah satu keduanya.72 Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut syara� atau terlambat salah satunya.73

Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjamkan hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.74 Riba diharamkan karena: a) Allah swt. dan Rasul-Nya melarang atau mengharamkannya sesuai firman Allah swt. Q.S. al-Baqarah/2:275): ???? ????? ????? ???? ? ???? ?? ??????? ?????? ???? ???? ??? ?? ?????? ? ?????? ?????? ????? ? ?? ??? ?????? ??? ?? ???? ?????? ???? ?? ????? ????? ??? ? ?????? ???? ????? ?? ???? ? ?????? ??? ????? ????? ?????? ???? ?? ? ????? ????? ??????? ??? ??? Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.

keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.75

b) menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya; c) menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang piutang atau menghilangkan faidah utang piutang, maka riba telah cenderung memeras orang miskin dari pada menolong orang miskin.76 Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang defenisi dan sebab diharamkannya riba, namun pendapat mereka dapat dilihat bahwa riba adalah tambahan tanpa imbangan yang disyaratkan kepada salah satu di antara dua pihak yang melakukan utang-piutang atau tukar menukar barang.

Jika dikaitkan dengan utang-piutang maka makna riba adalah tanbahan tanpa imbangan yang disyaratkan oleh pihak yang meminjamkan atau berpiutang kepada pihak peminjam. 70 Ali bin Muhammad al-Syarif al-Jurjani, loc. cit. 71 Badr al-Din Abi Muhammad al-Aini, Umdah al-Qari; Syarh Sahih al-Bukhari, Jilid VI, Juz 11 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.) h. 199, dalam Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah (Cet. I; Yogyakarta; UII Press, 2005), h. 76.

72 Hendi Suhendi, op. cit., h. 58. 73 Ibid 74 Ibid. Lihat pula Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami (Cet. I; Kairo Mesir: Maktabah Wahbah, 1995), diterj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 183; Syaikh Abul A�la al-Maududi, Riba, terj. Isnando, Abul A�la al-Maududi Bicara Tentang Bunga dan Riba (Cet. I; Jakarta: Pustaka Qalami, 2003); Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, diterj. Soeroyo Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III (Cet.

II; Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2002), h. 13-35. 75 Departemen Agama RI.,op. cit., h. 69 76 Hendi Suhendi, op. cit., h. 58-61. Dalam al-Quran, istilah riba disebutkan sebanyak tujuh kali. Dari tujuh ayat tersebut, proses keharaman riba, sebagaimana yang terjadi pada khamr, berlangsung dalam empat tahap.77 Keharaman riba tidak langsung satu kali, tetapi berlangsung secara bertahap, terkait dengan kondisi dan kesiapan masyarakat dalam menerima suatu perintah.

Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Quran dan hadit-hadist Rasulullah Saw. Di dalam al-Quran, menurut Syekh Muhammad Mustafa al-Maragi proses keharaman riba disyariatkan oleh Allah swt secara bertahap. Tahap pertama Allah swt menunjukan bahwa riba itu bersifat negatif. Pernyataan ini disampaikan Allah swt dalam Q.S. al-Rum/30: 39: ?? ??????? ?? ??? ?????? ???? ?? ?????? ??? ? ?? ??? ????? ?? ????? ????? ?? ?????? ??? ?? ?????? ??? ???? ???????? Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.

dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).78 Ayat ini merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, yang menurut para mufasir ayat ini termasuk ayat Makkiyyah (ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekah). Akan tetapi, ulama tafsir sepakat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang riba yang diharamkan.

Al-Qutubi menyatakan bahwa Ibnu Abbas mengartikan riba dalam ayat ini dengan �hadiah� yang dilakukan orang- orang dengan mengharapkan imbalan berlebih. Menurutnya, riba dalam ayat ini termasuk riba mubah.79 Pada tahap kedua, Allah swt telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktek riba dikalangan masyarakat Yahudi. Hal ini disampaika-Nya dalah surah an-Nisa/4: 161: ????? ????? ????? ???? ???????? ??????? ? ??????? ????? ????? ?????? ??? ???? ??? ?????? ?????? Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil.

kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.80 Ayat ini, termasuk kelompok ayat Madaniah. Pada tahap ketiga, Allah swt mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh Allah dalah surah Ali-Imran/3: 130.81 ????? ?????? ????? ?? ?????? ? ?????? ?????? ?????? ?????? ? ?????? ????? ?????? Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Pada tahap terakhir, Allah swt. mengharamkan riba secara secara total dengan segala bentuknya.

Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat al-Baqarah/2: 275, 276, dan 278: 77 Ahmad Sukardja, �Riba, Bunga Bank, dan Kredit Perumahan� dalam Huzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku III (Jakarta: LSIK, 1995), h. 35-36, dalam Muslimin H. Kara, loc. cit. 78 Departemen Agama RI.,op. cit., h. 647. 79 Muslimin H. Kara, loc. cit. Ibid. 80 Departemen Agama RI.,op. cit., h. 150. 81 Ibid., h. 97. ???? ????? ????? ???? ? ???? ?? ??????? ?????? ???? ???? ??? ?? ?????? ? ?????? ?????? ????? ? ?? ??? ?????? ??? ?? ???? ?????? ???? ?? ????? ????? ??? ? ?????? ???? ????? ?? ???? ? ?????? ??? ????? ?? ??? ? ??? ? ??????? ????? ?????? ?? ???? ????? ?????? ???? ?? ? ????? ????? ??????? ??? ??? ?? ???? ??? ????? ??? ?????? ?????? ?????? ??????? ???????? ?????? ?????? ????? ?? ????? ???? ???? ?????? ???? ?? ?????? ?? ??? ?? ????? ?? ????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ?? ?? ????? ??? ????? Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.82

Dalam ayat 275 Allah swt menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda dengan riba, dalam ayat 276 Allah swt menyatakan memusnahkan riba, dan dalam ayat 278 Allah swt. memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para ahli fikih, bersikap pada akhir tahun ke delapan atau awal tahun kesembilan hijriah. Alasan keharaman riba dalam sunah Rasulullah saw di antaranya adalah sabda Rasulullah saw dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim tentang tujuh dosa besar, diantaranya adalah memakan riba.

Dalam riwayat Abdullah bin Mas�ud dikatakan bahwa Rasulullah saw melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, dan para penulisnya (HR. Abu Daud, dan hadis yang sama juga diriwayatkan Muslim dari Jabir bin Abdullah).83 Dalam hal keharaman riba tersebut diatas, ulama berbeda pendapat. Namun secara garis besarnya pandangan mereka terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama menyatakan riba hukumnya haram, baik banyak maupun sedikit kadarnya. Kelompok ini banyak didukung oleh kalangan ulama fikih, termasuk ulama kontemporer sepeti Abu al-A�la al-Maududi, Hasan al-Bana, dan lainnya.

Kelompok kedua hanya mengharamkan hukum riba yang berlipat ganda saja. Termasuk kelompok ini misalnya Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut. Di Indonesia ekonom seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Muhammad Hatta, juga termasuk orang-orang yang tidak memasukkan kategori bunga uang sebagai riba. Kelompok pertama memperkuat argumentasi dengan dalil dalam ayat-ayat al-Quran seperti surat al-Rum/30: 39; Ali Imran/3: 130; al-Baqarah: 275,276,278, dan 279, juga didukung dengan hadis- hadis, Nabi baik untuk menundukkan riba nasi�ah maupun fadl. Hadis riba nasi�ah yaitu: 82 Ibid., h. 69. 83 Abdul Aziz Dahlan, et. al., eds.,

Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 1498. Dari Jabir, Rasulullah melaknat riba, yang mewakilkannya, penulisnya, dan yang menyaksikannya�. (HR Muslim).84 Sedangkan keharaman riba fadl didasarkan pada hadits riwayat �Ubdah bin al-Shamit: Dari Ubadah berkata: saya mendengar Rasulullah Saw., melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, jagung dengan jagung, gandum dengan gandum, korma dengan korma, garam dengan garam, kecuali dengan sama (dalam timbangan/takaran) dan kontan. Barang siapa yang melebihkan salah satunya, ia termasuk dalam praktek riba�. (HR. Muslim).85

Kelompok kedua beralasan bahwa riba yang dilarang dalam al-Quran adalah yang masyhur, riba yang dipraktekkan masyarakat Arab pada masa kenabian yaitu dikenal dengan riba Jahiliah. Riba ini adalah riba nasi�ah, riba tangguhan yang mengandung unsur ad�afan muda�afah, berlipat ganda atau eksploitasi. Menurut Mahmud Syaltut, riba yang dimaksud dalam al-Quran dipahami dengan pendekatan urf pada saat ayat itu turun, maka yang dimaksud adalah riba yang berlipat ganda.86 Dalam kaitannya dengan perbankan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi syariah, di Indonesia pandangan tentang bunga bank dapat diklasifikasikan pada empat pandangan, yaitu: Pertama, pandangan yang mengatakan bunga bank adalah riba sehingga hukumnya haram, baik sedikit maupun banyak unsurnya; Kedua, pandangan yang mengatakan bahwa bunga bank bukan termasuk riba sehingga ia halal untuk dipraktikkan. Ketiga, pandangan yang mengambil jalan tengah pada kedua pandangan di atas.

Mereka mengkategorikan riba dalam klasifikasi hukum mutasyabihat, sesuatu yang samar ketegasan hukumnya. Olehnya itu, mereka berpendapat sebaiknya bunga bank tidak dipraktikkan. Salah seorang yang berpendapat bahwa bunga Bank itu dibolehkan karena tidak sama dengan riba adalah Syafruddin Prawiranegara.87 Ia berpendapat bahwa riba atau ia yang sebut dengan woeker88 berbeda dengan bunga bank.

Bunga bank adalah rente yaitu tingkat bunga yang wajar, yang hanya boleh dipungut berdasarkan undang-undang, tidak dipungut secara liar tanpa adanya aturan yang mengatur keberadaannya. Sedangkan riba menurutnya adalah tiap-tiap laba yang abnormal yang diperoleh dalam jual beli bebas, tetapi satu pihak terpaksa menerima kontrak jual beli itu karena kedudukannya lemah.89 Bunga bank yang dilakukan dengan tidak berdasarkan pada prinsip eksploitasi bukan merupakan riba.

Menurutnya, baik laba maupun bunga apakah tetap atau naik turun, jika didasarkan pada persetujuan yang bersih dan ihklas adalah sah dalam pandangan Allah swt. Sebaliknya laba yang 84 Abu Husain bin Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairiy, Sahih Muslim, dalam Hadith Encyclopedia ver. 1 [CD ROM], Harf Information Technology Company, 2000, hadis no. 2995. 85 Ibid., hadis no. 2969. 86 Mahmud Syaltut, Al-Fatawa (Kairo: Dar al-Qalam, t.th.), h. 353, dalam Muslimin H. Kara, op. cit., h. 80.

 87 Syafruddin Prawiranegara adalah mantan Gubernur Bank Indonesia pertama dan Menteri Keuangan di Kabinet Syahrir III serta pemikir ekonomi dalam Partai Masyumi yang beraliran Neo-Klasik dan fasih dalam berbahasa Belanda. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa riba adalah hasil kecurangan atas perdagangan, sedangkan bunga bank itu bukan hasil kecurangan dengan mendasarkan diri pada ayat al-Quran yang mengatakan bahwa riba itu haram, sedangkan perdagangan itu halal, maka bunga bank itu hukumnya halal.

Demikian pula tokoh Muhammadiyah Kasman Singodimedjo berpendapat bahwa bunga bank itu halal berdasarkan hasil analisisnya tentang keadaan ekonomi umat Islam, maka pendirian bank-bank oleh umat Islam itu merupakan suatu keharusan. Lihat M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Cet. I; Jakarta: LSAF, 1999), h. 409. 88 Woeker merupakan istilah Belanda yang menggambarkan keadaan bunga yang terlalu tinggi. Lihat Muslimin H. Kara, op.cit., h. 80. 89 Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (Kumpulan Karangan Terpilih), Jilid II (Jakarta: Mas Agung, 1988), h.

290, dalam Muslimin H. Kara, ibid., h. 81. berlebihan termasuk bunga yang berasal dari perdagangan barang atau uang tidak jujur adalah riba. Sebab perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Allah swt., manusia harus berbuat baik dan tidak menipu serta menekan sesamanya.90 Hanya saja ia menegaskan bahwa bunga yang dimaksudkan itu, tingginya masih dalam batas- batas yang masih normal, yaitu sesuai dengan yang lazim berlaku di pasar bebas, tidak melampaui batas.91 Walaupun Syarifuddin sendiri mengakui bahwa tidak mudah mengukur batas yang jelas antara yang wajar dan yang melampaui batas.

Pandangan Syarifuddin didasarkan pada asumsinya bahwa sifat keuntungan yang diperoleh dari pinjaman uang maupun barang adalah sama. Ia menolak anggapan sebagian besar pandangan ulama yang menganggap riba adalah setiap tambahan, atau rente atau apa pun yang namanya yang timbul dari pinjaman uang. Sedangkan keuntungan yang timbul dari penjualan barang, berapapun tingginya, dan meskipun keuntungannya itu diperoleh atas penjualan dengan kredit, dipandang sebagai halal karena dasarnya jual beli.92

Bagi Syarifuddin, tidak rasional menamakan keuntungan yang diperoleh dari pemberian kredit berupa uang adalah riba yang haram, sedangkan keuntungannya yang diperoleh dari kredit berupa penjualan barang adalah halal. Sebab meminjamkan uang atau menjual barang berupa kredit, uang diakui oleh debitur perjanjian lain yang menyimpang.93 Jadi,menurutnya kedua-keduanya halal, tidak dimasukkan dalam kategori riba, asalkan tidak memandang unsur eksploitasi. Pandangan yang sama dikemukakan Muhammad Hatta, mantan wakil presiden pertama itu dengan jelas membedakan antara riba dan bunga bank yang ia sebut rente.94

Bagi Hatta, riba adalah kelebihan dari pinjaman yang bersifat komsumtif sedangkan bunga adalah balas jasa atas pinjaman yang digunakan untuk kepentingan yang bersifat produktif.95 Riba diharamkan karena dalam perbuatan tersebut akan menyebabkan kesengsaraan orang yang sedang mengalami kesulitan sedangkan rente sebagai sebuah kegiatan pinjaman yang produktif akan membantu pencapaian ekonomi. Dengan adanya pinjaman produktif itu seseorang dapat meningkatkan taraf ekonomi keluarganya.

Pandangan yang mengatakan halalnya bunga bank juga dikemukakan oleh Kasman Singodimedjo. Pembungaan uang yang dilakukan secara tidak resmi atau renteiner dikategorikan sebagai riba sedangkan pembungaan uang yang dilakukan pemerintah melalui lembaga perbankan tidak masuk dalam kategori riba. Dia juga termasuk salah seorang yang menganjurkan diperlukannya lembaga perekonomian Islam dalam masyarakat Islam, seperti bait al-mal dan lembaga zakat, disamping perlu ada lembaga wakaf dan wasiat.96 Lembaga-lembaga tersebut seharusnya dikelola oleh negara agar fungsi sosialnya dapat tercapai secara baik.

Sebab lembaga perekonomian Islam, utamanya bait al-mal dan lembaga zakat merupakan stabilitator kesosialan atau kemasyarakatan.97 Sejalan dengan itu pula, A. Hassan, pendiri PERSIS dan mempunyai pemikiran yang progresif, membicarakan persoalan riba yang menjadi kontroversi di kalangan umat Islam. Dalam bukunya, ia membedakan antara riba yang dilarang dengan yang dibolehkan. Namun dalam aspek riba dan bunga ia tidak membuat perbedaan keduanya. Menurutnya, bunga dan riba pada hakekatnya sama yaitu tambahan pinjaman atas uang, yang dikenal dengan riba nash�ah, dan tambahan atas barang yang disebut riba fadl.

Yang membedakan keduanya yaitu sifat bunganya yang berlipat ganda, tanpa batas. Oleh karena itu, menurut A. Hassan 90 Ibid. 91 Ibid. 92 Ibid., h. 82. 93 Ibid. 94 Muhammad Hatta, �Islam dan Rente� (Beberapa Pasal Ekonomi: Jalan ke Ekonomi dan Bank (t.t.: t.p., 1958), dalam Muslimin H. Kara, ibid. 95 Dawam Rahardjo, �Ensiklopedi Riba�, dalam Jurnal Ulumul Quran, (Jakarta: LSAF, 1991), Vol. II, h. 45, dalam Muslimin H. Kara, ibid., 96 Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan (Jakarta: Permata, t.th.), h. 170-171, dalam Muslimin H. Kara, ibid., h. 83. 97 Ibid. tidak semua riba itu dilaranga, jika riba itu diartikan sebagai tambahan atas utang, lebih dari yang pokok yang tidak mengandung unsur perlipat ganda maka ia dibolehkan.

Namun bila tambahan itu mengandung unsur eksploitasi atau berlipat ganda, ia dikategorikan dalam perbuatan riba yang dilarang oleh agama. Argumen yang dikemukan oleh A. Hassan didasarkan pada surat Ali-Imran/3: 130 yang menjelaskan riba adalah perbuatan yang bersifat eksploitatif, ad�afan muda�afah. Dengan demikian, lanjut A. Hassan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang mengandung salah satu dari tiga unsur berikut, yang mengandung unsur paksaan, tambahan yang ada batasnya, atau berlipat ganda dan terdapat syarat yang memberatkan, seperti tingkat bunga yang terlalu tinggi.98 Berbeda dengan A.

Hassan, Dawam Raharjo menilai kalau bunga bank itu diartikan sebagai tambahan maka tetap dikategorikan sebagai riba.99 Pandangan yang mengharamkan bunga bank sebagai perbuatan yang masuk dalam kategori riba dekemukakan oleh A.M. Saefuddin, seorang tokoh yang concern terhadap wacana pembentukan dan praktek ekonomi Islam di Indonesia, di samping Karnaen Purwaatmadja, Amin Aziz, Murasa Sarkaniputra dan lainnya.

Menurut Saefuddin, pelanggaran riba merupakan bagian nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam, disamping zakat, kerja sama ekonomi, jaminan sosial, dan peran negara.100 Bagi A. M. Saefuddin, bunga identik dengan riba, olehnya itu perbuatan membungakan uang adalah haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak tingkat bunganya. Menurutnya bahwa bunga pinjaman uang, modal dan barang dengan segala bentuk dan macamnya, baik untuk tujuan produktif atau konsumtif, dengan tingkat bunga yang tinggi atau rendah, dan dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek adalah termasuk riba.101 Pandangan tetang uang, sebagaimana ulama lainnya, didasarkan pada ayat tentang keharaman riba yang ada dalam al-Quran seperti surat al-Baqarah/2: 275-280, Ali-Imran/3: 130; 30 : 39, dan tentu saja diperkuat lagi dengan hadits Nabi. Secara aqli menurut A.M.

Saefuddin, hakekat pelarangan riba (bunga bank) dalam Islam adalah fenomena penolakan terhadap resiko finansial tambahan yang detetapkan dalam transaksi uang atau modal maupun jual-beli yang dibebankan kepada salah satu pihak (debitur) saja sedangkan pada pihak yang lain (kreditur) dijamin keuntungannya. Tampaknya aspek keadilan tidak mendapat perhatian dan pertimbangan dalam transaksi semacam ini. Pendapat yang sama juga dikemukakan Karnaen Purwaatmasja, seorang yang berjasa terhadap terbentuknya perbankan Islam di Indonesia.

Menurutnya, bunga bank adalah haram dan keharamannya dianalogkan dengan keharaman meminum minuman keras. Status keharamannya tidak tergantung sedikit atau banyaknya minuman itu, tapi terletak pada zat sendiri yang secara aini memang hukumnya haram. Lebih jauh ia mengatakan bahwa keharaman bunga bank disamakan dengan riba bukan karena besar atau kecilnya presentase tingkat bunga, tetapi oleh karena penerapan atau penggunaan sistem presentase itu sendiri yang mengandung unsur melipatgandakan.102 Pendapat senada juga dikemukakan Murasa Sarkaniputra, bahwa keharaman bunga uang sudah jelas petunjuknya dalam ajaran agama Islam.

Pelarangan bunga bank juga berdasarkan argumen yang dikemukakan oleh para filosof, seperti Socrates dan Arititoles yang menilai bahwa �uang dianggap bagian uang betina yang tidak bertelur�.103 Dilihat dari aspek ekonomipun praktek bunga berimplikasi secara negatif kepada perkembangan ekonomi itu sendiri. Dalam praktek bunga ada pihak, kreditur, yang mengambil 98 A. Hassan, Riba: Beberapa Pembahasan Masalah Riba (Bangil: Percetakan Persatuan, 1975). Lihat pula M. Dawam Rahardjo, op. cit., h. 50. dalam Muslimin H. Kara, ibid., h. 84. 99 Ibid. 100 A.M.

Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 53- 83, dalam Muslimin H. Kara, ibid. 101 Ibid. 102 Karnaen Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia (Depok: Usaha Kami, 1996), h. 252, dalam Muslimin H. Kara, ibid. h. 85. 103 Murasa Sukarniputra, �Ulama, Uang, dan Utang�, dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, Kamis-Jumat 27-28 Desember 2001, dalam Muslimin H. Kara, ibid. keuntungan tanpa memikul resiko. Ini berakibat bahwa si peminjam tidak memperoleh keuntungan yang seimbang dengan tingkat bunga, sehingga menimbulkan krisis.104 Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan internasional maupun nasional telah menimbulkan ketimpangan ekonomi seperti pembengkakan utang luar negeri, semakin melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.105 Pengalaman hancurnya perbankan nasional semenjak dilanda krisis memperkuat argumen ini.

Bunga juga tidak membimbing ke arah pembentukan dan penanaman modal, investasi ril. Karena bunga dijadikan mata pencaharian tanpa memandang pemberian pinjaman itu digunakan untuk sektor produksi lama. Uang bukan hanya sekedar sebagai alat pembayaran, tapi dijadikan komoditi. Memperkuat argumennya, A.M. Saefuddin meminjam kesimpulan Lord Keynes tentang bunga bank sebagai berikut: Individu-invidu itu tidak menyimpang dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan, tetapi dengan tujuan untuk membentuk modal, sehingga bertambalah kegiatan dunia spekulasi dengan tidak mengingat besarnya suku bunga karena keuntungan yang diperoleh lebih besar bila mereka mengeksploitir simpanannya ...

suku bunga yang tinggi menyebabkan macetnya pasar atau terhentinya kegiatan industri dan lalu secara negatif memepengaruhi penerimaan yang merupakan sumber produksi.106 Pandangan mengenai bunga bank dikemukakan oleh berbagai organisasi sosial keagamaan Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan lainnya. Oraganisasi-oraganisasi tersebut memberikan fatwa melalui lembaga-lembaga fatwa yang mempunyai otoritas dalam mengeluarkan fatwa dari masing-masing organisasi.

Muhammadiyah melalui Majelis Tarjiyahnya, suatu lembaga yang ada dalam struktur oraganisasi Muhammadiyah yang menangani aspek hukum Islam dan memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa, telah melakukan pengkajian dan memberikan fatwa yang menyangkut ekonomi dan keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan. Pada sidang Majelis Tarjih tahun 1968 dan 1972, Muhammadiayah mengeluarjkan pendapat organisasi tentang perbankan dan persoalan yang berkaitan dengan bunga bank. Sedangkan yang berkaitan dengan bidang keuangan secara umum dikeluarkan pada tahun 1976, dan koperasi simpan pinjam tahun 1989.107 Muhammadiyah dengan tegas mengharamkan riba dalam praktek perekonomian umat Islam, namun masalah bunga bank dianggapnya sebagai al-mas�alah al-ijtihadiyyat, sebab bank merupakan lembaga keuangan yang baru, belum ada pada masa awal Islam.108 Sehingga keterkaitan antara bunga bank dengan riba yang diharamkan menjadi persoalan yang memerlukan ijtihad.

Dalam kaitan itu, Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum bunga bank dari bank-bank milik pemerintah hukumnya syubhat. Sedangkan bunga bank dari bank-bank milik swasta diharamkan. Keputusan ini diambil ketika sidang Majelis Tarjih di Sidoarjo tahun 1969, memutuskan sebagai berikut: Pertama, riba hukumnya haram dengan nash Al-quran dan Sunnah; Kedua, bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal; Ketiga, bunga yang diberikan oleh bank- bank milik negara kepada para nasabanya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara mutasyabihat.109 Hukum mutasyabihat terhadap bunga bank milik pemerintah menurut pandangan Muhammadiyah didasarkan atas pertimbangan dalam sidang Majelis Tarjiyah tersebut, sebagai berikut: Pertama, bahwa riba yang diharamkan dalam ajaran agama Islam adalah sifat pembungaan yang disertai unsur penyalah gunaan kesempatan dan penindasan, sedangkan yang berlaku dewasa ini sama sekali tak 62. 104 Ibid. 105 Ibid. 106 Ibid.

107 Muhammad Syai�i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 108 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos, 1995), h. 121, dalam Muslimin H. Kara, op. cit., h. 87. 109 The Lottery, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah (Cet. III; Yogyakarta: PP. Muhammadiyah, t.th.), h. 304, dalam Muslimin H. Kara, Ibid., h. 87. menimbulkan rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapa pun yang bersangkutan.110 Dalam hal itu mungkin hanya berlaku pada bank milik pemerintah.

Pandangan ini sesuai dengan konteks pada saat itu karena tingkat suku bunga pada bank, khususnya bank pemerintah ditentukan pemerintah melalui undang-undang, nanti setelah lahirnya paket deregulasi 7 Juli 1988, tingkat suku bunga ditentukan oleh bank itu sendiri. Kedua, bank negara dianggap badan yang mendakup hampir semua kebaikan dalam alam perekonomian modern dan dipandang memiliki norma yang menguntungkan masyarakat di dalam kemakmurannya. Bunga yang dipungut dalam sistem pengkreditannya sangat rendah sehingga sama sekali tak ada pihak yang dikecewakan.111 Perbedaan keputusan hukum bunga bank pemerintah dan swasta tersebut berkaitan dengan misi yang diemban bank pemerintah berbeda dengan bank swasta, disamping tingkat suku bunga bank pemerintah lebih rendah dari bank swasta.

Keputusan Majelis yang berkaitan dengan hukum bunga koperasi simpan pinjam dibahas pada sidang Majelis Tarjih Muhammadiyah di Malang tahun 1989. Majelis memutuskan bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya mubah karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan-pinjam bukan riba. Asalkan tambahan pembayaran tersebut memperhatikan beberapa faktor, diantaranya tidak melampaui laju inflasi.112 Walaupun demikian, sebagaimana pandangan para ulama dan organisasi lainnya, Muhammadiyah tetap memandang riba jahiliah sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah saw. Sebagai sesuatu yang haram.

Hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi saw : �Dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda: (jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, jagung dengan jagung, gandum dengan gandum, korma dengan korma, garam dengan garam itu mesti seimbang dan sepadan, pun jual beli perak dengan perak mesti seimbang, dan barang siapa yang menambah atau meminta tambah, termasuk riba.� (HR. Muslim)113 Keputusan yang terkait dengan bunga bank ini, Nahdatul Ulama (NU) telah beberapa kali melakukan sidang untuk membicarakan persoalan tersebut.

Keputusan pertama diambil ketika sidang Bahtsul Masail pada tahun 1927 di Surabaya. Dalam sidang tersebut, para ulama NU mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan bunga bank. Ada tiga pendapat yang berkembang di kalangan peserta sidang menyikapi masalah itu, yaitu: Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank haram sebab termasuk utang yang dipungut manfaatnya (rente); Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank halal karena tidak ada syarat waktu akad berlangsung.

Pandangan ini didasarkan pada pendapat para ahli hukum bahwa adat yang berlaku itu tidak menjadi syarat; dan Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank dikategorikan sebagai syubhat karena para ahli hukum berselisih paham tentang hukum bunga bank.114 Dengan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut akhirnya Lajnah Bahtsul Masail memutuskan bahwa pilihan yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yaitu bunga bank hukumnya haram.115 Lajnah nampaknya tidak memberikan keputusan yang tegas tentang keharaman dan kehalalan bunga bank, tetapi hanya memberikan semacam alternatif kepada warga NU bahwa pandangan yang diambil dengan lebih hati-hati adalah haram. 110 Ibid. 111 Ibid. 112 Muhammad Syai�i Antonio, op. cit.,h.

63 113 Abu Husain bin Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairiy, op. cit., h.2971. 114 Muhammad Syafi�i Antonio, loc. cit. 115 A. Azis Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdatul Ulama (Surabaya: Dinamika Press, 1997), h. 21, dalam Muslimin H. Kara, op. cit., h. 90. Perbedaan pandangan di kalangan ulama NU tentang hukum bunga bank terus berlanjut sampai sidang Lajnah Bahtsul Masail yang diselenggarakan di Bandar Lampung pada tahun 1982. Sidang tersebut mengagendakan pembahasan secara lebih lengkap bukan saja mengenai hukum bunga bank, tetapi sudah meluas pada persoalan keberadaan perbankan Islam.

Sejumlah keputusan telah dihasilkan sekaitan dengan agenda tersebut, yaitu: Pertama, pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram; Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh; dan Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa persoalan bunga bank adalah samar-samar atau syubhat.116 Walaupun secara umum ada tiga kluster pemikiran dari para ulama NU mengenai hukum bunga bank, namun masing-masing dari tiga kelompok tersebut, utamanya kelompok pertama dan kedua, terjadi pula perbedaan pendapat.

Kelompok pertama terdapat tiga pendapat yang dapat diidentifikasi, yaitu: Pertama, bunga bank dengan segala jenisnya sama dengan riba, sehingga hukumnya haram; Kedua, bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram, tetapi bunga itu dapat dipungut sementara sebelum beroperasinya sistem perbankan Islami yang tidak menerapkan sistem bunga dalam operasionalisasinya; dan Ketiga, bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram, tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang mendesak. Sementara itu, pendapat kelompok kedua dapat dikategorisasikan sebagai berikut: Pertama, bunga konsumtif sama dengan riba dan hukumnya haram, sedangkan bunga produktif tidak sama dengan riba dan hukumnya halal; Kedua, bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba dan hukumnya halal; Ketiga, bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan di bank hukumnya boleh; dan Keempat, bunga bank tidak haram bila bank tersebut menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.117 Dengan melihat pendapat para ulama NU yang beragam tersebut, terkesan bahwa mereka belum tegas secara holistik dalam menyikapi ststus hukum bunga bank.

Namun salah satu solusi yang dapat menetralisir perbedaan pendapat tersebut adalah dengan hadirnya sistem perbankan syariah yang bebas dari bunga. MUI Sumatera Utara bersama Yayasan Baitul Makmur Sumatera Utara melakukan sidang serupa pada tahun 1985. Sidang tersebut mengkaji secara ilmiah tentang riba dan bunga bank yang sangat kontroversial di mata publik. Sidang tersebut melahirkan sejumlah keputusan, yaitu: Pertama, perbankan dan lembaga-lembaga keuangan nonbank adalah salah satu subsistem dari sistem ekonomi dewasa ini yang sulit untuk dihindari; Kedua, riba yang sifatnya adh�afan mudha�afah (berlipat ganda) hukumnya adalah haram sesuai dengan nas yang sahih dari al-Quran dan al-Sunnah; dan Ketiga, bunga bank adalah persoalan yang masih diperdebatkan oleh para ulama yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: (a) bunga bank haram karena dianggap sama dengan riba; (b) bunga bank boleh karena dianggap tidak sama dengan riba sebagaimana yang diharamkan oleh syariat Islam; dan (c) bunga bank haram, akan tetapi belum ada jalan keluar untuk menghindarkannya, maka dibolehkan (karena dianggap darurat).118 Hasil kajian ilmiah di atas rupanya tidak memberikan kesimpulan tegas tentang hukum bunga bank, sama dengan Lajnah Bahtsul Masail sebelumnya yang hanya mengkategorisasi pendapat para ulama saja tentang hukum bunga bank.

Kontroversi ini terus berlanjut hingga ketika MUI melakukan Lokakarya tentang perbankan syariah dan hukum bunga bank pada tahun 1990. Sebenarnya jika dianalisis lebih lanjut lahirnya pendapat yang beragam tersebut tidak perlu terjadi karena dalam al-Quran telah mensinyalir tentang keharaman riba dan segala sesuatu yang terkait 116 Ibid. 117 The Lottery, Keputusan Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Ulama di Bandar Lampung (Jakarta: PBNU, t.th.), h. 12-14. Lihat pula A. Azis Masyhuri, op. cit, h. 368-370; Rifyal Ka�bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), h.

191-192. 118 MUI Sumatera Utara dan Yayasan Baitul Makmur Sumatera Utara, Riba dan Bunga Bank (Medan: Kesimpulan Muzakarah dan Pengkajian Ilmiah tanggal 2 dan 16 Juni 1985, 1986), h. 7, dalam Muslimin H. Kara, op. cit., h. 92. dengannya berdasarkan QS. Al-Baqarah/2: 278-279 sebagai ayat terakhir yang menjelaskan tentang keharaman riba. ?? ?? ???? ?????? ?????? ?? ??? ????? ?????? ???? ?? ?????? ?? ??? ?? ????? ?? ????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ?? ?????? ? ??????? ???? ???? ???? ??? ? ??????? Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.119 Larangan yang terkandung dalam ayat tersebut bersifat menyeluruh (kulli) dengan segala aspek yang berkenaan dengan riba, termasuk sisa riba yang telah dilaksanakan.Dengan begitu, pandangan yang memberikan perbedaan antara bunga bank dengan woeker adalah kurang tepat karena yang diharamkan oleh Allah swt.

dalam al-Quran bukan persoalan kuantitas riba, yakni sedikit atau banyaknya, tetapi hukum dasar dari riba itu sendiri yang diharamkan. Kasus serupa dapat disamakan dengan keharaman meminum minuman keras. Letak keharamannya bukan pada aspek kuantitas berupa sedikit atau banyaknya kandungan alkohol dalam minuman keras itu, tetapi zat alkohol itu sendiri yang sudah diharamkan.

Hasil telaah menunjukkan bahwa baik riba maupun bunga bank keduanya mempunyai unsur yang sama, yaitu unsur eksploitatif yang terakumulasi dalam kalimat adh�afan mudha�afah. Bunga bank yang dipraktekkan di zaman modern sekarang ini mengandung unsur eksploitasi karena faktanya bank selaku pemberi kredit tidak menanggung sedikitpun resiko dari kredit yang dikeluarkannya, sebaliknya justru debitur selaku penerima kredit akan menanggung semua resiko yang timbul, bahkan jumlah utangnya akan bertambah bila angsurannya sudah jatuh tempo.

Berlakunya sistem bunga juga akan berakibat pada semakin tingginya biaya produksi karena semakin tinggi suku bunga, maka akan semakin tinggi pula harga yang ditetapkan terhadap suatu barang.120 Sementara itu pada sisi lain, dianggap tidak rasional apabila memberikan pandangan tentang adanya perbedaan hukum bunga bank milik pemerintah dan hukum bunga bank milik swasta karena bunga bank, baik bank pemerintah maupun swasta memiliki kewenangan untuk menentukan tingkat bunganya sesuai dengan mekanisme pasar.

Kondisi ini dalam kenyataannya dapat saja berbeda tingkat bunga yang diberlakukan. Boleh jadi bunga bank milik pemerintah lebih rendah dari pada bunga bank milik swasta atau sebaliknya. Berdasarkan deskripsi di atas, semakin memberikan keyakinan sekaligus solusi bahwa pendirian bank syariah merupakan suatu keharusan guna menetralisir berbagai pendapat para pakar dan ulama tersebut, utamanya bagi mereka yang menganggap bunga bank sebagai sesuatu hal yang syubhat.

2) Memberikan Sedekah/Zakat Sedekah berasal dari bahasa Arab, yaitu shadaqa berarti �benar�. Pemberian dari seorang muslim secara sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu; atau suatu pemberian yang dilakukan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridha Allah swt. dan pahala semata.121 Al-Jurjani dalam bukunya al-Ta�rifat (Definisi-definisi), mengartikan sedekah sebagai pemberian seseorang secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya yang diiringi oleh pemberian pahala dari Allah swt. Berdasarkan pengertian ini, maka infaq (pemberian sumbangan) harta untuk kebaikan termasuk dalam kategori sedekah.122 119 Departemen Agama RI., op.cit., h. 70. 120 Muhammad Syai�i Antonio, op. cit. h. 67 121 Abdul Aziz Dahlan, et. al., eds., op. cit., h. 1617. 122 Ibid. Ulama fikih sepakat mengatakan bahwa sedekah merupakan salah satu perbuatan yang diisyaratkan dan hukumnya adalah sunnah.

Kesepakatan mereka itu didasarkan pada surat al- Baqarah/2: 280: ????? ?????? ???? ?? ? ??? ??? ?????? ??? ? ????? ??? ????? ???? ?? ??? ??? Dan jika orang yang berutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau keseluruhan utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.123 Dalam hadis Nabi saw. Terungkap bahwa Nabi saw. menganjurkan kepada umatnya agar bersedekah walaupun hanya dengan sebutir kurma, karena hal itu dapat menutup atau menghindarkan diri dari kelaparan dan dapat memadamkan kesalahan yang dilakukan sebagaimana air memadangkan api.124 Dalam konsep Islam, sedekah tidak hanya terbatas pada materi saja, tetapi lebih dari itu, sedekah mencakup seluruh perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun nonfisik. Berdasarkan analisis hadis Nabi saw.,

para ahli fikih membagi sedekah menjadi: (1) memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada orang miskin; (2) berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan; (3) berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersengketa; (4) membantu seseorang yang akan menaiki kendaraan yang akan ditumpanginya; (5) membantu orang mengangkat/memuat barang-barangnya ke dalam kendarannya; (6) menyingkirkan rintangan-rintangan dari tengah jalan, seperti duri, batu, kayu, dan lain-lain yang dapat mengganggu kelancaran laulintas; (7) melangkahkan kaki ke jalan Allah; (8) membacakan/mengucapkan zikir kepada Allah, seperti tasbih, tahmid , takbir, tahlil, istighfar, dan lain- lain; (9) menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kemungkaran; (10) membimbing orang yang buta, tuli, bisu serta menunjuki orang yang ameminta petunjuk tentang sesuatu, seperti tentang alamat rumah dan lain-lain; dan (11) memberikan senyuman kepada orang lain.125 Antara sedekah dengan zakat memiliki perbedaan, di antaranya: Pertama, dari segi subyek, sedekah disunatkan kepada orang beriman, baik miskin maupun kaya, orang kuat atau lemah. Sedangkan zakat diwajibkan kepada orang yang mampu, seperti hadis Nabi saw.

menyatakan bahwa sesungguhnya Allah mewajibkan zakat kepada mereka, yaitu dari harta benda yang mereka miliki yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir (fakir) di antara mereka.� (HR. Bukhari dan Muslim).126 Kedua, dari segi yang disedekahkan, sedekah yang diberikan tidak terbatas pada harta secara fisik, melainkan mencakup semua kebaikan. Sedangkan pada zakat yang dikeluarkan terbatas pada harta kekayaan secara fisik, seperti hasil pertanian, peternakan, perdagangan, dan hasil profesi lainnya.

Ketiga, dari segi penerima (obyeknya), zakat hanya diberikan kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah swt. dalam Q.S. al-Taubah/9:60: ?? ???? ??? ????????? ?????? ??? ?????? ???????? ????? ????????? ????????? ??????? ??????? ???? ? ???? ???? ???? ??? ? ?? ?? ????? ? ?????? ???? Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus- pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.127 123 Departemen Agama RI., loc. cit. 124 Abdul Aziz Dahlan, et. al., eds., loc. cit. 125 Ibid., h. 1618. 126 Ibid.

127 Departemen Agama RI., op. cit., h. 288. Adapun sedekah sunnah selain kepada yang delapan golongan, boleh diberikan kepada yang lain, seperti kepada anak, istri, pelayan, dan sebagainya.128 Sedekah menjadi prinsip utama dalam sistem perbankan syariah yang membedakannya dengan sistem perbankan konvensional. Para nasabah diajak untuk mengeluarkan sedekah, bahkan di perbankan syariah telah dibuat suatu sistem yang mengalokasikan sedekah secara tersendiri dalam produk bank syariah.

Oleh karena itu, anjuran untuk bersedekah merupakan suatu nilai etika yang mesti dijunjung tinggi bagi mereka yang terlibat dalam transaksi perbankan syariah. 3) Berbisnis atas Dasar Keridhaan Al-Ridha berarti menerima segala yang terjadi dengan senang hati karena segala yang terjadi itu merupakan kehendak Allah swt. atau tidak menentang hukum dan ketentuan Allah swt.129 Dalam fikih, persoalan ridha banyak dibahas yang berkaitan dengan muamalah, yakni sikap sukarela yang dimiliki oleh pihak yang terlibat dalam transaksi.

Ridha adalah persoalan hati dan bersifat psikologis yang tidak dapat diindera secara langsung, namun nampak dalam bentuk ungkapan ijab dan kabul. Pernyataan ridha menjadi rukun dari sebuah akad transaksi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan, dan sebagainya. Sebaliknya ada pula akad yang tidak memerlukan pernyataan ridha dari pihak kedua, seperti akad wasiat atau hibah. Menurut ulama fikih bahwa akad-akad seperti ini yang diperlukan hanyalah kerelaan pihak yang memberi wasiat dan hibah yang diungkapkan melalui ijab, baik secara lisan dengan dihadiri oleh para ahli waris, maupun melalui tulisan atau surat wasiat dan hibah.

Sedangkan pihak penerima tidaklah harus menyatakan kabulnya terhadap wasiat atau hibah tersebut. Akad seperti ini disebut akad yang mengikat satu pihak, yakni pihak pemilik harta. Konsekuensi perbedaan dai kedua bentuk akad ini adalah bahwa akad yang sifatnya mengikat kedua belah pihak yang berakad tidak bisa dibatalkan tanpa keridaan dari pihak lain. Misalnya, dalam transaksi sewa menyewa, pemilik barang tidak boleh membatalkan akad tersebut tanpa persetujuan dari pihak penyewa.

Sedangkan dalam akad yang hanya mengikat pihak pemilik barang, seperti wasiat dan hibah, maka pihak pemilik barang bisa saja mencabut wasiat dan hibahnya tanpa melalui persetujuan dari pihak penerima.130 Menurut ulama fikih, ridha atau persetujuan yang berakibat hukum tersebut harus dikemukakan oleh orang-orang yang telah cukup bertindak hukum atau mukallaf. Orang yang belum cakap bertindak hukum, keridaan terhadap suaru akad yang dilaksanakan tidak dianggap sebagai memenuhi tuntutan hukum, seperti anak kecil dan orang gila dianggap tidak sah meskipun ia telah menunjukkan sikap keridaannya.

Tetapi bila akad tersebut dilaksanakan oleh anak yang sudah mumayyiz, maka ulama fikih menilai bahwa transaksi yang dilakukan itu bersifat mauquf (tertunda keabsahannya). Yang dianggap sah apabila wali anak yang sudah mumayyiz menyetujui akad tersebut. Untuk itu para ulama fikih menyatakan bahwa seorang wali hanya boleh mengesahkan akad yang membawa keuntungan bagi anak mumayyiz tersebut. Dalam kasus seperti ini, keridhaan anak kecil, baik yang belum maupun yang sudah mumayyiz tidak bisa dianggap sebagai salah satu rukun akad.131 Sehubungan dengan ridha dalam berbagai transaksi, ulama fikih menyatakan bahwa ridha itu adalah tuannya transaksi.

Maksudnya bahwa keabsahan akad itu sangat tergantung pada keridhaan pihak-pihak yang berakad. Oleh karenanya, bila suatu akad dilakukan atas dasar keterpaksaan (ikrah) atau berada di bawah tekanan (under pressure), maka akad tersebut dianggap tidak sah dan akan gugur dengan sendirinya, sesuai dengan hadis Nabi saw. bahwa: Umatku tidak diminta pertanggungjawabannya jika mereka tersalah, terlupa, dan terpaksa. (HR. Al- Baihaqi dan Ibnu Majah)132 128 Abdul Aziz Dahlan et.al., eds., loc. cit. 129 Ibid., h. 1501. 130 Ibid. 131 Ibid.

132 Al-Hafidz Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, dalam Hadith Encyclopedia ver. 1 [CD ROM], Harf Information Technology Company, 2000, hadis no. 2035. Dalam Q.S. al-Nisa/4: 29 diterangkan pula bahwa: ?????? ?? ? ???? ???? ?? ????? ???? ?? ?? ??????? ????? ??????? ?????? ? ?????? ????? ?????? ???? ????? ??? ??? ?? ?? ? ?????? Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.133 Deskripsi di atas memberikan gambaran bahwa ridha atau kerelaan dalam bermuamalah sangat mendasar karena suatu transaksi muamalah harus berpijak pada prinsip suka sama suka atau kesepakatan yang berlangsung secara sukarela tanpa ada unsur paksaan, tetapi merupakan kemauan dari kedua belah pihak atau lebih yang bertransaksi.

Oleh karena itu, ridha termasuk salah satu unsur nilai yang begitu penting dalam operasionalisasi sistem ekonomi syariah, khususnya sistem perbankan syariah. 4) Bertindak Amanah Amanah secara etimologis merupakan bentuk masdar dari amuna-ya�munu, yakni jujur atau bisa dipercaya. Dalam bahasa Indonesia, amanah berarti kerabat, ketenteraman atau dapat dipercaya; dan amanat berarti pesan, perintah, keterangan atau wejangan. Dalam sejarah para rasul, amanah merupakan salah satu sifat yang wajib dimiliki oleh para rasul, khususnya yang berkaitan dengan tugas kerasulannya, seperti menerima wahyu, memelihara keutuhannya, dan menyampaikannya kepada manusia tanpa penambahan, pengurangan, atau penukaran sedikitpun.

Mereka juga bersifat amanah dalam arti terpelihara dari hal-hal yang dilarang Allah swt. secara lahir dan batin.134 Dalam konteks fikih, amanah berarti kepercayaan yang diberikan seseorang berkaitan dengan pemeliharaan harta benda. Sementara itu Kodifikasi Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani bahwa yang dimaksud dengan amanah adalah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang baik berupa akad seperti harta benda yang disewakan atau dipinjamkan, maupun berupa harta yang berada di tangan orang lain tanpa melalui akad atau tanpa kesengajaan, misalnya harta benda seseorang yang berada di rumah orang lainkarena dipindahkan oleh angin.

Dari hasil kajian ini dapat dipahami bahwa tidak ada sanksi hukum yang bersifat material atau fisik kepada orang yang tidak menunaikan amanah. Namun pemerintah harus memberikan sanksi ringan dalam bentuk takzir berupa pemberian teguran, peringatan atau hukuman kurungan. Penetapan sanksi ini bertujuan untuk menanamkan sikap disiplin terhadap pemegang amanah tersebut supaya lebih berhati-hati dan tidak menyia-nyiakannya karena apabila mengkhianati amanah itu merupakan tanda kemunafikan.135 Kata amanah disebutkan dalam al-Quran pada` surat al-Baqarah: 283 dan surat al-Ahzab: 72.

Pada` surat al-Baqarah: 283 disebutkan: ????? ??????? ????? ???? ????? ???? ????? ??? ??? ? ?????? ????? ????? ????? ??? ??? ??? ???? ??? ????? ???? ?????? ??? ??? ? ????? ???? ????? ?????? ??? ? ??????? ?????? ?? ? ???? ?? Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian dan barang siapa menyembunyikannya, 133 Departemen Agama RI., op. cit., h. 123. 134 Abdul Aziz Dahlan, et. al., eds., op. cit., h. 103. 135 Ibid., h. 104. maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.136 Selanjutnya pada Q.S.

al-Ahzab/33: 72 dinyatakan: ??? ???? ? ?????? ?????? ???? ?????? ??????? ?? ????? ??????? ????? ???????? ??? ?????? ????? ??? ???? ???? ????? Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amant itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.137 Sedangkan kata amanat disebutkan dalam Q.S. al-Nisa/4: 58, Q.S. al-Anfal/8: 27, Q.S. al- Mun�minun/23: 8, dan Q.S. al-Ma�arij/70: 32. Pada Q.S.

al-Nisa/4: 58 dinyatakan: ? ??? ????? ???? ?? ?? ? ?????? ?????? ?? ????? ??? ????? ???? ????? ??? ??????? ????? ?? ?????? ?? ?? ???? ????? ????? ??? ?? ?? Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.138 Selanjutnya dalam Q.S. al-Anfal/8: 27 disebutkan: ???? ?????? ????? ???????? ??????? ??????? ?? ?????? ? ?????? ????? ?????? Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.139 Kemudian dalam Q.S.

al-Mun�minun/23: 8 disebutkan: ??? ????? ?????? ???????? ?? ?????? Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.140 Masalah ini disebutkan pula dalam Q.S. al-Ma�arij/70: 32, yaitu: ???? ????? ?????? ???????? ?? ?????? Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.141 Kata amanah dalam Q.S.

al-Baqarah/2: 283 mengarah pada pengertian khusus dalam bidang fikih, yaitu kewajiban seseorang berlaku jujur dalam membayar utangnya kepada orang lain, sedangkan kata amanah atau amanat dalam ayat-ayat lain adalah kewajiban untuk bersikap jujur dalam pelaksanaan ibadah yang difardukan, selalu mematuhi aturan Allah swt., dan bersikap jujur dalam menyatakan keimanan, baik melalui ucapan, maupun melalui ikrar dalam hati.142 136 Departemen Agama RI., op. cit., h. 71. 137 Ibid., h. 680. 138 Ibid., h. 128. 139 Ibid., h. 264. 140 Ibid., h. 527. 141 Ibid., h. 957. 142 Abdul Aziz Dahlan et.al., eds., loc. cit. Sementara itu, surat al-Ahzab: 72 mengingatkan kembali bahwa manusia telah menyatakan kesediaan dan kesanggupannya dalam memikul amanah yang ditawarkan Allah swt.

Surat al-Baqarah: 283 dan al-Nisa: 58 memerintahkan supaya menunaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya. Demikian pula dengan surat al-Mu�minun: 8 dan al-Ma�arij: 32. Kedua ayat ini diungkapkan dalam bentuk kalimat berita (khabariyyah) tetapi mengandung makna kalimat tuntutan atau perintah (insyaiyyah). Surat al-Anfal: 27 memuat perintah agar semua amanah yang telah dipercayakan kepada seorang mukmin tidak dikhianati, baik amanah dari Allah swt.,

rasul-Nya, maupun terhadap sesama manusia.143 Amanah merupakan dasar dari kepercayaan, kehormatan, dan tanggung jawab serta prinsip- prinsip yang melekat padanya. Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan atau diperkarakan.144 Di dalam diri yang amanah itu ada beberapa nilai yang melekat, yaitu: Pertama, rasa tanggung jawab, yakni bahwa mereka ingin menunjukan hasil yang optimal atau islah; Kedua, kecanduan kepentingan dan sense of urgency, yakni bahwa mereka merasakan bahwa hidupnya memiliki nilai, ada sesuatu yang penting.

Mereka merasa dikejar dan mengejar sesuatu agar dapat menyelesaikan amanahnya dengan sebaik-baiknya; Ketiga, al-Amin, kredibel, ingin dipercaya dan mempercayai. Hidup baginya ada organisasi atau gaya manajemen apa pun yang dilakukan para top executive, akhirnya terpusat pada sejauh mana dirinya mempu mempercayai bawahannya dan pada saat yang sama memberikan dorongan atau motivasi agar dirinya mendapatkan kepercayaan. Keguncangan sebuah sistem, apakah sistem birokrasi yang paling rendah sampai pada sistem pemerintahan, terletak pada sejauh manakah presiden, kabinet, dan rakyatnya terkait dalam dua pola tersebut yaitu dipercaya dan mempercayai. Keempat, hormat dan dihormati (honorable).

Hidup yang wajar dan mulia tidak harus menjdi seorang karismatik atau berupaya untuk membuat dirinya menjadi yang dikultuskan. Hidup harus berada pada tataran mahabbah , rasa cinta. Dia merasakan bahwa hanya mungkin dicintai bila dia pun terbuka untuk mencintai. Bagaimana aku memperlakukan orang lain sebagaimana kau memperlakukan diriku sendiri (how I am treating others is essentially how I am treating myself, and vice versa).145 Pada prinsipnya orang yang diserahi tanggung jawab adalah orang yang dipercaya atau orang yang amanah.

Tanggung jawab, kepercayaan atau amanah dapat disebut sebagai unsur yang membangun kecerdasan ruhani manusia karena indikator dari seorang yang memiliki kecerdasan ruhaniah adalah sikapnya yang selalu ingin menampilkan sikap yang bisa dipercaya (credibel), menghormati, dan dihormati (honorable). Sikap terhormat dan dipercaya hanya dapat tumbuh apabila kita meyakini sesuatu yang kita anggap benar sebagai summum bonum atau prinsip-prinsip yang tidak dapat diganggu gugat.

Mereka yang memiliki kecerdasan ruhaniah dihormati dan dipercaya bukan karena kemampuan fisiknya, tetapi kekuatan ruhaninya yang senantiasa diterimanya dengan penuh rasa amanah. Mereka merasakan ada semacam getaran dalam sanubarinya. Ada Allah dihatinya dan kemanapun mereka berpaling ia melihat-Nya sesuai Q.S al-Baqarah/2:115: ????? ???? ???? ?? ?? ? ?? ??? ??? ????? ?????? ? ??????? ?????? ?? Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.146 143 Ibid., h. 104. 144 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.,

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 899. 145 Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Trancendental Intelligence): Membentuk Kepribadian yang Bertanggungjawab, Profesional, dan Berakhlak (Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 222. 146 Departemen Agama RI., op. cit., h. 31. Seseorang dapat dipercayai apabila memiliki sikap jujur (shiddiq). Bagaimana mungkin menyerahkan amanah dan mempercayainya bila orang tersebut selalu berdusta.

Oleh sebab itu, kejujuran merupakan komponen utama yang mengkonstruk amanah ini. Jujur adalah mengungkapkan dan menyampaikan suatu pesan sesuai dengan faktanya. Lawan dari jujur adalah dusta, yaitu mengungkapkan dan menyampaikan suatu pesan tidak sesuai dengan faktanya.147 Oemar Bakri menyatakan bahwa jujur ialah memberikan berita menurut yang sebenarnya, tidak melebihi dan tidak pula mengurangi. Memberi berita itu tidak saja dengan mulut dan perkataan.

Gerakan tangan, anggukan kepala, dan lain-lain yang mengandung arti membenarkan atau tidak menyetujui sesuatu kejadian atau perbuatan itu, termasuk pemberian berita juga.148 Dengan berdasar pada informasi di atas, maka amanah atau kepercayaan yang dibangun di atas landasan kejujuran merupakan poin yang sangat urgen dalam sistem ekonomi syariah karena keberlanjutan suatu transaksi syariah sangat tergantung pada ada tidaknya unsur kepercayaan itu dan apakah orang yang diserahi kepercayaan tersebut mampu menjalankannya atau tidak.

Oleh karena itu, nash-nash al-Quran dan al-Sunnah menganjurkan agar menyerahkan suatu perkara kepada mereka yang bisa dipercaya sebab bisa berakibat fatal bila suatu perkara diurusi oleh mereka yang tidak amanah. Jadi perlu adanya studi kelayakan terhadap seorang individu atau institusi mengenai kompetensi mereka dalam menerima dan menjalankan amanah tersebut. Sedemikian pentingnya, sehingga dalam wawasan ekonomi syariah, unsur amanah atau kepercayaan menjadi sebuah nilai etika yang mesti diwujudkan dalam praktik ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah. 5) Menepati Janji Istilah �janji�, dalam bahasa Arab disebut �akd.

�Akd berarti pula perikatan, perjanjian, dan permufakatan (ittifaq). Jadi akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. Kalimat �yang sesuai dengan kehendak syariat� dimaksudkan bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sesuai dengan kehendak syarak, misalnya kesepakatan untuk melakukan transaksi yang bermuatan riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain.

Kemudian pencantuman kalimat �berpengaruh pada obyek perikatan� dimaksudkan bahwa terjadinya perpindahan kepemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan kabul).149 Terkait dengan akad ini, Mustafa Ahmad al-Zarqa membagi tindakan hukum yang dilakukan manusia ke dalam dua bentuk, yaitu tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan. Tindakan dalam bentuk perkataan juga terbagi dua, yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.

Tindakan berupa perkatan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi lagi dalam dua macam, yaitu: Pertama, yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan/melimpahkan hak, membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah, dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan kabul, meskipun tindakan hukum ini menurut beberapa ulama fikih termasuk akad.

Menurut Ulama Mazhab Hanafi bahwa tindakan hukum seperti ini hanya mengikat pihak yang melakukan ijab. Kedua, yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau menggugurkan sustau hak, tetapi perkataannya itu menimbulkan suatu tindakan hukum, seperti gugatan yang diajukan kepada hakim dan pengakuan seseorang di depan hakim. Tindakan seperti ini berakibat timbulnya suatu ikatan secara hukum tetapi sifatnya tidak mengikat. Oleh sebab itu, ulama fikih menetapkan bahwa tindakan seperti yang disebut terakhir ini tidak dapat dikatakan sebagai akad karena tindakan tersebut tidak mengikat siapapun.150 147 Abu al-Hasan Ali al-Bashri al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Cet. II; Beirut: Maktabah al-Hayat, 1987), terj.

Ibrahim Syuaib Etika Jiwa: Menuju Kejernihan Jiwa Dalam Sudut Pandang Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 63 148 Oemar Bakri, Akhlak Muslim (Cet. III; Bandung: Angkasa, 1993), h. 27. 149 Abdul Aziz Dahlan et.al., eds., op. cit., h. 63. 150 Mustafa Ahmad al-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al�Amm: Al-Fiqh al-Islami fi Shaubih al-Jadid, (Beirut: Dar al- Fikr, 1976), dalam Abdul Aziz Dahlan et.al., eds., ibid. Dengan demikian, suatu tindakan hukum lebih umum dari pada akad karena setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.

Menurutnya bahwa dalam perspektif syariat akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Keinginan untuk mengikatkan diri tersebut sifatnya abstrak karena tersembunyi dalam hati. Oleh karena itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut dengan ijab kabul. Atas dasar ini, setiap pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang mengikatkan diri dalam suatu akad disebut mujib dan setiap pernyataan kedua yang diungkapkan oleh pihak lain setelah ijab disebut qabil.151 Berdasarkan uraian di atas, maka akad/perikatan/perjanjian sangat menempati posisi sentral dalam setiap transaksi muamalah karena jadi tidaknya suatu transaksi muamalah sangat tergantung pada kejelasan dan ketegasan dalam berakad.

Oleh karena posisi ini, maka al-Quran menyuratkan bahwa tunaikan dan penuhilah akad/perjanjian itu agar tidak merugikan pihak-pihak lain yang ikut serta dalam akad. 6) Berlaku Adil Dalam bahasa Indonesia kata �adil� diartikan sebagai: �tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; sepatutnya atau tidak sewenang-wenang�. Bentuk kata jadiannya adalah �keadilan� yang berarti sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.152 Pengertian tersebut memberikan pemahaman bahwa keadilan menekankan pentingnya menempatkan sesuatu secara proporsional, tidak berat sebelah, tidak pilih kasih, dan tidak sewenang- wenang.

Dalam al-Quran, term-term yang digunakan terkait dengan keadilan adalah al-�Adl dengan segala bentuk kata jadiannya disebutkan dalam al-Quran sebanyak 29 kali,153 al-Qisth, al-Wazn, dan al- Wasath. Kata al-�adl berasal dari bahasa Arab dan bersumber dari kata kerja yang berakar kata dengan huruf-huruf �ain � dal � lam. Struktur huruf-huruf ini mengandung dua makna pokok yang bertentangan, yaitu al-Istiwa (keadaan lurus atau sama) dan al-I�wija (keadaan menyimpang atau sewenang-wenang).154 Dari makna pertama, kata al-�Adl berarti menetapkan hukum dengan benar dan jujur, sedangkan kata al-�Idl berarti misal atau pengganti sesuatu.155 Kata ini juga berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus dan jujur atau menempatkan sesuatu pada tempatnya.156 Orang yang adil (al-�Adil) adalah orang yang tidak dapat dipengaruhi oleh hawa nafsunya sehingga ia tidak menyimpang dari jalan yang lurus dalam menegakkan hukum.

Dengan demikian, ia bersifat adil. Oleh karena itu, kata al-�Adl berarti menetapkan hukum dengan benar dan adil, juga bermakna mempertahankan yang hak dan yang benar. Lawannya adalah al-Zhulm berarti ketidakadilan, kesewenang-wenangan, atau menyimpang dari jalan yang dituju, serta melupakan batas- batas yang telah ditentukan, aniaya, dan sebagainya.157 Secara terminologis, baik dari sudut pandang ulama maupun filosof, keadilan merupakan prinsip keutamaan moral (kebajikan),158 yaitu memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai hak yang harus diperolehnya; memperlakukan semua orang sama (perlakuan yang sama terhadap orang yang mempunyai hak yang sama; kemampuan, tugas, dan fungsi yang sama, bukan persamaan dalam arti 151 Ibid., h. 64. 152 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.

X; Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 7. 153 Muhammad Fu�ad �Abd al-Baqiy, Al-Mu�jam al-Mufahrasy li al-Fazh li al-Quran al-Karim (Cet. II; Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 448-449. 154 Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu�jam Mufradat al-Fazh al-Quran (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 336. 155 Abi al-Husain Ahmad bin Fariz bin Zakariyya, Mu�jam Maqayis al-Lughah, ditahqiq oleh Abd al-Salam Muhammad Haris, Jilid IV (Cet. II; Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabiy wa Auladuhu, 1975), h. 246-247.

156 Ibnu Manshur al-Anshariy, Lisan al-Arab, Jilid XIII (Mesir: Al-Dar al-Mishriyyah li al-Ta�lif wa al- Tarjamah, t.th.), h. 456. 157 Ibid., h. 266. 158 J. H. Rapar, Filsafat Politik Plato (Cet. II; Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 76 perlakuan yang mutlak sama antar setiap orang tanpa memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, tugas, dan fungsi antara seseorang dengan lainnya);159 menegakkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

Perbedaannya dengan para filosof, para ulama tidak hanya melihat keadilan sebagai sebuah prinsip keutamaan moral semata, melainkan juga sebagai prinsip kreatif-konstruktif. Al-�Adl salah satu sifat yang harus dimiliki oleh manusia dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapa pun tanpa kecuali, walaupun akan merugikan dirinya sendiri. Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi, wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Oleh karena hukum yang berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya. Dalam Q.S. al-Nisa/4:58 dijelaskan bahwa: ??? ????? ???? ?? ?? ? ?????? ?????? ?? ????? ??? ????? ???? ????? ??? ??????? ????? ?? ?????? ?? ?? ? ???? ????? ????? ??? ?? ?? ? Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.160 Kemudian dalam Q.S.

al-Maidah/5: 8 menyebutkan bahwa: ?? ?????? ? ?????? ?? ??? ??? ????? ??????? ?? ? ?????? ????? ? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ??? ?????? ??? ???? ?? ?? ? ?? ?????? ? ?????? ???? Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran kepada Allah, menjadi saksid engan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat adil. Berbuat adillah kamu karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.161 Allah swt.

disebut sebagai �Yang Maha Adil dan Bijaksana� terhadap semua hamba-Nya, karena Allah SWT tidak mempunyai kepentingan apa-apa dari perbuatan yang dilakukan oleh hamba-Nya. Jika manusia berbuat kebaikan, maka tidak akan mempengaruhi Kemahaadilan-Nya. Demikian juga jika manusia berlaku lalim kepada-Nya tidak akan mengurangi Kemahaadilan-Nya itu. Apa yang diperbuat oleh manusia, apakah kebaikan atau kelaliman, hasilnya akan diterima oleh manusia itu sendiri. Dalam Q.S.

al-Fushilat/41: 46 dikatakan bahwa: ???? ?????? ????? ??? ??? ? ?????? ???? ??? ? ??????? ????? ??? ?? Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri, dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya.162 159 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Cet. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 516. 160 Departemen Agama RI., op. cit., h. 128. 161 Ibid., h. 159. 162 Ibid., h. 780. Dijelaskan pula dalam Q.S.

al-Jatsiyah/45:15 bahwa: ???? ?????? ???? ??? ?? ? ?????? ???? ??? ? ??????? ????? ??? ?? Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.163 Uraian di atas menuntut agar keadilan ini bisa diwujudkan dalam setiap lini kehidupan. Sistem ekonomi syariah juga demikian, bahkan pencapaian keadilan secara ekonomi menjadi tujuan dari implementasi sistem ekonomi syariah.

Keadilan yang dimaksud misalnya, tidak boleh suatu usaha dimonopoli oleh individu atau institusi tertentu saja, sedangkan individu lainnya kurang mendapatkan bagian; bahwa harta yang dimiliki tidak hanya ditimbun begitu saja tanpa diberdayakan; harta yang dimiliki mesti ditunaikan zakatnya agar kaum dhuafa dapat menikmati bagian kecil dari harta tersebut. Bila mekanisme ini tidak dilaksanakan maka pada prinsipnya individu atau institusi tersebut telah berbuat zulm pada pihak lain yang berhak mendapatkannya.

7) Menolak Tindakan Gharar Term �Gharar� berasal dari bahasa Arab yang berarti keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya obyek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan obyek yang disebutkan di dalam akad tersebut. Menurut al-Nawawi bahwa gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat Islam.164 Secara etimologis, gharar merupakan sesuatu yang pada lahirnya disenangi tapi sebenarnya dibenci.

Para Ulama Fiqih mengemukakan beberapa definisi gharar yang bervariasi dan saling melengkapi. Menurut Imam al-Qarafi, gaharar adalah suatu akad yang tidak diketahui secara tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli burung yang masih di udara atau ikan yang masih berada dalam air. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam al- Syarakhsi dan Ibn Taimiyah yang memandang gharar dari segi adanya ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad. Sementara Ibn Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa gharar adalah suatu obyek akad yang tidak mampu diserahkan, baik obyek itu ada maupun tidak.

Misalnya, menjual hamba sahaya yang melarikan diri atau unta yang sedang lepas. Sedangkan Ibn Hazm memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi obyek akad tersebut. Menurut Ulama Fiqih bahwa bentuk-bentuk gharar yang dilarang adalah sebagai berikut: Pertama, tidak adanya kemampuan pejual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi akad, baik obyek akad itu sudah ada maupun belum ada (al-bai� al-ma�dum).

Misalnya, menjual janin yang masih berada dalam perut binatang ternak tanpa menjual induknya, atau menjual janin dari janin binatang yang belum lahir seperti yang biasa dilakukan orang Arab di zaman jahiliah. Kedua, menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Bila suatu barang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahterimakan kepada pembeli, maka pembeli ini tidak boleh menjualnya kepada pembeli lain. Akad ini merupakan gharar karena terdapat kemungkinan rusak atau hilangnya obyek akad, sehingga akad jual beli yang pertama dan kedua menjadi batal.

Ketiga, tidak adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual. Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa ketidakpastian (al-jahl) tersebut merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar (gaharar kabir) larangannya. Keempat, tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Misalnya, penjual berkata: �Saya jual kepada Anda baju yang ada di rumah saya�, tanpa menyebutkan ciri-ciri baju tersebut secara tegas.

Termasuk dalam bentuk ini ialah menjual buah-buahan yang masih berada di atas pohon yang belum layak dikonsumsi. Kelima, tidak adanya kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Misalnya, penjual berkata: �Saya jual beras ini kepada Anda sesuai dengan harga yang berlaku pada hari ini.� Ketidakpastian dalam jual beli seperti ini merupakan illat dari larangan melakukan jual beli terhadap buah-buahan yang belum layak dikonsumsi tersebut.

Keenam, tidak adanya kepastian waktu tentang 163 Ibid., h. 817. 164 Abdul Aziz Dahlan et.al., eds., op. cit., h. 399. penyerahan obyek akad. Misalnya, setelah wafatnya seseorang. Jual beli seperti ini termasuk gharar karena obyek akad dipandang belum ada yang merupakan alasan dari pelarangan melakukan jual beli habal al-habalah (HR. Abu Daud). Akan tetapi jika dibatasi waktu yang tegas, misalnya penyerahan barang tersebut akan dilakukan pada bulan atau tahun depan, maka akad jual beli itu sah.

Ketujuh, tidak adanya ketegasan bentuk transaksi, yaitu adanya dua macam atau lebih transaksi yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih sewaktu terjadinya akad. Misalnya, sebuah arloji dijual dengan harga 50 ribu rupiah jika dibayar tunai dan 75 ribu rupiah jika kredit, namun ketika akad berlangsung tidak ditegaskan bentuk transaksi yang dipilih. Kedelapan, tidak adanya kepastian obyek akad, yaitu adanya dua obyek akad yang berbeda dalam satu transaksi.

Misalnya, salah satu dari dua potong pakaian yang berbeda mutunya dijual dengan harga yang sama. Kesembilan, kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi. Misalnya, menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit. Jual beli ini termasuk gharar karena mengandung unsur spekulasi bagi penjual dan pembeli, sehingga disamakan dengan jual beli dalam bentuk undian. Kesepuluh, adanya keterpaksaan, antara lain berbentuk: a) jual beli lempar batu (bai� al- hasa), yaitu seseorang melemparkan batu pada sejumlah barang dan barang yang dikenai batu tersebut wajib dibelinya; b) jual beli saling melempar (bai� al-munabazah), yaitu seseorang melempar bajunya kepada orang lain dan jika orang yang dilempar itu juga melemparkan baju kepadanya, maka di antara keduanya wajib terjadi jual beli, meskipun pembeli tidak mengetahui kualitas barang yang akan dibelinya itu; c) jual beli dengan cara menyentuh (bai� al-mulamasah), yaitu jika seseorang menyentuh suatu barang, maka barang itu wajib dibelinya, meskipun ia belum mengetahui dengan jelas barang apa yang akan dibelinya itu.165 8) Menjauhi Tindakan Zalim Kata zalim berasal dari bahasa Arab, yaitu �zulm� yang berarti �gelap� sebagai lawan dari kata �terang/cahaya�, bsa juga bermakna �meletakkan atau menempatkan sesuatu tidak pada tempat yang ditentukan dengan mengurangi atau menambah ukurannya atau menunda/menggesernya dari waktu dan tempat yang ditentukan.

Dengan makna ini secara kentara terlihat bahwa zalim merupakan antonim dari kata adil. Kata zalim dapat pula mengarah pada orang yang menganiaya orang lain dengan mengambil haknya atau tidak menepati janjinya. Kata ini juga dipakai untuk mengemukakan dosa, baik dosa yang besar maupun dosa yang kecil.166 Zalim dibagi dalam tiga bentuk, yaitu: Pertama, zalim manusia terhadap Tuhan, yakni dengan melakukan kekafiran, munafik, atau menyerikatkan Tuhan dengan sesuatu.

Kedua, zalim manusia terhadap sesama, yakni dengan melakukan pelanggaran haknya, baik berupa harta, kehormatan, atau yang lain, sebagaimana difirmankan Allah swt. dalam Q.S. Yunus/10: 27: ???? ?????? ????? ????? ? ???? ?? ?? ?? ??? ?? ? ??? ??????? ?????? ???? ???? ??????? ????? ?????? ???? ?????? ???? ?? ? ????? ????? ?????? ? ????? ???? ?? Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan...167 Dalam Q. S.

al-Syura/42: 42: ???? ???? ???? ??? ?????? ? ???? ???? ???? ?? ?????? ????? ?????? ????? ??? ?????? ???? Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.168 165 Ibid., h. 399-400. 166 Ibid., h. 1002. 167 Departemen Agama RI., op. cit., h. 310. 168 Ibid., h. 789. Ketiga, zalim manusia terhadap diri sendiri, sebagaimana difirmankan Allah swt. dalam Q. S. Fathir/35: 32: ???? ???????? ???? ????? ????? ????? ?????? ???? ????? ? ?????? ?? ??????? ????? ?????? ?????? ?? ???? ?????? ????? ?? ???? ? ?? Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri...169 Arti ini juga terdapat dalam hadis Nabi saw: Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atas kamu; dirimu mempunyai hak; dan keluargamu juga mempunyai hak kepadamu, maka berikanlah (bagian) setiap yang mempunyai hak itu. (HR. Bukhari)170 Bila hak-hak tersebut tidak dipenuhi, maka manusia telah menzalimi dirinya.171 Menurut Imam al-Ghazali, ia mengemukakan bahwa bentuk-bentuk kezaliman yang terdapat dalam muamalah di antara sesama manusia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: Pertama, kezaliman yang mengakibatkan kemudaratan bagi masyarakat secara umum.

Hal ini dirinci lagi sebagai berikut: (a) pedagang yang menumpuk barang kebutuhan masyarakat (ihtikar), yaitu suatu cara yang dilakukan oleh pedagang untuk menaikkan harga barang dagangannya karena kelangkaan peredaran barang. Rasulullah saw. bersabda: Seandainya seorang pedagang menumpuk barang dagangannya selama empat puluh hari, kemudian semua barang yang ditahannya itu disedekahkan, maka belum bisa menjadi tebusan atas semua dosanya melakukan penumpukan barang tersebut. (HR.

Ahmad)172 (b) pembeli melakukan pembayaran terhadap barang yang dibelinya dengan alat tukar/uang palsu atau kadaluarsa, sementara penjual tidak mengetahuinya. Kedua, segala bentuk tindakan atau keadaan yang dapat membawa pada kemudaratan bagi salah satu pihak atau pihak-pihak yang melakukan transaksi. Kemudaratan bagi salah satu pihak karena ulah atau keadaan yang sengaja diciptakan orang lain dapat dikategorikan sebagai kezaliman.173 169 Ibid., h. 800. 170 Al-Imam Abi �Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Jafi, Shahih Bukhari, dalam Hadith Encyclopedia ver.

1 [CD ROM], Harf Information Technology Company, 2000, hadis no. 5674. 171 Abdul Aziz Dahlan, et. al., eds., op. cit.,h. 1003. 172 Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam Hadith Encyclopedia ver. 1 [CD ROM], Harf Information Technology Company, 2000, hadis no. 4648. 173 Abdul Aziz Dahlan et.al., eds., loc. cit. Termasuk bentuk kezaliman pula apabila seseorang menunda-nunda pembayaran utangnya karena ia tidak menempatkan �waktu� pembayaran pada waktu yang semestinya sesuai kesepakatan dalam akad.

Menjauhi perbuatan zalim dalam transaksi muamalah bagi sistem ekonomi syariah sangat ditegaskan karena kezaliman dapat berakibat pada kekecewaan secara psikologis dan menimbulkan kerawanan sosial bila kezaliman itu sudah bergerak pada level yang lebih besar, yaitu masyarakat kebanyakan. Oleh karena itu, membersihkan diri dari tindakan zalim merupakan salah satu nilai etika yang diwujudkan dalam sistem perbankan syariah sebagai subsistem dengan cara transparansi dalam melakukan transaksi dan perikatan.

9) Melakukan Ibra Secara lughawi, �ibra� berasal dari bahasa Arab yang berarti melepaskan, mengikhlaskan, dan menjauhkan diri dari sesuatu. Hal ini bermakna penghapusan hutang seseorang oleh pemberi hutang.174 Dalam ilmu fikih, ibra berarti pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang berutang. Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ibra tersebut, terutama yang berkaitan dengan �pengguguran� dan �pemilikan�. Tetapi mazhab Hanafi lebih sepakat mengartikan ibra dengan pengguguran, meskipun makna kepemilikan tetap ada.175 Berdasarkan hal ini, seseorang tidak dapat menggugurkan haknya terhadap suatu benda (materi).

Selanjutnya seseorang juga tidak bisa menggugurkan haknya untuk menjual hartanya sendiri, tetapi bila yang digugurkan itu adalah hak piutang yang ada pada orang lain, maka hal tersebut dianggap sah. Jika seseorang mengambil barang tanpa izin, kemudian barang tersebut rusak atau hancur, maka pemilik barang boleh meminta ganti rugi terhadap barang tersbeut. Menurut mazhab Hanafi, ganti rugi yang menjadi utang orang yang merusak atau menghancurkan barang tersebut boleh digugurkan, maka tindakan tersebut tergolong ibra.176 Menurut Mazhab Maliki, ibra di samping bertujuan menggugurkan piutang, ibra dapat juga menggugurkan hak milik seseorang jika inbgin digugurkannya.

Ketika hak milik terhadap suatu benda telah digugurkan oleh pemiliknya, maka statusnya sama dengan hibah.177 Mazhab Syafi�i menyikapi ibra ini terbagi dua cluster pemikiran. Cluster pertama berpendapat bahwa ibra mengandung pengertian kepemilikan utang untuk orang yang berutang. Untuk itu, kedua belah pihak harus mengetahui pengalihan milik tersebut kepada orang yang berutang.

Cluster kedua berpendapat bahwa mayoritas Mazhab Syafi�i menyatakan bahwa ibra merupakan pengguguran, sama dengan pendapat Mazhab Hanafi dan Hanbali.178 Ibra merupakan bentuk solidaritas sosial dalam Islam, seperti dikemukakan dalam firman Allah swt. dalam surat al-Maidah: 2. Adakalanya orang yang berutang tidak mampu membayar utangnya, karenanya Islam sangat menganjurkan bagi pemberi utang untuk membantu orang yang berada dalam kesulitan itu, sesuai dengan firman Allah swt. Q. S.

al-Baqarah: 280: ????? ?????? ???? ?? ? ??? ??? ?????? ??? ? ????? ??? ????? ???? ?? ??? ??? Dan jika seseorang (yang berutang) itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau seluruh utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.179 Obyek ibra adakalanya berupa materi, utang, atau hak. Jika obyek ya materi, maka hukumnya tidak boleh. Misalnya ungkapan: �Saya gugurkan pemilikan rumah ini dari saya�. Dalam hal ini ulama fikih sepakat bahwa hukum ibra tidak sah.

Akan tetapi jika obyek ibra berkaitan dengan tuntutan 174 Ibid., h. 629. 175 Ibid. 176 Ibid. 177 Ibid. 178 Ibid. 179 Departemen Agama RI., op. cit., h. 70. Lihat juga Abdul Ghofur Ansori, Payung Hukum Perbankan Syariah: UU di Bidang Perbankan, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan Bank Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: 2007), h. 81 dst. materi, maka berlaku sah karena yang menjadi obyek ibra sebenarnya adalah terkait dengan hak. Apabila obyek ibra adalah utang, maka hukumnya sah.180 Konsep ibra saat ini bisa diartikan dengan pemutihan utang atas orang yang memiliki utang.

Pemutihan utang ini dapat dilakukan melalui penghibahan atau pensedekahan hutang tersebut, baik sebagian atau keseluruhannya. Konsep ibra ini sangat memungkinkan untuk diterapkan dalam sistem perbankan syariah karena banyak produknya yang bersifat pinjaman atau utang, sehingga apabila utang tersebut tidak dapat dibayarnya karena sesuatu hal, maka yang memberikan piutang dapat membebaskan orang yang berutang tersebut dari utangnya. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya ibra menjadi salah satu nilai etika yang termaktub dalam sistem ekonomi syariah.

10) Memberikan Ujrah Al-Ujrah biasa diterjemahkan sebagai imbalan atau upah. Al-Ujrah merupakan hal yang esensial dalam sebuah kegiatan investasi dan bisnis perbankan syariah, bahkan menjadi penopang utama bagi perbankan agar tetap eksis. Al-Ujrah diperoleh melalui kesepakatan antara pihak nasabah dengan pihak bank yang termuat dalam kontrak. Al-Ujrah yang dimaksudkan dalam sistem operasional perbankan syariah adalah upah, keuntungan, dan atau bentuk lain yang diperoleh setelah melakukan kerjasama atau transaksi Musyarakah, Mudharabah, Murabahah, atau bentuk produk lainnya.

Upah atau keuntungan yang diperoleh akan dibagi bersama sesuai akad yang telah disepakati, termasuk resiko yang akan menimpa jika suatu waktu kerjasama yang dilakukan mengalami kerugian. Pengelolaan al-Ujrah pada perbankan syariah dan perbankan konvensional telah dilakukan secara profesional sesuai sistem yang telah berlaku. Ada sistem yang berbasis teknologi dan tidak lagi dilakukan secara manual untuk mengatur nisbah pembagian keuntungan serta pembagian hasil kerjasama. Metode yang ditempuh ini sesungguhnya merupakan implementasi dari hadis Nabi saw.

yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yakni: Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah)181 11) Menolak Tindakan Maisir �Maisir� berasal dari bahasa Arab, yaitu �yasara atau yusr berarti mudah; atau yasar yaitu kekayaan. �Maisir� merupakan suatu bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan itu berhak mendapatkan taruhan tersebut. Ibrahim Hosen berpendapat bahwa al-maisir adalah permainan yang mengandung unsur taruhan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara lansgsung atau berhadap-hadapan dalam suatu tempat (majelis). Dalam al-Quran kata al-maisir disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu dalam Q. S.

al- Baqarah/2: 219: ???????? ? ?????? ?? ???? ??????? ????? ?????? ???? ??? ????? ?? ? ??????? ????? ?? ??????? ????? ??????? ????? ????? ??? ?? ???? ????? ? ????? ?? ?????? ???? Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: �Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya�. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: �yang lebih dari keperluan�.

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.182 Kemudian dalam Q. S. al-Maidah/5: 90-91: 180 Ibid. 181 Al-Hafidz Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, op. cit., hadis no. 2434. 182 Departemen Agama RI., op. cit., h. 53. ?????? ????? ???????? ??????? ??? ?? ??? ??????? ??????? ??????? ????? ???? ?????? ????? ?????? ? ?????? ??? ?? ??? ?? ?????? ??????? ????? ?? ???????? ??????? ????? ???? ?? ??????? ???? ???? ???? ???? ?????? ???? ??? Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).183 Ketiga ayat ini menyebutkan beberapa kebiasan buruk yang berkembang opada masa jahiliyah, yaitu khamr, al-maisir, dan anshab (berkorban untuk berhala). Berdasarkan ketiga ayat ini, para ulama fikih menetapkan bahwa al-maisir hukumnya haram karena adanya illat berupa unsur taruhan di dalamnya.

Di Indonesia, al-maisir dianalogikan dengan judi, yakni permainan yang mengandung unsur taruhan dengan memakai uang sebagai taruhannya. Dalam KUHP Pasal 303 ayat (3) menegaskan bahwa permainan judi ialah permainan yang kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga apabila kemungkinan itu makin besar karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan dan permainan lain-lain yang tidak diadakan di antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga pertaruhannya.

Meskipun demikian, ada pula taruhan yang dibolehkan, yaitu: Pertama, baranag yang dijadikan taruhan itu disediakan oleh pemerintah atau pihak ketiga atau orang lain. Misalnya, pemerintah atau pihak ketiga tersebut berkata kepada dua orang atau lebih dalam suatu perlombaan pacuan kuda: �Siapa yang berhasil keluar sebagai pemenang akan diberi hadiah.� Kedua, taruhan itu bersifat sepihak, yaitu berasal dari salah satu pihak yang ikut dalam perlombaan tersebut. Misalnya, seseorang berkata kepada temannya yang diajaknya bertanding dalam suatu perlombaan: �Jika kamu dapat mengalahkan saya, saya akan memberimu hadiah, akan tetapi jika kamu kalah, maka tidak ada kewajiban apapun atasmu untuk saya�. Kriteria ini dipahami dari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud.

Dari Rukanah salah seorang kafir Quraisy pernah mengajak Rasulullah saw. mengikuti permainan gulat dengannya. Dia menawarkan beberapa ekor kambing jika Rasulullah saw. menang. Dalam pertandingan tersebut ternyata Rasulullah saw. menang dan Rukanah pun akhirnya masuk Islam.184 Dalam sistem operasional perbankan syariah menghindari tindakan spekulasi karena tindakan ini lebih banyak merugikan orang yang melakukan spekulasi tersebut. Spekulasi dalam perspektif ekonomi syariah dipandang sebagai maisir.

Mencegah dan menghindari maisir merupakan sebuah nilai etika tersendiri bagi sistem perbankan syariah yang membedakannya dengan bank konvensional yang lebih banyak berspekulasi, seperti dalam perdagangan valuta asing. Perbankan syariah lebih memilih kejelasan suatu transaksi perbankan ketimbang melakukan spekulasi karena tindakan tersebut dapat melemahkan sistem perbankan yang dibangun di atas sendi ajaran Islam. Oleh karena itu, mencegah dan menghindari tindakan spekulasi sebagai maisir adalah hal yang sangat diutamakan.

12) Menegaskan Takzir �Takzir� berasal dari bahasa Arab, yaitu al-ta�zir, yaitu larangan, pencegahan, menegur, menghukum, mencela, dan memukul. Hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya) yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah maupun hak pribadi. Ulama fikih juga mengartikan takzir dengan al-ta�dib (pendidikan). Pelanggaran-pelanggaran yang dikenai hukuman takzir dinamakan dengan 183 Ibid., h. 176-177. 184 Ibid., h. 1055. jarimah takzir (tindak pidana takzir).

Yang dimaksud dengan hudud dalam definisi ini adalah hukuman yang bentuk dan jumlahnya telah ditentukan oleh syarak untuk tindak pidana tertentu, seperti pencurian, perzinaan, dan pembunuhan.185 Fathi al-Duraini menyebutkan bahwa takzir adalah hukuman yang diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk dan kadarnya sesuai sesuai dengan kemaslahatan yang menghendaki dan tujuan syarak dalam menetapkan hukum, yang ditetapkan pada seluruh bentuk maksiat, berupa meninggalkan perbuatan yang wajib atau mengerjakan perbuatan yang dilarang, yang semuanya itu tidak termasuk kategori hudud dan kafarat, baik yang berhubungan dengan hak Allah swt.

berupa gangguan terhadap masyarakat umum, keamanan mereka, dan perundang-undangan yang berlaku, maupun yang berkaitan dengan hak pribadi.186 Pelanggaran terhadap akad dalam perbankan syariah dapat dikenakan hukuman denda. Misalnya seorang debitur yang memiliki kemampuan dalam mebayara angsurannya, tetapi tidak dilakukannya, maka padanya dapat dikenakan sanksi, bahkan tindakan tersebut dianggap sebagai suatu bentuk kezaliman. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw: Dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah saw.

bersabda: Menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. (HR. Muslim.)187 Dalam hadis lain yang identik disebutkan pula bahwa menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh orang mampu, kemudian seolah mebiarkannya, padahal ia tahu kalau hal itu dapat menurunkan martabatnya, maka dapat diberikan sanksi kepadanya.188 Nasabah yang tidak memenuhi akad dalam suatu produk perbankan syariah, maka pihak perbankan syariah masih bertindak persuasif karena dinilai masih ada cara lain yang dapat ditempuh sesuai mekanisme yang berlaku di internal perbankan syariah.

Bank tidak gegabah dan terburu-buru untuk langsung mengambil tindakan hukum memberikan sanksi kepada nasabah. Jadi sebenarnya perbankan syariah masih melihat suatu persoalan dari sisi etika dengan harapan akan tumbuh kesadaran pribadi dari nasabah untuk memenuhi kewajibannya dalam akad tersebut. 13) Menghargai Hak-hak Kemanusiaan Hak manusia yaitu suatu hak yang dimaksudkan untuk memelihara kemasalahatan dan kepentingan perorangan baik yang berisfat umum maupun khusus. Hak yang berisfat umum, seperti pemeliharaan kesehatan, anak, dan harta benda, serta terwujudnya keamanan dan penikmatan sarana umum milik negara.

Hak yang bersifat khusus, seperti hak penjual menerima pembayaran atas barang yang dijualnya, hak pembeli atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas harta bendanya yang dirusak orang lain, hak istri untuk mendapatkan lahir dan batin dari suaminya, hak ibu untuk memelihara anaknya yang masih kecil (hadhanah), hak bapak untuk menjadi wali anaknya, hak orang yang tidak berpunya untuk mendapatkan ZIS, dan sebagainya.189 Hukum yang terkait dengan hak manusia ini, sesuai dengan kesepakatan fuqaha, antara lain ialah pemiliknya dibolehkan melepaskan dan menggugurkan haknya dengan cara perdamaian, permaafan, atau membebaskan tanggungan atas seseorang, atau membolehkannya kepada siapapun.

Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hak ini merupakan kelaliman di mana Allah swt. tidak akan menerima taubat seseorang yang melanggarnya kecuali pemilik hak memaafkannya atau hak itu dikembalikan oleh pelanggar kepadanya. Pada hak ini berlaku pewarisan oleh keluarga dekatnya sesuai 185 Ibid., h. 1771. 186 Ibid., h. 1772. 187 Abu Husain bin Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, op. cit., hadis no. 2924. Lihat juga Abdul Ghofur Anshori, op. cit., h. 84 dst. 188 Abdul Aziz Dahlan et.al., eds., loc. cit. 189 Abdul Aziz Dahlan, et. al., eds., op. cit.,

h. 494. aturan yang berlaku dalam hukum waris. Kemudian tidak berlaku keterpaduan dalam hak ini. Maksudnya hukum yang terkait dengan hak perseorangan berlaku secara ketat, tidak ada penggabungan dan pemenuhan hak itu berkaitan langsung dengan pemilik hak atau walinya.190 14) Mengendalikan Diri Mengendalikan diri atau menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menjatuhkan harga diri. Harga diri ini merupakan sesuatu yang sangat mahal, sehingga harus tetap dijaga agar tidak terkontaminasi dengan virus-virus yang dapat membawa manusia ke lembah kehinaan.

Menjaga harga diri dapat dilakukan dengan menempuh dua cara, yaitu memenuhi kebutuhan hidup dan tidak menerima jasa dari orang lain, kecuali hal tersebut merupakan haknya. Menjaga harga diri dengan memenuhi kebutuhan hidup merupakan suatu keniscayaan. Bila kebutuhan hidup tidak terpenuhi, maka seseorang terpaksa memintanya kepada orang lain. Padahal meminta dan mengemis adalah beban dan benalu masyarakat. Menjadi beban dan benalu di masyarakat adalah orang hina yang tidak punya harga diri.

Menjaga diri untuk tidak menerima jasa dan bantuan materi dari orang lain dan tidak pula memintanya adalah perbuatan yang harus selalu diperhatikan. Karena jasa biasanya dapat memperbudak orang merdeka, menjatuhkan harga diri penerimanya, dan menimbulkan kesombongan pemberinya. Meminta jasa dan bantuan materi merupakan usaha yang memberatkan dan membosankan orang yang diminta. Padahal orang yang selalu menjadi beban, benalu, dan membosankan masyarakat adalah orang hina yang tidak mempunyai kehormatan.191 Dalam aktivitas perbankan syariah, prinsip ini sangatlah penting guna menghindarkan diri agar tidak terjatuh dalam lembah kenistaan yang dapat merugikan diri sendiri, orang lain, dan lembaga perbankan syariah sendiri.

Tidak mudah tergiur dengan janji-janji kosong belaka atau kolusi dan konspirasi untuk berbuat kejahatan di bidang perbankan. 15) Tolong Menolong dan Toleransi Tolong menolong (ta�awun), dan saling membantu sesama manusia sesuai prinsip Tauhid dalam kebaikan dan takwa kepada Allah sangat dianjurkan dalam Islam, tetapi tidak dianjurkan dalam dosa dan permusuhan. Anjuran ini merupapakan nilai etika islami yang tertera dalam al-Quran QS. al- Maidah/5: 2: ??? ?????? ?????? ????? ????? ?? ??????? ?? ????? ?? ?????? ????? ?? ?? ????? ????? ? ?????? ????? ?????? ? ?????? ?? ?????? ?????? ?? ????? ?? ??? ????? ??????? ?? ? ???????? ????? ???? ? ??????? ???? ?? ??? ?????? ???? ?? ?? ? ?? ?????? ? ???????? ???? ??? ??????? ?? ? ??????? ???? ??? ???????? Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang- binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu.

dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.192 Dalam Q.S. al-Mujadalah/58: 9 disebutkan: 190 Ibid. 191 Ibid., h. 180-184. 192 Departemen Agama RI., op.cit., h. 157. ?????? ? ??????? ????? ??????? ?????? ?????? ???????? ????? ??????? ?? ??????? ??? ?????? ????? ?????? ??? ?????? ???? ???? ?? Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan, dan durhaka kepada Rasul.

Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan.193 Sedangkan toleransi (tasamuh) adalah sifat atau sikap toleran. Dalam al-Quran istilah toleransi selalu berkaitan dengan hubungan sosial kemasyarakatan, yaitu sikap saling menghormati untuk menciptakan kerukunan dan kedamaian di antara sesama manusia. Hal ini dijelaskan dalam Q.S.

al- Mumtahanah/60: 8-9: ??? ?? ?? ? ????? ??????? ?????? ?? ?????? ?? ??????? ??? ????? ?? ???????? ?? ????? ?? ?? ?????? ? ?? ??????? ??? ??????? ?????? ?? ???????? ????? ?? ??????? ????? ?? ?? ?????? ???? ??? ???????? ??? ???????? ?? ??????? ?????? ??? ? ?????? Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.194 Toleransi berasal dari kata �toleran�, yaitu bersifat atau bersikap menenggang (--menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (--pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan kelakuan yang berbeda atau bertentangan dengan diri sendiri.195 Toleransi paling tidak berkaitan dengan dua hal, yaitu toleransi dalam transaksi dan toleransi dalam hak.

Toleransi dalam transaksi adalah melakukan segala bentuk persetujuan jual belidalam perdagangan dan jasa dengan mudah, mulus, dan lancar. Penjual tidak mengangkat harga dan tidak memuji barangnya dan pembeli tidak banyak menawar dan memburuk-burukkan barang yang dibeli serta tidak ada usaha penipuan di dalamnya.Toleransi dalam hak adalah berikap membiarkan dan membolehkan sebagian hak milik pribadinya yang berbentuk materil dan moril diambil dan dimiliki orang lain.

Toleransi dalam bentuk ini sangat penting dalam menjaga manusia untuk selalu memperhatikan nilai-nilai etika di masyarakat. Menuntu hak secara penuh, utuh, dan lengkap dapat dianggap sebagai sikap yang kasar, kejam, dan kikir. Salah satu watak manusia adalah benci dan kesal pada orang yang beriskap kasar, kejam, dan kikir. Sebaliknya manusia senang dan cinta kepada orang yang bersikap ramah, sopan, lembut, dan pemurah.

Karena watak yang bersifat naluriah ini, manusia benci kepada yang tidak bersikap toleran dalam haknya dan sebaliknya senang kepada orang yang toleran dalam haknya.196 Perbankan syariah dalam sistem operasionalnya tidak semata-mata berorientasi profit seperti yang dilakukan oleh bank konvensional pada umumnya, akan tetapi perbankan syariah mencoba untuk menampilkan sosok dirinya sebagai pelayan umat yang bisa memberikan bantuan atau pertolongan, seperti bantuan finansial berupa keringanan agunan dan angsuran, atau bahkan sampai pada tahap 193 Ibid., h. 910. 194 Ibid., h. 924. 195 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., op. cit., h. 955.

Lihat pula Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 63-64. 196 Ibid., h. 209-210. pemutihan uang. Inilah yang menjadi implementasi misi dakwah sebagai wujud tanggungjawab sosial perbankan syariah. 16) Menjauhi Tindakan Ihtikar Ihtikar bermakna �al-zulm� yakni aniya atau �isa�ah al-mu�asyarah� yakni merusak pergaulan. Upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga.197 Al-Syaukani menjelaskan bahwa ihtkad adalah penimbunan barang dagangan dari peredarannya.

Al-Ghazali menyebutnya dengan penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak. Selanjutnya ulama Mazhab Maliki mendefenisikan bahwa ihtikad merupakan penyimpanan barang oleh produser, baik makanan, pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar.198 Persoalan ihtikar disinggung pula dalam Q.S. al-Maidah/5: 2: ?????? ???? ??? ???? ? ???? ??? ????? ????? ???? ??? ??????? ??? ?? ????? ????? ??? ???? ?????? Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.199 Demikian pula dalam Q.S.

al-Hajj/22: 78: ????? ?? ? ??????? ????? ??? ? ??? ?? ????? ?? ????? ??? ??? ??????? ?? ? ?????? ?? ?? ?? ??????? ?????? ?????? ??????? ? ????? ??? ????? ??????? ????? ????? ?????? ????? ???? ??? ??? ?? ???????? ???? ?????? ???? ?????? ???? ? ?????? ?? ??? ???????? ?????? Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah.

dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.200 Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa ihtikar merupakan tindakan yang mengumpulkan dan menahan beredarnya suatu barang berupa bahan makanan, uang, surat berharga, minyak dan gas bumi atau harta lainnya yang dibutuhkan masyarakat umum untuk kemudian melepasnya setelah harga melonjak di pasaran. Dengan kata lain, tidak mendukung perputaran roda perekonomian dan tidak memberdayakan harta yang dimiliki untuk kepentingan ekonomi umat yang dapat menopang ekonomi nasional. A. Perbankan Syariah 1. Pengertian Bank Syariah Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keungan dari setiap negara.

Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya. 197 Abdul Aziz Dahlan, et.al., eds., op. cit., h. 854. 198 Ibid. 199 Departemen Agama RI., op. cit., h. 156. 200 Ibid., h. 522. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.

Dalam Black�s Law Dictionary, bank dirumuskan sebagai: �... an institution usually incopated, whose business to receive money on deposit, cash, checks or drafts, discount commercial paper, make loans, and issue promissory notes payable to bearer known as bank notes�.201 Bank merupakan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.

Dalam kamus istilah hukum Fockema Andreae yang mengatakan bahwa bank adalah suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga. Berhubung dengan adanya cek yang hanya dapat diberikan kepada bankir sebagai tertarik, maka bank dalam arti luas adalah orang atau lembaga yang dalam pekerjaannya secara teratur menyediakan uang untuk pihak ketiga.202 G.M.

Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik berpendapat bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.203 Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak- pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Berkaitan dengan pengertian bank, Pasal 1 ayat 2 UU No.

21/2008 tentang Perbankan Syariah merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.204 Adapun perbankan syariah atau perbankan Islam adalah lembaga keuangan yang usahanya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalulintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.205 Sementara itu Warkum Sumitro memaknai bank syariah sebagai bank yang tata cara operasionalnya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara islami, yakni mengacu pada ketentuan al- Quran dan al-Hadis.206 Bank syariah/Islam didirikan dengan tujuan utama untuk mempromosikan dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait.

Prinsip utama yang diikuti oleh bank syariah/Islam itu adalah: a) larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi; b) melakukan kegiatan usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan keuntungan yang sah; dan c) memberikan zakat.207 Kegiatan dan usaha perbankan syariah selalu terkait dengan komoditas, antara lain: a) memindahkan uang; b) menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran; c) mendiskonto surat wesel, surat order, maupun surat berharga lainnya; d) membeli dan menjual surat- surat berharga; e) membeli dan menjual cek, surat wesel, dan kertas dagang; f) memberi kredit; dan g) memberi jaminan bank.208 Sementara itu sistem operasional perbankan syariah yaitu sejumlah unsur yang terdiri dari beberapa sub sistem yang menjadi pedoman penyelenggaraan aktivitas keuangan pada lembaga 201 Henry Champbell Black, Black�s Dictionary (St.

Paul: West Publishing Co, 1979), dalam Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional di Indonesia, edisi pertama (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 7. 202 Ibid., h. 8. 203 Ibid. 204 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI., Himpunan Peraturan Perundang-undangan: UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Bandung: Fokusmedia. 2008), h. 39. 205 Abdul Aziz Dahlan et. al., eds., op. cit., h. 194. 206 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait: BAMUI, TAKAFUL, dan Pasar Modal Syariah di Indonesia (Cet.

IV; Jakarta: RajaGrafindo, 2004), h. 5. 207 Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah (Cet. I; Jakarta: AlVaBet, 2002), h. 3. 208 Abdul Aziz Dahlan et. al., eds., loc. cit. perbankan syariah. Subsistem dimaksud adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, dan jasa layanan yang diberikan.209 Operasionalisasi perbankan syariah sebagai suatu sistem selalu berada dalam tiga bentuk kanalisasi kegiatan tersebut, yakni kegiatan penghimpunan dana (finanding) sebagai upaya membuat produk, menghimpun, dan mengelola dana umat, sehingga dapat diberdayakan kembali untuk kepentingan umat.

Kegiatan penyaluran dana (lending) merupakan kegiatan bank syariah yang meluncurkan berbagai produk perbankan dalam bentuk jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan pelayanan jasa (servicing) adalah kegiatan yang diberikan bank syariah terhadap nasabah selain dalam bentuk jual beli, pinjam meminjam, atau sewa menyewa. 2.

Latar Historis Bank Syariah di Indonesia Benih-benih pemikiran tentang perlunya mendirikan sebuah lembaga keuangan atau bank mulai terlihat sinyalemennya ketika KH. Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937-1944 mewacanakan tentang penggunaan jasa Bank Konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakukan karena umat Islam belum mempunyai bank sendiri yang bebas riba.210 Gagasan KH.

Mas Mansur tersebut kandas karena ia diklaim telah melakukan tindakan SARA dan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas nasional.211 Kondisi ini dimaklumi adanya karena di saat itu sampai dekade 1950-an wacana tentang bentuk negara hangat dibicarakan. Mereka yang berhaluan Islam menginginkan agar Negara Indonesia menjadi Negara Islam (NI). Sementara kalangan nasionalis tetap mempertahankan bentuk Negara Indonesia semula sebagaimana yang telah dicetuskan oleh The Founding Fathers bangsa ini.

Majelis Tarjih Muhammadiyah pada saat Muktamar di Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank Negara kepada nasabah, demikian pula sebaliknya, hukumnya termasuk syubhat atau mutasyabihat, yakni belum jelas halal atau haramnya. Oleh karena itu, sesuai petunjuk hadis diharuskan berhati-hati menghadapi masalah yang syubhat tersebut. Masyarakat diperbolehkan bermuamalah dengan bank melalui system bunga sekedarnya saja dan apabila benar-benar dalam keadaan terpaksa atau hajah artinya untuk keperluan yang sangat mendesak.212 Sebagai bentuk antisipasi terhadap transaksi keuangan pada lembaga keuangan yang menerapkan system bunga, KH. Azhar Basjir, MA.

Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah ketikaitu memberikan koridor bahwa untuk menentukan hokum bunga bank, maka terlebih dahulu harus dipertimbangkan besar kecilnya bunga atau keuntungan, siapa yang memperoleh, dan untuk siapa keuntungan itu dimanfaatkan.213 Berbanding terbalik dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Nahdatul Ulama melalui Bahtsul Masail-nya menghasilkan tiga kategori keputusan bahwa yaitu: (a) keputusan yang menyatakan bahwa bunga bank itu haram; (b) keputusan yang menyatakan bahwa bunga bank itu boleh/halal; dan (c) keputusan yang menyatakan bahwa bunga bank itu syubhat. Namun sebagai tindakan hati-hati, lebih baik dihindari.

Selanjutnya wacana tersebut telah hangat dibicarakan pada tahun 1970-an, yakni pada saat seminar nasional Hubungan Indonesia dengan Timur Tengah pada tahun 1974 dan dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1976 menjadi dibahas dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhinneka Tunggal Ika. Namun ada kendala yang menghambat terealisasinya ide tersebut, yaitu bahwa operasional bank syariah yang menerapkan prinsip bagi-hasil belum memiliki landasan yuridis yang kuat dan bertentangan dengan 209 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah (Cet.

I; Jakarta: Djambatan, 2001), h. 24. dalam Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, edisi revisi (Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo, 2006), h. 81. 210 Ibid., h. 58. Lihat juga Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia (Depok: Usaha Kami, 1996), h. 30. Lihat juga Gemala Dewi, op.cit., h. 58. 211 Warkum Sumitro, op. cit., h. 81. 212 The Lottery, Himpunan Putusan Tarjih (Cet. III; Yogyakarta: PP. Muhammadiyah Majelis Tarjih, t.th.), h. 305.

 213 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat, dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), h.13. Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 14 Tahun 1967. Secara politis, wacana bank syariah terkesan berbau ideologis yang dianggap sebagai perluasan ide Negara Islam pada bidang ekonomi yang menyisakan trauma bagi pemerintah di era 1950-an dan oleh karenanya mesti ditolak. Lagi pula siapa yang bersedia menanamkan modal dalam ventura seperti itu. Sementara dalam waktu yang bersamaan ada kampanye yang membatasi ruang gerak bank-bank Timur Tengah yang ingin membuka cabangnya di Indonesia.214 Realisasi atas keinginan untuk menerapkan prinsip-psirnsip syariah dalam lembaga keuangan di Indonesia, maka untuk pertama kalinya ditandai dengan berdirinya Bait al-Mal wa al-Tamwil (atau Bait al-Qiradh dalam masyarakat Aceh) yang berstatus Badan Hukum Koperasi pada tahun 1980-an.215 Di Bandung dibuka pula secara perdana lembaga keuangan syariah dalam bentuk Koperasi Bait al-Mal wa al-Tamwil Jasa Keahlian Teknosa pada tanggal 30 Desember 1980 dengan akta perubahan tertanggal 21 Desember 1982.

Pendirian ini dirangsang oleh adanya Deregulasi Perbankan Paket 1 Juni 1983, sekaligus menjadi indikasi awal mengakhiri hegemoni �prinsip bunga� dalam perbankan oleh pemerintah. Lahirnya kebijakan tersebut memberikan peluang kepada lembaga keuangan syariah untuk menerapkan bunga 0% dengan prinsip bagi hasil. Meski demikian, bank syariah belum juga didirikan karena dianggap belum menguntungkan dunia bisnis, kecuali bila ia berbadan hukum seperti koperasi. Perkembangan berikutnya di Jakarta berdiri Bait al-Mal wa al-Tamwil kedua dengan nama Koperasi Simpan-Pinjam Ridho Gusti pada tanggal 25 September 1988.

Dengan demikian, pada dekade 1980-an sesungguhnya pemerintah Indonesia telah mengapresiasi aspirasi sebagian besar masyarakat muslim baik secara personal maupun institusional yang menghendaki agar dibangun lembaga keuangan umat yang berbasis syariah. Kemudian sebagai aktualisasi konkrit lebih lanjut atas upaya ini, maka pada tahun 1988 pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia dan sebagai bentuk liberalisasi perbankan yang memungkinkan didirikannya bank-bank baru di samping yang sudah ada.216 Melalui Lokakarya Ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor pada 19-22 Agustus 1990 yang menghasilkan rekomendasi dan kemudian diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan dengan sistem bagi-hasil mulai diakomodasi, maka berdirilah Bank-Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).

BPRS pertama yang mendapatkan izin usaha adalah BPRS Berkah Amal Sejahtera dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991 serta BPRS Amanah Rabbaniyah tanggal 24 Oktober 1991 yang ketiga beroperasi di Bandung. Lalu BPRS Hareukat tanggal 10 November 1991 di Aceh. Geliat sejumlah BPRS inilah yang menjadi embrio lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang merupakan bank umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia tepatnya pada tanggal 1 Mei 1992.217 BMI lahir sebagai hasil kerja tim Perbankan MUI tersebut dengan akta pendirian PT.

Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 di Sahid Jaya Hotel dengan Akta Notaris Yudo Paripurno, SH. melalui izin Menteri Kehakiman Nomor C.2.2413.HT.01.01. Ketika itu terbentuk komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84 miliar. Dengan izin prinsip Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991, Izin Usaha Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 430/KMK:013/1992, tanggal 24 April 1992.

Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturrahmi di Istana Bogor dapat dipenuhi total komitmen modal awal disetor sebesar Rp. 106.126.382.-Dana tersebut berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh Menteri Kabinet Pembangunan V, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT. PAL, dan PINDAD. Kemudian Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang Bank Syariah. Dengan 214 Karnaen Perwataatmaja, loc. cit.

215 Duddy Yustiady, �Penjelasan Perbankan Syariah Secara Umum,� Makalah, disampaikan pada Pelatihan Perbankan dan Asuransi Syariah di AJB Bumi Putera-Fisip UI, Depok, April 2003), h. 2. 216 Gemala Dewi, op. cit., h. 59. 217 Ibid. terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia (BMI) mulai beroperasi.218 Kemunculan UU. No.7/1992 tentang Perbankan, yang mana perbankan bagi hasil diakui. Dalam undang-undang tersebut, pada pasal 13 ayat (c) menyatakan bahwa salah satu usaha bank perkreditan rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.

72/1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 119 Tahun 1992. Hal itu menyatakan secara tegas dalam ketentuan pasal 6 PP. No. 72/1992 yang berbunyi: a. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil; b.

Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.219 Dalam menjalankan perannya, bank syariah berlandaskan pada UU. Perbankan No. 7/1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil yang kemudian dijabarkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya menetapkan hak-hak, antara lain: a. Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum dan bank perkrediatan raklya yang dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil; b.

Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariah; c. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS); d. Bank umum dan bank perkreditan rakyat yang usaha kegiatannya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.

Sebaliknya, bank umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil (konvensional) tidak diperkenankan keguiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.220 Pasca berdiri dan beroperasi, BMI mensposori sekaligus menjadi salah satu pemegang saham pendirian asuransi Islam pertama di Indonesia, yaitu Syarikat Takaful Indonesia. Kemudian pada tahun 1997, BMI mendanai pelaksanaan Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang selanjutnya diikuti dengan beroperasinya lembaga reksadana Syariah oleh PT. Danareksa. Pada tahun yang sama berdiri pula sebuah lembaga pembiayaan (multifinance) Syariah, yakni BNI-Faisal Islamic Finance Company.221 Selama enam tahun beroperasi, kecuali UU. No. 7/1992 dan PP. No.

72/1992, secara praktis tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung beroperasinya perbankan syariah. Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa perbankan syariah menyesuaikan produk- produknya dengan hukum positif (peraturan umum perbankan) yang berlaku di Indonesia dan nota bene berbasis bunga. Akibat yang muncul kemudian adalah ciri khas syariah yang menempel pada bank syariah menjadi samara-samar, bahkan pada prakteknya identik dengan bank konvensional.

Dengan diundangkannya UU. No. 10/1998 tentag Perubahan UU. No. 7/1992 tentang Perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari Sistem Perbankan Nasional. Undang-undang tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa surat keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yakni tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat, dan Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.

Dari undang-undang tersebut dapat disebutkan bahwa system perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan: 218 Ibid., h. 60. 219 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI., Peraturan Pemerintah Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, PP. No. 72, LN. No. 119 Tahun 1992, TLN, No. n.a., Pasal 6. 220 Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia, No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993. a. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat dan tidak menerima konsep bunga.

Dengan ditetapkannya system perbankan syariah yang berdampingan dengan system perbankan konvensional (dual banking system), mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh system perbankan konvensional yang menetapkan system bunga. b. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah investor yang harmonis (mutual investor relationship).

Sementara dalam bank konvensiona, konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur-kreditur (debitor to creditor relationship). c. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpectual interest effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif, pembiayan ditujukan kepada usaha- usaha yang lebih memperhatikan unsure etika. d. Pemberlakuan UU No.

10/1998 ini diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk surat keputusan Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan bank syariah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut membuka kesempatan untuk pengembangan jaringan perbankan syariah, antara lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh Bank Konvensional.222 Dengan kata lain, bank konvensional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Landasan dan kepastian hukum yang kuat bagi pelaku bisnis serta masyarakat luas ini meliputi: a. Pengaturan aspek kelembagaan dan kegiatan usaha dan bank syariah sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 1 ayat (3) UU No. 10/1998. Pasal tersebut menjelaskan bahwa bank umum dapat memeilih untuk melakukan keguiatan usaha berdasatrkan system konvensional atau berdasarkan prinsip syariah atau melakukan kedua kegiatan tersebut.

Dalam hal bank umum melakukan kegiatan usaha berdasarkan syariah, maka kegiatan tersebut dilakukan dengan membuka satuan kerja dan kantor cabang khusus, yaitu unit usaha syariah dan kantor cabang syariah. Sedangkan BPR harus memilih kegiatan usaha di antara salah satunya saja. Bank umum konvensional yang akan membuka kantor cabang sayriah wajib melaksanakan. 1) Pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS); 2) Memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN); 3) Menyediakan modal kerja yang disishkan oleh bank dalam suatu rekening tersendiri atas nama UUS yang dapat digunakan untuk membayar biaya kantor dan izin-izin berkaitan dengan kegiatan operasional maupun non operasional Kantor Cabang Syariah (KCS). b. Ketentuan kliring instrumen moneter dan pasar uang antar bank. Di dalam penjelasan UU No.

23/1999 tentang Bank Indonesia telah diamanahkan bahwa untuk mengantisipasi perkembangan prinsip syariah, maka tugas dan fungsi BI untuk mengakomodasi prinsip tersebut. Untuk mengatur kelancaran lintas pembayaran antar bank serta pelaksanaan Pasa Uang Antar bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), transaksi pembayaran dilakukan melalui mekanisme kliring dengan membebankan rekening giro pada BI. Apabila dalam pelaksanaan saldo bank menjadi kurang dari Giro Wajib Minimum (GMW), maka bank atau kantor cabangnya dikenakan kewajiban membayar.

Dalam kegiatan operasional, bank dapat mengalami kelebihan atau kekurangan likuiditas. Bila terjadi kelebihan, maka hal itu dianggap sebagai keuntungan bank. Sedangkan apabila terjadi kekurangan likuiditas, maka bank memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan tersebut. Bagi bank syariah yang mengalami kekurangan dana dapat menerbitkan Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) yang merupakan sarana penanaman modal bagi bank syariah maupun bank konvensional. Untuk menjaga kestabilan moneter, BI menyerap kelebihan likuiditas bank-bank syariah melalui 222 Gemala Dewi, op. cit., h. 61-62. penerbitan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang didasari pada prinsip Wadiah (titipan).223 Urgensi dari peraturan baru tersebut adalah bahwa bank-bank umum dan bank-bank perkreditan rakyat konvensional dapat menjalankan transaksi perbankan syariah melalui pembukaan kantor-kantor cabang syariah, atau mengkonversikan kantor cabang konvensional menjadi kantor cabang syariah. 3.

Dasar Pertimbangan Berdirinya BMI di Indonesia, di samping mendapatkan tempat pada konteks legal syariat Islam, namun juga berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu:224 Pertama, bahwa secara sosiologis masyarakat Indonesia yang dominan muslim masih merasakan keraguan tentang hukum bunga yang berlaku pada bank-bank konvensional. Atas dasar keraguan ini, maka masyarakat tidak maksimal dalam memanfaatkan jasa layanan perbakan. Fakta ini tidak menguntungkan bagi sasaran pembangunan Repelita V yang dicanangkan Presiden Soeharto ketika itu dengan menargetkan bahwa diharapkan sumber pembiayaan pembangunan berasal dari sumber dana masyarakat dalam negeri.

Kedua, secara sosio-religius dengan meningkatnya pembangunan di bidang agama akan berbanding lurus dengan kesadaran umat Islam untuk memanifestasikan nilai-nilai dan ajaran agamanya. Tingkat kesadaran beragama ini tentu akan melahirkan tuntutan bagi umat Islam tentang perlunya lembaga keuangan yang berbasis syariah. Demikian pula, dampak meingkatnya keasadaran beragama juga akan meningkatkan pembangunan sarana-sarana keagamaan, seperti masjd, madrasah, mushallah, bait al-mal, dan sebagainya yang pada umumnya merasa ragu untuk menyimpan dananya di bank-bank konvensional.

Ketiga, kondisi obyektif menunjukkan bahwa perbankan konvensional yang telah sekian lama beroperasi kurang berperan secara optimal dalam membantu memerangi kemiskinan dan pemerataan tingkat pendapatan secara proporsional karena sistem bunga yang diterapkan kurang memberikan peluang bagi masyarakat miskin dalam mengembangkan usahanya agar lebih produktif. Selain itu, sistem bunga sangat memberatkan nasabah dalam proses pengangsurannya serta memberikan peluang terjadinya eksploitasi oleh kreditur yang mapan ekonominya kepada debitur yang pada umumnya miskin.

Keempat, secara politik dan ekonomi, kebijakan pemerintah di bidang ekonomi khusnya perbankan sangat mendukung bagi berperasinya bank tanpa bunga di Indonesia. Kebijakan yang lahir dalam bentuk peraturan misalnya terlihat dengan munculnya Deregulasi Perbankan 1 Juni 1983 yang memberikan kebebasan kepada bank untuk menetapkan sendiri bunganya sampai 0% sekalipun. Kesepakatan Oktober (PAKTO) 27 Oktober 1988 juga memberikan peluang bagi berdirinya bank-bank swasta baru. Kemudian bagi masyarakat yang rindu dengan perbankan syariah mendapatkan angin segar dari Senayan setelah pemerintah memberikan penjelasan lisan kepada Komisi VII DPR-RI dalam Rapat Kerja tanggal 5 Juli 1990 yang menegaskan bahwa tidak ada halangan bagi bank-bank yang berdasarkan prinsip syariat untuk beroperasi, tetapi harus berdasarkan pada kriteria standar nasional kesehatan perbankan.

Kelima, secara hukum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Pasal 1 ayat 12 memberi peluang bagi beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil keuntungan. Dasar tersebut semakin kuat dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Enam tahun kemudian, terbitlah UU No. 10/1998 tentang Perubahan UU No. 7/1992 tentang Perbankan. Sepuluh tahu setelah itu, perbankan syariah semakin memperlihatkan eksistensinya sebagai lembaga keuangan yang sejajar dengan lembaga keuangan konvensional setelah terbitnya UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah.225 223 Ahmad Buchari, �Kebijakan Bank Indonesia dalam Pengembangan Pasar Uang Syariah,� Jurnal Hukum Bisnis, Vol 20 (September 2002), h. 88.

Lihat juga Gemala Dewi, ibid., h. 63-64. 224 Warkum Sumitro, op. cit., h. 84-86. 225 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI., Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Keenam, adanya konsep yang melekat (build in concept) pada lembaga BMI yang sejalan dengan kebutuhan dan orientasi pembangunan di Indonesia. Orientasi dimaksud adalah: a) adanya kebersamaan antara bank dengan nasabah; b) mendorong kegiatan investasi dan menghambat simpanan yang tidak produktifmellaui sistem operasi profit and loss sharing sebagai pengganti bunga; c) mengurangi kemiskinan dengan membina ekonomi lemah dan tertindas; dan d) mengembangkan produksi, menggalakkan perdagangan, dan memperluas kesempatan kerja melalui kredit pemilikan barang dan modal. 4. Tujuan dan Strategi Usaha BMI a.

Tujuan Usaha BMI Antara tujuan didirikannya BMI disikroniasikan dengan tujuan bermuamalah sesuai ketentuan syariat Islam dan kondisi ekonomi, sosial budaya, hukum serta politik pada konteks Indonesia. Pentingnya penyusuaian tersebut agar kehadiran Bank Muamalat Indonesia yang relatif lebih baru daripada bank-bank konvesional tidak menimbulkan benturan-benturan, bahkan pertentangan satu sama lain.

Sehingga BMI diharapkan dapat hidup berdampingan dan berkompetensi secara sehat dengan bank-bank yang telah ada dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional. Dengan demikian BMI akan terjamin kelangsungan hidupnya di tanah air Indonesia. Tujuan umum Bank Muamalat Indonesia adalah: 1) Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, sehingga akan semakin berkurang kesenjangan sosial ekonomi, sehingga akibat dari pratik-pratik kegiatan ekonomi yang tidak Islami.

2) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi keuangan yang selama ini partisipasi masyarakat memanfaatkan lembaga perbankan masih kurang sebagai akibat dari sikap keraguan terhadap hukum bunga bank. 3) Mengembangkan lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat bedasarkan efisiensi dan keadilan, sehingga mampu meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menggalakkan ekonomi rakyat, antara lain dengan memperluas jaringan perbankan ke daerah-daerah pedesaan yang terpencil.

4) Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomi berperilaku bisnis dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.226 Selain mempunyai tujuan umum, Bank Muamalat Indonesia juga memiliki tujuan khusus sebagai berikut: 1) Memberikan kesempatan kepada orang-orang Islam khususnya dan tidak menutup peluang bagi selai yang beragama Islam untuk berhubungan dengan perbankan yang lebih menjamin adanya kebersamaan, keadilan dan pemerataan pendapatan. Kesempatan tersebut tidak hanya diberikan kepada kelompok ekonomi menengah ke atas, tetapi justru mengutamakan kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Oleh karena itu, fasilitas-fasilitas kreditnya diutamakan berupa barang/peralatan modal usaha dengan harapan kehidupan ekonomi nasabah semakin mandiri. 2) Memberikan lapangan kerja, sekaligus mendidik kepada orang-orang yang kurang mampu atau pengusaha kecil untuk mengembangkan usahanya, sehingga mampu berwirausaha dan memiliki prospek bisnis yang cerah. Untuk mencapai tujuan ini, selain wujud fasilitasnya berupa barang/peralatan modal, juga berupa fasilitas kredit tunai al-Qarhul Hasan.

3) Memberikan pembinaan kepada pengusaha produsen baik kecil maupun besar, petani maupun pengrajinan berupa kredit pemilikan barang-barang modal dan bahan baku (al-Mudharabah atau al-Bai�u Bithaman Ajil). 4) Memberikan pemibinaan kepada pedagang perantara guna membantu pemecahan masalah pemasaran bagi produsen dengan memberikan kredit berupa barang dagangan kepada para perantara yang berminat menjualkan barang hasil produksi pengusaha yang dibina Bank Islam.

5) Mengembangkan usaha bersama dengan jalan memberikan kredit investasi berupa barang modal dan bahan baku dengan sistem bagi hasil al-Murabahah. Untuk kredit pengembangan 226 Karnaen Perwataatmaja dan Muhammad Syafi�i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta: Yayasan Dana Bhakti Wakaf, 1990), h. 85-86. usaha ini tidak dikenakan biaya apa pun, hanya berupa pembagian keuntungan. Apabila diperlukan, pengusaha tersebut dapat meminta kredit modal kerja tunai yang harus dibayar kembali dengan biaya administrasinya.227 b.

Strategi Usaha BMI Dalam upaya mencapai tujuan Bank Muamalat Indonesia di dalam operasionalisasinya akan mendasarkan kepada strategi usaha sebagai berikut: 1) Sasaran Pembinaan Sasaran pembinaan BMI meliputi pengrajinan industri kecil, nelayan, peternak, pekebun petani tanaman pangan dan holtikultura, pedagang kecil, pengusaha transportasi dan pengusaha lainnya. Untuk sasaran tersebut dilakukan kegiatan untuk membina dan mempercepat berkembangnya masyarakat kelompok ekonomi menengah ke bawah untuk mengantisipasi dampak negatif dari pembangunan, sehingga terbentuk landasan yang kokoh bagi pengembangan manusia seutuhnya dalam pembangunan nasional jangka panjang kedua.

2) Strategi Pengembangan Strategi pengembangan BMI dilakukan dengan kegiatan-kegiatan: a) Bekerja sama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang telah ada dengan cara: (1) Mengintrodusir dan membina pengembangan produk-produk dan sistem perbankan berdasarkan syariah Islam. (2) Mengintrodusir pengembangan usaha berdasarkan kebersamaan dan peran serta dalam permodalan dan risiko. (3) Merintis dan mengembangkan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dalam mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknologi, peningkatan nilai dan pengembangan usaha kecil dan menengah.

b) Mendorong penegmbangan bank-bank perkreditan rakyat (BPR) baru di daerah-daerah potensial, pengembangan usaha kecil dan menengah dengan cara: (1) Penyedian modal perangsangan (2) Penyedian staf BPR dan pelatihan (3) Penyedian modal kerja dan pembinaan teknis (4) Pembinaan lanjutan (5) Merintis dan mengembangkan kerja sama dengan LSM dalam mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknologi, peningkatan nilai tambah dan pengembangan usaha pengusaha kecil dan menengah. c) Bekerja sama dengan badan amil zakat, infaq, dan sedekah (BAZIS) mengintensifkan pengelolaan dana zakat, infaq, dan sedekah untuk proyek-proyek pengembangan usaha kecil dan menengah. d) Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga penyedia bantuan teknik manajemen untuk pengusaha kecil dan menengah.

e) Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga penyedia teknologi peningkatan produktivitas. f) Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga penyedia bantuan pembinaan keterampilan akuntasi. g) Mengembangkan peranan lembaga dan melancarkan jaringan penyediaan bahan baku. h) Mengembangkan peranan kelembagaan pemasaran hasil produksi.228 Demikian tujuan dan strategi usaha Bank Muamalat Indonesia yang kemudian akan dikembangkan lagi sesuai kebutuhan dan perkembangan dunia perbankan di Indonesia dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip syariah. 5. Landasan Normatif Bank Syariah 227 Karnaen Perwataatmadja dan Muh.

Syafi�i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Yayasan Dana Bhakti Wakaf, 1990), h. 85-86. 228 Ibid. Dasar pemikiran terbentuknya Bank Islam adalah bersumber dari adanya larangan riba yang terdapat dealam sistem bunga. Meskipun para ulama masih berbeda pendapat tentang bunga, apakah riba atau bukan. Mengenai hal ini, paling tidak ada tiga kelompok ulama atau cendekiawan muslim yang berbeda pendapat.

Kelompok pertama menyatakan riba hukumnya haram, baik banyak maupun sedikit kadarnya. Kelompok ini banyak didukung leh kalangan ulama fikih, termasuk ulama kontemporer seperti Abu al-A�la al-Maududi, Hasan al-Banna, dan lainnya. Kelompok kedua hanya mengharamkan hukum riba yang berlipat ganda saja. Termasuk kelompok ini misalnya Muhammad Abduh, Mahmud Syaitut. Di Indonesia ekonom seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Muhammad Hatta, juga termasuk orang-orang yang tidak memasukkan kategori bunga uang sebagai riba.

Di kalangan Muhammadiyah pun terjadi pandangan yang berbeda mengenai larangan bunga karena berbasis riba. Muhammadiyah sepakat menegaskan bahwa riba diharamkan dalam aktivitas perekonomian, tetapi bunga bank dianggapnya sebagai masalah yang perlu diijtihadkan. Demikian pula dengan Nahdlatul Ulama mengemukakan tiga pandangan yang berbeda, yaitu: Pertama, pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak sebab termasuk utang yang dipungut manfaatnya (rente), sehingga hukumnya haram; Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh; dan Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa persoalan bunga bank adalah samar-samar atau syubhat karena ulama berselisih paham mengenai hal ini.229 Namun demikian, dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian, maka bunga bank dianggap sebagai riba.

Hal ini pula menjadi salah satu pertimbangan Majelis Ulama Indonesia untuk menetapkan fatwa tentang keharaman bunga bank karena dikategorikan sebagai riba. Oleh karena itu, meskipun landasan bank syariah secara normatif dianggap berpijak pada ayat tentang riba yang masih diikhtilafkan, namun para ulama, khususnya yang tergabung dalam Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadikan nash-nash al-Quran yang membahas tentang riba sebagai landasan normatif perbankan syariah, di antaranya Q.S. al-Baqarah/2: 275-276 dan 278-279, Ali Imran/3: 130, al-Nisa/4: 161, dan al-Rum/30: 39. Dalam Q.S.

al-Baqarah/2: 275-276 disebutkan: ???? ????? ????? ???? ? ???? ?? ??????? ?????? ???? ???? ??? ?? ?????? ? ?????? ?????? ????? ? ?? ??? ?????? ??? ?? ???? ?????? ???? ?? ????? ????? ??? ? ?????? ???? ????? ?? ???? ? ?????? ??? ????? ?? ??? ? ??? ? ??????? ????? ?????? ?? ???? ????? ?????? ???? ?? ? ????? ????? ??????? ??? ??? ????? ???? ???? Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.

keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.230 Q.S. al-Baqarah/2: 278-279 menyatakan: 229 Muslimin H. Kara, loc. cit. 230 Departemen Agama RI., op. cit., h. 69. ?? ?? ???? ?????? ?????? ?? ??? ????? ?????? ???? ?? ?????? ?? ??? ?? ????? ?? ????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ?? ?????? ? ??????? ???? ???? ???? ??? ? ??????? Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.231 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya Q.S. al-Baqarah/2: 278-279 tersebut berkenaan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada Gubernur Makkah setelah Fath al-Makkah, yaitu �Attab bin Asyad tentang utang-utangnya yang mengandung riba sebelum ada hukum penghapus riba kepada Bani �Amr bin �Auf dari suku Tsaqif.

Bani Mughirah berkata kepada �Attab bin Asyad: �Kami adalahmanusia yang paling menderita akibat dihapusnya riba�. Maka berkata �Amr: �Kami minta penyelesaian atas riba kami�, maka Gubernur �Attab menulis surat kepada Nabi saw. dan surat tersebut dijawab oleh Nabi saw. sesuai dengan ayat di atas. Dalam Q.S. Ali Imran/3: 130 ditegaskan pula: ????? ?????? ????? ?? ?????? ? ?????? ?????? ?????? ?????? ? ?????? ????? ?????? Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.232 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa terdapat orang-orang yang berjual beli dengan kredit (dengan bayaran berjangka waktu).

Apabila telah tiba waktunya pembayaran dan tidak membayar, maka bertambah bunganya dan ditambah pula jangka waktu pembayarannya, lalu turunlah Q.S. Ali Imran/3: 130 tersebut. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa terdapat orang-orang berjual beli dengan kredit. Apabila telah tiba waktu pembayaran dan ia tidak membayar, maka bertambah bunganya dan bertambah pula jangka waktu pembayarannya, lalu turunlah Q.S. Ali Imran/3: 130 sebagai larangan atas perbuatan itu. Selanjutnya Q.S.

al-Nisa/4: 161 menyatakan: ????? ????? ????? ???? ???????? ??????? ? ??????? ????? ????? ?????? ??? ???? ??? ?????? ?????? Dan (karena) mereka memakan riba, padahal telah dilarang (karena) mereka memakan harta manusia dengan (cara) yang tidak betul; dan kami telah sediakan bagi orang-orang kafir dari antara mereka itu siksaan pedih.233 Q.S. al-Rum/30: 39 menyatakan: ?? ??????? ?? ??? ?????? ???? ?? ?????? ??? ? ?? ??? ????? ?? ????? ????? ?? ?????? ??? ?? ?????? ??? ???? ???????? Dan suatu riba yang kamu beri supaya jadi tambahan di harta manusia tidak akan jadi tambahan (padahal) di sisi Allah, tetapi zakat yang kamu keluarkan karena mengharap keridhaan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang mendapat pahala berlipatganda.234 231 Ibid., h. 70. 232 Ibid., h. 97. 233 Ibid., h. 150. Berdasarkan informasi ayat di atas, maka secara nyata riba dilarang.

Hal ini terlihat melalui kalimat-kalimat yang dipergunakan sebagian besar bersifat larangan, sebaliknya dianjurkan untuk bersedekah. 6. Tinjauan Hukum Bank Syariah di Indonesia Asas berlakunya undang-undang dalam arti materiil merupakan sarana yang digunakan semaksimal mungkin untuk dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu. Undang-undang senantiasa harus mencerminkan upayapemenuhan kesejahteraan manusia tersebut dalam suatu negara baik melalui pembaruan ataupun pelestarian ketentuan- ketentuannya.235sebagaimana telah kita ketahui bahwa timbulnya pratik-pratik pelepasan uang perorangan maupun institusional berupal lembaga perbankan, yatiu merupakan awal dari pelaksanaan kegiatan usaha lembaga keuangan di Indonesia, yang terjadi sejak zaman penjajahan merupakan jawaban dari adanya kebutuhan akan sumber dana bagi kelangsungan hidup di masyarakat, baik kebutuhan yang bersifat konsumtif maupun produktif dalam bentuk investasi.

Maka untuk menrtibkan pratik lembaga pelepasan uang tersebut dikeluarkanlah pengaturan baik dalam bentuk undang-undang (wet) maupun berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak pemerintah. Di antara lembaga keuangan yang telah terjadi sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank N. V, tanggal 10 Oktober 1827 yan kemudian dikeluarkannya Undang-Undang De Javashe Bank Wet 1922.236 Bank inilah yang kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui proses nasionalisasi pada tahun 1951 dengan dikeluarkannya UU No.

24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951. Sejak beralihnya kekuasaan negara ketangan pemerintahan Republik Indonesia tahun 1945, dalam rangka mengawali pembangunan dan pengokohan eksistensi negara, maka mulailah menggalakkan peraturan dalam berbagai bentuk perundan-undangan beserta perubahannya mengenai perbankan pemerintah237 dan membuka Bursa Efek melalui penetapan Undang-Undang No.15 Tahun 1952 tentang Bursa. Akhirnya denan dikeluarkannya Undang-Undang No.14

Tahun1967 tentang pokok-pokok perbankan yang merupakan pedoman pengaturan tentang perbankan di Indonesia maka di jaminlah kesatuan penataan dalam keseluruhan perbankan di Indonesia dan sebagai pelaksanaannya, kemudian dikeluarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, yang dilaksanakan Bank Indonesia dan peraturan pelaksanaan lainnya.238 Untuk mereview eksistensi perbankan syariah di Indonesia dalam tata perundang-undangan nasional, maka menilik pemberlakuan beberapa pertauran perundang-undangan perbankan Indonesia menjadi penting adanya. Secara kronologis dapat diutarakan sebagai berikut: a. Periode UU No. 14/1967 UU No.

14/1967 tentang Pokok-pokok Perbankan adalah undang-undang perbankan pertama yang dibuat oleh pemerintaha RI di zaman kemerdekaan Indonesia. Oleh karena pemikiran para perumus undang-undang saat itu masih diselimuti oleh semangat orde baru dan belum lama terbebas dari belenggu kolonialime, maka pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 14/1967 belum menyiratkan adanya sistem perbankan yang berbasis syariah. b. Periode UU No. 7/1992 Pada periode UU No. 7/1992 tentang perbankan ini diperkenalkan istilah �bagi hasil� dalam sistem perbankan Indonesia.

Istilah bagi hasil dalam undang-undang ini terdapat pada pasal 1 ayat 12, Pasal 6 butir m dan Pasal 13 butir o. 234 Ibid., h. 647. 235 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Cet.II; Jakarta: 1986,) h. 78. 236 Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan (Jakarta: Pradya Paramita, 1997), h.36. 237Untuk jelasnya dapat dibaca sejarah berdirinya perbankan dan lembaga-lembaga keuangan di Indonesia beserta perkembangannya hingga sekarang, dalam buku Soetatwo Hadiwigeno dan Faried Wijaya, Lembaga-Lembaga Keuangan dan Bank Perbankan, Teori dan Kebijaksanaan (Cet. III; Jogjakarta: B.P.F.E., 1984,) h. 223-294.

238Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI., Undang-undang No. 15 Tahun 1952 tentang Bursa Efek: Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan; Undang-undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. UU No. 7/1992 tentang Perbankan ini belum menjelaskan pengertian bagi hasil dan pengertian bagi hasil itu dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaan dari UU ini. Dua peraturan pelaksanaan yang pertama, yatiu PP No. 70/1992 tentang Bank Umum dan PP No.

71/1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat juga tidak menjelaskan tentang pengertian bagi hasil. Selanjutnya untuk meyakini bahwa dalam melakukan kegiatan usaha bank itu sesuai dengan syariat Islam, PP No. 72/1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil memperkenalkan istilah Dewan Pengawas Syariah sebagai pengontrol aktivitas perbankan dengan prinsip bagi hasil ini.

Gambar 1 Skema Susunan Organisasi Bank Sistem Bagi Hasil239 MUI Pusat Dewan Pengawas Syariah Mewakili Kepentingan Agama/keyakinan Dewan Komisaris Direksi Embrio prakti Divisi nking Syst Divisi onven Divisi bank syariah) pada hakikatnya telah termaktub dalam UU No. 7/1992 ini karena telah disinyalir adanya bank yang berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai karakter sistem perbankan syariah. Kemudian nuansa ini sistem perbankan syariah berkembang lagi pada tahapan berikutnya dengan diberlakukannya UU No. 10/1998 tentang Perubahan atas UU No.

7/1992 tentang Perbankan. c. Periode UU No. 10/1998 UU No. 10/1998 tentang Perubahan atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan merupakan ketentuan yang memberikan landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan sistem perbankan Syari�ah di indonesia. Hal inilah yang merupakan suatu perubahan yang signifikan terhadap UU perbankan sebelumnya. Sebagaimana telah diuraikan pada sub bab terdahulu telah kita lihat bahwa pada UU No.7/1992 istilah perbankan Syari�ah masih belum dinyatakan secara eksplisit, melainkan hanya dinyatakan dengan menggunakan istilah Bank dengan prinsip bagi hasil, sebagaimana diatur dalam pasal 6 dan pasal 13.

Pengertian Bank dengan prinsip bagi hasil yang dimaksudkan dalam Undang-Undang tersebut belum mencakup secara tepat pengertian Bank Syari�at �Islamic Bank� yang memiliki cakupan yang lebih luas dari bagi hasil, meskipun UU tersebut telah memungkinkan berdirinya Bank umum Syari�ah yang pertama di indonesia. Demikian pula peraturan pelaksanaan yang ada pada masa itu dirasakan belum banyak membuka ruang gerak bagi operasional perbankan syariah di Indonesia. 240 Dengan dikeluarkannya UU No. 10/1998 yang mengubah UU No.7/1992 tentang perbankan serta peraturan-peraturan pelaksanaannya ini, maka Indonesia telah memasuki periode baru yaitu periode perkembangan sistem Perbankan Syariah dengan munculnya bank-bank syariah baru.

Berdasarkan Undang-Undang Perbankan yang baru ini, sistem perbankan di Indonesia terdiri atas bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah (atau digunakan istilah Dual Banking System). Salah satu prinsip yang dipegang dalam pengaturan tentang bank syariah dalam UU No. 10/1998 ini adalah bahwa prinsip syariah meruakan suatu prinsip dalam menjalankan kegiatan usaha bank. Jadi sifatnya bukan merupakan jenis kelembagaan melaikan cara menjalankan kegiatan usaha bank.

Sejalan dengan itu, istilah bank syariah tidak didefenisikan sebagai jenis bank tersendiri, sehingga jenis bank di Indonesia tetap hanya dua, yakni bank umum (BU) dan bank perkreditan rakyat (BPR). Adapun dari 239 Gemala Dewi, op. cit., h. 172. 240 Sampai dengan tahun 1998 belum terdapat perangkat hukum operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank Syari�ah. Lihat Subardjo Joyo Sumarto, �Kebijakan Bank Indonesia Dalam Pengembangan Bank Syari�ah�, Paper, disampaikan pada Seminar Aspek Hukum dan Bisnis Perbankan Syari�ah (Jakarta: Warens dan Achyar Law Firm, 2000) h. 172. kegiatan usahanya, bank umum dan bank perkreditan rakyat tersebut dapat menjalankan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah (menjadi bank umum syariah dan BPR syariah).

Mengenai hal ini dapat dijelaskan perbedaan antara kedua kegiatan usaha perbankan dalam Dual Banking System tersebut seperti pada gambar berikut: Gambar 2 Skema Dual Banking System241 BANK SYARIAH BANK KONVENSIONAL Pendapatan Dividen Pendapatan Bunga Dana Investor Pembiayaan DANA BANK SYARIAH DANA BANK KONVENSIONAL Dana Nasabah Kredit Bagi Hasil Pendapatan Bunga dari Kredit/Pasar Uang Selain itu, undang-undang ini memungkinkan Dual System of Banking, yakni pengembangan bank syariah melalui pendirian bank syariah baru dan perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah serta pelaksanaan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Konvensional.

Khusus bagi bank umum yang selama ini menjalankan kegiatan usaha konvensional, dapat melakukan kegiatan usaha secara prinsip syariah, dengan cara membuka kantor cabang baru yang semata-mata melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau mengubah kantor cabang yang telah ada menjadi kantor cabang yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 241 Gemala Dewi, op. cit., h. 174. Gambar 3 Struktur Bank Umum Konvensional Membuka Kantor Cabang Syariah242 RUPS Dewan Komisaris DPS Direksi Divisi Divisi Divisi UUS Kantor Cabang Konvensional Kantor Cabang Konvensional Kantor Cabang Konvensional Kantor Cabang Konvensional Dalam hal suatu bank menjalankan kegiatan usahanya baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah, maka bank yang bersangkutan harus menatausahakan pembukuannya secara terpisah mengingat perbedaan prinsip yang digunakan tersebut.

Sejak berlakunya UU No. 10/1998 tentang perubahan UU No. 7/1992 tentang Perbankan, maka segala ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang perbankan yang semula dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah kini telah diahlikan pada kebijaksanaan Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentaral. Ketentuan yang mencabut peraturan pelaksnaan dibidang perbankan tersebut dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang secara lengkap berjudul PP No.

30/1999 tentang Pencabutan PP 70/1992 tentang Bank Umum sebagai mana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP No. 73/1998, PP No. 71/1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan PP No. 72/1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Melalui pencabutan ini seluruh PP tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dimulai sejak dikeluarkannya ketentuan peundangan yang baru oleh Bank Indonesia. Peraturan kebijaksanaan Bank Indonesia yang menggatikan kedudukan Peraturan Pemerintah di bidang perbankan tersebut pada prinsipnya merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang mendukung operasional Perbankan Syariah di Indonesia.

Perangkat ketentuan-ketentuan yang diperlukan bagi operasional Perbankan Syariah secara umum dibagi dalam empat kelompok, yaitu peraturan yang terkait dengan: 1) Kelembagaan yang meliputi pengaturan mengenai tata cara pendirian, kepemilikan, dan kegiatan usaha bank. Peraturan yang telah di terbitkan Bank Indonesia adalah: 4. SK Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum. Kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentng Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah jo. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang Perubaha Atas PBI No. 6/24/PBI/2004. 5. SK Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. 6. PBI No. 7/17/PBI/2005 tentang Kewajiban Pengeluaran Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.243 2) Pengaturan yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas dan instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah. 7. Peraturan Bank Indonesia No.

2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum, yang kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia No. 6/21/PBI/2004 tanggal 3 Agustus 2004. 8. Peraturan Bank Indonesia No. 2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indosesia No. 1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus 1999 tentang Penyelenggaran Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antarbank Atas Hasil Kliring Lokal. 9. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah jo. PBI No.

7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas PBI No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari tentang PUAS. 10.Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/pbi/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Kemusian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia No. 6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. 11.Peraturan Bank Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februri 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah yang kemudian di ubah oleh PBI No.

7/23/PBI/2005 tanggal 7 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas PBI No. 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah. 12.Peraturan Bank Indonesia No. 7/24/PBI/2005 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.244 3) Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Pudential Banking Regulation) Pengaturan yang diperluka bagi bank syariah untuk melaksanakan prinsip kegiatan usaha yang berhati-hati dan berdasarkan pratik-pratik usaha yang sehat.

(Dewan ini penerapan prinsip kehati-hatian masih mengacu kepada Standar Internasional Perbankan Umum yang diterbitkan oleh Bank for Internasional Settlement (BIS) yang berkedudukan di Basle Swiss). 4) Peraturan lainnya merupakan peraturan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia atau lembaga lain sebagai pendukung operasi Bank Syariah. Peraturan ini meliputi: 6. Ketentuan berkaitan dengan pelaksanaan tugas Bank Sentral, 7. Ketentuan Standar Akuntasi dan Audit, 8.

Ketentuan pengaturan perselisihan perdata antara bank dengan nasabah (Abitrase Muamalah), 9. Ketentuan mengenai standarisasi fatwa produk Bank Syariah, 10.Dan peraturan pendukung lainnya.245 Ketentuan-ketentuan yang disebutkan terakhir diatas merupakan ketentuan pendukung yang sangat penting dalam operasional bank Syariah yang menjadi bagian dari srategi pengembangan sistem Perbankan Syariah yang telah digariskan oleh Bank Indonesia.

Di samping itu, sejak 1 Juni 2001 Bank Indonesia telah membuka Biro Perbankan Syariah yang akan menangani pengaturan, pengawasan, dan perizinan Bank Syariah. Saat itu Biro Perbankan Syariah telah digantikan menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah membentuk Dewan Nasional Pengawas Syariah (DNPS) yang bertugas memberikan fatwa dan membetuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) disetiap institusi keuangan syariah di Indonesia.

Kedua lembaga ini saling bekerja sama dalam mengeluarkan produk hukum ataupun fatwa untuk pengembangan dan pengawasan terhadap aktivitas dan kegiatan usaha Perbanakan Syariah di Indonesia. d. Periode UU No. 21/2008 243Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2004). 244 Ibid. 245 Gemala Dewi, op. cit., h. 180. Setelah sekian lama masyarakat Muslim Indonesia menunggu adanya undang-undang yang mengatur tentang perbankan syariah, akhirnya terbitlah UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah.

Lahirnya undang-undang ini sangat melegakan banyak pihak karena selama ini perbankan syariah masih setengah hati diakomodir dalam undang-undang perbankan sebelumnya. Kali ini perbankan syariah tampil penuh percaya diri dengan payung hukum tersendiri yang sejajar dengan bank-bank konvensional lainnya di Indonesia. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan pada prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.246 Dengan tujuan menunjang pelaksaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan ksejahteraan rakyat.247 Keberadaan bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) berfungsi untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat; menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat; dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannyakepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).248 Selanjutnya undang-undang ini memuat tentang perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, dan kepemilikan; jenis dan kegiatan usaha kelayakan penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah dan UUS; pemegang saham pengendali, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Direksi, dan Tenaga Kerja Asing; tata kelola, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan resiko perbankan syariah; rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; penyelesaian sengketa; sanksi administratif; ketentuan pidana; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup.249 Undang-undang ini dinilai sebagai babak baru dalam bidang hukum bagi sistem perbankan syariah di Indonesia.

Muatannya sangat konprehensif sehingga banyak hal yang dapat diakomodir dalam sistem perbankan syariah dan bagaimana mengembangkannya. Keberadaan UU No. 21/2008 ini sekaligus memperteguh dan mengukuhkan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah mengeluarkan 40 fatwa ditambah 1 Keputusan Komisi Fatwa, yang terkait dengan perbankan syariah di Indonesia dalam rentang waktu tahun 2000 s.d. 2006 serta Peraturan Bank Indonesia sebanyak 15 buah dalam rentang waktu tahun 2000 s.d. 2007.

Sejumlah fatwa DSN-MUI tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Fatwa DSN-MUI tentang Produk Penghimpunan Dana (Funding): a) Fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro b) Fatwa DSN-MUI No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan c) Fatwa DSN-MUI No. 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito 2) Fatwa DSN-MUI tentang Produk Penyaluran Dana (Lending): a) Produk Perbankan Syariah Berdasarkan Akad Jual Beli: (1) Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah (2) Fatwa DSN-MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam (3) Fatwa DSN-MUI No.

06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istisna (4) Fatwa DSN-MUI No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istisna Paralel b) Produk Perbankan Syariah Berdasarkan Akad Bagi Hasil: (1) Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) (2) Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah (3) Fatwa DSN-MUI No. 50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah c) Produk Perbankan Syariah Berdasarkan Akad Sewa-Menyewa: 246 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.,

UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah, Bab II Asas, Tujuan, dan Fungsi Pasal 2 (Cet. I; Bandung: Fokusmedia, 2008), h. 44. 247 Ibid. 248 Ibid. 249 Konsideran mengenai hal ini dapat dilihat dan dibaca dalam Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI., Himpunan Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Perbankan Syariah dan Surat Berharga Syariah Negara (Cet. I; Bandung: Fokusmedia, 2008). (1) Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah (2) Fatwa DSN-MUI No.

27/DSN-MUI/III/2006 tentang Al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik d) Produk Perbankan Syariah Berdasarkan Akad Pinjam Meminjam: Fatwa DSN-MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang Al-Qardh e) Beberapa fatwa yang terkait dengan produk pembiayaan: (1) Fatwa DSN-MUI No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dan Murabahah (2) Fatwa DSN-MUI No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah (3) Fatwa DSN-MUI No.

16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon dalam Murabahah (4) Fatwa DSN-MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran (5) Fatwa DSN-MUI No. 18/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syariah (6) Fatwa DSN-MUI No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah (7) Fatwa DSN-MUI No.

29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah (8) Fatwa DSN-MUI No. 30/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Rekening Koran Syariah (9) Fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta�widh) (10) Fatwa DSN-MUI No. 44/DSN-MUI/VII/2004 tentang Pembiayaan Multi Jasa (11) Fatwa DSN-MUI No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah (12) Fatwa DSN-MUI No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar (13) Fatwa DSN-MUI No.

48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah (14) Fatwa DSN-MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah 2) Fatwa DSN-MUI tentang Produk di Bidang Jasa Perbankan: a) Fatwa DSN-MUI No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah b) Fatwa DSN-MUI No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah c) Fatwa DSN-MUI No. 24/DSN-MUI/III/2002 tentang Safe Deposit Box d) Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn e) Fatwa DSN-MUI No.

26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas f) Fatwa DSN-MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) g) Fatwa DSN-MUI No. 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang h) Fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit Impor Syariah i) Fatwa DSN-MUI No. 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit Ekspor Syariah j) Fatwa DSN-MUI No. 36/DSN-MUI/X/2002 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia k) Fatwa DSN-MUI No. 38/DSN-MUI/X/2002 tentang Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA) l) Fatwa DSN-MUI No.42/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card m) Fatwa DSN-MUI No.45/DSN-MUI/II/2004 tentang Line Facility (Al-Tashilat) n) Keputusan Fatwa Komisi Fatwa MUI tentang Wakaf Uang250 Adapun Peraturan Bank Indonesia yang mengatur bidang perbankan syariah adalah sebagai berikut: 1) Peraturan Bank Indonesia No.

6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah 2) Peraturan Bank Indonesia No. 7/35/PBI/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah 250 Abdul Ghofur Anshori, op. cit., h. 75-183. 3) Peraturan Bank Indonesia No.

7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah 4) Peraturan Bank Indonesia No. 7/47/PBI/2005 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat Syariah 5) Peraturan Bank Indonesia No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional 6) Peraturan Bank Indonesia No.

8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Goog Corporate Governance Bagi Bank Umum 7) Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan 8) Peraturan Bank Indonesia No. 8/7/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/13/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah 9) Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah 10) Peraturan Bank Indonesia No.

8/22/PBI/2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah 11) Peraturan Bank Indonesia No. 8/23/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah 12) Peraturan Bank Indonesia No. 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah 13) Peraturan Bank Indonesia No.

8/25/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah 14) Peraturan Bank Indonesia No. 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah 15) Peraturan Bank Indonesia No. 9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah.251 Lahirnya UU No.

21/2008 tentang Perbankan Syariah didahului oleh lahirnya piranti hukum terkait sistem perbankan syariah, yaitu UU No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Sebelumnya belum ada undang-undang yang mengatur secara khusus tentang surat berharga syariah negara. Dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat dan dapat diperdagangkan atau tidak diperdagangkan secara sekunder.252 SBSN ini dapat berupa: (a) SBSN Ijarah yang diterbitkan berdasarkan Akad Ijarah; (b) SBSN Mudaharabah yang diterbitkan berdasarkan Akad Mudharabah; (c) SBSN Musyarakah yang diterbitkan berdasarkan Akad Musyarakah; (d) SBSN Istisna yang diterbitkan berdasarkan Akad Istisna; (e) SBSN yang diterbitkan berdasarkan akad lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah; dan (f) SBSN yang diterbitkan berdasarkan kombinasi dari dua atau lebih dari akad sebagaimana dimaksud pada huruf (a) sampai dengan huruf (e).253 Penerbitan SBSN ini tentu mempunyai tujuan, yaitu untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek.254 Selanjutnya dalam undang-undang ini memuat tentang kewenangan dan pelaksanaan penerbitan SBSN; penggunaan barang milik negara 251 Ibid., h. 187-448.

252 Bab II Bentuk dan Jenis Surat Berharga Syariah Negara Pasal 2 UU No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI., op. cit., h. 5. 253 Ibid., h. 6. 254 Ibid. dalamrangka penerbitan SBSN; perusahaan penerbitan SBSN dan Wali Amanat; pengelolaan SBSN; akuntabilitas dan transparansi; serta ketentuan pidana dan ketentuan penutup.255 Geliat perbankan syariah rupanya mampu menggerakkan para pengambil kebijakan untuk melahirkan suatu undang-undang yang mengatur tentang surat-surat berharga bagi negara.

Hal ini dapat dipahami karena pemerintah sudah melihat fakta bahwa perbankan syariah memiliki kekuatan dan kemapanan dalam mengelola keuangannya, meskipun krisis moneter melanda bangsa ini pada tahun 1997. 8. Prinsip-prinsip Operasional Perbankan Syariah Sebelumnya telah dibahas tentang wawasan nilai-nilai etika dan yang terkait dengannya. Nilai- nilai etika pada dasarnya merupakan kualitas-kualitas atau sifat-sifat yang mengandung unsur kebaikan yang terdapat di dalam tindakan, akhlak, watak, dan kebiasaan manusia.

Nilai-nilai etika dianggap sebagai bagian dari kepribadian individu dan memberikan corak khusus pada perilaku seta menjadi kriteria penyeleksi tindakan dan patokan untuk bertindak. Dalam aplikasinya, nilai-nilai etika mesti dihargai, dipelihara, dan dipertahankan mengingat esensinya yang sangat luhur dan agung. Pada hakikatnya, nilai-nilai etika secara teologis bersumber dari nash-nash al-Quran dan al- Sunnah, termasuk di dalamnya hasil ijtihad para ulama sebagai pengembangan dari upaya penggalian dan penemuan hukum syar�i yang berdasar pada al-Quran dan al-Sunnah.

Demikian pula terdapat nilai- nilai etika secara antropologis yang berasal dari budaya masyarakat sebagai produk masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai etika sangat beragam utamanya nilai-nilai etika yang terkait dengan urusan ekonomi. Dalam perspektif ekonomi Islam, nilai-nilai etika itu relevan dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah. Nilai-nilai etika tersebut di antaranya: a. Menghindari riba Menurut bahasa bahwa yang dimaksud dengan riba memiliki beberapa pengertian, yaitu: 1) Bertambah (al-ziiyadah) karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang diutangnya; 2) Berkembang atau berbunga (al-namu) karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain; 3) berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari fiman Allah: Bumi jadi subur dan gembur (QS.

Al-Haj: 5)256 Dalam pengertian kebahasaan riba juga berarti �tumbuh�, �menyuburkan�, �mengembang�, �mengasuh�, serta �menjadi besar dan banyak�. Akar kata ini juga digunakan dalam arti �dataran tinggi �.257 Para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan riba. Perbedaan itu disebabkan perbedaan mereka dalam memahami dan menginterprestasikan nash al-Quran dan Sunnah Rasul. Al-Jurjani misalnya merumuskan defenisi riba adalah sebagai berikut: �Riba secara syar�i adalah kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad atau transaksi�.258 255 Konsideran mengenai hal ini dapat dilihat dan dibaca dalam Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI., UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah; UU No.

19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Cet. I; Bandung: Fokusmedia, 2008). 256 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, (Cet. I, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 57. Ali bin Muhammad al-Syarif al-Jurjani, Kitab al-Ta�rifat (Beirut: Maktabah Libnan, 1990), h. 114; Al- Raghib al-Asfahani, Mufradat fi Gharib al-Quran, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, t.th.) h. 187. 257 Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest; A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, (Leiden: EJ. Brill, 1996), diterj.

Arif Maftuhin, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2004), h. 25. 258 Ali bin Muhammad al-Syarif al-Jurjani, Loc. Cit. Pendapat yang dikemukakan oleh Badr al-Din al-Aini: �Riba secara syar�i adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya aqad atau transaksi jual beli yang riil�.259 Menurut al-Mali ialah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang ridak diketahui pertimbangannya menurut ukuran syara, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kepada kedua belah pihak atau salah satu keduanya.

Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut syara� atau terlambat salah satunya. Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah penambahan- penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjamkan hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.260 Ulama fikih membagi riba kepada dua macam, yaitu riba fadl dan riba an-nasi�ah.261 Riba fadl adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefenisikan oleh ulama fikih dengan �Kelebihan pada salah satu harta jenis yang diperjual belikan dengan ukuran syarak. Yang dimaksud dengan ukuran syarak disini adalah timbangan atau takaran tertentu, seperti kilogram. Misalnya, 1 kg beras dijual dengan 1 � kg.

Kelebihan � kg tersebut disebut dengan riba fadl. Jual beli seperti ini hanya berlaku dalam dalam al-muqayadah (barter), yitu barang yang ditukar dengan barang, bukan dengan nilai uang. Riba an-nashi�ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila pada waktunya sudah jatuh tempo, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar utang dan kelebihannya, maka waktunya bisa diperpanjang dan jumlah uang bertambah pula.

Dalam jual beli barter, baik sejenis maupun tidak sejenis, riba an-nasi�ah pun bisa terjadi, yaitu dengan cara jual beli barang sejenis dengan kelebihan salah satunya, yang pembayarannya ditunda. Misalnya dalam barter barang sejenis, membeli satu kilogram gula dengan dua kilogram gula yang akan dibyarkan satu bulan yang akan datang. Atau barter dalam barter dalam barang tidak sejenis, seperti membeli satu kilogram terigu dengan dua kilogram beras yang akan dibayarkan dua bulan yang akan datang. Kelebihan salah satu barang, sejenis atau tidak, yang dibarengi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu, termasuk riba an-nasi�ah.

Sebagaimana defenisi riba, macam-macam riba pun terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa riba terdapat dalam dua perkara, yaitu pada jual beli dan pada jual beli tangguhan, pinjaman atau lainnya. Riba dalam jual beli menurutnya ada dua macam: nasi�ah dan tafadul sedangkan riba pada jual beli tangguhan juga terbagi dua kategori, salah satunya adalah riba jahiliah yang telah disepakati para ulama tentang keharamannya.262 Ada juga yang membagi pada riba fa�l, yad, nasa� dan qard.

263 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membagi riba dalam dua macam, riba khafi dan jaliy.264 Namun demikian para jumhur ulama fikih membagi riba 259 Badr al-Din Abi Muhammad al-Aini, Umdah al-Qari; Syarh sahih al-Bukhari, Jilid VI, Juz 11 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.) h. 199, dalam Muslimin H. Kara, Op. cit., h. 76. 260 Ibid., h. 58. Lihat pula Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhaq fil Iqtishadil Islami, (Cet. I; Kairo Mesir: Maktabah Wahbah, 1995), diterj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h.

183; Syaikh Abul A�la al-Maududi, Riba, diterj. Isnando, Abul A�la al- Maududi Bicara Tentang Bunga dan Riba, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Qalami, 2003); Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, diterj. Soeroyo Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III, (Cet. II; Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2002), h. 13-35. 261 Ibid. 262 Ibnu Rusyd al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Hinayah al-Muqta�id, Jilid II (Riyadh: Maqtabah Nazar Mustafa, 1995), h. 226, dalam Muslimin H. Kara, Ibid.

263 Muhammad al-Syarbani al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Syarh al-Minhaj), Jilid II (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1958), h. 21, dalam Muslimin H. Kara, Ibid., h. 77. 264 Syams al-Din Muhammad bin Abi Bakr Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I�lam al-Muwaqqin �An Rab al- �Alamin, Jilid II, Cet. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h. 135, dalam Muslimin H. Kara, Ibid. dalam dua kategori: Riba nash�ah dan riba fadl.265 Pandangan yang sama juga dikemukakan al-Jaziri.266 Riba nash�ah adalah riba yang terjadi karena penundaan pembayaran utang, suatu jenis riba yang diharamkan karena keharaman jenisnya atau keadaannya sendiri.

Sedangkan riba fadl adalah riba yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda atau bahan yang sejenis. Menurut Ibn al-Jauziyah dalam kitab I� lam al-Muwaqi�in an Rab al-Amin, bahwa riba dibagi menjadi dua bagian, yaitu riba jali dan riba khafi, riba jali sama dengan riba nasi�ah dan riba khafi merupakan jalan yang menyampaikan kepada riba jali. Al-Quran menyatakan: �Maka yang hak bagimu ialah sebanyak pokokmu yang semula kamu tak boleh menganiaya dan dianiaya�. (QS. al-Baqarah: 279).

Riba fadli ialah salah satu dari dua pertukaran yang diperjual belikan, bila yang diperjual belikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang- barnang yang ditakar dan berlebihan ukurannya pada barang-barang yang diukur. Riba nasi�ah adalah riba yang pembayarannya atau penukarannya berlipat ganda karena waktunya diundurkan, maka riba fadli adalah semata-mata berlebihan pembayaran, baik sedikit maupun banyak, riba jali dan riba khafi yang dijelaskan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah diatas, juga dijelaskan pula bahwa menurut beliau riba jali adalah riba yang nyata bahaya dan mudaratnya, sedangkan riba nasi�ah dan riba khafi adalah riba yang tersembunyi bahaya dan mudaratnya, inilah yang disebut riba fadli yang besar kemungkinan membawa kepada riba nasi�ah.

Selanjutnya Ibn Qayyim menyatakan: dilarang berpisah dalam perkara tukar-menukar sebelum ada timbang terima, menurut Sulaiman Rasyid dua orang yang bertukar barnag atau jual beli berpisah sebelum timbangan diterima, disebut riba yad. Menurut Ibn Qayyim, perpisahan dua orang yang melakukan jual beli sebelum serah terima mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi riba. Riba qardhi sama dengan riba fadli, hanya saja riba fadli kelebihannya terjadi ketika qardhi berkaitan dengan waktu yang diundurkan.

Menurut sebagian ulama bahwa riba dibagi menjadi empat macam, yaitu: fadli, qardli, yad dan nasa�. Juga menurut sebagian ulama lagi bahwa riba dibagi menjadi tiga bagian, yaitu; fadli, nasa� dan yad, riba fardli dikategorikan pada riba nasa�.267 Riba nasi�ah adalah melebihkan pembayaran barang yang dipertukarkan, diperjual belikan atau diutangkan, karena diakhirkan waktu pembayarannya baik yang sejenis maupun tidak, riba ini yang mashur di kalangan kaum Jahiliah menurut Ibn Hajra al-Maliki, bila seorang dari mereka meminjamkan harta kepada orang lain hingga waktu yang telah ditentukan, dengan syarat bahwa ia harus menerima dari peminjaman pembayaran lain menurut kadar yang ditentukan tiap-tiap bulan, sedangkan harta yang dipinjamkan semula jumlahnya tetap dan tidak bisa dikurangi.

Bila waktu yang ditentukan habis, pokok pinjaman diminta kembali, andaikan peminjam belum dapat mengembalikan uang pokok pinjaman tersebut, dia minta tangguh, maka yang meminjamkan dapat menerima tangguhan tersebut dengan syarat pinjaman pokok harus dikembalikan lebih dari semula, hal ini dirasakan sangat menyiksa para peminjam, riba seperti ini dewasa ini mirip dengan pinjaman di Bank, hanya saja pada zaman Jahiliah kelebihan atau tambahan dari pinjaman pokok diberikan kepada seseorang tertentu (jelas orangnya), sedangkan pada Bank dewasa ini tidak jelas diberikan kepada orangnya, karena Bank adalah lembaga bukan perorangan, hal ini bisa juga dipahami sama dengan riba nasi�ah zaman Jahiliah hanya saja melalui Bank, orang kaya menyimpan uang di Bank, para peminjam meminjam melalui Bank dan membayar bunganya ke Bank, para penyimpan uang menerima bunga simpanannya dari Bank, zaman jahiliah langsung peminjam dan yang meminjam tanpa perantara, dewasa ini dilaksanakan melalui perantara Bank.268 265 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa �Adillatuhu, Jilid IV, Cet. III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 671, dalam Muslimin H. Kara, Ibid.

266 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh al-Islam wa �Ala al-Mazahib al-�Arba�ah, Jilid II (BeirutL Dar al-Fikr Al-Maktabah al-Tajariyah al-Kubra, 1972) h. 245, dalam Muslimin H. Kara, Ibid. 267 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1976), h. 279. 268 Hendi Suhendi, Op. Cit., h. 61-63. Jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dua macam mata uang, yaitu mas dan perak dengan yang jenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah dan yang lainnya, maka disyaratkan: 1) Sama nilainya (tamasul).

2) Sama ukurannya menurut syara� baik timbangannya, takarannya maupun ukurannya. 3) Sama-sama tunai (taqabuth) di majelis akad. Maka termasuk riba pertukaran sebagai berikut: 1) Seseorang menukar langsung uang kertas Rp 10.000,- dengan uang resehan kepada yang lain Rp 9.950,- maka uang Rp 50 tidak ada imbalannya atau tidak tamasul, maka uang Rp 50,- adalah riba. 2) Meminjamkan uang sebanyak Rp 100.000,- dengan syarat dikembalikan ditambah 10 % dari pokok pinjaman, maka 10 % dari pokok pinjaman adalah riba, sebab tidak ada imbangannya.

3) Seseorang yang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras dolog, makapertukaran tersebut adalah riba, sebab beras dengan beras sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya, jalan keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnnya dibelikan untuk membeli beras dolog. 4) Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bara uangnya diserahkan tanggal 5 Desember1996, sedangkan batu batanya diambil nantianya ketika pembangunan rumah dimulai, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan riba, sebab terlambat salah satunya dan berpisah sebelum serah terima barang.

5) Seseorang yang menukarkan 5 gram mas 22 karat dengan 5 gram mas 12 karat adalah termasuk riba, walaupun sama ukurannya tapi berbeda nilai (harganya) atau menukarkan 5 gram mas 22 karat dengan 10 gram mas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba, sebab walaupun harganya sama tapi tidak sama ukurannya.269 Kini riba yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta pada perusahaan-perusahaan, itu berarti akan memusatkan harta pada penguasaan para hartawan, padahal mereka adalah sebagian kecil saja dari seluruh anggota masyarakat, maka daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil, pada waktu yang bersamaan pendapatan kaum buruh yang berupa upah atau yang lainnya juga kecil. Maka daya beli kebanyakan anggota masyarakat adalah kecil pula.

Hal ini merupakan masalah penting dalam ekonomi ialah siklus-siklus ekonomi, hal ini berulang kali terjadi, ketika siklus-siklus ekonomi berulang terjadi, maka disebut krisis ekonomi, para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai penyimpan modal atau dengan singkat bisa disebut riba.270 Riba dapat menimbulkan over produksi sebuah riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah, maka persedian jasa dan barang semakin tertimbun, maka perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, maka riba dapat pula mengakibatkan adanya sekian jumlah pengangguran.

Lord Keynes pernah mengeluh di hadapan Majelis Tinggi (House of Lodr) Inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat,271 hal ini menunjukan bahw negara besar pun seperti Inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika, bunga tersebut menurut fuqaha disebut riba. Maka dengan demikian riba dapat meretakkan hubungan, baik hubungan antar orang perorangan maupun hubungan antara negara, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Ulama fikih berbeda pendapat dalam menetapkan ilat (penyebab) yang menyebabkan keharaman riba fadl dan riba nasi�ah.

Menurut ulama Mazhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, riba fadl ini hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba fadl. Misalnya, seekor sapi yang berumur tiga tahun dijual dengan sapi yang berumur empat tahun. Dalam kasus seperti ini, sapi berumur empat tahun lebih besar dari yang 269 Ibid., h. 63-64. 270 Sulaiman Rasyid, Op. Cit., h. 261 271 Ibid., h.

263 berumur tiga tahun. Oleh sebab itu, kelebihan pada jual beli sapi seperti ini tidak termasuk riba fadl dan tidak diharamkan. Alasan mereka, sekalipun objek yang diperjual belikan adalah sama, tetapi nilainya sudah berbeda dan diperjualbelikan bukan dengan timbangan atau takaran.272 Pendapat mereka ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw., yang artinya (memperjual belikan emas dengan emas, perak dengan perak, gandumdengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan barang (haruslah) sama, seimbang, dan tunai. Apabila jenis yang diperjual belikan berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh berlebih) asal dengan tunai�. (HR.

Muslim dari Ubadah bin as-Samit). Dua jenis pertama (emas dan perak), menurut mereka diperjual belikan dengan cara timbangan khusus (a-l-wazn) dan empat jenis buah-buahan diperjual belikan dengan cara kiloan (kilogram, al-kail). Dalam riwayat lain Rasulullah Saw., bersabda �Janganlah kamu memperjual belikan emas dengan emas kecuali jika seimbang (sama beratnya) dan jangan kamu melebihkan yang satu dari yang lainnya, dan jangan pula kamu jual sesuatu yang ada dengan yang belum ada. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa�id al-Khudri).

Menurut meraka dalam jual beli prinsip keadilan dan keseimbangan harus ada. Kalau tidak adil dan seimbang, maka akan muncul kelaliman. Oleh sebab itu, kelebihan salah satu barang dalam jual beli barang sejenis merupakan kelebihan tanpa imbalan yang sangat merugikan pihak lain. Praktek seperti ini menjurus kepada kelaliman.273 Berdasarkan kedua hadis ini ulama Mazhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa yang terjadi ilat keharaman riba fadl itu adalah kelebihan barang atau harga dari benda sejenis yang diperjual belikan melalui alat ukur al-wazn dan al-kail.

Berdasarkan ilat ini, mereka tidak mengharamkan kelebihan pada jual beli rumah, tanah, hewan dan benda-benda lain yang dijual dengan satuan, sekalipun sejenis, karena benda-benda seperti ini dijual berdasarkan nilainya, bukan berdasarkan al-wazn dan al-kail. Lebih lanjut ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa dasar keharaman riba fadl ini dititik beratkan kepada sadd az-zariah, yaitu menutup segala kemungkinan yang membawa kepada riba yang berakibat mudarat bagi umat manusia.

Adapun ilat dalam keharaman riba an-nasi�ah menurut ulama Mazhab Hanafi, adalah kelebihan pembayaran dari harga barang yang ditunda pembayarannya pada waktu tertentu. Misalnya A berutang uang kepada B sejumlah Rp 100.000,- yang pembayarannya dilakukan bulan depan dan dengan syarat pengembalian utang tersebut dilebihkan menjadi Rp 150.000,- Kelebihan uang dengan tenggang waktu ini disebut dengan riba an-nasi�ah.

Unsur kelebihan pembayaran yang berlipat ganda apabila diutang tidak bisa dibayar pada saat jatuh tempo, menurut Ulama Mazhab Hanafi, merupakan suatu kelaliman dalam muamalah. Kelaliman, bagaimanapun bentuknya, menurut mereka adalah haram. Itulah sebabnya Allah SWT menyatakan diakhir surah al-Baqarah ayat 279 dari rangkaian ayat riba Allah SWT mengatakan: �... kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya�.274 Ulama Mazhab Maliki dan Syafi�i berpendirian bahwa ilat keharaman riba fadl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk, seperti cincin atau kalung, maupun belum seperti emas batangan.

Oleh sebab itu, apapun bentuk emas dan perak apabila sejenis, tidak boleh diperjual belikan dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Misalnya, apabila emas batangan dijual dengan emas yang telah dibentuk menjadi cincin atau kalung, tidak boleh dilebihkan harga yang satu atas yang lain. Lima gram cincin emas harus dijual dengan lima gram emas batangan. Jika dilebihkan harga salah satu di antaranya, maka kelebihan itu termasuk riba fadl dan apabila kelebihan itu dikaitkan dengan pembayaran tunda (bertenggang waktu), maka menjadi riba an-nasi�ah.275 Dalam menetapkan ilat riba an-nasi�ah dan riba fadl pada benda-benda jenis makanan, terdapat perbedaan pendapat ulama Mazhab Maliki dengan Syafi�i.

Menurut ulama Mazhab Maliki, ilat jenis 272 Abd. Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 1498. 273 Ibid. 274 Ibid., h. 1499. makanan yang terdapat dalam riba an-nasi�ah, menurut mereka, berbeda dengan ilat yang terdapat dalam riba fadl. Dalam riba an-nasi�ah, ilat pada benda jenis makanan adalah karena sifatnya bisa dikonsumsi. Apabila satu jenis makanan di jual dengan jenis makanan yang sama, maka harus satu takaran, seimbang dan adil.

Dengan prinsip ini, maka riba an-nasi�ah bisa berlaku pada seluruh jenis makanan, seperti beras, gandum, apel, pir, semangka dan lain-lain. Sedangkan ilat pada riba fadl menurut ulama Mazhab Maliki ilatnya adalah �makanan pokok dan tahan lama�, sekalipun ulama Mazhab Maliki tidak membatasi waktu tahan lama yang dimaksud. Alasan mereka adalah agar umat manusia tidak tertipu dan harta mereka terpelihara dari tindakan spekulan. Tujuan seperti ini, menurut mereka, paling tidak dan terutama berkaitan erat dengan masalah makan pokok setiap manusia.

Oleh sebab itu, untuk memelihara makan pokok manusia tersebut, diperlukan suatu hukum yang mengantisipasi agar tidak terjadi unsur penipuan yang berlebihan, yaitu dengan mengharamkan riba fadl pada makanan pokok tersebut, sesuai dengan hadis Rasulullah Saw., yang diriwayatkan Muslim dari Ubadah bin as-Samit diatas.276 Berbeda dengan pendapat ulama Mazhab Maliki di atas, ulama Mazhab Syafi�i mengatakan bahwa ilat riba pada jenis makanan adalah semata-mata karena benda itu bersifat makanan, baik makanan pokok, makanan ringan (buah-buahan dan lain sebagainya), maupun makanan untuk obat, yang semuanya bertujuan untuk menjaga kesehatan tubuh.

Apabila kelebihan pembayaran pada jenis makanan ini dibarengi dengan tenggang waktu, maka akan menjadi riba al-nashi�ah, sedangkan apabila tidak dikaitkan dengan tenggang waktu, kelebihan, harga dari salah satu benda sejenis yang diperjualbelikan menjadi riba fadhl. Oleh sebab itu, semua jenis makanan apabila diperjualbelikan secara barter, harus seimbang dan tunai. Apabila berbeda jenis bisa diperjualbelikan sesuai dengan keinginan pemilik masing-masing.

Alasan mereka bahwa empat jenis makanan dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ubadah bin al-Samit di atas, tidak membedakan jenis makanan tersebut, apakah mengenyangkan, tahan lama, atau makanan pokok. Yang diketahui secara umum menurut mereka bahwa keempat jenis benda itu adalah jenis makanan.277 Ilat riba di kalangan ulama Hanbali terdapat tiga riwayat, yaitu: Pertama, al-Wazn dan al-Kail, seperti yang dikemukakan Mazhab Maliki; Kedua, untuk jenis makanan sama dengan pendapat Mazhab Syafi�i, yaitu karena sifat makannya, sedangkan untuk emas dan perak karena keduanya merupakan harga dari sesuatu; dan Ketiga, sifat al-Wazn dan al-Kail untuk jenis makanan dan harga sesuatu bagi emas dan perak.

Menurut mereka menjadikan sifat al-Wazn dan al-Kail sebagai ilat riba, baik al-nashiah maupun al-fadhl, sejalan dengan Sabda Rasulullah saw yang artinya: �Tidak (ada) riba terhadap sesuatu yang dimakan atau dimakan, kecuali pada sesuatu yang dikiloi (kail) dan ditimbang (wazn)�. (HR. Al- Daruqutni dari Sa�id bin Musayyab)278 Menurut ulama Mazhab al-Zhahiri bahwa riba itu tidak ada ilatnya. Hal ini sejalan dengan prinsip mereka yang menolak mencari-cari ilat (ta�lil) suatu hukum yang ditetapkan Allah swt dan Rasul- Nya.

Oleh sebab itu, apabila Rasulullah sudah menyatakan riba pada enam jenis makanan melalui sabdanya yang diriwayatkan Mumslim dari Ubadah bin al-Samit, maka seorang mujtahid cukup menyatakan riba pada enam jenis barang tersebut.279 Namun demikian, dengan banyaknya sebab-sebab haramnya riba tersebut, maka dapat dirinci sebagai berikut, yaitu: 1) Karena Allah dan Rasul-Nya melarang atau mengharamkannya, firman Allah; �Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS.

al-Baqarah: 275); 2) Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya, seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp 10.000,- dengan uang recehan senilai Rp 9.950,-, maka uang senilai Rp 50,- tidak ada imbangannya, maka uang senilai Rp 50,- adalah riba. 276 Ibid. 277 Ibid. 3) Dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara� bila riba sudah mendara daging pada seseorang, maka orang tersebut lebih suka beternak uang, karena ternak uang akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pada dagang, dan dikerjakan tidak dengan susah payah.

Seperti orang yang memiliki uang Rp 1.000.000.000 cukup disimpan di Bank ia memproleh bunga 2 % tiap bulan, maka orang tersebut memperoleh uang tanpa kerja keras tiap bulan dari Bank tempat uang disimpan, sebesar Rp 20.000.000. 4) Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang piutang atau menghilangkan faidah utang piutang, maka riba lebih cenderung memeras orang miskin dari pada penolong orang miskin.280 Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang defenisi riba, namun pendapat mereka dapat dilihat bahwa riba adalah tambahan tanpa imbangan yang disyaratkan kepada salah satu di antara dua pihak yang melakukan utang-piutang atau tukar menukar barang.

Jika dikaitkan dengan utang-piutang maka makna riba adalah tanbahan tanpa imbangan yang disyaratkan oleh pihak yang meminjamkan atau berpiutang kepada pihak peminjam. Dalam al-Quran, istilah riba disebutkan sebanyak tujuh kali. Dari tujuah ayat tersebut, proses keharaman riba, sebagaimana yang terjadi pada khamr, berlangsung dalam empat tahap.281 Keharaman riba tidak langsung satu kali, tetapi berlangsung secara bertahap, terkait dengan kondisi dan kesiapan masyarakat dalam menerima suatu perintah.

Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Quran dan hadit-hadist Rasulullah Saw. Di dalam al-Quran, menurut Syekh Muhammad Mustafa al-Maragi (1881 � 1945; mufasir dari Mesir) proses keharaman riba disyariatkan oleh Allah SWT secara bertahap. Tahap pertama Allah SWT menunjukan bahwa riba itu bersifat negatif. Pernyataan ini disampaikan Allah SWT dalam suarah ar-Rum ayat 39 yang artinya: �Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah...�

Ayat ini merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, yang menurut para mufasir ayat ini termasuk ayat Makkiyyah (ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekah). Akan tetapi, ulama tafsir sepakat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qutubi (seorang mufasir) menyatakan bahwa Ibnu Abbas mengartikan riba dalam ayat ini dengan �hadiah� yang dilakukan orang-orang dengan mengharapkan imbalan berlebih. Menurutnya, riba dalam ayat ini termasuk riba mubah.282 Pada tahap kedua, Allah SWT telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktek riba dikalangan masyarakat Yahudi.

Hal ini disampaika-Nya dalah surah an-Nisa ayat 161 yang artinya: �Dan disebabkan mereka memakan riba padahal sesungguhnya mereka telah melarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih�. Ayat ini, termasuk kelompok ayat Madaniyyah (yang diturunkan pada periode madinah). Pada tahap ketiga, Allah SWT mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas.

Hal ini disampaikan oleh Allah dalah surah Ali-Imran ayat 130 yang artinya: �hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda...�.283 Pada tahap terakhir, Allah SWT mengharamkan riba secara secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 275, 276, dan 278. dalam ayat 275 Allah SWT menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda dengan riba, dalam ayat 276 Allah SWT menyatakan memusnahkan riba, dan dalam ayat 278 Allah SWT memerintahkan untuk 280 Hendi Suhendi, Op. cit., h. 58-61. 281 Ahmad Sukardja, �Riba, Bunga Bank dan Kredit Perumahan� dalam Huzaimah T.

Yanggo dan Hafiz Anshari AZ, Problematika Hukumn Islam Kontemporer, Buku III, (Jakarta: LSIK, 1995), h. 35-36, dalam Muslimin H. Kara, Ibid. meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para ahli fikih, bersikap pada akhir tahun ke delapan atau awal tahun kesembilan hijriah. Alasan keharaman riba dalam sunah Rasulullah SAW di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim tentang tujuh dosa besar, diantaranya adalah memakan riba.

Dalam riwayat Abdullah bin Mas�ud dikatakan bahwa Rasulullah SAW melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, dan para penulisnya (HR. Abu Daud, dan hadis yang sama juga diriwayatkan Muslim dari Jabir bin Abdullah).284 Dalam hal keharaman riba tersebut diatas, ulama berbeda pendapat. Namun secara garis besarnya pandangan mereka terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama menyatakan riba hukumnya haram, baik banyak maupun sedikit kadarnya. Kelompok ini banyak didukung oleh kalangan ulama fikih, termasuk ulama kontemporer sepeti Abu al-A�la al-Maududi, Hasan al-Bana dan lainnya.

Kelompok kedua hanya mengharamkan hukum riba yang berlipat ganda saja. Termasuk kelompok ini misalnya Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut. Di Indonesia ekonom seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Muhammad Hatta, juga termasuk orang-orang yang riak memasukkan kategori bunga uang sebagai riba. Kelompok pertama memprkuat argumentasi dengan dalil dalam ayat-ayat al-Quran seperti surat al-Rum: 39; Ali Imran: 130; al-Baqarah: 275,276,278, dan 279, juga didukung dengan hadis-hadis Nabi baik untuk menundukkan riba nasi�ah maupun fadl.

Hadis riba nasi�ah yaitu: �Dari Jabir, Rasulullah melaknat riba, yang mewakilkannya, penulisnya, dan yang menyaksikannya�. (HR Muslim).285 Sedangkan keharaman riba fadl didasarkan pada hadits riwayat �Ubdah bin al-Shamit: �Dari Ubadah berkata: saya mendengar Rasulullah Saw., melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, jagung dengan jagung, gandum dengan gandum, korma dengan korma, garam dengan garam, kecuali dengan sama (dalam timbangan/takaran) dan kontan. Barang siapa yang melebihkan salah satunya, ia termasuk dalam praktek riba�. (HR. Muslim).286 Kelompok kedua beralasan bahwa riba yang dilarang dalam al-Quran adalah yang masyhur, riba yand dipraktekkan masyarakat Arab pada masa kenabian yaitu dikenal dengan riba Jahiliah. Riba ini adalah riba nasi�ah, riba tangguhan yang mengandung unsur ad�afan muda�afah, berlipat ganda atau eksploitasi.

Menurut Mahmud Syaltut, riba yang dimaksud dalam al-Quran dipahami dengan pendekatan urf dimana ayat itu turun, maka yang dimaksud adalah riba berlipat ganda.287 Dalam kaitannya dengan perbankan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi syariah, di Indonesia pandangan tentang bunga Bank dapat diklasifikasikan pada empat pandangan, yaitu: Pertama, pandangan yang mengatakan bunga Bank adalah termasuk dalam kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau anyak unsur; Kedua, pandangan yang mengatakan bahawa bunga Bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga ia halal untuk dilakukan.

Ketiga, pandangan yang mengambil jalan tengah pada kedua pandangan diatas, mereka mengkategorikan riba dalam klasifikasi hukum mutasyabihat, sesuatu yang samar ketegasan hukumnya. Olehnya itu, mereka berpendapat sebaiknya bunga Bank tidak dilakukan. Salah seorang yang berpendapat bahwa bunga Bank itu dibolehkan karena tidak sama dengan riba adalah Syafruddin Prawiranegara.288 Ia berpendapat bahwa riba atau ia yang sebut dengan woeker289 284 Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, (Cet.

I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 1498 285 Imam Muslim, Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-�Ilmiyyah, t.th), Kitab al-Bar, Jilid I, h. 697. 286 Ibid., h. 792. 287 Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, (Kairo: Dar al-Qalam, t.th), h. 353, dalam Muslimin H. Kara, Ibid. h. 80. 288 Syafruddin Prawiranegara adalah mantan Gubernur Bank Indonesia pertama dan Menteri Keuangan di Kabinet Syahrir III serta pemikir ekonomi dalam Partai Masyumi yang beraliran Neo-Klasik dan fasih dalam berbahasa Belanda.

Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa riba adalah hasil kecurangan atas perdagangan, sedangkan bunga bank itu bukan hasil kecurangan dengan mendasarkan diri pada ayat al-Quran yang mengatakan bahwa riba itu haram, sedangkan perdagangan itu halal, maka bunga bank itu hukumnya halal. Demikian pula tokoh Muhammadiyah Kasman Singodimedjo berpendapat bahwa bunga bank itu halal berdasarkan hasil analisisnya tentang keadaan ekonomi umat Islam, maka pendirian bank-bank oleh umat Islam itu merupakan keharusan. Lihat M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Cet. I; Jakarta: LSAF, 1999), h. 409. berbeda dengan bunga Bank.

Bunga Bank adalah rente yaitu tingkat bunga yang wajar, yang hanya boleh dipungut berdasarkan Undang-undang, tidak dipungut secara liar tanpa adanya aturan yang mengatur keberadaannya. Sedangkan riba menurutnya adalah tiap-tiap laba yang abnormal yang diperoleh dalam jual beli bebas, tetapi dimana suatu pihak terpaksa menerima kontrak jual beli itu karena kedudukannya lemah.290 Bunga bank yang dilakukan dengan tidak berdasarkan pada prinsip eksploitasi bukan merupakan riba.

Menurutnya, baik laba maupun bunga apakah tetap atau naik turun, jika didasarkan pada persetujuan yang bersih dan ihklas adalah sah dalam pandangan Allah Swt. Sebaliknya laba yang berlebihan termasuk bunga yang berasal dari perdagangan barang atau uang tidak jujur, adalah riba. Sebab perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Allah Swt., manusia harus berbuat baik dan tidak menipu serta menekan hambanya.291 Hanya saja ia menegaskan bahwa bunga yang dimaksudkan itu, tingginya masih dalam batas- batas yang masih normal, yaitu sesuai dengan yang lazim berlaku di pasar bebas, tidak melampaui batas.292 Walaupun Syarifuddin sendiri mengakui bahwa tidak mudah mengukur batas yang jelas antara yang wajar dan yang melampaui batas.

Pandangan Syarifuddin didasarkan pada asumsinya bahwa sifat keuntungan yang diperoleh dari pinjaman uang maupun barang adalah sama. Ia menolak anggapan sebagian besar pandangan ulama yang menganggap riba adalah setiap tambahan, atau rente atau apa pun yang namanya yang timbul dari pinjaman uang. Sedangkan keuntungan yang timbul dari penjualan barang, berapapun tingginya, dan meskipun keuntungannya itu diperoleh atas penjualan dengan kredit, dipandang sebagai halal karena dasarnya jual beli.293 Bagi Syarifuddin, tidak rasional menamakan keuntungan yang diperoleh dari pemberian kredit berupa uang, riba yang haram, sedangkan keuntungannya yang diperoleh dari kredit berupa penjualan barang, di halalkan. Sebab meminjamkan uang atau menjual barang berupa kredit, uang diakui oleh debitur perjanjian lain yang menyimpang.294 Jadi,menurutnya kedua-keduanya halal, tidak dimasukkan dalam kategori riba, asalkan tidak memandang unsur eksploitasi.

Pandangan yang sama dikemukakan Muhammad Hatta, mantan wakil presiden pertama itu dalam bukunya yang berjudul �Islam dan Rente� (Beberapa pasal ekonomi; Jalan ke Ekonomi dan Bank, Balai Pustaka, 1958), dengan jelas membedakan antara riba dan bunga bank yang ia sebut rente. Bagi Hatta, riba adalah kelebihan dari pinjaman yang bersifat komsumtif sedangkan bunga adalah balas jasa atas pinjaman yang digunakan untuk kepentingan yang bersifat produktif.295 Riba diharamkan karena dalam perbuatan tersebut akan menyebabkan kesengsaraan orang yang sedang mengalami kesulitan sedangkan rente sebagai sebuah kegiatan pinjaman yang produktif akan membantu pencapaian ekonomi. Dengan adanya pinjaman produktif itu seseorang dapat meningkatkan taraf ekonomi keluarganya.

Pandangan yang mengatakan halalnya bunga bank juga dikemukakan oleh Kasman Singodimedjo. Pembungaan uang yang dilakukan secara tidak resmi atau renteiner dikategorikan sebagai riba sedangkan pembungaan uang yang dilakukan pemerintah melalui lembaga perbankan tidak masuk dalam kategori riba. Dia juga termasuk salah seorang yang menganjurkan diperlukannya lembaga 289 Woeker merupakan istilah Belanda yang menggambarkan keadaan bunga yang terlalu tinggi.

Lihat Muslimin H. Kara, Op.cit., h. 80. 290 Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (Kumpulan Karangan Terpilih), Jilid II, (Jakarta: Mas Agung, 1988), h. 290, dalam Muslimin H. Kara, Ibid., h. 81. 291 Ibid., h. 347. 292 Ibid., h. 332. 293 Ibid., h. 284. 294 Ibid. 295 Dawam Rahardjo, �Ensiklopedi Riba�, dalam Jurnal Ulumul Quran, (Jakarta: LSAF, 1991), Vol. II, h. 45. dalam Muslimin H. Kara, Ibid., h. 82. perekonomian Islam dalam masyarakat Islam, seperti bait al-mal dan lembaga zakat, disamping perlu ada lembaga wakaf dan wasiat.296 Lembaga-lembaga tersebut seharusnya dikelola oleh negara agar fungsi sosialnya dapat tercapai secara baik.

Sebab lembaga perekonomian Islam, utamanya bait al-mal dan lembaga zakat merupakan stabilitator kesosialan atau kemasyarakatan.297 Sejalan dengan itu pula, A. Hassan, pendiri PERSIS dan mempunyai pemikiran yang progresif, dalam bukunya Riba: Beberapa Permasalahan Riba (Percetakan Persatuan, Bangil, 1975) membicarakan persoalan riba yang menjadi kontroversi dikalangan umat Islam. Dalam bukunya, ia membedakan antara riba yang dilarang dengan yang dibolehkan. Namun dalam aspek riba dan bunga ia tidak membuat perbedaan keduanya.

Menurutnya, bunga dan riba pada hakekatnya sama yaitu tambahan pinjaman atas uang, yang dikenal dengan riba nash�ah, dan tambahan atas barang yang disebut riba fadl. Yang membedakan keduanya yaitu sifat bunganya yang berlipat ganda, tanpa batas. Oleh karena itu, menurut A. Hassan tidak semua riba itudilaranga, jika riba itu diartikan sebagai tambahan atas utang, lebih dari yang pokok yang tidak mengandung unsur perlipat ganda maka ia dibolehkan. Namun bila tambahan itu mengandung unsur eksploitasi atau berlipat ganda, ia dikategorikan dalam perbuatan riba yang dilarang oleh agama.

Argumen yang dikemukan oleh A. Hassan didasarkan pada surat Ali-Imran: 130 yang menjelaskan riba adalah perbuatan yang bersifat eksploitatif, ad�afan muda�afah. Dengan demikian, lanjut A. Hassan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang mengandung salah satu dari tiga unsur berikut: mengandung paksaan, tambahan yang ada batasnya, atau berlipat ganda dan terdapat syarat yang memberatkan, seperti tingkat bunga yang terlalu tinggi.298 Berbeda dengan A.

Hassan, Dawam Raharjo menilai kalau bunga bank itu diartikan sebagai tambahan maka tetap dikategorikan sebagai riba.299 Pandangan yang mengharamkan bunga bank sebagai perbuatan yang masuk dalam kategori riba dekemukakan oleh A.M. Saefuddin, seorang tokoh yang concern terhadap wacana pembentukan dan praktek ekonomi Islam di Indonesia, di samping Karnaen Purwaatmadja, Amin Aziz, Murasa Sarkaniputra dan lainnya.

Menurut Saefuddin, pelanggaran riba merupakan bagian nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam, disamping zakat, kerja sama ekonomi, jaminan sosial, dan peran negara.300 Bagi A. M. Saefuddin, bunga identik dengan riba, olehnya itu perbuatan membungakan uang adalah haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak tingkat bunganya. Menurutnya: �Bunga pinjaman uang, modal dan barang dengan segala bentuk dan macamnya, baik untuk tujuan produktif atau konsumtif, dengan tingkat bunga yang tinggi atau rendah, dan dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek adalah termasuk riba�.301 Pandangan tetang uang, sebagaimana ulama lainnya, didasarkan pada ayat tentang keharaman riba yang ada dalam al-Quran seperti surat al-Baqarah: 275-280, Ali-Imran: 130; 30 : 39, dan tentu saja diperkuat lagi dengan hadits Nabi. Secara aqli menurut A.M.

Saefuddin, hakekat pelarangan riba (bunga bank) dalam Islam adalah fenomena penolakan terhadap resiko finansial tambahan yang detetapkan dalam transaksi uang atau modal maupun jual-beli yang dibebankan kepada salah satu pihak (debitur) saja sedangkan pada pihak yang lain (kreditur) dijamin keuntungannya. Tampaknya aspek keadilan tidak mendapat perhatian dan pertimbangan dalam transaksi semacam ini. 296 Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Permata, t.th.), h. 170-171, dalam Muslimin H. Kara, Ibid., h. 83. 297 Ibid. 298 A.

Hassan, Riba: Beberapa Pembahasan Masalah Riba, (Bangil: Percetakan Persatuan, 1975). Lihat pula M. Dawam Rahardjo, �Ensiklopedi Riba�, dalam Jurnal Ulumul Quran, (Jakarta: LSAF, 1991), Vol. II, h. 50. dalam Muslimin H. Kara, Op. Cit., h. 84. 299 M. Dawam Rahardjo, Op. Cit., h. 51. 300 A.M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 53- 83, dalam Muslimin H. Kara, Op. Cit., h. 84. 301 Ibid., h. 72. Pendapat yang sama juga dikemukakan Karnaen Purwaatmasja, seorang yang berjasa terhadap terbentuknya perbankan Islam di Indonesia.

Menurutnya, bunga bank adalah haramdan keharamannya dianalogkan dengan keharaman minum minuman keras. Status keharamannya tidak tergantung sedikit atau banyaknya minuman itu, tapi terletak pada zat sendiri, secara aini memang hukumnya haram. Lebih jauh ia mengatakan bahwa keharaman bunga bank disamakan dengan riba bukan karena besar atau kecilnya presentase tingkat bunga, tetapi oleh karena penerapan atau penggunaan sistem presentase itu sendiri yang mengandung unsur melipat gandakan.302 Pendapat senada juga dikemukakan Murasa Sarkaniputra, bahwa keharaman bunga uang sudah jelas petunjuknya dalam ajaran agama Islam.

Pelarangan bunga bank juga berdasarkan argumen yang dikemukakan oleh para filosof, seperti Socrates dan Arititoles yang menilai bahwa �uang dianggap bagian uang betina yang tidak bertelur�.303 Dilihat dari aspek ekonomipun praktek bunga berimplikasi secara negatif kepada perkembangan ekonomi itu sendiri. Dalam praktek bunga ada pihak, kreditur, yang mengambil keuntungan tanpa memikul resiko. Ini berakibat bahwa si peminjam tidak memperoleh keuntungan yang seimbang dengan tingkat bunga, sehingga menimbulkan krisis.304 Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan internasional maupun nasional telah menimbulkan ketimpangan ekonomi seperti pembengkakan utang luar negeri, semakin melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.305 Pengalaman hancurnya perbankan nasional semenjak dilanda krisis memperkuat argumen ini.

Bunga juga tidak membimbing ke arah pembentukan dan penanaman modal, investasi riil. Karena bunga dijadikan mata pencaharian tanpa memandang pemberian pinjaman itu digunakan untuk sektor produksi lama. Uang bukan hanya sekedar sebagai alat pembayaran, tapi dijadikan komoditi. Memperkuat argumennya, A.M. Saefuddin meminjam kesimpulan Lord Keynes tentang bunga bank sebagai berikut: �Individu-invidu itu tidak menyimpang dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan, tetapi dengan tujuan untuk membentuk modal, sehingga bertambalah kegiatan dunia spekulasi dengan tidak mengingat besarnya suku bunga karena keuntungan yang diperoleh lebih besar bila mereka mengeksploitir simpanannya ...

suku bunga yang tinggi menyebabkan macetnya pasar atau terhentinya kegiatan industri dan lalu secara negatif memepengaruhi penerimaan yang merupakan sumber produksi�.306 Pandangan mengenai bunga bank dikemukakan oleh berbagai organisasi sosial keagamaan Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan lainnya. Oraganisasi-oraganisasi tersebut memberikan fatwa melalui lembaga-lembaga fatwa yang mempunyai otoritas dalam mengeluarkan fatwa dari masing-masing organisasi.

Muhammadiyah melalui Majelis Tarjiyahnya, suatu lembaga yang ada dalam struktur oraganisasi Muhammadiyah yang menangani aspek hukum Islam dan memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa, telah melakukan pengkajian dan memberikan fatwa yang menyangkut ekonomi dan keuangan di luar zakat, meliputi maslah perbankan. Pada sidang Majelis Tarjih tahun 1968 dan 1972, Muhammadiayah mengeluarjkan pendapat organisasi tentang perbankan dan persoalan yang berkaitan dengan bunga bank. Sedangkan yang berkaitan dengan didang keuangansecara umum dikeluarkan pada tahun 1976, dan koperasi simpan pinjam tahun 1989.307 Muhammadiyah dengan tegas mengharamkan riba dalam praktek perekonomian umat Islam, namun masalah bunga bank dianggapnya sebagai al-mas�alah al-ijtihadiyyat, sebab bank merupakan 302 Karnaen Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, (Depok: Usaha Kami, 1996), h. 252, dalam Muslimin H. Kara, Op. Cit., h. 85.

303 Murasa Sukarniputra, �Ulama, Uang, dan Utang�, dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, Kamis-Jumat 27-28 Desember 2001, dalam Muslimin H. Kara, Ibid. 304 A.M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 75, dalam Muslimin H. Kara, Ibid., h. 85. 305 Karnaen Perwataatmadja, Loc. Cit. 306 A.M. Saefuddin, Op. Cit., h. 76 307 Muhammad Syai�i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 62. lembaga keuangan yang baru, belum ada pada masa awal Islam.308 Sehingga keterkaitan antara bunga bank dengan riba yang diharamkan menjadi persoalan yang memerlukan ijtihad.

Dalam kaitan itu, Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum bunga bank dari bank-bank milik pemerintah hukumnya syubhat. Sedangkan bunga bank dari bank-bank milik swasta diharamkan. Keputusan ini diambil ketika sidang Majelis Tarjih di Sidoarjo tahun 1969, memutuskan sebagai berikut: 1) Riba hukumnya haram dengan nash Al-quran dan Sunnah. 2) Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.

3) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabanya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara mutasyabihat.309 Hukum mutasyabihat terhadap bunga bank milik pemerintah menurut pandangan Muhammadiyah didasarkan atas pertimbangan dalam sidang Majelis Tarjiyah tersebut, sebagai berikut: Pertama, bahwa riba yang diharamkan dalam ajaran agama Islam adalah sifat pembungaan yang disertai unsur penyalah gunaan kesempatan dan penindasan, sedangkan yang berlaku dewasa ini sama sekali tak menimbulkan rasa penindasan atau kekecewaan oleh siapa pun yang bersangkutan.310 Dalam hal itu mungkin hanya berlaku pada bank milik pemerintah.

Pandangan ini sesuai dengan konteks pada saat itu dimana tingkat suku bunga pada bank, khususnya bank pemerintah ditentukan pemerintah melalui undang-undang, nanti setelah lahirnya paket deregulasi 7 Juli 1988, tingkat suku bunga ditentukan oleh bank itu sendiri. Kedua, bank negara dianggap badan yang mendakup hampir semua kebaikan dalam alam perekonomian modern dan dipandang memiliki norma yang menguntungkan masyarakat di dalam kemakmurannya. Bunga yang dipungut dalam sistem pengkreditannya sangat rendah sehingga sama sekali tak ada pihak yang dikecewakan.311 Perbedaan keputusan hukum bunga bank pemerintah da swasta tersebut berkaitan dengan dengan misi yang diemban bank pemerintah berbeda dengan bank swasta, disamping tingkat suku bunga bank pemerintah lebih rendah dari bank swasta.

Keputusan Majelis yang berkaitan dengan hukum bunga koperasi simpan pinjam dibahas pada sidang Majelis Tarjih Muhammadiyah di Malang tahun 1989. Majelis memutuskan bahwa koperasi simpan pinjam hukumnya mubah karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan-pinjam bukan riba. Asalkan tambahan pembayaran tersebut memperhatikan beberapa faktor, diantaranya tidak melampaui laju inflasi.312 Walaupun demikian, sebagaimana pandangan para ulama dan organisasi lainnya, Muhammadiyah tetap memandang riba jahiliah sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah saw. sesuatu yang haram.

Hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi saw : �Dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda: (jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, jagung dengan jagung, gandum dengan gandum, korma dnegan korma, garam dengan garam itu mesti seimbang dan sepadan, pun jual beli perak dengan perak mesti seimbang, dan barang siapa yang menambah atau meminta tambah, termasuk riba.� (HR. Muslim)313 Keputusan yang terkait dengan bunga bank ini, Nahdatul Ulama (NU) telah beberapa kali melakukan sidang untuk membicarakan persoalan tersebut.

Keputusan pertama diambil ketika sidang Bahtsul Masail pada tahun 1927 di Surabaya. Dalam sidang tersebut, para ulama NU mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan bunga bank. Ada tiga pendapat yang berkembang di kalangan peserta sidang menyikapi masalah itu, yaitu: Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank haram sebab termasuk utang yang dipungut manfaatnya (rente); Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa 308 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), h. 121, dalam Muslimin H. Kara, Op. Cit., h. 87. 309 Anonim, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Cet. III; Yogyakarta: PP. Muhammadiyah, t.th.),

h. 304, dalam Muslimin H. Kara, Ibid., h. 87. 310 Ibid., h. 305. 311 Ibid. 312 Muhammad Syai�i Antonio, Op. Cit.,h. 63 313 Imam Muslim, Op. Cit., h. 692, bunga bank halal karena tidak ada syarat waktu akad berlangsung. Pandangan ini didasarkan pada pendapat para ahli hukum bahwa adat yang berlaku itu tidak menjadi syarat; dan Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank dikategorikan sebagai syubhat karena para ahli hukum berselisih paham tentang hukum bunga bank.

Dengan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut akhirnya Lajnah Bahtsul Masail memutuskan bahwa pilihan yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yaitu bunga bank hukumnya haram.314 Lajnah nampaknya tidak memberikan keputusan yang tegas tentang keharaman dan kehalalan bunga bank, tetapi hanya memberikan semacam alternatif kepada warga NU bahwa pandangan yang diambil dengan lebih hati-hati adalah haram.

Perbedaan pandangan di kalangan ulama NU tentang hukum bunga bank terus berlanjut sampai sidang Lajnah Bahtsul Masail yang diselenggarakan di Bandar Lampung pada tahun 1982. Sidang tersebut mengagendakan pembahasan secara lebih lengkap bukan saja mengenai hukum bunga bank, tetapi sudah meluas pada persoalan keberadaan perbankan Islam. Sejumlah keputusan telah dihasilkan sekaitan dengan agenda tersebut, yaitu: Pertama, pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram; Kedua, pendapat yang tidak mempersmakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh; dan Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa persoalan bunga bank adalah samar-samar atau syubhat.

Walaupun secara umum ada tiga kluster pemikiran dari para ulama NU mengenai hukum bunga bank, namun masing-masing dari tiga kelompok tersebut, utamanya kelompok pertama dan kedua, terjadi pula perbedaan pendapat. Kelompok pertama terdapat tiga pendapat yang dapat diidentifikasi, yaitu: Pertama, bunga bank dengan segala jenisnya sama dengan riba, sehingga hukumnya haram; Kedua, bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram, tetapi bunga itu dapat dipungut sementara sebelum beroperasinya sistem perbankan Islami yang tidak menerapkan sistem bunga dalam operasionalisasinya; dan Ketiga, bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram, tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang mendesak.

Sementara itu, pendapat kelompok kedua dapat dikategorisasikan sebagai berikut: Pertama, bunga konsumtif sama dengan riba dan hukumnya haram, sedangkan bunga produktif tidak sama dengan riba dan hukumnya halal; Kedua, bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba dan hukumnya halal; Ketiga, bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan di bank hukumnya boleh; dan Keempat, bunga bank tidak haram bila bank tersebut menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.315 Dengan melihat pendapat para ulama NU yang beragam tersebut, terkesan bahwa mereka belum tegas secara holistik dalam menyikapi ststus hukum bunga bank.

Namun salah satu solusi yang dapat menetralisir perbedaan pendapat tersebut adalah dengan hadirnya sistem perbankan syariah yang bebas dari bunga. MUI Sumatera Utara bersama Yayasan Baitul Makmur Sumatera Utara melakukan sidang serupa pada tahun 1985. Sidang tersebut mengkaji secara ilmiah tentang riba dan bunga bank yang sangat kontroversial di mata publik. Sidang tersebut melahirkan sejumlah keputusan, yaitu: Pertama, perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non bank adalahs alah satu sub sistem dari sistem ekonomi dewasa ini yang sulit untuk dihindari; Kedua, riba yang sifatnya adh�afan mudha�afah (berlipat ganda) hukumnya adalah haram sesuai dengan nash yang sahih dari al-Quran dan al-Sunnah; dan Ketiga, bunga bank adalah persoalan yang masih diperdebatkan oleh para ulama yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: (a) bunga bank haram karena dianggap sama dengan riba; (b) bunga bank boleh karena dianggap tidak sama dengan riba sebagaimana yang diharamkan oleh syariat Islam; dan (c) bunga bank 314 A.

Azis Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdatul Ulama, (Surabaya: Dinamika Press, 1997), h. 21, dalam Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Perbankan Syariah, (Cet. I; Jakarta: UII Press, 2005), h. 90. 315 Anonim, Keputusan Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Ulama di Bandar Lampung, (Jakarta: PBNU, t.th.), h. 12-14. Lihat pula A. Azis Masyhuri, Op. Cit, h. 368-370; Rifyal Ka�bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), h. 191-192. haram, akan tetapi belum ada jalan keluar untuk menghindarkannya, maka dibolehkan (karena dianggap darurat).316 Hasil kajian ilmiah di atas rupanya tidak memberikan kesimpulan tegas tentang hukum bunga bank, sama dengan Lajnah Bahtsul Masil sebelumnya yang hanya mengkategorisasi pendapat para ulama saja tentang hukum bunga bank.

Kontroversi ini terus berlanjut hingga ketika MUI melakukan Lokakarya tentang perbankan syariah dan hukum bunga bank pada tahun 1990. Sebenarnya jika dianalisis lebih lanjut lahirnya pendapat yang beragam tersebut tidak perlu terjadi karena dalam al-Quran telah mensinyalir tentang keharaman riba dan segala sesuatu yang terkait dengannya berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 278-279 sebagai ayat terakhir yang menjelaskan tentang keharaman riba. Larangan yang terkandung dalam ayat tersebut bersifat menyeluruh (kulli) dengan segala aspek yang berkenaan dengan riba, termasuk sisa riba yang telah dilaksanakan.

Dengan begitu, pandangan yang memberikan perbedaan antara bunga bank dengan woeker adalah kurang tepat karena yang diharamkan oleh Allah swt dalam al-Quran bukan persoalan kuantitas riba, yakni sedikit atau banyaknya, tetapi hukum dasar dari riba itu sendiri yang diharamkan. Kasus serupa dapat disamakan dengan keharaman meminum minuman keras. Letak keharamannya bukan pada aspek kuantitas berupa sedikit atau banyaknya kandungan alkohol dalam minuman keras itu, tetapi zat alkohol itu sendiri yang sudah diharamkan.

Hasil telaah menunjukkan bahwa baik riba maupun bunga bank keduanya mempunyai unsur yang sama, yaitu unsur eksploitatif yang terakumulasi dalam kalimat adh�afan mudha�afah. Bunga bank yang dipraktekkan di zaman modern sekarang ini mengandung unsur eksploitasi karena faktanya bank selaku pemberi kredit tidak menanggung sedikitpun resiko dari kredit yang dikeluarkannya, sebaliknya justru debitur selaku penerima kredit akan menanggung semua resiko yang timbul, bahkan jumlah utangnya akan bertambah bila angsurannya sudah jatuh tempo.

Berlakunya sistem bunga juga akan berakibat pada semakin tingginya biaya produksi karena semakin tinggi suku bunga, maka akan semakin tinggi pula harga yang ditetapkan terhadap suatu barang.317 Sementara itu pada sisi lain, dianggap tidak rasional apabila memberikan pandangan tentang adanya perbedaan hukum bunga bank milik pemerintah dan hukum bunga bank milik swasta karena bunga bank, baik bank pemerintah maupun swasta memiliki kewenangan untuk menentukan tingkat bunganya sesuai dengan mekanisme pasar.

Kondisi ini dalam kenyataannya dapat saja berbeda tingkat bunga yang diberlakukan. Boleh jadi bunga bank milik pemerintah lebih rendah dari pada bunga bank milik swasta atau sebaliknya. Berdasarkan deskripsi di atas, semakin memberikan keyakinan sekaligus solusi bahwa pendirian bank syariah merupakan suatu keharusan guna menetralisir berbagai pendapat para pakar dan ulama tersebut, utamanya bagi mereka yang menganggap bunga bank sebagai sesuatu hal yang syubhat.

Persoalan unsur riba yang terkandung dalam bunga bank, tidak saja hangat dibahas dalam kalangan muslim, tetapi juga umat lain turut memperbincangkan dan bahkan melarangnya. Orang Yahudi, Yunani, Romawi, dan Kristen ikut memberikan pandangan. Orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga, seperti yang tercantum dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyebutkan: �Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya.�

Demikian pula dalam Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan: �Janganlah kamu membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat kamu bungakan.� Kemudian dalam Kitab Leviticus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan: �Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan 316 MUI Sumatera Utara dan Yayasan Baitul Makmur Sumatera Utara, Riba dan Bunga Bank, (Medan: Kesimpulan Muzakarah dan Pengkajian Ilmiah tanggal 2 dan 16 Juni 1985, 1986), h. 7, dalam Muslimin H. Kara, Op. Cit., h. 92. 317 Muhammad Syai�i Antonio, Op. cit. h. 67 Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu.

Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.�318 Pada masa Romawi, utamanya pada masa Genuricia (342 SM) tidak memperbolehkan pengambilan bunga. Bahkan filosof Yunani Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) mengecam praktik bunga. Begitu pula Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM) mengutuk orang- orang Romawi yang mengambil bunga.

Demikian pula kalangan Kristen yang memahami Injil Lukas 6:34-35 yang menyebutkan: �Dan Jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu darinya, apa jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa supaya menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu kasihanilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharap balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.�319 Pendeta masa awal Kristen (Abad I-XII) pun mengutuk adanya bunga, seperti St. Basil (329- 379); St. Gregory dari Nyssa (344-407); St. Ambrose; St.

Agustine; dan St. Anselm dari Canterburry (1033-1109). Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (canon), seperti Council of Elvira (Spanyol tahun 306); Council of Arles (314); Firs Council of Nicaea (325); Council of Vienna (1311). Pandangan para pendeta tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan; 2) Mengambil bunga adalah dosa yang dilarang dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; 3) Niat atau keinginan untuk mendapatkan imbalan yang melebihi dari yang dipinjam adalah dosa; 4) Bunga harus dikembalikan pada pemiliknya; 5) Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga dianggap bunga yang terselubung.

Para sarjana Kristen Abad XII-XVI, seperti Robert of Courcon (1152-1218); William of Auxerre (1160-1220); St. Raymond of Pennaforte (1180-1287); St. Bonaventure (1221-1274); dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) menyebutkan bahwa niat untuk mendapatkan keuntungan lebih dalam pinjaman adalah dosa dan bertentangan dengan prinsip keadilan.320 Sementara itu para Reformis Kristen Abad XVI-1836 seperti John Calvin (1509-1564); Charles du Moulin (1500-1566); Claude Saumaise (1588-1653); Martin Luther (1483-1546); Melanchton (1497- 1560); dan Zwingli (1484-1531) melarang adanya bunga.

Calvin berpendapat bahwa dosa apabila bunga memberatkan; mengembangbiakkan uang; tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi; dan jangan mengabil bunga dari orang miskin.321 Melihat fenomena ini nampaknya praktek bunga tidak mendapatkan ruang dalam ajaran agama, khususnya agama samawi. Demikian pula dengan orang-orang Yunani dan Romawi, utamanya para cendekiawan kurang memberikan peluang untuk menjalani transaksi keuangan yang berdasarkan sistem bunga. b. Menganjurkan sedekah Sedekah berasal dari bahasa Arab, yaitu shadaqa berarti benar.

Pemberian dari seorang muslim secara sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu; atau suatu pemberian yang dilakukan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridha Allah swt. dan pahala semata.322 Al-Jurjani dalam bukunya al-Ta�rifat (Definisi-definisi), mengartikan sedekah sebagai pemberian seseorang secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya yang diiringi oleh pemberian pahala dari 318 Ibid., h. 43. 319 Ibid., h. 45. 320 Ibid., h. 47. 321 Ibid., h. 48. 322 Abdul Aziz Dahlan, Op. cit., Jilid V, h. 1617. Allah swt.

Berdasarkan pengertian ini, maka infaq (pemberian sumbangan) harta untuk kebaikan termasuk dalam kategori sedekah. Ulama fikih sepakat mengatakan bahwa sedekah merupakan salah satu perbuatan yang diisyaratkan dan hukumnya adalah sunnah. Kesepakatan mereka itu didasarkan pada surat al-Baqarah: 280: �Dan jika orang yang berutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau keseluruhan utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui�.

Dalam hadis diungkapkan pula: �Bersedekahlah walaupun hanya dengan sebutir kurma, karena hal itu dapat menutp dari kelaparan dan dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api�. (HR. Ibnu al-Mubarak) Dalam konsep Islam, sedekah tidak hanya terbatas pada materi saja, tetapi lebih dari itu, sedekah mencakup seluruh perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun nonfisik. Berdasarkan analisis hadis Nabi saw.,

para ahli fikih membagi sedekah menjadi: (1) memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada orang miskin; (2) berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan; (3) berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersengketa; (4) membantu seseorang yang akan menaiki kendaraan yang akan ditumpanginya; (5) membantu orang mengangkat/memuat barang-barangnya ke dalam kendarannya; (6) menyingkirkan rintangan-rintangan dari tengah jalan, seperti duri, batu, kayu, dan lain-lain yang dapat mengganggu kelancaran laulintas; (7) melangkahkan kaki ke jalan Allah; (8) membacakan/mengucapkan zikir kepada Allah, seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dan lain- lain; (9) menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kemungkaran; (10) membimbing orang yang buta, tuli, bisu serta menunjuki orang yang ameminta petunjuk tentang sesuatu, seperti tentang alamat rumah dan lain-lain; dan (11) memberikan senyuman kepada orang lain.323 Antara sedekah dengan zakat memiliki perbedaan, di antaranya: Pertama, dari segi subyek, sedekah disunatkan kepada orang beriman, baik miskin maupun kaya, orang kuat atau lemah. Sedangkan zakat diwajibkan kepada orang yang mampu. Hadis Nabi saw.

menyatakan: �Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat kepada mereka, yaitu dari harta benda yang mereka miliki yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir (fakir) di antara mereka.� (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua, dari segi yang disedekahkan, sedekah yang diberikan tidak terbatas pada harta secara fisik, melainkan mencakup semua kebaikan. Sedangkan pada zakat yang dikeluarkan terbatas pada harta kekayaan secara fisik, seperti hasil pertanian, peternakan, perdagangan, dan hasil profesi lainnya.

Ketiga, dari segi penerima (obyeknya), zakat hanya diberikan kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah swt. dalam al-Quran kepada delapan ashnaf. Adapun sedekah sunnah selain kepada yang delapan golongan, boleh diberikan kepada yang lain, seperti kepada anak, istri, pelayan, dan lain-lain. Yang membatalkan sedekah sesuai petunjuk al-Quran adalah: Pertama, al-Mann (membangkit- bangkitkan). Artinya seseorang yang bersedekah kemudian terus mengingat dan menyebut-nyebutnya di hadapan orang lain sehingga orang banyak mengetahui bahwa ia telah bersedekah.

Kedua, al-�Aza (menyakiti). Artinya orang yang bersedekah , kemudian dengan sedekah itu ia menyakiti hati orang yang menerimanya, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatannya. Ketiga, al-Riyaa (memperlihatkan). Artinya seseorang yang bersedekah memamerkan atau menunjukkan kepada orang lain bahwa ia bersedekah. Misalnya bersedekah di hadapan orang banyak, padahal pada saat sepi ia tidak mau bersedekah atau mempublikasikan dengan maksud agar orang tahu dan kemudian memuji dan menyanjungnya sebagai seorang dermawan. Allah swt.

menjanjikan pahala yang besar dan berlipat ganda bagi yang bersedekah karena hanya mengharap pahala dan keridhaannya serta tidak mengikutinya dengan perbuatan-perbuatan yang membatalkan sedekah tersebut, seperti dalam surat al-Baqarah: 261-262.324 Sedekah menjadi prinsip utama dalam sistem perbankan syariah yang membedakannya dengan sistem perbankan konvensional. Para nasabah diajak untuk mengeluarkan sedekah, bahkan di perbankan syariah telah dibuat suatu sistem yang mengalokasikan sedekah secara tersendiri dalam produk bank syariah.

Oleh karena itu, anjuran untuk bersedekah merupakan suatu nilai etika yang mesti dijunjung tinggi bagi mereka yang terlibat dalam transaksi perbankan syariah. c. Berdasarkan keridhaan 323 Ibid. h. 1618. 324 Ibid., h. 1619-1620. Al-Ridha berarti menerima segala yang terjadi dengan senang hati karena segala yang terjadi itu merupakan kehendak Allah swt. atau tidak menentang hukum dan ketentuan Allah swt.325 Dalam fikih, persoalan ridha banyak dibahas yang berkaitan dengan muamalah, yakni sikap sukarela yang dimiliki oleh pihak yang terlibat dalam transaksi.

Ridha adalah persoalan hati dan bersifat psikologis yang tidak dapat diindera secara langsung, namun nampak dalam bentuk ungkapan ijab dan kabul. Pernyataan ridha menjadi rukun dari sebuah akad transaksi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan, dan sebagainya. Sebaliknya ada pula akad yang tidak memerlukan pernyataan ridha dari pihak kedua, seperti akad wasiat atau hibah. Menurut ulama fikih bahwa akad-akad seperti ini yang diperlukan hanyalah kerelaan pihak yang memberi wasiat dan hibah yang diungkapkan melalui ijab, baik secara lisan dengan dihadiri oleh para ahli waris, maupun melalui tulisan atau surat wasiat dan hibah.

Sedangkan pihak penerima tidaklah harus menyatakan kabulnya terhadap wasiat atau hibah tersebut. Akad seperti ini disebut akad yang mengikat satu pihak, yakni pihak pemilik harta. Konsekuensi perbedaan dai kedua bentuk akad ini adalah bahwa akad yang sifatnya mengikat kedua belah pihak yang berakad tidak bisa dibatalkan tanpa keridaan dari pihak lain. Misalnya, dalam transaksi sewa menyewa, pemilik barang tidak boleh membatalkan akad tersebut tanpa persetujuan dari pihak penyewa.

Sedangkan dalam akad yang hanya mengikat pihak pemilik barang, seperti wasiat dan hibah, maka pihak pemilik barang bisa saja mencabut wasiat dan hibahnya tanpa melalui persetujuan dari pihak penerima.326 Menurut ulama fikih, ridha atau persetujuan yang berakibat hukum tersebut harus dikemukakan oleh orang-orang yang telah cukup bertindak hukum atau mukallaf. Orang yang belum cakap bertindak hukum, keridaan terhadap suaru akad yang dilaksanakan tidak dianggap sebagai memenuhi tuntutan hukum, seperti anak kecil dan orang gila dianggap tidak sah meskipun ia telah menunjukkan sikap keridaannya.

Tetapi bila akad tersebut dilaksanakan oleh anak yang sudah mumayyiz, maka ulama fikih menilai bahwa transaksi yang dilakukan itu bersifat mauquf (tertunda keabsahannya). Yang dianggap sah apabila wali anak yang sudah mumayyiz menyetujui akad tersebut. Untuk itu para ulama fikih menyatakan bahwa seorang wali hanya boleh mengesahkan akad yang membawa keuntungan bagi anak mumayyiz tersebut. Dalam kasus seperti ini, keridhaan anak kecil, baik yang belum maupun yang sudah mumayyiz tidak bisa dianggap sebagai salah satu rukun akad.327 Sehubungan dengan ridha dalam berbagai transaksi, ulama fikih menyatakan bahwa ridha itu adalah tuannya transaksi.

Maksudnya bahwa keabsahan akad itu sangat tergantung pada keridhaan pihak-pihak yang berakad. Oleh karenanya, bila suatu akad dilakukan atas dasar keterpaksaan (ikrah) atau berada di bawah tekanan (under pressure), maka akad tersebut dianggap tidak sah dan akan gugur dengan sendirinya, sesuai dengan hadis Nabi saw. bahwa �Umatku tidak diminta pertanggungjawabannya jika mereka tersalah, terlupa, dan terpaksa.� (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Majah)328 Deskripsi di atas memberikan gambaran bahwa ridha atau kerelaan dalam bermuamalah sangat mendasar karena suatu transaksi muamalah harus berpijak pada prinsip suka sama suka atau kesepakatan yang berlangsung secara sukarela tanpa ada unsur paksaan, tetapi merupakan kemauan dari kedua belah pihak atau lebih yang bertransaksi.

Oleh karena itu, ridha termasuk salah satu unsur nilai yang begitu penting dalam operasionalisasi sistem ekonomi syariah, khususnya sistem perbankan syariah. d. Menjalankan amanah Amanah secara etimologis merupakan bentuk masdar dari amuna-ya�munu, yakni jujur atau bisa dipercaya. Dalam bahasa Indonesia, amanah berarti kerabat, ketenteraman atau dapat dipercaya; dan amanat berarti pesan, perintah, keterangan atau wejangan. Dalam sejarah para rasul, amanah merupakan salah satu sifat yang wajib dimiliki oleh para rasul, khususnya yang berkaitan dengan tugas kerasulannya, seperti menerima wahyu, memelihara keutuhannya, dan menyampaikannya kepada 325 Ibid., h. 1501. 326 Ibid. 327 Ibid. 328 Ibid. manusia tanpa penambahan, pengurangan, atau penukaran sedikitpun. Mereka juga bersifat amanah dalam arti terpelihara dari hal-hal yang dilarang Allah swt.

secara lahir dan batin.329 Dalam konteks fikih, amanah berarti kepercayaan yang diberikan seseorang berkaitan dengan pemeliharaan harta benda. Sementara itu Kodifikasi Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani bahwa yang dimaksud dengan amanah adalah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang baik berupa akad seperti harta benda yang disewakan atau dipinjamkan, maupun berupa harta yang berada di tangan orang lain tanpa melalui akad atau tanpa kesengajaan, misalnya harta benda seseorang yang berada di rumah orang lainkarena dipindahkan oleh angin.

Dari hasil kajian ini dapat dipahami bahwa tidak ada sanksi hukum yang bersifat material atau fisik kepada orang yang tidak menunaikan amanah. Namun pemerintah harus memberikan sanksi ringan dalam bentuk takzir berupa pemberian teguran, peringatan atau hukuman kurungan. Penetapan sanksi ini bertujuan untuk menanamkan sikap disiplin terhadap pemegang amanah tersebut supaya lebih berhati-hati dan tidak menyia-nyiakannya karena apabila mengkhianati amanah itu merupakan tanda kemunafikan sesuai hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.330 Kata amanah disebutkan dalam al-Quran pada`surat al-Baqarah: 283 dan surat al-Ahzab: 72.

Sedangkan kata amanat disebutkan dalam surat al-Nisa: 58, al-Anfal: 27, al-Mun�minun: 8, dan al- Ma�arij:32. Kata amanah dalam surat al-Baqarah: 283 mengarah pada pengertian khusus dalam bidang fikih, yaitu kewajiban seseorang berlaku jujur dalam membayar utangnya kepada orang lain, sedangkan kata amanah atau amanat dalam ayat-ayat lain adalah kewajiban untuk bersikap jujur dalam pelaksanaan ibadah yang difardukan, selalu mematuhi aturan Allah swt., dan bersikap jujur dalam menyatakan keimanan, baik melalui ucapan, maupun melalui ikrar dalam hati.331 Sementara itu, surat al-Ahzab: 72 mengingatkan kembali bahwa manusia telah menyatakan keswediaan dan kesanggupannya dalam memikul amanah yang ditawarkan Allah swt.

Surat al-Baqarah: 283 dan al-Nisa: 58 memerintahkan supaya menunaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya. Demikian pula dengan surat al-Mu�minun: 8 dan al-Ma�arij: 32. Kedua ayat ini diungkapkan dalam bentuk kalimat berita (khabariyyah) tetapi mengandung makna kalimat tuntutan atau perintah (insyaiyyah). Surat al-Anfal: 27 memuat perintah agar semua amanah yang telah dipercayakan kepada seorang mukmin tidak dikhianati, baik amanah dari Allah swt.,

rasul-Nya, maupun terhadap sesama manusia.332 Amanah merupakan dasar dari kepercayaan, kehormatan, dan tanggung jawab serta prinsip- prinsip yang melekat padanya. Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan atau diperkarakan.333 Di dalam diri yang amanah itu ada beberapa nilai yang melekat, yaitu: Pertama, rasa tanggung jawab, yakni bahwa mereka ingin menunjukan hasil yang optimal atau islah; Kedua, kecanduan kepentingan dan sense of urgency, yakni bahwa mereka merasakan bahwa hidupnya memiliki nilai, ada sesuatu yang penting.

Mereka merasa dikejar dan mengejar sesuatu agar dapat menyelesaikan amanahnya dengan sebaik-baiknya; Ketiga, al-Amin, kredibel, ingin dipercaya dan mempercayai. Hidup baginya ada organisasi atau gaya manajemen apa pun yang dilakukan para top executive, akhirnya terpusat pada sejauh mana dirinya mempu mempercayai bawahannya dan pada saat yang sama memberikan dorongan atau motivasi agar dirinya mendapatkan kepercayaan. Keguncangan sebuah sistem, apakah sistem birokrasi yang paling rendah sampai pada sistem pemerintahan, terletak pada sejauh manakah presiden, kabinet, dan rakyatnya terkait dalam dua pola tersebut yaitu dipercaya dan mempercayai. Keempat, hormat dan dihormati (honorable).

Hidup yang wajar dan mulia tidak harus menjdi seorang karismatik atau berupaya untuk membuat dirinya menjadi yang dikultuskan. Hidup harus berada pada tataran mahabbah , rasa cinta. Dia merasakan bahwa hanya mungkin dicintai bila dia pun 329 Ibid., h. 103. 330 Ibid., h. 104. 331 Ibid., h. 103. 332 Ibid., h. 104. 333 Anonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 899. terbuka untuk mencintai. Bagaimana aku memperlakukan orang lain sebagaimana kau memperlakukan diriku sendiri (how I am treating others is essentially how I am treating myself, and vice versa).334 Pada prinsipnya orang yang diserahi tanggung jawab adalah orang yang dipercaya atau orang yang amanah.

Tanggung jawab, kepercayaan atau amanah dapat disebut sebagai unsur yang membangun kecerdasan ruhani manusia karena indikator dari seorang yang memiliki kecerdasan ruhaniah adalah sikapnya yang selalu ingin menampilkan sikap yang bisa dipercaya (credibel), menghormati, dan dihormati (honorable). Sikap terhormat dan dipercaya hanya dapat tumbuh apabila kita meyakini sesuatu yang kita anggap benar sebagai summum bonum atau prinsip-prinsip yang tidak dapat diganggu gugat. Banyak pejuang kemanusian yang terlempat di dalam penjara.

Nelson Mandela mampu bertahan lebih dari dua puluh tahun dalam penjara yang pengap, dikarenakan memiliki prinsip kebenaran tersebut yang kemudian memancarkan kehormatan dirinya. Mahatma Gandhi menampilkan dirinya sebagai sosok manusia teladan dengan gerakan antikekerasannya. Ahimsa dan Bande Mataram menjadikan dirinya sebagai sosok yang dipercaya dan dihormati. Mereka yang memiliki kecerdasan ruhaniah dihormati dan dipercaya bukan karena kemampuan fisiknya, tetapi kekuatan ruhaninya yang senantiasa diterimanya dengan penuh rasa amanah. Mereka merasakan ada semacam getaran dalam sanubarinya. Ada Allah dihatinya dan kemanapun mereka berpaling ia melihat-Nya (Al-Baqarah:115).

Sikap seperti ini menumbuhkan gairah yang sangat kuat atau antusiasme.335 Seseorang dapat dipercayai apabila memiliki sikap jujur (shiddiq). Bagaimana mungkin menyerahkan amanah dan mempercayainya bila orang tersebut selalu berdusta. Oleh sebab itu, kejujuran merupakan komponen utama yang mengkonstruk amanah ini. Kejujuran adalah komponen nilai ruhani yang memantulkan berbagai sikap terpuji (honorable, respectable, creditable, muqamam mahmudah).

Seorang yang jujur berani menyatakan sikap secara transparan, terbebas dari segala kepalsuan dan penipuan (free from fraud or deception). Hatinya terbuka dan selalu bertindak lurus (open minded and straight for warness), sehingga memiliki keberanian moral yang sangat kuat. Seorang sufi terkenal al-Qusyairi menyatakan bahwa shiddiq adalah orang yang benar dalam semua kata, perbuatan, dan keadaan batinnya. Hati nuraninya menjadi bagian dari kekuatan dirinya karena disadari bahwa segala hal yang mengganggu ketentraman jiwa merupakan perbuatan dosa.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Al-Nuwas bin Sam�an bahwa dia berkataa: �Saya bertanya kepada Rasulullah tentang dosa, maka beliau bersabda bahwa dosa ialah yang merisaukan hatimu dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya�.336 Dengan demikian, kejujuran bukan datang dari luar tetapi ia adalah bisikan kalbu yang secara terus menerus mengetuk-ngetuk dan memberikan percikan cahaya Ilahi. Ia merupakan bisikan moral luhur yang didorong oleh gelora cinta kepada Ilahi (mahabbah li Allah).

Kejujuran bukan sebuah keterpaksaan, melainkan sebuah panggilan dari dalam diri manusia (calling from within) dan sebuah keterikatan (komitmen, akad, dan i�tikad). Adapun orang yang tidak jujur (al-Kadzab) adalah orang yang menipu dirinya sendiri dengan menghancurkan atau menghapuskan seluruh nilai moral yang dimilikinya. Orang yang tidak jujur berarti tipikal manusia yang dengan teganya membunuh suara hatinya sendiri. Ia berani menyangkal suara kalbu dan dengan sangat memalukan berani melecehkan harga dirinya sendiri.

Orang menjadi tidak jujur karena dia tampil sebagai pengecut (moral cowardice) yang kehilangan kepribadina untuk menyatakan keyakinan-keyakinannya sendiri. Dia bukan lagi dirinya sendiri, sehingga orisinilitas atau keaslian dirinya hilang. Akar batinnya sangat rapuh dan gampang tumbang ketika diterpa angin. Kalu pun harus berdiri, dia bagaikan pucuk bambu yang bergerak ke mana angin 334 Toto Tasmara, Op. cit., h. 204. 335 Antusiasme berasal dari kata entheos, yakni meyakini di dalam hati manusia ada Tuhan. Lihat Toto Tasmara, Ibid.

336 Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Trancendental Intelligence): Membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, (Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 90-91. berhembus. Jati dirinya terkubur oleh polesan bedak penuh kepalsuan. Orang yang tidak jujur adalah orang yang bersembunyi dari orisinalitas atau keaslian dirinya. Dia berpura-pura hipokrit atau mun afik. Perilaku yang jujur adalah perilaku yang diikuti dengan sikap dan tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.

Siap menghadapi resiko dan seluruh akibatnya dengan penuh suka cita. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk melemparkan tanggung jawab kepada orang lain karena sikap tidak bertanggung jawab merupakan pelecehan paling asasi terhadap orang lain, dan sekaligus merupakan penghinaan terhadap dirinya sendiri dan Tuhan. Kejujuran dan rasa tanggung jawab yang memancar dari kalbu, merupakan sikap sejati manusia yang bersifat universal, sehingga harus menjadi keyakinan dan jati diri serta sikapnya yang paling otentik, asli, dan tidak bermuatan kepentingan lain, kecuali ingin memberikan keluhuran makna hidup.

Disadari bahwa keaslian kepribadian itu merupakan ungkapan kejujuran yang paling fundamental tanpa dipengaruhi dan dibentuk orang lain atau lingkungannya. Ia bertanggung jawab, bersikap jujur, dan siap menerima segala resiko karena kerinduannya untuk menjawab bisikan kalbunya. Itu benar-benar kesadaran azasi untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabnya, baik sebagai pribadi, makhluk sosial, maupun manusia Ilahi. Jujur adalah mengungkapkan dan menyampaikan suatu pesan sesuai dengan faktanya.

Lawan dari jujur adalah dusta, yaitu mengungkapkan dan menyampaikan suatu pesan tidak sesuai dengan faktanya.337 Oemar Bakri menyatakan bahwa jujur ialah memberikan berita menurut yang sebenarnya, tidak melebihi dan tidak pula mengurangi. Memberi berita itu tidak saja dengan mulut dan perkataan. Gerakan tangan, anggukan kepala, dan lain-lain yang mengandung arti membenarkan atau tidak menyetujui sesuatu kejadian atau perbuatan itu, termasuk pemberian berita juga.338 Jujur merupakan sifat yang terpuji dan menjadi hiasan diri serta menambah kehormatan dan ketinggian martabat.

Jujur itulah sifat para nabi, salihin, dan orang-orang besar yang harum namanya. Dengan bersikap jujur pergaulan umat manusia akan lebih baik. Kepercayaan antara satu dengan yang lain semakin kuat. Kejujuran menjadi sendi utama bagi masyarakat yang beradab. Antara satu anggota masyarakat dengan yang lain tetap senantiasa terjalin hubungan harmonis. Jujur dan dusta mempunyai faktor pendukung. Faktor jujur bersifat abadi dan asli, sedangkan faktor dusta bersifat sementara dan palsu. Kejujuran itu dianjurkan oleh akal dan diharamkan oleh wahyu.

Karena itu, mungkin saja bila berita-berita yang jujur berkembang dan tersebar luas di tengah- tengah masyarakat dan selanjutnya menjadi mutawatir. Sebaliknya, berita-berita yang dusta tidak mungkin berkembang dan tersebar luas di tengah-tengah masyarakat. Kemungkinan tersebar luasnya berita faktual dan kemustahilan tersebar luasnya berita fiktif dan dusta adalah murni karena faktor penyebabnya. Faktor pertama bernilai guna, sedangkan faktor kedua tidak bernilai guna. Pada umumnya, manusia menilai kejujuran sebagai sifat mulia.

Mereka juga menilai bahwa faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk bersifat jujur adalah faktor-faktor yang baik dan berguna. Faktor-faktor tersebut seperti akal, agama, harga diri, dan sebagainya. Faktor-faktor itu dapat diterima oleh sejumlah anggota masyarakat. Lalu apabila mereka menyampaikan suatu berita, sedangkan jumlah mereka mencapai jumlah bilangan yang menurut akal mustahil terjadi kesepakatan antara mereka untuk berdusta, penerima berita dapat mempercayai berita itu. Sebaliknya, mustahil suatu kelompok besar masyarakat akan sepakat untuk berdusta bila jumlah mereka banyak.

Karena faktor-faktor dusta itu tidak bernilai guna dan bahkan terkadang berbahaya. Menurut tradisi yang berlaku, tidak mungkin sejumlah manusia sepakat menerima faktor-faktor yang tidak bernilai guna. Jadi kemungkinan tersebar luasnya berita faktual adalah karena adanya kesepakatan manusia untuk menerima faktor-faktor kejujuran itu sendiri. Sebaliknya, tersebar luasnya berita dusta dan fiktif adalah karena kemustahilan adanya kesepakatan manusia menerima faktor-faktor kedustaan itu sendiri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejujuran di antaranya yaitu: 337 Abu al-Hasan Ali al-Bashri al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din, (Cet. II; Beirut: Maktabah al-Hayat, 1987), diterj. Ibrahim Syuaib Etika Jiwa: Menuju Kejernihan Jiwa Dalam Sudut Pandang Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 63 338 Oemar Bakri, Akhlak Muslim, (Cet. III; Bandung: Angkasa, 1993), h. 27. Pertama, pertimbangan akal sehat. Menurut pertimbangan akal sehat, jujur adalah baik sedangkan dusta adalah buruk, terlebih lagi bila dusta itu tidak membawa manfaat. Kedua, ketaatan beragama.

Ketaatan dan komitmen beragama dapat mendorong seseorang untuk berlaku jujur dan tidak berdusta. Agama Islam tidak memberi keringanan atau dispensasi dalam masalah-masalah yang dinilai buruk oleh akal. Sebaliknya, Islam menegakkan dan menguatkan kembali penilaian akal terhadap buruknya dusta. Penegasan ini melebihi penilaian yang diberikan oleh akal. Hal ini karena Islam tetap melarang berdusta sekalipun ia mendatangkan manfaat atau menolak mudarat.

Adapun akal hanya menilai buruk dusta yang tidak mendatangkan manfaat dan tidak pula menolak mudarat. Ketiga, menjaga nama baik. Menjaga nama baik dan harga diri dapat mendorong seseorang untuk jujur dan tidak berdusta. Karena kesungguhan dalam menjaga nama baik seringkali menurut seseorang untuk menjauhi hal-hal yang kecil dan sedikit kadar buruknya. Orang seperti ini tentu lebih menjauhi hal yang sudah jelas buruknya, seperti dusta. Keempat, ingin dikenal sebagai orang yang jujur.

Predikat sebagai orang jujur adalah predikat yang terhormat dan mulia, terlebih lagi bila predikat itu sudah populer. Terkadang orang yang berambisi untuk memperoleh predikat ini bersikap jujur dan tidaki sudi bersikap dusta. Tujuannya adalah agar pendapatnya didengar dan diterima oleh masyarakat dan ia memperoleh kepuasan batin dengan perlakuan masyarakat seperti itu. Seorang sastrawan berkata: �Jadikanlah kebenaran sebagai rujukanmu dan kejujuran adalah teman yang paling baik�.

Seorang penyair mengeluarkan syair:�Biasakanlah lidahmu berkata dengan jujur, niscaya anda bahagia. Sesungguhnya ucapan lidah itu bergantung pada didikan anda sendiri. Anda akan memetik hasil dari didikan anda itu, karena itu didiklah ia dengan kejujuran�.339 Jujur dapat ditemukan dalam beberapa bentuk, yaitu: Pertama, jujur dalam berpikir. Jujur dalam kemerdekaan berpikir ialah menjalankan hasil pemikiran itu dengan jujur.

Jangan dipengaruhi oleh rasa takut, sifat loba, sombong dan sebagainya, sehingga pikiran yang murni itu disembunyikan atau dirubah dalam perbuatan. Kebenaran tidak boleh didustakan dalam pemikiran seorang individu. Kedua, jujur dalam perkataan atau ucapan. Jujur dalam perkataan ialah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi dan berterus terang, baik yang didengar, dipikir, maupun yang dirasakan benar dalam hati. Berterus terang bukanlah berarti mengatakan semua yang terasa dalam hati. Tidak semua yang benar harus diungkapkan.

Menyatakan dengan jujur apa yang diketahui dan tidak perlu mengatakan semua yang diketahui. Ketiga, jujur dalam perbuatan. Jujur dalam amal perbuatan berarti tidak bersifat munafik, lain yang diungkapkan, lain pula yang dilakukan. Hendaknya perbuatan sesuai dengan keyakinan dan pikiran. Keempat, jujur dalam pergaulan. Interaksi sosial juga harus dibangun di atas sendi kejujuran. Demikian pula dalam transaksi jual beli, pinjam meminjam, hutang piutang, dan sewa menyewa harus dilakukan secara jujur.

340 Kejujuran merupakan nilai yang tidak terkira bandingannya. Kejujuran mempunyai manfaat yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Dengan berlaku jujur, maka keberhasilan dan kemajuan dapat dicapai, menimbulkan rasa cinta dan percaya orang lain terhadap diri kita, semakin menambah ilmu pengetahuan, dan pada akhirnya akan mendapat keridhaan Allah swt. Tasmara juga membagi kejujuran pada tiga hal, yaitu: Pertama, jujur pada diri sendiri. Jujur pada diri sendiri berarti kesungguhan yang amat dalam untuk meningkatkan dan mengembangkan misi serta bentuk keberadaannya (mode of existence) untuk memberikan yang terbaik kepada orang lain. Orang yang jujur akan menampilkan dirinya yang sejati, apa adanya, as it is, lurus, bersih, dan otentik.

Menyadari sepenuhnya bahwa keberadaannya hanya punya makna bila memberikan manfaat kepada orang lain secara terbuka (transparan) tanpa kepalsuan, apalagi menyembunyikan fakta kebenaran atau memanipulasinya. 339 Abu al-Hasan Ali al-Bashri al-Mawardi, Op. Cit., h. 64-68 340 Oemar Bakri, Op. Cit., h. 28-31. Kedua, jujur pada orang lain. Jujur kepada orang lain bukan hanya sekedar berkata dan berbuat benar, namun berusaha memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi orang lain.

Sikap jujur kepada orang lain berarti sangat prihatin melihat penderitaan orang lain, sehingga orang yang shiddiq mempunyai sikap empati yang sangat kuat dan mempunyai jiwa pelayanan yang prima (sense of stewardship). Tidak mungkin orang merasa gelisah bila bersama-sama orang jujur karena mereka adalah sebaik-baik teman yang penyantun dan penyayang serta direkomendasikan Allah swt, tidak mungkin mereka akan mencelakakan orang lain karena dalam dirinya hanya bersemai cinta dan kepedulian yang amat dalam untuk memberikan kebaikan.

Orang yang jujur bersedia memberi perhatian dan rasa ingin memberikan arti kepada orang lain. Mereka tidak bersikap reaktif untuk menyalahkan orang lain, tetapi melakukan instropeksi diri terlebih dahulu, kemudian menyadari bahwa ia adalah bagian dari kelompok itu. Dalam hubungannya dengan dunia kerja, sikap shiddiq akan melahirkan para karyawan yang penuh enerjik dan antusiasme karena dalam melaksanakan tugas tidak merasa terhambat oleh berbagai kebohongan yang dapat merusak dirinya. Menyadari bahwa setiap kebohongan akan diikuti oleh kebohongan-kebohongan yang lain.

Para ahli psikologi sudah membuktikan kebohongan akan melahirkan penyakit mental, rasa takut, stres, dan merasa tidak nyaman dalam menapaki kehidupannya, bahkan kebohongan merupakan cikal bakal dan penyakit psikis yang akan mengganggu dirinya dan menimbulkan gangguan hubungan dengan keluarga, teman sejawat, dan masyarakat. Kejujuran telah melahirkan sifat kepemimpinan yang berorientasi pada upaya menunjukkan bentuk keteladanan (uswatun hasanah/excellent examplary) sebagaimana kerinduan kepada Rasulullah saw. yang telah banyak memberikan mutiara etika untuk dijadikan suri teladan.

Dengan meneladani nilai-nilai etika yang telah diwariskan Rasulullah saw. orang jujur ingin menjadikan dirinya sebagai inspirator dan motivator yang kuat dalam rangka meningkatkan mutu dan memberdayakan kualitas orang lain. Sikap ini disebut dengan sikap leadership. Ketiga, jujur pada Allah swt. Jujur terhadap Allah swt. berarti berbuat dan meberikan segala- galanya atau beribadah hanya untuk Allah semata.

Hal ini terangkum dalam doa iftitah, yang mana seluruh umat Islam menyatakan ikrarnya bahwa sesungguhnya shalat, pengorbanan, hidup, dan mati hanya diabdikan kepada Allah Yang Mahamulia. Penyataan ini merupakan komitmen yang diperjuangkan secara kontinyu agar tidak menyimpang dari jalan yang benar.341 Jujur terhadap Allah swt. merupakan persoalan hati nurani. Terdapat titik imaniah yang merasakan bahwa dirinya senantiasa dilihat oleh-Nya. Ada kamera Ilahiah yang selalu mengintainya dan terus menerus menyorot qalbunya. Merasakan bahwa Allah senantiasa hadir dan menampakkan diri di mana-mana (omnipresent).

Suasana batin yang merasakan kehadiran Allah menyebabkan mereka tidak sekalipun terlintas dalam hati untuk berbohong karena kebohongan bagi mereka merupakan kebodohan dan pengingkaran yang amat nyata terhadap keimanannya. Dengan berdasar pada informasi di atas, maka amanah atau kepercayaan yang dibangun di atas landasan kejujuran merupakan poin yang sangat urgen dalam sistem ekonomi syariah karena keberlanjutan suatu transaksi syariah sangat tergantung pada ada tidaknya unsur kepercayaan itu dan apakah orang yang diserahi kepercayaan tersebut mampu menjalankannya atau tidak.

Oleh karena itu, nash-nash al-Quran dan al-Sunnah menganjurkan agar menyerahkan suatu perkara kepada mereka yang bisa dipercaya sebab bisa berakibat fatal bila suatu perkara diurusi oleh mereka yang tidak amanah. Jadi perlu adanya studi kelayakan terhadap seorang individu atau institusi mengenai kompetensi mereka dalam menerima dan menjalankan amanah tersebut. Sedemikian pentingnya, sehingga dalam wawasan ekonomi syariah, unsur amanah atau kepercayaan menjadi sebuah nilai etika yang mesti diwujudkan dalam praktik ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah. e. Menunaikan akad Kata �akad� berasal dari bahasa Arab, yakni �akd yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (ittifaq).

Jadi akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. Kalimat �yang sesuai dengan kehendak syariat� dimaksudkan bahwa seluruh perikatan yang 341 Toto Tasmara, Op. Cit., h.192-200. dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sesuai dengan kehendak syarak, misalnya kesepakatan untuk melakukan transaksi yang bermuatan riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain.

Kemudian pencantuman kalimat �berpengaruh pada obyek perikatan� dimaksudkan bahwa terjadinya perpindahan kepemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan kabul).342 Terkait dengan akad ini, Mustafa Ahmad al-Zarqa membagi tindakan hukum yang dilakukan manusia ke dalam dua bentuk, yaitu tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan. Tindakan dalam bentuk perkataan juga terbagi dua, yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.

Tindakan berupa perkatan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi lagi dalam dua macam, yaitu: Pertama, yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan/melimpahkan hak, membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah, dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan kabul, meskipun tindakan hukum ini menurut beberapa ulama fikih termasuk akad.

Menurut Ulama Mazhab Hanafi bahwa tindakan hukum seperti ini hanya mengikat pihak yang melakukan ijab. Kedua, yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau menggugurkan sustau hak, tetapi perkataannya itu menimbulkan suatu tindakan hukum, seperti gugatan yang diajukan kepada hakim dan pengakuan seseorang di depan hakim. Tindakan seperti ini berakibat timbulnya suatu ikatan secara hukum tetapi sifatnya tidak mengikat. Oleh sebab itu, ulama fikih menetapkan bahwa tindakan seperti yang disebut terakhir ini tidak dapat dikatakan sebagai akad karena tindakan tersebut tidak mengikat siapapun.343 Dengan demikian, suatu tindakan hukum lebih umum dari pada akad karena setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.

Menurutnya bahwa dalam perspektif syariat akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Keinginan untuk mengikatkan diri tersebut sifatnya abstrak karena tersembunyi dalam hati. Oleh karena itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut dengan ijab kabul. Atas dasar ini, setiap pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang mengikatkan diri dalam suatu akad disebut mujib dan setiap pernyataan kedua yang diungkapkan oleh pihak lain setelah ijab disebut qabil.

Misalnya dalam akad jual beli murabahah, jika pernyataan jual beli datangnya dari penjual, maka penjual disebut mujib, sedangkan pembeli disebut qabil.344 Pernyataan ijab tidak selamanya datang dari pihak pembeli, melainkan bisa juga datang dari pihak penjual. Apabila ijab dan kabul tersebut telah memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan syara, maka terjadilan perikatan di antara pihak-pihak yang melakukan ijab kabul dan muncullah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.

Dalam kasus jual beli di atas, akibatnya adalah berpindahnya kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan penjual berhak menerima harga barang tersebut. Dalam akad produk rahn (jaminan utang) dalam perbankan syariah misalnya, pihak penerima jaminan utang berhak untuk menguasai jaminan tersebut sebagai jaminan utang dan pihak yang menjamin barang berkewajiban melunasi utangnya. Ijab dan kabul ini dalam istilah fikih disebut dengan sighah al-�aqd (ungkapan/pernyataan akad). Akad ini memiliki rukun tersendiri.

Jumhur ulama menetapkan rukun akad dalam tiga rukun, yakni: (1) pernyataan untuk mengikatkan diri (shighah al-�akd); (2) pihak-pihak yang berakad; dan (3) obyek akad. Meskipun ulama mazhab Hanafi mengeluarkan pernyataan rasional bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu shighah al-�akd, sednagkan pihak-pihak yang berakad dan obyek akad tidak termasuk rukun akad, tetapi menjadi syarat akad.

Menurut mereka bahwa rukun akad itu adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak yang berakad dan obyek akad sudah berada di luar esensi akad. 342 Abdul Aziz Dahlan et. al., Op. Cit., Jilid I, h. 63. 343 Mustafa Ahmad al-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al�Amm: Al-Fiqh al-Islami fi Shaubih al-Jadid, (Beirut: Dar al- Fikr, 1976), dalam Abdul Aziz Dahlan, Ibid., h. 344 Ibid., h. 64. Di antara rukun akad yang dikemukakan Jumhur Ulama, yang terpenting adalah shighah al-�akd karena melalui pernyataan inilah dapat diketahui maksud semua pihak yang melakukan akad dan penyataan ini pula yang menetukan apakah suatu perikatan jadi dilakukan atau tidak.

Sekaitan dengan hal ini, ulama fikih menentukan kriteria, yaitu: (1) tujuan pernyataan itu harus jelas, sehingga dapat dipahami dari pernyataan itu jenis akad yang dikehendaki karena akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya; (2) antara ijab dan kabul harus terdapat kesesuaian; serta (3) pernyataan ijab dan kabul itu mengacu pada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti dan tidak ragu-ragu.345 Ijab dan kabul bentuknya dapat berupa pernyataan lisan, tertulis, perbuatan, atau isyarat.

Dalam perspektif Mushtafa Ahmad al-Zarqa bahwa suatu akad telah sempurna apabila ijab dan kabul telah memenuhi syarat. Akan tetapi ada juga akad-akad tertentu yang baru bersifat sempurna apabila telah dilakukan serah terima obyek akad dan tidak boleh hanya sekedar ijab kabul saja. Akad seperti ini disebut al-�uqud al-�ainiyyah, seperti hibah, �ariah (pinjam-meminjam), al-wadi�ah, al-qiradh (perserikatan dalam modal atau mudharabah), dan rahn (jaminan).

Hal ini sesuai dengan kaidah fikih; �suatu transaksi yang sifatnya tolong menolong tidak sempurna kecuali apabila obyek transaksi telah diserahkan dan dikuasai oleh pihak yang menerimanya�.346 Sehubungan dengan syarat umum yang ditetapkan suatu akad, para Ulama Fikih menentukan beberapa syarat, yaitu: Pertama, pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau jika obyek itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya; Kedua, obyek akad itu diakui oleh syarak, sehingga disyaratkan berbentuk harta, dimiliki oleh seseorang, dan bernilai harta menurut syarak.

Ketiga, akad itu tidak dilarang oleh nash syarak, atas dasar ini seorang wali (pengelola anak kecil) tidak boleh menghibahkan harta anak kecil tersebut. Keempat, akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan. Kelima, akad itu bermanfaat. Olehnya itu, jika seseorang melakukan suatu akad dan imbalannya yang diambil merupakan kewajiban baginya, maka akad itu batal, misalnya seorang yang melakukan kejahatan melakukan akad dengan orang lain bahwa ia akan menghentikan kejahatannya apabila ia diberi sejumlah uang sebagai ganti rugi.

Keenam, Ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya kabul. Apabila ijab sudah tidak utuh dan tidak sahih lagi ketika kabul diucapkan, maka akad itu tidak sah. Ketujuh, ijab dan kabul itu dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. Menurut al-Zarqa, majelis itu dapat berbentuk tempat dilangsungkannya akad dan dapat pula berbentuk suatu keadaan selama proses berlangsungnya suatu akad, sekalipun tidak pada suatu tempat. Kedelapan, tujuan akad itu jelas dan diakui syarak. Tujuan akad ini terkait erat dengan akad yang lain.

Misalnya, dsalam akad ijarah tujuannya daalah pemilikan manfaat bagi orang yang menyewa dan pihak yang menyewakan mendapat imbalan.347 Akad ini mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula, seperti pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak- pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali dibenarkan syarak, sepeti terdapat cacat pada obyek akad atau obyek akad itu tidak memenuhi syarat dan rukun akad. Akad ini bermacam-macam.

Para ulama fikih meninjau dari segi keabsahannya dibagi dua, yaitu: Pertama, akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukundan syarat. Hukum dari akad ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Mazhab Hanafi dan Maliki membaginya lagi dalam dua macam, yaitu: (a) akad yang nafizh (sempurna untuk dilaksanakan), yakni akad yang memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksankaannya; dan (b) akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan oleh orang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya, seperti akad yang dilakukan oleh anak kecil yang mumayyiz.

Akadnya baru sempurna dan sah apabila telah mendapat izin dari wali anak kecil tersebut. Kedua, akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syaratnya, sehingga akibat hukum dari akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. 345 Ibid. 346 Ibid., h. 65. 347 Ibid., h. 65-67. Ulama mazhab Hanafi mebaginya dalam dua macam, yaitu akad yang batil dan akad yang fasid. Dikatakan akad yang batil karena akad tersbeut tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syarak, misalnya jual beli yang terdapat unsur tipuan.

Sedangkan akad fasid adalah suatu yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas, misalnya menjual rumah atau mobil dengan tidak menunjukkan tipe, merk, jenis, dan bentuknya.348 Dilihat dari aspek mengikat atau tidaknya jual beli yang sahih, para ulama fikih membaginya dua macam, yaitu: (1) akad yang bersifat mengikat pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan tanpa seizin pihak lain; dan (2) akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak- pihak yang melakukan akad, seperti akad wakalah, �ariyah, dan wadi�ah.

Akad yang bersifat mengikat pihak-pihak yang berakad ini dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu: (a) akad yang mengikat dan tidak dapat dibatalkan sama sekali, seperti akad perkawinan, tidak boleh dibatalkan kecuali dengan cara-cara yang dibolehkan syarak, misalnya melalui talak atau khuluk; (b) akad yang mengikat tetapi dapat dibatlkan atas kehendak kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa menyewa, perdamaian, muzara�ah (kerjasama bidang pertanian), dan musaqah. Dalam akad ini berlaku khiar (hak memilih untuk meneurskan atau mebatalkan akad); dan (c) akad yang hanya mengikat salah satu pihak yang berakad, seperti rahn dan kafalah.

Ditilik dari segi penamaannya, ulama fikih membaginya dalam dua bagian, yaitu: (1) al-�ukud musammah, yaitu akad-akad yang ditentukan nama-namanya oleh syarak dan menjelaskan hukum- hukumnya, seperti jual beli, sewa-menyewa, perserikatan, hibah, wakalah, wakaf, hiwalah, ji�alah, wasiat, dan perkawinan; (2) al-�ukud ghair musammah, yaitu akad-akad yang ditentukan oleh masyarakat sesuai kebutuhan di sepanjang zaman atau tempat, seperti bai� al-istishna dan bai� al-wafa.349 Suatu akad atau perjanjian dapat berakhir menurut ulama fikih, apabila terjadi hal-hal berikut: Pertama, berakhirnya masa berlaku akad itu apabila memiliki tenggang waktu; Kedua, dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat; Ketiga, dalam akad yang bersifat mengkat, suatu akad dianggap berakhir apabila: (a) terdapat unsur tipuan dalam rukun atau syaratnya; (b) berlakunya khiar syarat, khiar aib, atau khiar rukyat; (c) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak; (d) tercapainya tujuan akad tersebut secara sempurna.

Keempat, wafatnya salah satu pihak yang terlibat dalam akad tersebut, tetapi ulama fikih menyatakan bahwa tidak semua akad berakhir apabila orang yang berakad tersebut wafat, seperti sewa-menyewa, rahn, kafalah, syirkah, wakalah, dan muzara�ah.350 Berdasarkan uraian di atas, maka akad/perikatan/perjanjian sangat menempati posisi sentral dalam setiap transaksi muamalah karena jadi tidaknya suatu transaksi muamalah sangat tergantung pada kejelasan dan ketegasan dalam berakad.

Oleh karena posisi ini, maka al-Quran menyuratkan bahwa tunaikan dan penuhilah akad/perjanjian itu agar tidak merugikan pihak-pihak lain yang ikut serta dalam akad. Dengan demikian menunaikan akad/perjanjian merupakan sebuah nilai etika yang islami dalam bermuamalah. f. Mewujudkan keadilan Dalam bahasa Indonesia kata keadilan berasal dari kata �adil� diartikan sebagai: �tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; sepatutnya atau tidak sewenang-wenang�.

Bentuk kata jadiannya adalah �keadilan� yang berarti sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.351 Pengertian tersebut memberikan pemahaman bahwa keadilan menekankan pentingnya menempatkan sesuatu secara proporsional, tidak berat sebelah, tidak pilih kasih, dan tidak sewenang-wenang. Dalam al-Quran, term-term yang digunakan terkait dengan keadilan adalah al-�Adl dengan segala bentuk kata jadiannya disebutkan dalam al-Quran sebanyak 29 kali,352 al-Qisth, al-Wazn, dan al- 348 Ibid., h. 68.

349 Mushtafa Ahmad al-Zarqa, Al-Syarh al-Qanun al-Madaniy al-Suriy al-�Uqud al-Musammah: �Aqd Baiy� wa al- Muqayyadah, (Damascus: Mathba�ah Fata al�Arab, 1965), dalam Abdul Aziz Dahlan, Ibid. 350 Ibid. 351 Anonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. X; Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 7. 352 Muhammad Fu�ad �Abd al-Baqiy, Al-Mu�jam al-Mufahrasy li al-Fazh li al-Quran al-Karim, (Cet. II; Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 448-449. Wasath. Kata al-�adl berasal dari bahasa Arab dan bersumber dari kata kerja yang berakar kata dengan huruf-huruf �ain � dal � lam.

Struktur huruf-huruf ini mengandung dua makna pokok yang bertentangan, yaitu al-Istiwa (keadaan lurus atau sama) dan al-I�wija (keadaan menyimpang atau sewenang-wenang).353 Dari makna pertama, kata al-�Adl berarti menetapkan hukum dengan benar dan jujur, sedangkan kata al-�Idl berarti misal atau pengganti sesuatu.354 Kata ini juga berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus dan jujur atau menempatkan sesuatu pada tempatnya.355 Orang yang adil (al-�Adil) adalah orang yang tidak dapat dipengaruhi oleh hawa nafsunya sehingga ia tidak menyimpang dari jalan yang lurus dalam menegakkan hukum.

Deangan demikian, ia bersifat adil. Oleh karena itu, kata al-�Adl berarti menetapkan hukum dengan benar dan adil, juga bermakna mempertahankan yang hak dan yang benar. Lawannya adalah al-Zhulm berarti ketidakadilan, kesewenang-wenangan, atau menyimpang dari jalan yang dituju, serta melupakan batas- batas yang telah ditentukan, aniaya, dan sebagainya.356 Kata al-Qisth dengan segala bentuk kata jadiannya digunakan dalam al-Quran sebanyak 25 kali, yang pada dasarnya juga berarti keadilan.

Kata ini dalam bentuk tsulatsi berarti kekejaman atau penganiayaan, sedangkan dalam bentuk ruba�iy berarti menghindari dan menghalangi kekejaman dan penganiayaan. Tindakan menghindari kekejaman dan penganiayaan dapat juga diartikan dengan keadilan. Dalam pada itu, term al-�Adl dan al-Qisth dalam al-Quran mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya berbicara mengenai keadilan, sedangkan perbedaannya adalah terlihat pada aspek penerapannya dalam al-Quran.

Kata al-�Adl bersifat aktif dalam penerapannya, yakni menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak, sedangkan kata al-Qisth bersifat pasif, yakni suatu tindakan untuk mengendalikan diri dari berbuat kekejaman atau penganiayaan sehingga menjadikan semua pihak merasa senang.357 Kata al-Wazn dengan segala bentuk kata jadiannya disebutkan dalam al-Quran sebanyak 26 kali. Kata ini bermakna pokok keseimbangan atau menimbang sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Keseimbangan tersebut berlaku terutama untuk kesatuan-kesatuan fisik (alam raya).358 Misalnya QS. Al- Rahman ayat 7. Sementara kata al-Wasath dengan segala bentuk kata jadiannya digunakan dalam al- Quran sebanyak 4 kali. Kata ini mengandung makna pokok �berada di tengah atau berada di antara dua ujung sesuatu�.359 Kata al-�Adl adalah sinonim dengan kata al-Wasath, yang darinya terambil kata pelaku Wasith, kemudian digunakan dalam bahasa Indonesia menjadi �wasit� yang berarti �penengah� atau orang yang berdiri di tengah yang mengisyaratkan sikap keadilan.360 Pengertian kata Wasath (pertengahan) ini dapat dipahami sebagai sikap keseimbangan antara dua ekstremitas.

Dengan sikap keseimbangan tersebut, kesaksian dapat diberikan secara adil karena dilakukan dengan pikiran tenang dan bebas dari sikap berlebihan , serta mampu menawarkan keadilan. Secara terminologis, baik dari sudut pandang ulama maupun filosof, keadilan merupakan prinsip keutamaan moral (kebajikan),361 yaitu memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai hak yang harus diperolehnya; memperlakukan semua orang sama (perlakuan yang sama terhadap orang yang mempunyai hak yang sama; kemampuan, tugas, dan fungsi yang sama, bukan persamaan dalam arti perlakuan yang mutlak sama antar setiap orang tanpa memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, 353 Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu�jam Mufradat al-Fazh al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 336.

354 Abi al-Husain Ahmad bin Fariz bin Zakariyya, Mu�jam Maqayis al-Lughah, ditahqiq oleh Abd al-Salam Muhammad Haris, Jilid IV (Cet. II; Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabiy wa Auladuhu, 1975), h. 246-247. 355 Ibnu Manshur al-Anshariy, Lisan al-Arab, Jilid XIII, (Mesir: Al-Dar al-Mishriyyah li al-Ta�lif wa al- Tarjamah, t.th.), h. 456. 356 Ibid., h. 266. 357 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, Jilid XIII, (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2003), h. 245.

358 Ibnu Manshur al-Anshariy, Op. cit., h. 337. 359 Ibid., h. 306. 360 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 509. 361 J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, (Cet. II; Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 76 tugas, dan fungsi antara seseorang dengan lainnya);362 menegakkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

Perbedaannya dengan para filosof, para ulama tidak hanya melihat keadilan sebagai sebuah prinsip keutamaan moral semata, melainkan juga sebagai prinsip kreatif-konstruktif. Al-�Adl salah satu sifat yang harus dimiliki oleh manusia dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapa pun tanpa kecuali, walaupun akan merugikan dirinya sendiri. Secara etimologis, al-�Adl tidak berat sebelah, tidak memihak atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-musawah) sedangkan secara terminologis adil berarti �mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari ukuran, sehingga sesuatu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain�.

Adil juga berarti �berpihak atau berpegang kepada kebenaran�. 363 Keadilan lebih dititik beratkan pada pengertian �meletakkan sesuatu pada tempatnya� (wad� asy- syai� fi maqamih). Ibnu Qudamah (ahli fiqih mazhab Hanbali) mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah SWT. Jika keadilah telah dicapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam selama belum ada dalil lain yang menentangnya.

Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi, wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena hukum yang berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya. (Qs. 4:58 dan 5:8). Allah SWT disebut sebagai �Yang Maha Adil dan Bijaksana� terhadap semua hamba-Nya, karena Allah SWT tidak mempunyai kepentingan apa-apa dari perbuatan yang dilakukan oleh hamba- Nya. Jika manusia berbuat kebaikan, maka tidak akan mempengaruhi Kemahaadilan-Nya.

Demikian juga jika manusia berlaku lalim kepada-Nya tidak akan mengurangi Kemahaadilan-Nya itu. Apa yang diperbuat oleh manusia, apakah kebaikan atau kelaliman, hasilnya akan diterima oleh manusia itu sendiri. (Qs. 41:46 dan 45:15).364 Uraian di atas menuntu agar keadilan ini bisa diwujudkan dalam setiap lini kehidupan. Sistem ekonomi syariah juga demikian, bahkan pencapaian keadilan secara ekonomi menjadi tujuan dari implementasi sistem ekonomi syariah.

Keadilan yang dimaksud misalnya, tidak boleh suatu usaha dimonopoli oleh individu atau institusi tertentu saja, sedangkan individu lainnya kurang mendapatkan bagian; bahwa harta yang dimiliki tidak hanya ditimbun begitu saja tanpa diberdayakan; harta yang dimiliki mesti ditunaikan zakatnya agar kaum dhuafa dapat menikmati bagian kecil dari harta tersebut. Bila mekanisme ini tidak dilaksanakan maka pada prinsipnya individu atau institusi tersebut telah berbuat zulm pada pihak lain yang berhak mendapatkannya.

Demikian nilai keadilan menjadi sesuatu yang menjadi unsur etika dalam sistem ekonomi syariah yang ingin diwujudkan pada setiap aspek kehidupan ekonomi msyarakat. g. Menolak gharar Term �Gharar� berasal dari bahasa Arab yang berarti keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya obyek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan obyek yang disebutkan di dalam akad tersebut. Menurut al-Nawawi bahwa gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat Islam.365 Secara etimologis, gharar merupakan sesuatu yang pada lahirnya disenangi tapi sebenarnya dibenci.

Para Ulama Fiqih mengemukakan beberapa definisi gharar yang bervariasi dan saling melengkapi. Menurut Imam al-Qarafi, gaharar adalah suatu akad yang tidak diketahui secara tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli burung yang masih di udara atau ikan yang masih berada dalam air. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam al- 362 Nurcholish Madjid, Op. Cit., h. 516. 363 Abd. Azis Dahlan, et. al., Op. cit., Jilid I, h. 25. 364 Ibid. Syarakhsi dan Ibn Taimiyah yang memandang gharar dari segi adanya ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad.

Sementara Ibn Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa gharar adalah suatu obyek akad yang tidak mampu diserahkan, baik obyek itu ada maupun tidak. Misalnya, menjual hamba sahaya yang melarikan diri atau unta yang sedang lepas. Sedangkan Ibn Hazm memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi obyek akad tersebut. Menurut Ulama Fiqih bahwa bentuk-bentuk gharar yang dilarang adalah sebagai berikut: Pertama, tidak adanya kemampuan pejual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi akad, baik obyek akad itu sudah ada maupun belum ada (al-bai� al-ma�dum).

Misalnya, menjual janin yang masih berada dalam perut binatang ternak tanpa menjual induknya, atau menjual janin dari janin binatang yang belum lahir seperti yang biasa dilakukan orang Arab di zaman jahiliah. Kedua, menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Bila suatu barang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahterimakan kepada pembeli, maka pembeli ini tidak boleh menjualnya kepada pembeli lain. Akad ini merupakan gharar karena terdapat kemungkinan rusak atau hilangnya obyek akad, sehingga akad jual beli yang pertama dan kedua menjadi batal.

Ketiga, tidak adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual. Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa ketidakpastian (al-jahl) tersebut merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar (gaharar kabir) larangannya. Keempat, tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Misalnya, penjual berkata: �Saya jual kepada Anda baju yang ada di rumah saya�, tanpa menyebutkan ciri-ciri baju tersebut secara tegas.

Termasuk dalam bentuk ini ialah menjual buah-buahan yang masih berada di atas pohon yang belum layak dikonsumsi. Kelima, tidak adanya kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Misalnya, penjual berkata: �Saya jual beras ini kepada Anda sesuai dengan harga yang berlaku pada hari ini.� Ketidakpastian dalam jual beli seperti ini merupakan illat dari larangan melakukan jual beli terhadap buah-buahan yang belum layak dikonsumsi tersebut.

Keenam, tidak adanya kepastian waktu tentang penyerahan obyek akad. Misalnya, setelah wafatnya seseorang. Jual beli seperti ini termasuk gharar karena obyek akad dipandang belum ada yang merupakan alasan dari pelarangan melakukan jual beli habal al-habalah (HR. Abu Daud). Akan tetapi jika dibatasi waktu yang tegas, misalnya penyerahan barang tersebut akan dilakukan pada bulan atau tahun depan, maka akad jual beli itu sah. Ketujuh, tidak adanya ketegasan bentuk transaksi, yaitu adanya dua macam atau lebih transaksi yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih sewaktu terjadinya akad.

Misalnya, sebuah arloji dijual dengan harga 50 ribu rupiah jika dibayar tunai dan 75 ribu rupiah jika kredit, namun ketika akad berlangsung tidak ditegaskan bentuk transaksi yang dipilih. Kedelapan, tidak adanya kepastian obyek akad, yaitu adanya dua obyek akad yang berbeda dalam satu transaksi. Misalnya, salah satu dari dua potong pakaian yang berbeda mutunya dijual dengan harga yang sama. Kesembilan, kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi. Misalnya, menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit.

Jual beli ini termasuk gharar karena mengandung unsur spekulasi bagi penjual dan pembeli, sehingga disamakand engan jual beli dalam bentuk undian. Kesepuluh, adanya keterpaksaan, antara lain berbentuk: a) jual beli lempar batu (bai� al-hasa), yaitu seseorang melemparkan batu pada sejumlah barang dan barang yang dikenai batu tersebut wajib dibelinya; b) jual beli saling melempar (bai� al-munabazah), yaitu seseorang melempar bajunya kepada orang lain dan jika orang yang dilempar itu juga melemparkan baju kepadanya, maka di antara keduanya wajib terjadi jual beli, meskipun pembeli tidak mengetahui kualitas barang yang akan dibelinya itu; c) jual beli dengan cara menyentuh (bai� al-mulamasah), yaitu jika seseorang menyentuh suatu barang, maka barang itu wajib dibelinya, meskipun ia belum mengetahui dengan jelas barang apa yang akan dibelinya itu.366 h.

Menjauhi kezaliman Kata zalim berasal dari bahasa Arab, yaitu �zulm� yang berarti �gelap� sebagai lawan dari kata �terang/cahaya�, bsa juga bermakna �meletakkan atau menempatkan sesuatu tidak pada tempat yang ditentukan dengan mengurangi atau menambah ukurannya atau menunda/menggesernya dari waktu dan tempat yang ditentukan. Dengan makna ini secara kentara terlihat bahwa zalim merupakan antonim dari kata adil. Kata zalim dapat pula mengarah pada orang yang menganiaya orang lain dengan mengambil haknya atau tidak menepati janjinya.

Kata ini juga dipakai untuk mengemukakan dosa, baik dosa yang besar maupun dosa yang kecil.367 Zalim dibagi dalam tiga bentuk, yaitu: Pertama, zalim manusia terhadap Tuhan, yakni dengan melakukan kekafiran, munafik, atau menyerikatkan Tuhan dengan sesuatu. Kedua, zalim manusia terhadap sesama, yakni dengan melakukan pelanggaran haknya, baik berupa harta, kehormatan, atau yang lain, sebagaimana difirmankan Allah swt. dalam surat Yunus: 27: �Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan...�

dan dalam surat al-Syura: 42: �sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih�. Ketiga, zalim manusia terhadap diri sendiri, sebagaimana difirmankan Allah swt. dalam surat Fathir: 32: �Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri...� Arti ini juga terdapat dalam hadis Nabi saw: �Bahwa segala sesuatu itu mempunyai hak, isteri mempunyai hak atas suaminya, demikian juga sebaliknya.

Tubuh juga ada haknya (yakni istrahat, tidur, makan, minum, dan lain- lain).� (HR. Bukhari) Bila hak-hak tersebut tidak dipenuhi, maka manusia telah menzalimi dirinya.368 Makna lain dari kata zalim ditemukan pula dalam al-Quran, yakni: Pertama, zalim dalam arti kafir, terdapat dalam surat Luqman: 13 dan al-Syura: 45. Bermakna pula orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah swt. sebagaimana terdapat dalam surat al-An�am: 141. Orang yang berbuat kekafiran dan kefasikan terhadap Allah swt. disebut orang zalim.

Dalam pengertian ini berarti zalim itu menganiaya diri sendiri karena tidak beriman kepada Allah swt. setelah diberikan potensi untuk beriman kepada-Nya. Kedua, zalim antara sesama manusia, seperti mengambil atau merampas hak orang lain, baik yang bewrsifat materi maupun non materi. Bila yang dizalimi itu beurpa harta yang dapat diganti, maka orang yang merasa dizalimi berhak untuk menuntut haknya pada yang bersangkutan. Bila tidak dipenuhi, maka penuntut dapat mengajukan yang bersangkutan ke pengadilan.369 Menurut Imam al-Ghazali mengemukakan bentuk-bentuk kezaliman yang terdapat dalam muamalah di antara sesama manusia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: Pertama, kezaliman yang mengakibatkan kemudaratan bagi masyarakat secara umum.

Hal ini dirinci lagi sebagai berikut: (a) pedagang yang menumpuk barang kebutuhan masyarakat (ihtikar), yaitu suatu cara yang dilakukan oleh pedagang untuk menaikkan harga barang dagangannya karena kelangkaan peredaran barang. Rasulullah bersabda: �Seandainya seorang pedagang menumpuk barang dagangannya selama empat puluh hari, kemudian semua barang yang ditahannya itu disedekahkan, maka belum bisa menjadi tebusan atas semua dosanya melakukan penumpukan barang tersebut.� (HR.

Abu Mansur al- Dailami); (b) pembeli melakukan pembayaran terhadap barang yang dibelinya dengan alat tukar/uang palsu atau kadaluarsa, sementara penjual tidak mengetahuinya. Kedua, segala bentuk tindakan atau keadaan yang dapat membawa pada kemudaratan bagi salah satu pihak atau pihak-pihak yang melakukan transaksi. Kemudaratan bagi salah satu pihak karena ulah atau keadaan yang sengaja diciptakan orang lain dapat dikategorikan sebagai kezaliman.370 Imam al-Ghazali memberikan contoh tindakan zalim antara lain: Pertama, penjual terlalu memuji-muji barang yang diperjualbelikannya, sehingga pembeli tertarik untuk memilikinya. Namun faktanya, informasi tentang barang yang diistimewakan tersebut bohong adanya.Rasulullah saw.

Bersabda: �Sumpah (pernyataan) bohong tentang suatu benda menggerogoti hartanya, juga menghilangkan berkah usahanya.� (HR. Bukhari dan Muslim) 367 Ibid., Jilid III, h. 1002. 368 Ibid., h. 1003. 369 Ibid. 1004. Kedua, penjual tidak menjeaskan cacat atau kerusakan barang yang dijualnya, baik yang tampak secara nyata dari luar maupun yang tersembunyi. Rasulullah saw bersabda: �Tidak halal bagi seseorang melakukan jual beli terhadap suatu benda kecuali ia menjelaskan aib/cacatnya, dan wajib hukumnya bagi penjual yang telah mengetahui aib benda yang dijualnya untuk menjelaskannya kepada pihak pembeli.� (HR.

Al- Hakim) Ketiga, penjual mengurangi takaran atau timbangan suatu benda yang dijualnya. Bila salah satu dari tindakan tersebut dilakukan, maka orang tersebut telah berbuat kezaliman terhadap pembeli. Allah swt. berfirman dalam surat al-Muthaffifin: 1-3: �Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang , yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, apabila mereka menakar untuk orang lain mereka mengurangi.� Sabda Rasulullah saw: �Dan cukupkanlah timbangan dengan baik.� (HR.

Al-Turmudzi dan al-Hakim) Keempat, jual beli tidak didasarkan pada harga ril pada waktu transaksi tersebut berlangsung atau pembeli mengelabui penjual tentang harga pasar. Perbuatan ini termasuk kezaliman dan tidak dibenarkan agama. Oleh karena itu, dilarang menghadang petani (penjual) untuk membeli hasil taninya (talaqqa al-rukban) sesuai sabda Rasulullah: �Janganlah kamu menyongsong pembeli barang dagangan sebelum dibawa ke pasar.� (HR. Bukhari dan Muslim)371 Tindakan zalim juga bisa berbentuk tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan, dan pelecehan.

Tata cara penyelesaiannya disesuaikan dengan delik perkara yang dilakukan. Bila kezalimannya mengakibatkan kematian, maka sesuai syariat Islam, hukum kisas harus ditegakkan, bila tidak maka diat wajib ditunaikan. Termasuk bentuk kezaliman pula apabila seseorang menunda-nunda pembayaran utangnya karena ia tidak menempatkan �waktu� pembayaran pada waktu yang semestinya sesuai kesepakatan dalam akad. Hal ini sesuai hadis yang diriwayatkan oleh Jama�ah: �Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman....�372 Menjauhi perbuatan zalim dalam transaksi muamalah bagi sistem ekonomi syariah sangat ditegaskan karena kezaliman dapat berakibat pada kekecewaan secara psikologis dan menimbulkan kerawanan sosial bila kezaliman itu sudah bergerak pada level yang lebih besar, yaitu masyarakat kebanyakan.

Oleh karena itu, membersihkan diri dari tindakan zalim merupakan salah satu nilai etika yang diwujudkan dalam sistem perbankan syariah sebagai subsistem dengan cara transparansi dalam melakukan transaksi dan perikatan. i. Memungkinkan ibra Secara lughawi, �ibra� berasal dari bahasa Arab yang berarti melepaskan, mengikhlaskan, dan menjauhkan diri dari sesuatu. Hal ini bermakna penghapusan hutang seseorang oleh pemberi hutang.373 Dalam ilmu fikih, ibra berarti pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang berutang.

Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ibra tersebut, terutama yang berkaitan dengan �pengguguran� dan �pemilikan�. Tetapi mazhab Hanafi lebih sepakat mengartikan ibra dengan pengguguran, meskipun makna kepemilikan tetap ada. Berdasarkan hal ini, seseorang tidak dapat menggugurkan haknya terhadap suatu benda (materi). Selanjutnya seseorang juga tidak bisa menggugurkan haknya untuk menjual hartanya sendiri, tetapi bila yang digugurkan itu adalah hak piutang yang ada pada orang lain, maka hal tersebut dianggap sah.

Jika seseorang mengambil barang tanpa izin, kemudian barang tersebut rusak atau hancur, maka pemilik barang boleh meminta ganti rugi terhadap barang tersbeut. Menurut mazhab Hanafi, ganti rugi yang menjadi utang orang yang merusak atau menghancurkan barang tersebut boleh digugurkan, maka tindakan tersebut tergolong ibra.374 371 Ibid., h. 1005. 372 Abdul Ghofur Anshori, Payung Hukum Perbandkan Syariah: UU di Bidang Perbankan, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan Bank Indonesia, (Cet. I; Yogyakarta: 2007), h. 82 dst. 373 Abdul Aziz Dahlan, Op. cit., Jilid II, h. 629. Menurut Mazhab Maliki, ibra di samping bertujuan menggugurkan piutang, ibra dapat juga menggugurkan hak milik seseorang jika inbgin digugurkannya.

Ketika hak milik terhadap suatu benda telah digugurkan oleh pemiliknya, maka statusnya sama dengan hibah.375 Mazhab Syafi�i menyikapi ibra ini terbagi dua cluster pemikiran. Cluster pertama berpendapat bahwa ibra mengandung pengertian kepemilikan utang untuk orang yang berutang. Untuk itu, kedua belah pihak harus mengetahui pengalihan milik tersebut kepada orang yang berutang.

Cluster kedua berpendapat bahwa mayoritas Mazhab Syafi�i menyatakan bahwa ibra merupakan pengguguran, sama dengan pendapat Mazhab Hanafi dan Hanbali.376 Ibra merupakan bentuk solidaritas sosial dalam Islam, seperti dikemukakan dalam firman Allah swt. dalam surat al-Maidah: 2. Adakalanya orang yang berutang tidak mampu membayar utangnya, karenanya Islam sangat menganjurkan bagi pemberi utang untuk membantu orang yang berada dalam kesulitan itu, sesuai dengan firman Allah swt. surat al-Baqarah: 280: �Dan jika seseorang (yang berutang) itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan.

Dan menyedekahkan (sebagian atau seluruh utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui�.377 Ibra menurut Jumhur ulama mempunyai empat rukun, yaitu: (1) orang yang memberi piutang; (2) orang yang aberutang; (3) sighat (lafaz ibra), dan (4) utang itu sendiri. Tetapi Mazhab Hanafi sangat rasional dalam menentukan rukun ibra, yakni dengan menetapkan sighat ibra berupa ijab (ungkapan pengguguran utang dari pemberi utang) yang dikemukakan secara jelas sebagai satu-satunya rukun ibra. Ulama berbeda pendapat tentang perlunya kabul (ungkapan penerimaan ibra).

Jumhur ulama menyatakan bahwa ibra tidak memerlukan kabul, karena ibra merupakan pengguguran hak. Jika pemberi utang mengatakan �saya maafkan utang kamu� atau �saya menggugurkan piutang saya�, maka menurut Jumhur ulama, tidak perlu orang yang berutang menyatakan �saya terima�. Akan tetapi Mazhab Maliki bahwa ibra memerlukan kabul karena ibra tersebut merupakan pemindahtanganan hak milik seseorang kepada orang lain. Oleh karena itu, kabul harus dikemukakan ketika akad berlangsung dan dijawab secara langsung setelah adanya ijab.378 Perlu pula dikemukakan dalam hal ini tentang syarat-syarat ibra, yaitu: Pertama, dalam hubungannya dengan orang yang menggugurkan hak, disyaratkan: (a) seserang yang cakap dalam menghibahkan hartanya, yaitu baligh, berakal, cerdas, dan tidak berstatus di bawah pengampuan; (b) memiliki kekuasaan terhadap hak yang akan digugurkan, artinya ia adalah pemilik dari harta tersebut; (c) orang yang menggugurkan hartanya itu ridha dan sadar.

Menurut kesepakatan ulama, pemilik piutang boleh mewakilkan pengguguran utang tersebut kepada seseorang dengan syarat wakil tersebut diberi izin khusus dan mengetahui jumlah utang yang akan digugurkan. Kedua, berkaitan dengan orang yang berutang disyaratkan agar jelas identitasnya karena jika orang yang berutang tidak diketahui identitasnya, maka kepemilikan tersebut tidak sah.

Ketiga, dalam hubungannya dengan utang yang akan digugurkan, disyaratkan: (a) menurut Mazhab Syafi�i, jenis dan jumlah utangnya jelas, akan tetapi syarat ini tidak didukung oleh jumhur ulama karena pengguguran utang tidak memerlukan kejelasan jenis dan jumlahnya; (b) yang digugurkan harus berbentuk uang, bukan dalam bentuk materi; (c) utang tersebut benar-benar ada ketika dilakukan ibra. Keempat, berkaitan dengan sighah al-ibra, disyaratkan: (a) menurut Jumhur Ulama (selain Maliki) menyebutkan bahwa lafal yang digunakan bersifat lepas, tidak berkait dengan syarat dan tidak dikaitkan dengan zaman yang akan datang. Akan tetapi syaratnya bersifat aktual atau sejalan dengan maksud ibra, maka hukumnya boleh.

Misalnya dalam ungkapan: �Jika engkau berutang pada saya, maka saya maafkan utang itu�, ternyata orang tersebut memang berutang, maka syarat seperti ini diperkenankan. Syarat ini juga dibolehkan jika ibra dikaitkan dengan kematian, seperti: �Jika saya wafat, maka utang engkau pada saya gugur�, karena ungkapan tersebut bermakna wasiat; (b) lafal yang digunakan tersebut tidak bertentangan dengan syarak. Contoh ungkapan yang bersifat menggugurkan hak yang ditetapkan 375 Ibid. 376 Ibid. 377 Ibid. Lihat juga Abdul Ghofur Ansori, Op. Cit., h. 81 dst. syarak sehingga ibra yang dilakukan tidak sah adalah menggugurkan hak perwalian terhadap anak kecil atau menggugurkan hak tinggal di rumah suaminya bagi wanita yang masih idah; (c) ungkapan ibra itu dinyatakan setelah utang itu benar-benar orang yang mengucapkannya.379 Obyek ibra adakalanya berupa materi, utang, atau hak.

Jika obyek ya materi, maka hukumnya tidak boleh. Misalnya ungkapan: �Saya gugurkan pemilikan rumah ini dari saya�. Dalam hal ini ulama fikih sepakat bahwa hukum ibra tidak sah. Akan tetapi jika obyek ibra berkaitand engan tuntutan materi, maka berlaku sah karena yang menjadi obyek ibra sebenarnya adalah terkait dengan hak. Apabila obyek ibra adalah utang, maka hukumnya sah.

Ulama membagi obyek ibra yang bersifat hak atas: (1) hak manusia semata; (2) hak Allah semata; dan (3) gabungan hak Allah dan manusia sekaligus. Menurut ulama fikih, ibra yang berkaitan dengan hak Allah swt. semata hukumnya tidak sah, seperti hukuman bagi pelaku zina atau pencuri) dan dilakukan setelah kasus tersebut diajukan di depan hakim. Apabila gabungan hak manusia dan hak Allah swt.

tetapi yang dominan adalah hak manusia, seperti kisas, takzir, khiar, dan fasakh, maka ulama fikih sepakat boleh dilakukan ibra. Akan tetapi Mazhab Hanafi menyatakan bahwa ibra tidak berlaku terhadap hak-hak yang tidak bisa digugurkan (seperti hak pencabutan hibah dan wasiat), karena jika dibolehkan berarti mengubah hal-hal yang sudah disyariatkan.380 Dari segi cakupannya, ibra dapat bersifat umum dan dapat pula bersifat khusus. Ibra yang bersifat umum mencakup pengguguran terhadap pemilikan materi, utang, dan hak orang lain (misalnya menggugurkan kisas dari pembunuh, mahar, dan utang dari orang yang berutang).

Adapun ibra yang bersifat khusus tertuju pada hak tertentu dan hukumnya hanya berlaku pada hak itu saja, seperti pengguguran utang dari seseorang yang mengutanginya. Dari segi sighat yang digunakan, menurut Mazhab Hanafi ibra terbagi atas ibra yang bersifat menggugurkan dan ibra yang bersifat membayarkan. Ibra yang bersifat menggugurkan adalah sighat yang dipakai terhadap utang, seperti �saya gugurkan� . Adapun sighat ibra yang bersifat membayarkan atau melunasi: �saya nyatakan utang engkau telah lunas�. Perbedaan kedua bentuk ibra ini dapat dilihat dalam kasus talak.

Jika suami mengatakan bahwa ia mentalak istrinya jika maharnya digugurkan, kemudian mahar itu diserahkan pada istrinya, maka syarat yang dikemukakannya tidak batal. Artinya, talaknya jatuh dan maharnya tetap dibayarkan pada istrinya. Sedangkan ibra yang sifatnya menggugurkan, ungkapan tersebut menyebabkan jatuhnya talak dan mahar dikembalikan pada suami.381 Konsep ibra saat ini bisa diartikan dengan pemutihan utang atas orang yang memiliki utang.

Pemutihan utang ini dapat dilakukan melalui penghibahan atau pensedekahan hutang tersebut, baik sebagian atau keseluruhannya. Konsep ibra ini sangat memungkinkan untuk diterapkan dalam sistem perbankan syariah karena banyak produknya yang bersifat pinjaman atau utang, sehingga apabila utang tersebut tidak dapat dibayarnya karena sesuatu hal, maka yang memberikan piutang dapat membebaskan orang yang berutang tersebut dari utangnya. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya ibra menjadi salah satu nilai etika yang termaktub dalam sistem ekonomi syariah. j.

Berhak atas imbalan/upah Dalam transaksi muamalah terdapat akad yang menjadi pegangan bagi mereka yang bermuamalah. Salah satu poin yang disepakati adalah terkait dengan imbalan atau upah atas keuntungan yang telah diperoleh sebagai hasil kerjasama. Imbalan atau upah ini dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah �al-Ijarah�. Al-Ijarah tersusun dari huruf alif, jim, dan ra' yang berarti "al-kirau 'ala al-'amali" (sewa atas suatu pekerjaan/upah kerja).

Sedang kata Ijarah bermakna: "ma a'thaita min ajrin fi al-'amal" (sesuatu yang engkau berikan atas suatu pekerjaan).382 Sedang secara terminologis, al-Ijarah berarti salah satu bentuk 63. 379 Ibid., h. 630. 380 Ibid. 381 Ibid., h. 631. 382 Abi Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyyah, Maqayis al-Lughah, (Juz I, Beirut: Da al-Fikr, 1979), h. 62- kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, dan lain-lain.383 Ada beberapa definisi al-Ijarah yang dikemukakan oleh para ulama fiqih: ulama mazhab Hanafi, mendefinisikan dengan "transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan"; ulama mazhab Syafi'i mendefinisikan dengan "transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu"; serta mazhab Maliki dan Hanbali, mendefinisikan dengan "pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan".

Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka akad al-Ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-Ijarah tidak berlaku pula pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri adalah materi, sedangkan akad ijarah itu hanya ditujukan pada manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh dijadikan sebagai obyek ijarah untuk diambil susu atau bulunya, karena susu dan bulu kambing termasuk materi. Jumhur ulama fiqih juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan, seperti unta, sapi, kuda, dan kerbau, karena yang dimaksudkan dengan hal itu adalah untuk mendapatkan keturunan hewan, dan mani itu sendiri adalah materi. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah: "Rasulullah Saw melarang penyewaan mani hewan pejantan".

(HR. Bukhari, Ahmad Ibn Hanbal, al-Nasai, dan Abu Daud; dari Abdullah Ibn Umar). Pada konteks ini, sewa rahim juga tidak dapat dibenarkan dalam Islam.384 Demikian juga ulama fiqih tidak membolehkan ijarah terhadap nilai tukar uang, seperti dinar dan dirham, karena menyewakan hal itu berarti menghabiskan materinya; sedangkan dalam ijarah yang dituju hanyalah manfaat dari suatu benda.385 Sementara di lain pihak, Ibn Qayyim al-Jauziah, ahli fiqih mazhab Hanbali mengklaim bahwa pendapat jumhur ulama tersebut tidak didukung oleh al-Quran, sunnah, ijma', dan kias.

Menurutnya, hal yang prinsip dalam syariat Islam adalah bahwa suatu materi yang berevolusi secara bertahap sama dengan manfaat, seperti buah pada pepohonan, serta susu dan bulu pada kambing. Ibn Qayyim menyamakan manfaat dengan materi dalam wakaf. Menurutnya, manfaat pun boleh diwakafkan, seperti memanfaatkan wakaf rumah untuk ditempati dalam waktu tertentu dan memanfaatkan hewan ternak untuk dimanfaatkan susunya.

Tidak ada alasan yang melarang untuk menyewakan suatu materi yang hadir secara evolusi, sedangkan basisnya tetap utuh, seperti susu kambing, bulu kambing, dan manfaat rumah, karena kambing dan rumah tetap utuh.386 Menurut ulama mazhab Hanafi, rukun al-Ijarah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan), dan qabul (persetujuan untuk sewa menyewa). Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-Ijarah ada empat, yaitu orang yang berakad, sewa/imbalan, manfaat, dan sighah (ijab-qabul).

Ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat; termasuk syarat al- Ijarah, bukan rukunnya. Layaknya sebuah transaksi, maka ijarah dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat al-Ijarah sebagai berikut: 1) Untuk kedua orang yang berakad, menurut mazhab Syafi'i dan Hanbali, disyaratkan sudah baligh dan berakal; 2) Kedua belah pihak yang berakal menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al-Ijarah; 3) Manfaat yang menjadi obyek al-Ijarah harus diketahui secara sempurna sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari; 4) Obyek al- Ijarah itu bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung serta tidak bercacat; 5)Obyek al-Ijarah tersebut sesuatu yang dihalalkan oleh syara; 6) Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa; 7) Obyek ijarah itu merupakan suatu yang biasa disewakan; 8) Upah/sewa dalam akad ijarah harus jelas, tertentu, dan yang bernilai harta; dan 9) Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa upah/sewa itu sejenis dengan manfaat yang disewa.387 383 Abdul Aziz Dahlan et. al., Op. Cit., h. 660. 384 Arifuddin Ahmad, Prof. Dr.

Muhammad Syuhudi Ismail: Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Cet. I, Jakarta: Insan Cemerlang, 2003), h. 300-303. 385 Ibid., 386Ibid. 387 Abdul Aziz Dahlan et. al., Op. cit., h. 661-662. Dilihat dari segi obyeknya, akad al-Ijarah ulama fiqih membaginya ke dalam dua macam, yaitu: al-Ijarah yang bersifat manfaat dan al-Ijarah yang bersifat pekerjaan. Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan perhiasan.

Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syariat untuk dipergunakan, maka ulama fiqih sepakat menyatakan boleh dijadikan obyek sewa-menyewa. Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu, dan lainnya. Ijarah seperti ini, ada yang bersifat pribadi, misalnya menggaji seorang pembantu rumah tangga; dan yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang jahit dan buruh pabrik.388 Al-Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila terjadi hal-hal sebagai berikut: 1) Cacat barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa; 2) Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh; 3) Rusaknya barang yang diupahkan (ma'jur 'alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan; 4) Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan, dan selesainya pekerjaan; 5) Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan untuk memfasakh-kan sewaan itu.389 Ijarah yang dimaksudkan dalam sistem perbankan syariah adalah upah atau keuntungan yang diperoleh setelah melakukan kerjasama musyarakah, mudharabah, dan murabahah, atau yang lainnya.

Upah atau keuntungan yang diperoleh akan dibagi bersama sesuai akad yang telah disepakati, termasuk resiko yang akan menimpa jika suatu waktu kerjasamanya mengalami kerugian. k. Menghindari dharar Term �dharar� berasal dari bahasa Arab, yang berarti bahaya atau kerugian, yaitu melakukan tindakan yang mebahayakan dan merugikan orang lain secara mutlak.

Dharar muncul sebagai akibat dari kesewenang-wenangan seseorang dalam menggunakan haknya sehingga merugikan pihak lain, baik perorangan maupun kelompok atau golongan.390 Ibnu �Asir (w. 630 H/1233 M) menyatakan bahwa dharar berarti melakukan sesuatu yang merugikan orang lain sehingga hak-haknya terkurangi. Misalnya, sepulang dari bepergian seseorang memarkir kendaraanya di depan rumah orang lain sehingga pemilik rumah terhalang untuk keluar masuk ke rumahnya. Muhammad Abu Zahrah (w.

1394H/1974 M) mengemukakan bahwa dharar dalam transaksi dagang, yakni apabila tata cara yang dilakukan dalam transaksi tersebut mengandung unsur yang merugikan orang lain. Misalnya, tindakan seorang penjual jam tangan. Jam yang dijualnya kelihatan masih mulus jika dilihat dari luar, tetapi di dalamnya sudah tidak baru lagi, atau ia menjual suatu merek yang terkenal, ternyata mesinnya berasal dari jam yang berbeda.391 Dalam al-Quran lafaz dharar dengan berbagai derivasinya disebutkan sebanyak 74 kali dan 8 kali di antaranya bermakna darurat.

Selebihnya dharar berkenaan dengan interaksi antarsesama manusia. Di samping dalam al-Quran, dalam hadis Nabi saw. juga menyitirnya melalui hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah: �Siapa yang menipu kami, maka bukanlah golongan kami.� Pakar fikih sepakat bahwa konsep dharar merupakan konsep universal yang berlaku dalam bidang hukum, sehingga konsep ini dibakukan menjadi kaidah fikih yang berbunyi: �Laa dharar wa laa dhirar/tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan�. Demikian juga: �Al- dharar yuzal/segala bentuk dharar harus dihilangkan�.

Konsep dharar ini diinduksi oleh ulama fikih dan ushul fikih dari berbagai dalil syarak, baik al-Quran maupun Hadis dan berlaku untuk semua aspek fikih.392 388 Ibid., 389 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, (Cet. I, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 122. Lihat pula Abdul Aziz Dahlan et. al., Op. Cit., h. 664. 390 Abdul Aziz Dahlan, Op. cit., Jilid I, h. 250. Ahmad al-Hajj al-Kurdi dan Fathi al-Duraini menyatakan bahwa tindakan dharar yang dilarang syarak adalah: Pertama, tindakan dharar yang dilakukan secara nyata.

Artinya tindakan dharar ini telah dilakukan oleh seseorang sehingga merugikan dan membahayakan orang lain. Misalnya, memukul orang lain atau menanam di sawah orang lain. Dharar seperti ini disebut dengan dharar waqi (dharar yang nyata). Kedua, tindakan yang diduga keras akan menimbulkan dharar bagi orang lain. Misalnya karena tidak ada lahan lagi untuk membuat sumur, maka seseorang menggali sumur di dekat pintu tetangganya di malam hari dengan maksud agar tidak diketahui tetangganya. Dharar seperti ini disebut dharar mutawaqqa (dharar yang diduga keras akan terjadi).393 Ulama fikih dan ushul fikih mengharamkan dharar bukan hanya karena merugikan orang lain, tetapi dilarang juga karena merugikan diri sendiri.

Misalnya, orang yang jatuh pailit akan dibatasi tindakan hukumnya terhadap hartanya sendiri karena akan merugikan dirinya sendiri dan pihak pendiri utang. Contoh lain, seseorang tidak dibenarkan hidup berfoya-foya, sekalipun ia kaya karena di samping merugikan dirinya sendiri, tindakanya itu juga merugikan orang lain. Sikap seperti ini mengabaikan hak orang miskin, seperti zakat, dan sedekah.394 Tindakan dharar dalam sistem perbankan syariah, misalnya dapat terlihat melalui pinjaman debitur yang melampaui batas dan tidak sesuai dengan kemampuan yang bersangkutan untuk mengembalikan pinjaman itu sebab hal tersebut bisa berbahaya.

Bahkan tercium aroma penipuan berupa pemalsuan data agunan dan dokumen yang dipersyaratkan oleh pihak kreditur. Oleh karena itu, dharar menjadi nilai etika tersendiri dalam sistem perbankan syariah dan tindakan menghindari dhahar merupakan suatu keniscayaan operasionalisasi sistem perbankan syariah. l. Menolak maisir �Maisir� berasal dari bahasa Arab, yaitu �yasara atau yusr berarti mudah; atau yasar yaitu kekayaan. �Maisir� merupakan suatu bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dan orang yang menang dalam permainan itu berhak mendapatkan taruhan tersebut.

Ibrahim Hosen berpendapat bahwa al-maisir adalah permainan yang mengandung unsur taruhan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara lansgsung atau berhadap-hadapan dalam suatu tempat (majelis). Dalam al-Quran kata al-maisir disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu dalam surat al- Baqarah:219; al-Maidah: 90-91. Ketiga ayat ini menyebutkan beberapa kebiasan buruk yang berkembang opada masa jahiliyah, yaitu khamr, al-maisir, dan anshab (berkorban untuk berhala). Berdasarkan ketiga ayat ini, para ulama fikih menetapkan bahwa al-maisir hukumnya haram karena adanya illat berupa unsur taruhan di dalamnya.

Di Indonesia, al-maisir dianalogikan dengan judi, yakni permainan yang mengandung unsur taruhan dengan memakai uang sebagai taruhannya. Dalam KUHP Pasal 303 ayat (3) menegaskan bahwa permainan judi ialah permainan yang kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga apabila kemungkinan itu makin besar karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan dan permainan lain-lain yang tidak diadakan di antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga pertaruhannya.

Meskipun demikian, ada pula taruhan yang dibolehkan, yaitu: Pertama, baranag yang dijadikan taruhan itu disediakan oleh pemerintah atau pihak ketiga atau orang lain. Misalnya, pemerintah atau pihak ketiga tersebut berkata kepada dua orang atau lebih dalam suatu perlombaan pacuan kuda: �Siapa yang berhasil keluar sebagai pemenang akan diberi hadiah.� Kedua, taruhan itu bersifat sepihak, yaitu berasal dari salah satu pihak yang ikut dalam perlombaan tersebut. Misalnya, seseorang berkata kepada temannya yang diajaknya bertanding dalam suatu perlombaan: �Jika kamu dapat mengalahkan saya, saya akan memberimu hadiah, akan tetapi jika kamu kalah, maka tidak ada kewajiban apapun atasmu untuk saya�. Kriteria ini dipahami dari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud.

Dari Rukanah salah seorang kafir Quraisy pernah mengajak Rasulullah saw. mengikuti permainan gulat dengannya. Dia menawarkan beberapa ekor kambing jika 393 Ibid. 394 Ibid., h. 251. Rasulullah saw. menang. Dalam pertandingan tersebut ternyata Rasulullah saw. menang dan Rukanah pun akhirnya masuk Islam.395 Dalam sistem operasional perbankan syariah menghindari tindakan spekulasi karena tindakan ini lebih banyak merugikan orang yang melakukan spekulasi tersebut. Spekulasi dalam perspektif ekonomi syariah dipandang sebagai maisir.

Mencegah dan menghindari maisir merupakan sebuah nilai etika tersendiri bagi sistem perbankan syariah yang membedakannya dengan bank konvensional yang lebih banyak berspekulasi, seperti dalam perdagangan valuta asing. Perbankan syariah lebih memilih kejelasan suatu transaksi perbankan ketimbang melakukan spekulasi karena tindakan tersebut dapat melemahkan sistem perbankan yang dibangun di atas sendi ajaran Islam. Oleh karena itu, mencegah dan menghindari tindakan spekulasi sebagai maisir adalah hal yang sangat diutamakan. m.

Menegaskan takzir �Takzir� berasal dari bahasa Arab, yaitu al-ta�zir, yaitu larangan, pencegahan, menegur, menghukum, mencela, dan memukul. Hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya) yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah maupun hak pribadi. Ulama fikih juga mengartikan takzir dengan al-ta�dib (pendidikan). Pelanggaran-pelanggaran yang dikenai hukuman takzir dinamakan dengan jarimah takzir (tindak pidana takzir).396 Yang dimaksud dengan hudud dalam definisi ini adalah hukuman yang bentuk dan jumlahnya telah ditentukan oleh syarak untuk tindak pidana tertentu, seperti pencurian, perzinaan, dan pembunuhan.

Fathi al-Duraini menyebutkan bahwa takzir adalah hukuman yang diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk dan kadarnya sesuai sesuai dengan kemaslahatan yang menghendaki dan tujuan syarak dalam menetapkan hukum, yang ditetapkan pada seluruh bentuk maksiat, berupa meninggalkan perbuatan yang wajib atau mengerjakan perbuatan yang dilarang, yang semuanya itu tidak termasuk kategori hudud dan kafarat, baik yang berhubungan dengan hak Allah swt. berupa gangguan terhadap masyarakat umum, keamanan mereka, dan perundang-undangan yang berlaku, maupun yang berkaitan dengan hak pribadi.397 Berdasarkan definisi di atas, maka Abdul Aziz Amir menyebutkan ruang lingkup jarimah takzir mencakup segala bentuk maksiat di luar jarimah hudud (tindak pidana hudud) dan jarimah al-qatl wa al- jarh (tindak pidana pembunuhan dan perlukaan).

Sementara Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa jarimah takzir bisa berkembang sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat, baik yang menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan masyarakat dan negara. Menurutnya bahwa pelanggaran terhadap hak Allah dan hak pribadi perlu dibedakan karena alasan berikut: Pertama, pelaksanaan hukuman dan dalam jarimah takzir yang menyangkut hak pribadi tergantung pada gugatan pribadi yang bersangkutan; Kedua, dalam jarimah takzir yang menyangkut hal-hal pribadi, tidak berlaku tadakhul (penggabungan hukuman untuk beberapa pelanggaran), tetapi hakimnya harus menentukan satu hukuman untuk satu pelanggaran; Ketiga, hukuman takzir bagi pelanggaran terhadap hak Allah boleh dilaksanakan dan diselesaikan oleh setiap orang yang melihat terjadinya tindak pidana tersebut; Keempat, dalam jarimah takzir yang menyangkut hak pribadi berlaku hak waris merwarisi bagi keluarga korban dalam pelaksanaan hukumannya.398 Para ulama fikih membagi ke dalam dua benutk, yaitu: Pertama, al-ta�zir ala al-ma�asi (takzir terhadap perbuatan maksiat), yaitu melakukan suatu perbuatan yang diharamkan syarak dan meninggalkan perbuatan yang diwajibkan syarak. Perbuatan maksiat ini tidak saja yang menyangkut hak-hak Allah swt. tetapi juga menyangkut hak-hak pribadi.

Ditinjau dari segi jenis dan ketentuan hukumannya, para ahli fikih membagi maksiat dalam beberapa bagian: (a) maksiat yang hukumannya telah ditentukan syarak, seperti tindak pidana, hudud, pembunuhan, dan perlukaan; (b) maksiat yang dkenakan hukuman kafarat, tetapi tidak dikenakan 395 Ibid., Jilid III, h. 1055. 396 Ibid., Jilid V, h. 1771. 397 Ibid., h. 1772. 398 Abdul Aziz Amir, Al-Ta�zir fi al-Syari�ah al-Islamiyah, (Iskandariyah: Dar al-I�tisam, 1978), dalam Abdul Aziz Dahlan, Ibid. hukuman hududnya, misalnya melakukan hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadan; (c) maksiat yang dikenakan hukuman hudud dan hukuman kafarat.

Bentuk inilah yang disebut jarimah takzir dan jumlahnya tidak terbatas. Kedua, al-ta�zir li al-maslahah ai �ammah. Menurut kesepakatan ahli fikih, pada prinsipnya jarimah takzir tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat maksiat. Akan tetapi syariat Islam juga membolehkan para penguasa (hakim) menentukan bentuk jarimah takzir lain apabila kemaslahatan untuk menghendaki penetapan tersebut. Namun demikian, jairmah takzir yang ditetapkan penguasa itu, menurut ulama fikih, perbuatan itu sendiri bukan diharamkan, tetapi keharamannya terletak pada sifat perbuatan itu. Sifat yang membuat keharaman itu adalah terkait dengan gangguan terhadap kepentingan, kemaslahatan, dan keamanan masyarakat atau negara.

Seluruh perbuatan itu, pihak penegak hukum boleh menetapkan hukumannya dan hukuman yang ditetapkan itu termasuk kategori takzir. Alasan ulama fikih membolehkan penetapan hukuman bagi orang-orang yang mengganggu dan merusak kepentingan, ketertiban, dan kemaslahatan umum adalah tindakan Rasulullah saw. yang memenjarakan seseorang dituduh mencuri seekor unta. Akan tetapi ketika tertuduh tidak terbukti melakukan pencurian unta tersebut, maka Rasulullah melepaskannya. (HR.

Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, al-Nasai, al-Tirmidzi, dari Bahz bin Hukaim)399 Mengenai hukuman yang akan diberikan dalam jarimah takzir, Abdul Qadir Audah, Abdul Aziz Amir, dan Ahmad Fathi Bahnasi mengemukakan hukuman takzir sesuai dengan nas, yaitu: Pertama, hukuman peringatan, ancaman, hardikan/dampratan, dera, dan pukul. Hal ini bisa dilihat dalam surat al-Nisa: 34. Dalam hadis diceritakan bahwa Abu Dzar al-Ghifari pernah didamprat Rasulullah saw. karena mencela ibu seseorang (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal).

Kedua, hukuman penjara, baik yang bersifat sementara, seperti Rasulullah saw melakukan penahanan sementara terhadap seseorang yang dituduh mencuri unta orang lain(HR. Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, al-Nasai, al- Tirmidzi, dari Bahz bin Hukaim), maupun penjara sebagai hukuman tetap, seperti pelaku tindak pidana yang berulang kali; Ketiga, hukuman penyaliban (hirabah), Rasulullah pernah mengenakan hukuman salib kepada seorang yang bergelar Abu Nab (HR. Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal); Keempat, hukuman pembunuhan.

Hal ini dijumpai dalam sabda Rasulullah saw: �Siapa saja yang merusak persatuanmu yang berada di bawah suatu pemimpin dan berupaya memecahbelahmu, maka bunuhlah ia (HR. Al-Jamaah/mayoritas ulama fikih); Kelima, hukuman pembuangan, seperti yang dilakukan Umar bin Khattab terhadap Nashr bin Hajjaj; Keenam, hukuman penyebarluasan tindak pidana yang bersangkutan, seperti yang dilakukan terhadap orang-orang yang mengemukakan kesaksian palsu, melakukan kecurangan dalam timbangan, takaran, dan alat ukur lainnya; Ketujuh, hukuman pemisahan tempat tidur bagi istri yang nusyuz (QS.

Al-Nisa: 34); Kedelapan, hukuman pencopotan dari jabatan, apabila pejabat melakukan tindak pidana pelanggaran terhadap amanah jabatannya; Kesembilan, hukuman berupa ketidaklayakan seseorang untuk suatu hak, seperti tidak layak menjadi saksi; Kesepuluh, hukuman penyitaan harta, yang dilakukan kepada orang-orang yang murtad; Kesebelas, hukuman denda. Menurut ulama fikih bahwa seluruh perbuat takzir yang dijelaskan hukumannya dalam nas, maka penguasa/hakim boleh memilih salah satu di antara jenis hukuman itu dengan melihat jenis dan tingkatan tindak pidana yang dilakukan dengan mempertimbangkan kemaslahatan pribadi pelaku dan kemaslahatan masyarakat atau negara.

Hukuman takzir yang tidak disebutkan dalam nas adalah kebanyakan menyangkut ta�zir li al- maslahah al-�ammah. Untuk itu, penentuan hukumnya diserahkan sepenuhnya pada kebijaksanaan hakim. Dalam kaitan ini, hakim perlu mempertimbangkan kemaslahatan pribadi, lingkungan yang mengitarinya, dan sesuai dengan tujuan syarak dalam menetapkan hukuman.400 Pelanggaran terhadap akad dalam perbankan syariah dapat dikenakan hukuman denda.

Misalnya seorang debitur yang memiliki kemampuan dalam mebayara angsurannya, tetapi tidak dilakukannya, maka padanya dapat dikenakan sanksi, bahkan tindakan tersebut dianggap sebagai suatu 399 Ibid., h. 1774. 400 Ibid., h. 1776. bentuk kezaliman. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw: �Menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya. (HR. Nasa�i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad), atau hadis lainnya menyebutkan: �menunda-nunda pembayaran yang dilakukan orang mampu adalah suatu kezaliman...� (HR. Jama�ah).401 Pelanggaran terhadap akad perbankan syariah dapat saja bergerak pada level yang lebih tinggi, yakni penahanan bila sudah mengarah pada tindak pidana penipuan dan merugikan orang lain. n. Tidak memberatkan Tidak memberatkan berarti tidak memberikan beban yang tidak sanggup untuk dipikul oleh seseorang.

Dalam hidup ini manusia memikul beban tanggung jawab yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya dan sebaik mungkin. Sungguhpun demikian, tenaga dan kesanggupan manusia itu sangat terbatas. Karenanya al-Quran mengajarkan bahwa manusia itu disuruh memikul beban kewajiban hanyalah seukuran dengan kesanggupannya. Selanjutnya manusia menerima balasan itu menurut beban kewajiban yang dilaksanakannya.

Selain dari itu, dada yang lapanga dan hati terbuka untuk bekerja menunaikan tugas menyebabkan beban kewajiban itu terasa ringan dan mudah. Setiap orang hendaklah memikul bebannya. Al-Quran mengajarkan doa supaya manusia memohon kepada Tuhan supaya jangan dipikulkan kepadanya beban berat yang tidak sanggup dipikulnya. Tuhan memikulkan beban menurut kesanggupan manusia (QS. Al-Baqarah [2]: 286); setiap orang juga memikul bebannya masing-masing (QS.

Al-An�am [6]: 164); beban yang dipikulkan terasa ringan bila diterima dengan lapang dada (QS. Al- Insyirah [94]: 1-3); dan manusia bermohon kepada Tuhan agar tidak diberikan beban yang berat (QS. Al-Baqarah [2]: 286).402 Salah satu prinsip syariat Islam adalah tidak memberatkan umatnya. Prinsip ini dipakai pula bermuamalah dalam Islam, misalnya dalam akad jual beli, seorang penjual menjual barang dagangannya sesuai dengan kemampuan orang yang membeli.

Demikian pula dalam sistem perbankan syariah, apabila ingin melakukan transaksi, maka disediakan akad yang disusun dan disepakati sesuai dengan kemampuan nasabah. Indikator bahwa nasabah memiliki kemampuan yang sesuai dengan akad adalah dengan menyepakati dan menandatangani akad tersebut, sebaliknya apabila tidak disepakati berarti ada item tertentu dalam akad itu yang tidak sesuai dengan kemampuan nasabah. o. Menjaga kesucian diri Menjaga kesucian diri yang dimaksudkan di sini adalah mencegah diri untuk tidak bersikap dan bertindak yang negatif dalam perspektif agama, sosial, dan etika. Menjaga kesucian diri ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertama, membersihkan diri dari ambisi-ambisi dan hasrat yang bernilai rendah.

Menjauhi ambisi dan hasrat yang bernilai rendah ini dalam perspektif agama digolongkan sebagai muru�ah yang penting karena keduanya merupakan suatu perbuatan hina yang menjatuhkan harga diri dan kehormatan. Ambisi dan hasrat rendah ini biasanya didorong oleh faktor ketamakan atau tidak merasa cukup atas nikmat yang ada. Faktor ketamakan ada dua macam, yaitu sifat rakus dan sedikitnya rasa malu. Karena rakus, ia tidak merasa puas dengan apa yang telah dimilikinya sekalipun yang dimilikinya itu telah banyak; dan karena malunya sedikit, ia tidak malu meminta yang tidak dimilikinya sekalipun yang diminta itu rendah nilainya.403 Kedua, membersihkan diri dari hal-hal yang syubhat.

Syubhat ialah keragu-raguan atau kekurangjelasan tentang sesuatu mengenai halal atau haram, benar atau salah, terpuji atau tercela karena kurang jelas status hukumnya. Melakukan hal-hal yang syubhat dan tidak menjauhinya mengudang cercaan dan kritik dari orang lain. Jika terbukti bahwa yang dilakukannya adalah benar dan terpuji, ia terlanjur dicerca, dikritik, dan dicurigai masyarakat. Sebaliknya jika terbukti bahwa yang dilakukannya adalah haram, salah, dan tercela, ia akan mendapat malu besar.

Faktor yang mendorong sesorang untuk melakukan hal yang syubhat ialah karena kelemahan jiwa dalam mengendalikan hawa nafsu dan terlalu berbaik sangka bahwa yang dilakukannya adalah 401 Abdul Ghofur Anshori, Op. cit., h. 84 dst. 402 Fachruddin Hs., Ensiklopedia al-Quran, Jilid I, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 225-227. 403 Abu al-Hasan Ali al-Bashri al-Mawardi, OP. Cit., h. 176. halal, baik, benar, dan terpuji. Untuk meminimalisir atau mengeliminir faktor pendorong berbuat syubhat ialah dengan meningkatkan rasa malu dan kewaspadaan.404 p.

Mengakui hak-hak kemanusiaan Hak manusia yaitu suatu hak yang dimaksudkan untuk memelihara kemasalahatan dan kepentingan perorangan baik yang berisfat umum maupun khusus. Hak yang berisfat umum, seperti pemeliharaan kesehatan, anak, dan harta benda, serta terwujudnya keamanan dan penikmatan sarana umum milik negara. Hak yang bersifat khsusu, seperti hak penjual menerima pembayaran atas barang yang dijualnya, hak pembeli atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas harta bendanya yang dirusak orang lain, hak istri untuk mendapatkan lahir dan batin dari suaminya, hak ibu untuk memelihara anaknya yang masih kecil (hadhanah), hak bapak untuk menjadi wali anaknya, hak orang yang tidak berpunya untuk mendapatkan ZIS, dan sebagainya.405 Hukum yang terkait dengan hak manusia ini, sesuai dengan kesepakatan fuqaha, antara lain ialah pemiliknya dibolehkan melepaskan dan menggugurkan haknya dengan cara perdamaian, permaafan, atau membebaskan tanggungan atas seseorang, atau membolehkannya kepada siapapun.

Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hak ini merupakan kelaliman di mana Allah swt. tidak akan menerima taubat seseorang yang melanggarnya kecuali pemilik hak memaafkannya atau hak itu dikembalikan oleh pelanggar kepadanya. Pada hak ini berlaku pewarisan oleh keluarga dekatnya sesuai aturan yang berlaku dalam hukum waris. Kemudian tidak berlaku keterpaduan dalam hak ini. Maksudnya hukum yang terkait dengan hak perseorangan berlaku secara ketat, tidak ada penggabungan dan pemenuhan hak itu berkaitan langsung dengan pemilik hak atau walinya.406 q. Mengendalikan diri Mengendalikan diri atau menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menjatuhkan harga diri.

Harga diri ini merupakan sesuatu yang sangat mahal, sehingga harus tetap dijaga agar tidak terkontaminasi dengan virus-virus yang dapat membawa manusia ke lembah kehinaan. Menjaga harga diri dapat dilakukan dengan menempuh dua cara, yaitu memenuhi kebutuhan hidup dan tidak menerima jasa dari orang lain. Menjaga harga diri dengan memenuhi kebutuhan hidup merupakan suatu keniscayaan. Bila kebutuhan hidup tidak terpenuhi, maka seseorang terpaksa memintanya kepada orang lain. Padahal meminta dan mengemis adalah beban dan benalu masyarakat.

Menjadi beban dan benalu di masyarakat adalah orang hina yang tidak punya harga diri. Menjaga diri untuk tidak menerima jasa dan bantuan materi dari orang lain dan tidak pula memintanya adalah perbuatan yang harus selalu diperhatikan. Karena jasa biasanya dapat memperbudak orang merdeka, menjatuhkan harga diri penerimanya, dan menimbulkan kesombongan pemberinya. Meminta jasa dan bantuan materi merupakan usaha yang memberatkan dan membosankan orang yang diminta.

Padahal orang yang selalu menjadi beban, benalu, dan membosankan masyarakat adalah orang hina yang tidak mempunyai kehormatan.407 r. Tolong menolong dan toleransi Tolong menolong (ta�awun), tolong menolong, saling membantu sesama manusia sesuai prinsip Tauhid dalam kebaikan dan takwa kepada Allah; bukan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS. al-Maidah: 2 dan QS. al-Mujadalah: 9); 408 Sedangkan toleransi (tasamuh) adalah sifat atau sikap toleran. Dalam al-Quran istilah toleransi selalu berkaitan dengan hubungan sosial kemasyarakatan, yaitu sikap saling menghormati untuk menciptakan kerukunan dan kedamaian di antara sesama manusia (QS. al-Mumtahanah: 8-9).409 Toleransi berasal dari kata �toleran�, yaitu bersifat atau bersikap 404 Ibid., h. 177-178.

405 Abdul Aziz Dahlan et.al., Op. cit., h. 494. 406 Ibid. 407 Ibid., h. 180-184. 408 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 63-64. 409 Ibid., menenggang (--menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (--pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan kelakuan yang berbeda atau bertentangan dengan diri sendiri.410 Toleransi paling tidak berkaitan dengan dua hal, yaitu toleransi dalam transaksi dan toleransi dalam hak.

Toleransi dalam transaksi adalah melakukan segala bentuk persetujuan jual belidalam perdagangan dan jasa dengan mudah, mulus, dan lancar. Penjual tidak mengangkat harga dan tidak memuji barangnya dan pembeli tidak banyak menawar dan memburuk-burukkan barang yang dibeli serta tidak ada usaha penipuan di dalamnya. Toleransi dalam hak adalah berikap membiarkan dan membolehkan sebagian hak milik pribadinya yang berbentuk materil dan moril diambil dan dimiliki orang lain.

Toleransi dalam bentuk ini sangat penting dalam menjaga manusia untuk selalu memperhatikan nilai-nilai etika di masyarakat. Menuntu hak secara penuh, utuh, dan lengkap dapat dianggap sebagai sikap yang kasar, kejam, dan kikir. Salah satu watak manusia adalah benci dan kesal pada orang yang beriskap kasar, kejam, dan kikir. Sebaliknya manusia senang dan cinta kepada orang yang bersikap ramah, sopan, lembut, dan pemurah.

Karena watak yang bersifat naluriah ini, manusia benci kepada yang tidak bersikap toleran dalam haknya dan sebaliknya senang kepada orang yang toleran dalam haknya.411 s. Mendahulukan musyawarah Kata musyawarah terambil dari akar kata syin-, waw-, ra-, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah.412 Makan ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.

Madu bukan saja manisnya, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin, kerja samanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di manapun hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia tak akan mengganggu kecuali diganggu.

Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat, seperti itulah makan permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi Saw., menyamakan seorang mukmin dengan lebah.413 Menurut Hans Wehr, akar kata tersebut berarti to make a sign, signal, wink; to point out, advice, counsel (membuat tanda, isyarat, kedipan, menunjukkan/menjelaskan). Selain makna tersebut, kata ini juga berarti menampakkan sesuatu, menawarkan sesuatu, dan mengambil sesuatu.414 Analisis makna filosofis dari term tersebut menunjukkan bahwa sebuah musyawarah pada prinsipnya bertujuan untuk menggali dan mengkaji suatu masalah secara konprehensif untuk menemukan simpul permasalahan dan memutuskan penyelsaiannya secara bersama-sama.

Selain dari itu, menawarkan sesuatu dan mengabil sesuatu sebagai bagian dari pengertian musyawarah menunjukkan bahwa dalam musyawarah harus ada kesediaan dan proses memberi dan menerima (take and give). Musyawarah dalam pengertian ini berarti menerima pandangan yang baik dari orang lain dan menawarkan pendapat yang bermanfaat kepada orang lain. Adanya kesdiaan menerima pandangan orang lain mencerminkan keluwesan dan menegasikan sikap egois, sedangkan kesediaan untuk memberi mengisyaratkan bahwa orang yang terlibat dalam musyawarah harus aktif dan bukan hanya datang, duduk, dengan, dan diam.

Abdul Aziz Izzat al-Khayyat menjelaskan tentang hakikat musyawarah bahwa musyawarah berarti mengeluarkan pendapat, bertukar pikiran satu sama lain dan mengemukakan masalah kepada orang lain yang mempunyai kemampuan menjelaskan untuk mencapai kebenaran. Hal ini 499. 410 Anonim, Kamus.. Op. cit., h. 955. 411 Ibid., h. 209-210. 412 Ibrahim Anis et. al., Al-Mu�jam al-Wasit, Jilid I, (Cet. II; Istambul: Al-Maktabah al-Islamiyyah, 1972), h. 413 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Al-Maudhu�I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Cet. IX; Jakarta: Mizan, 1999), h. 469.

414 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (Third Printing; London: Mc. Donald & Evans Ltd., 1974), p. 492. mengindikasikan bahwa dalam sebuah musyawarah terdapat aktivitas mendengar, mentelaah, dan menyimak secara seksama serta mengeluarkan pendapat dan berembuk dengan bertukar pikiran dalam masalah tertentu, kemudian selanjutnya memutuskan pendapat yang disepakati kebenarannya.415 Secara teologis, musyawarah merupakan konsekuensi logis dari sikap Tauhid (monoteisme) dalam ajaran Islam yang menempatkan Allah swt.

sebagai Yang Maha Mengetahui, Maha Sempurna, Maha Mutlak, dan Maha Besar. Sedangkan manusia bersifat relatif, tidak sempurna, dan terbatas. Oleh akrena itu, dalam pengambilan keputusan atau mencari kebenaran, manusia memerlukan bantuan pemikiran dan informasi dari orang lain melalui musyawarah. Orang yang bersikap otoriter dan anti musyawarah bisa jatuh kepada kehancuran karena ia menganggap didirnya maha mengetahui dan maha mutlak yang setara dengan Allah swt.416 Dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang membahas tentang musyawarah ini.

Mengenai asal dari mana istilah musyawarah itu, paling tidak ada tiga ayat al-Quran yang akar katanya menunjuk pada musyawarah, yaitu: Pertama, kata �tasyawurin� dalam QS. al-Baqarah [2]: 233 menyebutkan: �Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya.

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Pada ayat diatas, al-Quran memberikan petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) di musyawarahkan antara suami istri. Kedua, kata �syawir� dalam QS. Ali-Imran [3]: 159 menyebutkan: �Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.

Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawaqal kepada-Nya�. Ayat ini dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw., agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, seperti yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan angota-anggotanya. Ketiga, kata �syura� dalam QS. al-Syura: 38, Allah menyatakan bahwa orang mukmin akan mendapat ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah.

Adapun yang dimaksud dengan orang-orang mukmin itu adalah: �Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan meeka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antarmereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka�. Ayat ketiga ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw., dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Anshari.

Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.417 Dalam ketiga ayat diatas, maka sepintas dapat diduga bahwa al-Quran tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap persoalan musyawarah. Namun dugaan tersebut akan sirna, jika menyadari cara al-Quran memberi petunjuk serta menggali lebih jauh kandungan ayat-ayat tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa petunjuk al-Quran yang rinci lebih banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau perubahan.

Dari sini dipahami kenapa uraian al-Quran mengenai metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini merupakan soal yang tak terjangkau nalar. Demikian juga soal mahram atau orang yang terlarang dikawini karena ia tak mengalami perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, 415 Abdul Aziz Izzat al-Khayyat, Al-Nizham al-Suyasiy fi al-Islam: Al-Nazhariyat al-Siyasiyat fi Nizham al-Hukm, (Cet. I; Al-Qahirah: Dar al-Salam, 1999), h. 89. 416 Abdul Aziz Dahlan et. al. Op. Cit., h. 1263. 417 Quraish Shihab, Op. Cit., h. 470-471. tak mungkin memiliki birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau keluarga dekat tertentu, demikian seterusnya.

Adapun persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan, al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global atau prinsip-prinsip umum agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia. Memang amat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan ciri kondisi sosial budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang sama untuk masyarakat yang berbeda, apalagi di tempat yang lain pada masa yang berlainan. Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya.

Karena itu pula, petunjuk kitab suci al-Quran menyangkut hal ini amat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja. Jangankan al-Quran, Nabi Saw., yang banyak dalam hal menjabarkan petunjuk-petunjuk umum al-Quran, perihal musyawarah ini tidak meletakkan rinciannya. Bahkan tidak juga memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah beliau berbeda-beda di antara satu dengan yang lainnya. Demikian Rasullah Saw.

tidak meletakkan petunjuk tegas yang rinci tentang cara dan pola syura. Karena jika beliau sendiri yang melakukan hukumnya maka ini bertentang dengan prinsip syura yang diperintahkan al-Quran karena al-Quran memerintahkan agar persoalan umat dibicarakan bersama. Sedangkan apabila beliau bersama sahabat yang lain menetapkan sesuatu, itupun berlaku untuk masa beliau saja. Tidak berlaku rincian itu untuk masa sesudahnya. Bukankah Rasulullah Saw.,

telah memberi kebebasan kepada umat Islam agar mengatur dirinya sendiri urusan dunianya dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: �Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian�. Dan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad: �Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalin lebih mengetahuinya�.418 Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha ketika menafsirkan QS.

Al- Nisa [4]: 59 bahwa Allah telah menganugrahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah. Yakni yang dilakukan oleh orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai, untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat.... Kita sering mengikat diri sendiri dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian kita namakan syarat itu ajaran agama.

Namun, pada akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita.419 Banyak persoalan yang dapat diambil jawabannya dari ketiga ayat musyawarah itu. Misalnya, sikap yang diperlukan dalam bermusyawarah agar musyawarah itu dapat berlangsung dengan sukses serta menghasilkan keputusan yang disepakati oleh mayoritas orang. Isyarat itu dapat dilihat dalam QS. Ali Imran [3]: 159 yang menyebutkan sikap tersebut antara lain: Pertama, sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Petunjuk ini dikandung oleh potongan ayat: �Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka menjauhkan diri sekelilingmu�.

Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru yang terlihat dalam potongan ayat: fa�fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah berarti �menghapus�. Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Itu perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Di sisi lain, orang yang bermusyawarah menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf.

Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal itu masuk ke dalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa�fu anhum. 418 Ibid., h. 472. 419Ibid. h. 473. Kemudian orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan atau ketajaman analisis saja, tidaklah cukup. Willian James, filosof kenamaan Amerika menegaskan bahwa akal memang mengagumkan. Ia mampu membatalkan suatu argumen dengan argumen lain.

Ini akan dapat mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-nilai hidup kita.420 Jika demikian adanya, maka dibutuhkan sebuah isntrumen di samping akal. Misalnya, �indera keenam� sebagaimana filosof dan psikologi menamainya, atau �bisikan atau gerak hati� seperti kata orang kebanyakan, atau �ilham, hidayat, dan firasat�, menurut nama yang diberikan agamawan.

Tidak jelas cara kerja isntrumen itu, karena datangnya sekejap, sekadar untuk mencapakkan informasi yang di duga �kebetulan� oleh sebagian orang, dan kepentingannya pun tanpa izin orang yang dikunjungi. Biasanya, instrumen itu mengunjungi orang-orang yang dijawanya dihiasi kesucian, karena Allah tidak memberi hidayat kepada orang-orang yang berlaku aniaya (QS. Al-Baqarah: 258), kafir (QS al-Baqarah: 264), bergelimang dosa atau fasik (QS al-Maidah: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS Al-Mu�min: 28), pengkhianat (QS yusuf: 52) dan pembohong (QS Al-Zumar: 3). Jika demikian, untuk mendapat hasil yang terbaik ketika musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis.

Itulah sebabnya, hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh pesan surat Ali �Imran ayat 159 diatas, wa istaghfir lahum. Pesan terakhir Ilahi di dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai yaitu: �Apabila telah bulat tekad (laksanakanlah) dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri�.421 Musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.

Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau pesoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan sedangkan nalar dan pengalaman manusia tidak dan belum sampai ke sana. Perlu pula dikemukakan di sini tentang syura dan demokrasi. Al-Quran dan sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan dengan kehidupan politik, seperti al-syura, keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan hak-hak manusia, dan lain lain, yang kesemuanya memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.

Membandingkan syura dengan demokrasi, tentunya perlu dijelaskan apa yang disebut demokrasi. Namun, untuk tidak memasuki perincian tentang makna demokrasi yang beraneka ragam, dapat dikatakan bahwa manusia mengenal tiga cara menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, yaitu: Pertama, keputusan yang ditetapkan oleh penguasa; Kedua, keputusan yang diteatapkan berdasarkan pandangan minoritas; dan Ketiga, keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas. Cara yang ketiga ini biasanya menjadi ciri umum dari demokrasi.

Syura yang diwajibkan oleh Islam tidak dapat dibayarkan berwujud seperti bentuk pertama, karena hal itu justru menjadikan syura lumpuh. Bentuk kedua pun tidak sesuai dengan makna syura sebab apakah keistimewaan pendapat minoritas yang menyalahkan pandangan mayoritas? Memang ada sebagian pakar Islam kontemporer yang menolak kewenangan mayoritas berdasarkan firman Allah: �Tidak sama yang buruk dengan yang baik, walaupun banyaknya yang buruk itu menyenangkan kamu�. (QS Al- Maidah: 100). Dan firman Allah: �Kebanyakan kamu tidak menyenangi kebenaran� (QS Al-Zukhruf: 78).

Tetapi pandangan mereka sulit diterima, karena ayat-ayat itu bukan berbicara dalam konteks petunjuk Ilahi yang diberikan kepada para Nabi dan ditolak oleh sebagian besar anggota masyarakatnya ketika itu. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang sikap masyarakat Makkah ketika itu, serta umat manusia dalam kenyataanya dewasa ini. Namun demikian, walaupun syura dalam Islam membenarkan keputusan pendapat masyoritas, teatapi menurut sementara para pakar ia tidaklah mutlak. Demikian Dr. Ahmad Kamal Abu Al-Majad, seorang pakar Muslim Mesir kontemporer dalam bukunya Hiwar Ia Muwajahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi).

Agaknya yang dimaksud adalah bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasar 420 Ibid., h. 474. 421Ibid., h. 475. pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali musyawarah, teatapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai kesepakatan. Ini karena syura dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang memiliki sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan pribadi atau golongan, dan dilaksanakan sewajarnya agar disepakati bersama.

Sekalipun ada diantara mereka yang tidak menerima keputusan, itu dapat menjadi indikasi adanya sisi-sisi yang kurang berkenaan di hati dan pikiran orang-orang pilihan walaupun mereka minoritas, sehingga masih perlu dibicarakan lebih lanjut agar mencapai mufakat (untuk menemukan �madu� atau yang terbaik). Hal ini merupakan salah satu perbedaan antara syura di dalam Islam dengan demokrasi secara umum. Fakta membuktikan bahwa apabila pembicaraan berlarut tanpa menemukan mufakat dan tidak ada jalan lain kecuali memilih pandangan mayoritas, saat itu dapat dikatakan bahwa kedua pandangan masing-masing baik, tetapi yang satu jauh lebih baik.

Di dalam kaidah agama diajarkan apabila terdapat dua pilihan yang sama-sama baik, pilihan yang lebih banyak sisi baiknya, dan jika keduanya buruk, pilihan yang paling sedikit keburukannya. Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan, terdapat juga perbedaan. Walaupun syura dan demokrasi menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak sosial, namun syura di dalam Islam mengaitkannya dengan �Perjanjian Ilahi�. Ini diisyaratkan oleh al-Quran dalam firman-Nya ketika mengangkat Nabi Ibrahim a.s

sebagai imam: �Allah berfirman, sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi manusia, Ibrahimberkata, �Saya bermohon agar pengangkatan ini dianugrahkan juga kepada sebagian keturunanku�. Dia (Allah) berfirman, �Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim�. (QS Al- Baqarah: 124). Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam demokrasi sekular persolan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi dalam syura yang diajarkan Islam, tidak dibenarkan untk memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Ilahi. Demikian sekilas mengenai wawasan musyawarah di dalam al-Quran.

Agakanya dapat disimpulkan bahwa musyawarah diperintahkan oleh al-Quran, serta dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat manusia. Namun demikian, al-Quran tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks al-Quran hanyalah bahwa Islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat di dalam urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola, dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain.

Bahkan masyarakat tertentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari suatu masa ke masa yang lain. Sikap al-Quran seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya. Mengikat diri dengan fatwa ulama dan pakar-pakar masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi Saw., dalam persoalan syura, atau pandangan dan pengalaman masyarakat lain, serta membatasi diri dengan istilah dan pengertian tertentu, bukanlah sesuatu yang tepat, baik ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama.

Memang setiap masyarakat di setiap masa memiliki budaya dan kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai pandangan dan jalan yang berbeda-beda. Hakikat itu agaknya merupakan salah satu kandungan makna firman Allah: �Setiap umat (masyarakat) di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang�. (Qs Al-Maidah: 48). Musyawarah dianggap menjadi nilai etika tersendiri dalam sistem ekonomi syariah karena setiap transaksi membutuhkan adanya kesepakatan bersama yang didahului dengan pembicaraan atau negosiasi.

Pembicaraan atau negosiasi ini sebenarnya merupakan bentuk musyawarah guna mendapatkan kemufakatan bersama agar tidak terjadi kerugian oleh salah satu pihak yang berakad. Oleh karena itu, perbankan syariah lebih mengedepankan musyawarah bersama yang ditandai dengan pembicaraan atau tawar menawar produk perbankan dan keterlibatan istri apabila suami akan melakukan akad di hadapan notaris, atau sebaliknya.

Hal ini sengaja dilakukan untuk menghindari tindakan ketidakjelasan (gharar) sekaligus menegaskan transparansi dalam akan perbankan syariah TENTANG PENULIS Husain Insawan lahir di Kendari, 17 Agustus 1973. Sebagai dosen muda dengan pangkat Lektor Kepala di STAIN Kendari, ia telah menyelesaikan pendidikan berawal dari MIN Kendari 1985, MTsN Kendari 1988, PGAN Kendari 1991, kemudian melanjutkan pendidikan pada Program Sarjana (S1) di IAIN Alauddin di Kendari dan selesai tahun 1996 spesifikasi jurusan Pendidikan Bahasa Arab dengan predikat Cumlaude serta predikat Wisudawan Terbaik I.

Setelah itu lanjut pada Program Pascasarjana (S2) di Universitas Muhammadiyah Malang konsentrasi Pendidikan Islam dan selesai tahun 2000 dengan predikat Cumlaude. Ia menjadi Doktor pada UIN Alauddin Makassar dengan konsentrasi studi Hukum Islam/Ekonomi Islam. Ketika menjadi mahasiswa, aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, baik intra universiter maupun ekstra universiter. Tercatat beberapa organisasi yang pernah digelutinya, yaitu Wakil Ketua HMJ Pendidikan Bahasa Arab 1993; Pengurus Senat Mahasiswa FAKTAR IAIN Alauddin di Kendari 1995; Dankima 1994 dan Wadanyon 242 IAIN Alauddin di Kendari 1995; Wakil Asisten Bidang LITBANG SKOMEN MAHALEO Sultra 1996; dan Pengurus MPM PPS IAIN Alauddin Makassar 2004.

Ia juga dikenal sebagai pentolan HMI Cabang Kendari, menjadi Pengurus MASIKA ICMI ORWIL Sultra 2004 dan Wakil Sekretaris Ikatan Sarjana Sultra (IKASARI) 1998, Sekretaris Umum Majelis Pengurus Wilayah Himpunana Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia (MPW-HISSI) Sultra. Pendidikan dan latihan yang pernah diikuti adalah Diklatsarmil Menwa Angkatan XII 1992 di Kendari; Diklat SAR dan PBA Nasional III 1995 di Bandung; Basic Training HMI 1993 dan Intermediate Training HMI 1995 di Kendari.

Semasa menjadi dosen, pendidikan dan latihan yang pernah diikuti antara lain Pelatihan Dosen Bahasa Asing, Pelatihan Metodologi Penelitian, Pelatihan KBK, dan berbagai workshop lainnya. Di samping itu, Cheng memiliki pengalaman meneliti, antara lain: Studi Analisa Penerapan Metode Pengajaran Bahasa Arab di MAN 2 Kendari, 1996 (Peneliti Utama); Perilaku Akademik Mahasiswa Muslim Aktivis: Studi Kasus di STAIN Kendari, 2000 (Peneliti Utama); Akulturasi Adat dan Agama dalam Menunjang Pembangunan di Buton, 2002 (Tim Peneliti); Undang-Undang Barata Kesultanan Buton dan Konstitusi Negara Madinah, 2003 (Peneliti Utama); Pengaruh Penerapan MBS terhadap Peningkatan Mutu Hasil Pendidikan pada MAN 1 Kota Kendari, 2004 (Peneliti Utama); Bentuk Pembinaan Keagamaan Masyarakat Pesisir: Studi Kasus Pada Masyarakat Bajo di Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, 2004 (Tim Peneliti); Syuhada dalam Perspektif al-Quran: Kajian Qurani dengan Metode Tematik, 2005 (Peneliti Utama); Dakwah dalam Masyarakat Plural: Studi tentang Persepsi Tokoh Agama di Kota Kendari, 2005 (Kompetitif Nasional/Tim Peneliti) Hijrah dalam Perspektif al-Quran: Kajian Tafsir al-Quran Secara Tematik, 2006 (Tim Peneliti); dan Nilai-Nilai Moral dalam Sistem Operasional Perbankan Syariah pada BMI Cabang Kendari, 2007 (Peneliti Utama); serta Religiositas Lokal dalam Muhammadiyah: Respon Komunitas Muhammadiyah Buton terhadap Tradisi Islam Lokal, 2008 (Kompetitif Nasional/Tim Peneliti).

Selaku Dewan Redaksi, berbagai artikel yang pernah ditulis dan dimuat dalam media cetak, antara lain: Respon Islam terhadap Peradaban Barat Modern (Jurnal Shautut Tarbiyah); Transformasi Sebuah Tradisi Intelektual: Asal Usul Pendidikan Islam pada Masa Awal Sejarah Islam (Jurnal Shautut Tarbiyah); Wilayah al- Faqih (Jurnal Shautut Tarbiyah); Peranan ZIS dalam Menata Perekonomian dan Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat (Jurnal Shautut Tarbiyah); Al-Ijarah dalam Perspektif Hadis: Kajian Hadis dengan Metode Maudhuiy (Jurnal Hasil Penelitian); Bentuk Pembinaan Keagamaan Masyarakat Pesisir: Studi Kasus Pada Masyarakat Bajo di Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe (Jurnal Al-Izzah); dan Dimensi Sains dalam Ramadan Sebagai Bulan Kesembilan (Kendari Pos).

Pengalaman jabatan yang pernah dilalui adalah sebagai Ketua Program Studi Ekonomi Islam, 2002 s.d. 2003; Anggota Senat Wakil Dosen, 2003 s.d. 2007; Sekretaris Jurusan Syariah; 2009 s.d. 2010; dan Ketua Jurusan Syariah, 2010 hingga sekarang.