Plagiarism Checker X Originality Report

Plagiarism Quantity: 32% Duplicate

Date Senin, April 27, 2020
Words 19044 Plagiarized Words / Total 59457 Words
Sources More than 1714 Sources Identified.
Remarks Medium Plagiarism Detected - Your Document needs Selective Improvement.

KATA PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM MULTI PENDEKATAN DAN MODEL DR. HUSAIN INSAWAN, M.Ag. Dengan mengucap syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT., Buku yang ada di hadapan pembaca budiman merupakan secuil karya yang dipersembahkan oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan dengan judul METODOLOGI STUDI ISLAM: MULTI PENDEKATAN DAN MODEL. Buku ini sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa terkait dengan materi Metodologi Studi Islam. Di dalamnya memuat sejumlah pendekatan dan model yang sering digunakan dalam kerja-kerja penelitian agama Islam.

Kemudian pada bagian akhir disajikan pula tentang langkah-langkah ilmiah dalam menyusun sebuah darf penelitian agama Islam. Buku ini disadur dari sejumlah literatur yang membahas tentang Studi-studi Agama (Religion Studies) dan Studi-studi Islam (Islamic Studies) ditilik dari multi disiplin keilmuan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Buku yang hadir ini tentu tidak lepas dari sejumlah kekurangan, sehingga kritik konstruktif sangat diharapkan karenanya.

Demikian pengantar kata dari penyusun semoga Buku ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembacanya. Kendari, November 2011 Penyusun, Husain Insawan KATA SAMBUTAN DAFTAR ISI  Halaman Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT. Buku yang berjudul METODOLOGI STUDI ISLAM: MULTI PENDEKATAN DAN MODEL yang disusun oleh Husain Insawan ini dapat terwujud sesuai harapan. Buku ini telah diselesaikan dengan baik dan telah menambah khazanah literatur dan pengetahuan tentang Studi Islam (Islamic Studies) khususnya bagi mahasiswa yang memprogramkan mata kuliah ini serta dosen yang mengajarkan mata kuliah dimaksud.

Kami yakin bahwa penyusunan Buku ini belum sempurna sepenuhnya, namun upaya ilmiah yang telah dilakukan ini patut mendapatkan apresiasi secara baik. Akhirnya kami menyampaikan terima kasih kepada saudara penyusun, semoga hasil Buku ini berguna bagi para pembaca budiman. Kendari, November 2011 HALAMAN JUDUL................................................................ KATA PENGANTAR.............................................................. KATA SAMBUTAN............................................................... DAFTAR ISI........................................................................... Bab I Metodologi Studi Islam A. Definisi Metodologi dan Metode .....................

B. Definisi Agama................................................. C. Definisi Islam................................................... D. Definisi Studi Islam.......................................... E. Definisi Metodologi Studi Islam....................... Bab II Studi Islam Sebagai Disiplin Ilmu A. Studi Agama: Problem Obyek Studi Dan Definisi B. Studi Islam Sebagai Disiplin Ilmu.................... C. Studi Islam dan Sains Islam............................. Bab III Pendekatan-Pendekatan Studi Islam Bab IV Bentuk-Bentuk Studi Islam A. Penelitian Eksploratif................................... B. Penelitian Historis.......................................

C. Penelitian Deskriptif.................................... D. Penelitian Korelasional................................ E. Penelitian Eksperimen................................. Bab V Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan Reflektif Dalam Studi Islam A. Pendekatan Kuantitatif............................... B. Pendekatan Kualitatif................................. C. Pendekatan Reflektif: Menjembatani Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif........................... D. Paradigma Penelitian Agama ..................... Bab VI Model-Model Studi Agama A. Model Studi Tafsir........................................ B. Model Studi Filsafat...................................... C.

Model Studi Ilmu Kalam............................... D. Model Studi Hadis........................................ E. Model Studi Tasauf...................................... F. Model Studi Fiqih..................................... G. Model Studi Politik...................................... H. Model Studi Pendidikan Islam................... I. Model Studi Sejarah Islam.......................... J. Model Studi Pemikiran Modern Dalam Islam K. Model Penelitian Antropologi Agama........ L. Model Studi Sosiologi Agama..................... M. Model Studi Ekonomi Islam........................

DAFTAR PUSTAKA TENTANG PENULIS BAB I METODOLOGI STUDI ISLAM A. Definisi Metodologi dan Metode Untuk memberikan pemahaman yang mendetail, maka term Metodologi Studi Agama/Islam akan dikupas secara terpisah. Term �metodologi� merupakan pengembangan dari term �metode� yang berasal dari bahasa Yunani dan merupakan gabungan dari dua kata yakni, �metha� dan �logos�. Metha berarti jalah jalan atau cara, sedang Logos berarti ilmu atau pengetahuan.

Jadi �metodologi� ialah ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Dengan kata lain, metodologi merupakan ilmu tentang metode-metode. Metode secara harfiah berarti �cara�. Dalam konteks yang konvensional, metode dikatakan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep secara sistematis.1 Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran yang sedang dikaji.

Metode lebih bersifat teknis dan menjadi sarana dalam pencapaian tujuan. Sedang metodologi lebih mengarah pada pembahasan tentang seluk beluk metode; penerapannya; serta kelemahan dan kelebihannya. Metodologi memiliki nilai yang sangat urgen dalam studi Islam karena metodologi merangsang orang untuk berpikir teratur dan sistematis. Islam dapat dipahami secara utuh dan konprehensif berkat adanya metode.

Bahkan tidak 1 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Edisi Revisi, (Cet. III; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997), h. 201. berlebihan jika Mukti Ali mengatakan bahwa metodologi merupakan masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.2 Pada abad pertengahan, Eropa mengalami stagnasi hampir seribu tahun, kemudian bangkit akibat dari revolusi pemikiran sebagai kreasi metodologi yang dilakukan, sehingga Eropa bisa bangkit dari ketertidurannya yang amat panjang. Berkembanglah sains dan teknologi, seni, sastra, dan seluruh aspek kehidupan manusia Eropa di kala itu.

Mengapa Eropa sampai tertidur pulas dalam perjalanan sejarahnya? Rupanya menurut Ali Syariati (1933-1977) seorang sarjana berkebangsaan Iran yang meninggal di Inggris, menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan dan stagnasi dalam pemikiran, peradaban, dan kebudayaan yang berlangsung seribu tahun di Eropa adalah akibat pengaruh metode pemikiran analogi dari Aristoteles. Ketika cara melihat masalah obyek itu berubah, maka secara praktis sains, masyarakat, dan dunia pun akan berubah.3 Namun dalam kondisi seperti ini, manusia Eropa tetap bergelut dengan analogi Aristoteles tersebut.

Sebagai perbandingan misalnya, Francis Bacon (1561- 1626 M)4 tidak lebih pandai dari Aristoteles (384-322 SM) atau 2 Mukti Ali, �Metodologi Ilmu Agama Islam�, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. 44. 3 Ali Syariati, On the Sociology of Islam, diterj. Saifuddin Mahyuddin, Tentang Sosiologi Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 39. 4 Francis Bacon adalah ahli filsafat dan negarawan Inggris.

Konstribusi terbesarnya dalam bidang ilmu pengetahuan adalah metode berpikir induktif dan ilmu eksperimental modern. Roger Bacon (1214-1294 M)5 tidak lebih jenius dari Plato (366- 347 SM), akan tetapi kedua Bacon tersebut menjadi pemicu dan pemacu kemajuan sains di Eropa, sebaliknya orang yang otaknya brilian sekelas Plato dan Aristoteles tidak mampu mencerahkan Eropa. Justru mereka diklaim sebagai inspirator terjadinya kejumudan di Eropa pada Abad Pertengahan. Hal ini tentu berbeda pada persoalan metodologi.

Orang yang meskipun brilian tetapi tidak menggunakan metode berpikir yang benar, maka akan tidak menghasilkan kemajuan. Sebaliknya orang yang otaknya biasa-biasa saja tetapi karena ia menemukan metode berpikir yang benar dan utuh, maka ia akan menjadi lokomotif kemajuan sains, teknologi, dan peradaban bangsa. Fakta empirik dapat dikemukakan bahwa Yunani merupakan basis orang-orang jenius dan memiliki fisik yang sempurna di zamannya, tetapi tidak mampu menciptakan roda; sedangkan pada masa Eropa modern seorang teknisi biasa yang nyaris tidak sempurna bentuk fisiknya serta tidak mengerti tulisan Aristoteles dan murid-muridnya, ia mampu menciptakan ratusan karya orisinal.

Contoh yang tepat dengan masalah ini adalah Thomas Alva Edison (1849-1931 M), seorang Amerika yang menemukan sistem telepon, telegram, listrik, bioskop bersuara, kereta api listrik, dan masih banyak lagi hingga ia memperoleh sebanyak 1300 hak paten sebagai hak kekayaan intelektualnya. Padahal kadar pemikirannya berada jauh di 5 Roger Bacon adalah ahli filsafat skolastik Inggris. Ia selalu dikenang karena perhatiannya sangat serius terhadap ilmu alam, eksperimen, dan observasi langsung.

Ia menganggap bahwa sains adalah pelengkap kehidupan dan tidak bertentangan dengan iman. Lihat Sayyed Hossein Nashr, A Young Muslim�s Guide in The Modern World, diterj. Hasti Tarekat, Menjelajah Dunia Modern, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1995), h. 162-163. bawah murid-murid Aristoteles, namun karena karena metodologi berpikir yang digunakan Edison sangat tepat, makanya ia mampu mengubah wajah dunia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksistensi metodologi dalam dunia sains dan teknologi adalah sangat urgen adanya. B.

Definisi Agama Term �agama� sesungguhnya memiliki banyak definisi. Untuk mendefinisikan agama rasanya sangat sulit karena seperti yang dikatakan oleh Mukti Ali, Sastrapratedja, dan W.H. Clark yang dikutip Zakiah Daradjat bahwa tidak ada kata yang lebih sukar didefinisikan selain kata �agama�. Bahkan, James H. Leuba telah berhasil mengkoleksi 48 definisi agama dari berbagai teori, sampai pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha untuk membuat definisi agama itu tak ada gunanya karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah saja.6

Edward Burnet Taylor merumuskan bahwa: �Religion is the faith in spiritual being�� (agama sebagai kepercayaan terhadap wujud spiritual).7 Allan Menzies mendefinisikan bahwa agama tidak lebih dari �The worship of higher powers from a senseof need� (penyembahan terhadap kekuatan yang lebih tinggi karena adanya rasa membutuhkan).8 Sedang George Galloway menyatakan: �Religion is man�s faith in a power beyond himself where 6 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet. IV; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 8. 7 Edward Burnet Taylor, Medievel Mind, (Cet. I; Massachussets: Harvard University Press, 1929), h.

424, dalam Ahmad Norma Permata, �Pendahuluan Editor�, Metodologi Studi Agama, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.14. 8 Allan Menzies, History of Religion, (London: John Murray, 1922), h. 13. by he seeks to satisfy emotional needs and gain stability of life, and he expresses in act of worship and service� (keyakinan manusia kepada sebuah kekuatan yang melampaui dirinya, ke mana ia mencari pemuasan kebutuhan emosional dan mendapatkan ketenangan hidup yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian).9

Dalam pada itu, Whitehead menyederhakan definisinya dengan mengatakan bahwa: �Religion is what the individual does with his own solitariness�� (agama adalah apa yang dilakukan seseorang dalam kesendiriannya).10 Lalu William James menyelipkan konsepsi bahwa: �Religion is the feeling, acts, and experiences of individual men in their solitude, so far apprehended thewselves to stand in relation to whatever they may condiser the divine� (agama adalah perasaan, tindakan, dan pengalaman manusia individual dalam kesendirian mereka sejauh hal itu membawanya ke dalam posisi yang berhubungan dengan apapun yang dianggap sebagai yang sakral).11

Variasi definisi yang diungkap para ahli ditemukan pula pada beberapa tempat. Misalnya, Melford E. Spiro menyatakan agama sebagai: �� an institution of culturally patterned interaction with culturally postulated superhuman beings� (sebuah institusi berpola budaya yang berhubungan dengan wujud-wujud supra- manusiawi yang dipostulatkan sebagai budaya).12 Milton Yinger mendefinisikan bahwa agama � � as a system of beliefs and practices by means of which a group of people struggle with ultimate problems of human life� (sebuah sistem kepercayaan dan perilaku, yang dengannya sekelompok manusia bergulat dengan problem kehidupan manusiawi yang bersifat ultima).13

Clifford Geertz menyatakan bahwa: �Religion is (1) a system of symbols which act to; (2) establish powerful, pervasive and longlasting moods and motivation in men by; (3) formulating conceptions of a general order of existence and; (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that; (5) the moods and motivations seems uniquely realistic� (Agama sebagai (1) sebuah sistem simbol yang berfungsi untuk (2) membangun perasaan dan motivasi yang penuh kekuatan, pervasive dan tanpa akhir dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep mengenai tatanan umum eksistensi dan (4) membalut konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga (5) perasaan dan motivasi tersebuts nampak realistis).14 J.B.

Pratt yang mengusulkan rumusan mengenai agama: �� religion as the serious and social attitude of individuals or communities toward the power or powers which they conceive as having ultimate control over their interest and destinies� (sikap yang serius dan sosial dari individu-individu atau komunitas-komunitas 9 George Galloway, The Philosophy of Religion, (Edinburg: T&T Clark, 1935), h. 184. 10 A.N. Whitehead, Religion in The Making, (Cambridge: Cambridge University Press, 1926), h. 16.

11 William James, Varietes of Religious Experience, (New York: Longmans, 1929), h. 31, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi � Ibid., h.15. 12 Melford E. Spiro, �Religion: Problem Definitions and Explanation�, dalam Banton, Anthropological Approach to the Study of Religion, (London: Travistock, 1965), h. 96. 13 Milton J. Yinger, The Scientific Study of Religion, (London: Macmillan, 1970), h. 7. 14 Clifford Geertz, �Religion as a Cultural System�, dalam R. Banton (Ed), Anthropological Approach to the Study of Religion, (London: Travistock, 1965), h. 42.

kepada satu atau lebih kekuatan yang mereka anggap memiliki kekuasaan yang tertinggi terhadap kepentingan dan nasib mereka).15 Dengan penekanan pada aspek yang lain W. Panenberg merumuskan agama sebagai pengalaman-pengalaman di mana manusia merasakan komunikasi dengan realitas ilahi.16 G. Schmid mengatakan �� agama merupakan realitas bagi seorang manusia � suatu usaha untuk menentukan jalan melampaui benda-benda individual menuju keseluruhan. Ia mencakup lapisan-lapisan yang tak terbatas, acuan terus-menerus dan memberi arahan manusia kepada dasar, tujuan, makna serta inti dari segala yang ril � agama terjadi di dalam setiap diri manusia. Seseorang yang sama sekali tanpa agama akan menjadi manusia tanpa realitas�.17

Sedangkan Ninnian Smart membatasinya dengan menganggap bahwa sebuah agama atau agama dari suatu kelompok adalah serangkaian ritual yang dilembagakan yang diidentikan dengan suatu tradisi serta mengekspresikan dan atau memunculkan perasaan-perasaan sakral yang diarahkan kepada suatu fokus Ilahi atau trans-Ilahi yang dilihat dalam konteks lingkungan fenomena manusia dan paling tidak secara parsial, memiliki penjelasan dalam bentuk mitos atau mitos dan doktrin.18 15 J.B. Pratt, The Religious Consciousness, (New York: Macmillan, 1920) h. 2. 16 W. Panenbergh, �The Falla and Rise of Mythology�, Religious Studies Review, No. 11, 1976.

h. 365. 17 G. Schmid, Principles of Integral Science of Religion, (Mounton: The Hague, 1979) h. 150. 18 Ninian Smart, Science of Religion and the Sociology of Knowdledge, (New Jersey: Princeton University Press, 1973. h. 15. Belum lagi kalau kita menengok dunia Timur.19 Masyarakat Timur tidak memiliki konsep yang sedemikian konkrit, seperti kata �agama� dalam pengertian modern dalam bahasa Indonesia.20

Di India, apa yang secara umum dipahami tentang agama terangkum dalam istilah Dharma, yang berarti sekaligus �kebenaran�, �kewajiban�, �hukum�, �tatanan atau keteraturan�, serta �hak�. Istilah ini digunakan secara variatif: ia bisa bercorak India, seperti Hindu Dharma atau Arya Dharma dan bisa juga universal, seperti Sanata Dharma; ia bisa digunakan secara spesifik seperti Varnashrama Dharma, yaitu dharma mengenai kasta, atau Mlecha Dharma, dharma asing, atau keyakinan praktik non-Hindu.21

Istilah bahasa Pali Dharma 19 Term Timur sengaja digunakan untuk merujuk kepada agama- agama atau kebudayaan-kebudayaan Asia: India, Cina, Jepang dan termasuk Islam. Istilah Timur memang agak problematis. Secara geografis istilah ini sangat kabur, karena tidak memiliki acuan yang pasti: Timurnya apa, atau Baratnya mana? Misalnya, Amerika disebut �Timur Jauh� (Far East) secara aktual ternyata �Eropa Barat� (Far West), dalam sejarah Cina �Barat� berarti India, sedangkan dari Jepang �Barat� berarti Cina. Lihat William E.

Naff, �Reflection on the Question of �East and West� from the Point of View of Japan�, dalam Comparative Civilization Review, No.13/Spring 1986), h. 228. Sedangkan secara kultural, istilah Timur dan Barat nampaknya lebih merupakan hasil kesombongan etno-kultur Eropa zaman kolonialisme, sebagaimana dikatakan Edward Said dalam Orientalism, (New York: Pantheon Books, 1978), h. 43-44. Namun demikian, ada juga orang-orang Asia yang justru membanggakan istilah Timur ketimbang Barat, yang disamakan secara paralel dengan arah kanan dibandingkan kiri.

Timur mengacu kepada tempat terbitnya matahari sebagai simbol cahaya, perpecahan dan kebenaran; sementara Barat adalah tempat tenggelamnya matahari yang berkonotasi kegelapan, keruntuhan dan kesesatan. Lihat Sayyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, (Massachussets: Harvard University Press, 1964), h. 64-65. 20 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1984), h. 66. 21 Erich J. Sharpe, Understanding Religion, (London: Duchworth, 1982), h. 41-42.

dalam agama Budha, memiliki cakupan dan implikasi yang serupa, meskipun dengan konotasi etnis yang lebih kecil dan lebih memiliki tekanan doktriner kepada: �Empat Kebenaran dan Delapan Jalan Utama� dari ajaran sang Budha.22 Dalam masyarakat Cina, ditemukan pula istilah Tao, yang secara literer berarti �jalan�. Tao merupakan prinsip pemahaman atas keseimbangan total alam yang dilambangkan dengan unsur-unsur Yin dan Yang. Alam terdiri dari berbagai elemen yang saling berpasangan; bertentangan secara sempurna, sehingga menghasilkan harmoni.

Prinsip Tao mengajari manusia untuk mengikuti prinsip kerja alam ini.23 Tetapi dalam perkembangan modern, istilah Tao mengalami pergeseran makna menjadi hampir semata-mata bermakna filosofis dengan pengertian umum sebagai logika atau cara pandang terhadap keseimbangan total alam semesta.24 Namun setidaknya adalah representatif adanya jika disadur pengertian agama yang dikupas oleh Harun Nasution. Menurut Harun bahwa dalam masyarakat Indonesia, selain kata agama, dikenal pula kata al-Din dari bahasa Arab dan kata Religi 22 Huston Smith, Agama-agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 129 & 135. 23 Lao Tzu, Tao Te Ching, (London: Penguin, 1989), Lihat �Pengantar� oleh, D.C. Lau, h. xxii.

Lihat Huston Smith, Op. Cit., h. 231. 24 Istilah Tao memiliki popularitas yang sangat luas dalam berbagai bidang. Hal ini nampak dari hasil karya dengan judul yang menggunakan istilah Tao dalam pengertian netral: The Tao of Physic (1975) karya Fritjof Capra, The Tao of Symbol (1982) karya James N. Powel, The Tao of Leadership (1985) karya John Heider, The Tao of Power (1986) karya R.L. Wing, The Tao of Art (1987) karya Ben Willis, The Tao of Management (1988) dan The Tao of Negotiation (1990) karya Robert Messing, The Tao of Politics (1990) karya Thomas Clery, The Tao of Recovery (1992) karya Jim McGregor, The Tao of Love (1993) karya Ivan Hoffman, The Tao of Relationship (1994) karya John. B. Butcher.

dalam bahasa Eropa. Menurutnya bahwa agama berasal dari bahasa Sansekerta. Kata itu tersusun dari dua kata yaitu a = tidak dan gam = pergi, jadi agama berati tidak pergi; tetap di tempat; diwarisi secara turun temurun. Hal ini menunjukkan sifat agama, yakni diwarisi secara berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendapat lain mengidentikkan agama dengan teks kitab suci karena memang agama memiliki kitab suci.

Ada pula yang mengartikannya dengan �tuntunan� sebab salah satu fungsi agama adalah sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia. Sementara itu al-Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian ini juga sejalan dengan kandungan agama yang di dalamnya terdapat peraturan yang selanjutnya disebut hukum yang mesti dipatuhi oleh penganut agama yang bersangkutan. Agama juga menguasai diri seseorang dan membuatnya ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agamanya.

Agama lebih lanjut membawa hutang yang harus ditebus oleh penganutnya. Selaras dengan pemaknaan secara etimologis di atas, Syed Naquib al-Attas menambahkan bahwa term �al-Din� itu mengandung pengertian keberhutangan, ketundukan, kekuatan yang mengadili, dan kecenderungan alami. Term ini bersinergi dengan term lain yang memiliki derivasi dari akar kata yang sama, yaitu: �danaa� berarti kondisi memiliki hutang.

Manusia memiliki hutang yang tak terhingga kepada Sang Pencipta, berupa keseluruhan eksistensi. Orang yang berhutang disebut �daain�, memiliki kewajiban untuk membayar, atau �dayn�. Karena pembayaran hutang ini melibatkan seluruh manusia dengan beragam kondisi, maka diperlukan ketentuan, yaitu �idaanah�, serta penilaian terhadap yang patuh dan yang inkar disebut daynunah.

Segala ketentuan tersebut hanya dapat diimplementasikan dalam suatu masyarakat yang teratur atau madinah, serta memiliki pemimpin yang disebut �dayyan�. Dengan demikian, agama tidak lain adalah keseluruhan proses pemberadaban manusia atau �maddana�, yang akan menghasilkan kebudayaan yang disebut �tamaddun�.25 Oleh karena banyaknya definisi agama, Harun Nasution memberikan pengertian agama sebagai berikut: 1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang dipatuhi; 2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasainya; 3.

Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar manusia yang mempengaruhi perbuatan- perbuatan manusia; 4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; 5. Suatu sistem tingkah laku (code of cunduct) yang berasal dari kekuatan gaib; 6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang bersumber pada suatu kekuatan gaib; 7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia; 25 Syed Naquib al-Attas, Islam, Secularization and the Philosophy of the Future, (London: Manshel Publishing Limited, 1985), h. 48-49, dalam Ahmad Norma Permata, Op.Cit.,

h. 16-17. 8. Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Akhirnya Harun Nasution sampai pada kesimpulan bahwa intisari yang terkandung dalam beberapa istilah agama di atas adalah �ikatan�. Agama memang mengandung arti �ikatan� yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan manusia. Ikatan itu berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Satu kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap oleh panca indera.

Cukup beralasan kiranya bila Harun Nasution berkesimpulan demikian karena agama merupakan suatu keyakinan akan adanya hubungan yang sangat erat dan intens antara manusia sebagai mikro kosmos dan Tuhan sebagai Realitas Tertinggi yang tidak dapat dicerap melalui panca indera manusia. Ia hanya dapat diimani dengan menggunakan potensi kecerdasan qalbiah atau kecerdasan spiritual yang ada pada manusia. Adapun kata religi berasal dari bahasa Latin. Menurut satu pendapat seperti yang diungkap Harun Nasution bahwa asal kata religi adalah relegere, artinya mengumpulkan dan membaca.

Pengertian ini sejalan dengan isi agama yang berisi kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang terangkum dalam kitab suci yang mesti dibaca. Agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan; manusia dengan sesama manusia; atau manusia dengan alam. Adapun bentuk keberagamaan dapat diketahui melalui hubungan manusia dengan sesama makhluk secara horisontal serta hubungan manusia dengan khalik-Nya secara vertikal. Dari uraian di atas dapat dijumpai empat unsur yang menjadi karakteristik agama, yaitu: 1. Unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib; 2.

Unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib dimaksud; 3. Unsur respons yang bersifat emosional dari manusia; 4. Unsur paham adanya yang kudus (sacred). Dari kesimpulan ini dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam agama, yaitu: 1. Dari aspek asal usulnya; yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama samawi dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardhi atau agama kebudayaan; 2. Dari aspek tujuannya; yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar bahagia di dunia dan di akhirat; 3.

Dari aspek ruang lingkupnya; yaitu keyakinan akan adanya kekuatan gaib. Manusia berkeyakinan bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib; 4. Dari aspek pemasyarakatannya; yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi; 5. Dari aspek sumbernya; yaitu kitab suci. C. Definisi Islam Secara etimologis, term �Islam� berasal dari bahasa Arab terambil dari kata salima yang berarti selamat, sentosa, dan damai.

Dari kata salima berubah menjadi aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.26 Dengan demikian, dari sisi kebahasaan, Islam berarti patuh, tunduk, taat, hutang, balasan, dan berserah diri dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.27 Secara terminologis, Islam adalah agama yang ajaran- ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul.28 Islam adalah agama perdamaian yang memiliki dua ajaran pokok, yaitu keesaan Tuhan dan persaudaraan umat manusia yang selaras dengan namanya.29

Di Barat, Islam diidentikkan dengan Muhammedanism atau Muhammedan. Penamaan ini diberikan karena berdasarkan pengalaman mereka bahwa agama yang ada selalu dinisbatkan kepada pendirinya, seperti agama Zoroaster di Persia didirikan oleh Zarathustra (w. 583 SM). Kemudian agama Budha di India dikaitkan dengan Sidharta Gautama Budha (l. 560 SM). Lalu agama Yahudi di Israel disandarkan kepada orang-orang Yahudi (Jews) asal nama dari negara Juda (Judea) atau Yahuda.30

Penyebutan istilah ini tidak tepat dan secara prinsipil salah karena Muhammedanism dapat diartikan paham Muhammad atau pemujaan terhadap Muhammad. Berbeda 26 Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), (Jakarta; Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1980), h. 2. 27 Nasruddin Razak, Dinul Islam, (Cet. II; Bandung: Al-Ma�arif, 1977), h. 56. 28 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1979), h. 9. 29 Maulana Muhammad Ali, Islamologi...Loc. Cit. 30 Nasruddin Razak, Dinul ....Op. Cit.,h. 55.

halnya dengan Budha yang berarti ajaran atau paham yang berasal dari Sidharta Gautama Budha.31 Berdasarkan keterangan di atas maka kata Islam adalah mengacu pada agama yang bersumber dari wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan dari manusia atau Nabi Muhammad SAW. doktriner, tetapi lebih dari itu ialah pengkajian juga menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, baik secara teologis, sosiologis, antropologis, kultural, kebudayaan, historis, pendidikan, psikologis, hukum, pemikiran, maupun secara ekonomi. Dengan demikian secara terminologis Islam adalah nama bagi suatu agama yang berasal dari Allah SWT. Islam bukan nama yang diberikan manusia tetapi oleh Allah SWT sendiri.

Dilihat dari konteks misi ajarannya, Islam adalah agama sepanjang zaman/sejarah manusia. Agama dari seluruh Nabi dan Rasul sejak Adam as. sampai Muhammad SAW. D. Definisi Studi Islam Studi berasal dari bahasa Inggris, yaitu study yang dapat diartikan dengan penelitian, pengkajian, atau analisis. Penelitian berati pemeriksaan, penyelidikan yang dilakukan dengan berbagai cara secara seksama dengan tujuan mencari kebenaran-kebenaran yang obyektif yang disimpulkan melalui data-data yang terkumpul.

Kebenaran-kebenaran obyektif yang diperoleh tersebut kemudian digunakan sebagai landasan untuk pembaruan, pengembangan, atau perbaikan dalam masalah- masalah teoritis dan praktis dalam bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan.32 Jadi Studi Islam (Islamic Study) adalah pengkajian tentang ilmu-ilmu keislaman dan perilaku manusia. Pengkajian tersebut tidak hanya tertuju pada aspek-aspek normatif E. Definisi Metodologi Studi Islam Berangkat dari deksripsi di atas, maka definisi Metodologi Studi Islam dapat diterjemahkan di sini sebagai cara yang ditempuh seseorang untuk melakukan pengkajian holistik dan konprehensif terhadap ilmu-ilmu keislaman dan realitas perilaku kehidupan manusia, baik pada tataran teoritis maupun pada tataran praksis.33

Metodologi Studi Islam dapat juga diberikan pengertian sebagai pengetahuan tentang sejumlah pendekatan dan metode yang dipergunakan dalam penelitian terhadap agama Islam, baik dari aspek doktrin normatifnya maupun aspek keberagamaannya. 31 Nasruddin Razak, Dinul ....Ibid. 32 H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan: Islam dan Umum, (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 142. 33 Diadaptasi dari Akhmad Taufik et. al., Metodologi Studi Islam: Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru, (Cet. I; Malang- Jatim: Bayumedia Publishing, 2004), h. 5.

BAB II STUDI ISLAM SEBAGAI DISIPLIN ILMU A. STUDI AGAMA: PROBLEM OBYEK STUDI DAN DEFINISI Sesungguhnya menjadikan agama sebaga obyek studi merupakan agenda yang cukup sulit untuk dilakukan sebab sarat dengan problematika yang mengitarinya. Paling tidak mengacu pada dua hal mengapa sehingga dikatakan cukup sulit, yaitu: Pertama, mengkaji berarti secara tidak langsung telah dilakukan obyektivasi atau penjarakan terhadap obyek kajiannya.

Dalam studi agama, nilai-nilai obyektivitas harus dijunjung tinggi karena sikap obyektif tidak hanya diberlakukan untuk menjustifikasi pihak lain akan tetapi lebih dari harus berlaku pula pada diri sendiri. Setiap manusia hampir dipastikan telah bergumul dengan aspek-aspek keagamaan dalam hal yang positif atau sebaliknya justru negatif, bahkan resisten sama sekali, sehingga manusia memiliki pengalaman keagamaan yang variatif.

Oleh karena itu, agar mampu melakukan obyektivasi terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan usaha yang serius, melainkan juga diperlukan ketelatenan dan latihan rutin. Kedua, secara tradisional agama dipahami sebagai sesuatu yang suci, sakral, secret, dan agung. Menempatkan nilai semacam itu dalam posisi netral akan dianggap sebagai mereduksi, melecehkan, atau bahkan merusak tatatan nilai tradisional agama. Keterlibatan para penganut agama secara bertingkat memunculkan rasa pengabdian dan kesediaan untuk berkorban bagi keyakinannya.

Setiap usaha untuk menjadikan agama sebagai obyek studi selalu memiliki resiko yang berhadapan langsung dengan reaksi para penganutnya, yang tidak jarang cukup fatal.1 Sifat agama sebagai obyek kajian, dalam dirinya sendiri merupakan sumber dari segala kerumitan usaha situasi terhadapnya. Sampai kini belum terjadi kesepakatan bersama para pengkaji mengenai batasan agama; belum ditemukan di mana pangkal dan ujungnya serta dari mana akan dimulai sebab agama muncul dari fenomena yang kompleks dan mengkristal serta tidak mudah dikonsepsikan.

Ia masuk dalam relung-relung kehidupan manusia, sehingga studi terhadap agama selalu berhimpitan dengan kajian terhadap bidang-bidang lain.2 Penelitian agama Islam yang bagaimanakah yang diperlukan? Apakah syarat-syarat yang harus dimiliki oleh peneliti? Apakah metodologi yang tepat untuk itu? Apa saja bidang kajian penelitian agama Islam? Penelitian agama Islam tampaknya melebihi penelitian sains dan teknologi. Artinya, dalam penelitian agama Islam tidak hanya cukup dengan menguasai kaidah-kaidah dan dimensi ilmiah sebagaimana dalam penelitian sains dan teknologi, tetapi juga diperlukan kaidah dan dimensi lain. Mengingat jangkauan ajaran Islam melampaui kerja resiko (akal).

1 Jacques Waardenburg, Classical Approach to the Study of Religion, (London: The Hague, 1973), h. 2, dalam Ahmad Norma Permata, �Pendahuluan Editor�, Metodologi Studi Agama, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 17. 2 Ignas Kleden, �Dialog Antaragama: Kemungkinan dan Batas- batasnya�, Agama dan Tantangan Zaman, Kumpulan Artikel Prisma 1975-1984, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 157. Oleh karena itu, seorang peneliti agama Islam selain harus menguasai kaidah-kaidah keilmuan, ia juga harus mampu mengimani kebenaran ajaran tersebut.

Di samping itu, ia juga harus menguasai beberapa hal, antara lain: 1. Menguasa numenklatur ajaran Islam, mulai dari filsafatnya sampai dengan istilah-istilah yang dipergunakan; 2. Menguasai metodologi penelitian ilmiah sama dengan bidang kajian dan masalahnya: Tarbiyah, Syari�ah, Ushuluddin, Adab (Kebudayaan dan Sastra Arab), Filsafat, Sejarah, Kealaman (Kauniyah), dan sebagainya.

Karena tidak ada satu metodologi yang sempurna, seorang peneliti juga perlu menguasai prinsip-prinsip dasar umum di luar bidang spesialisasinya dan berbagai metode penelitian ia mampu memberikan analisisnya secara luas dan komprehensif; 3. Memiliki komitmen yang tinggi yaitu kesediaan akan keharusan untuk mengakui kebenaran nilai yang datang dari ajaran agama; 4. Beragama Islam atau Muslim yang memiliki kedalaman agama dan kedalaman sains dan teknologi.

Dengan syarat ini peneliti akan mampu memandang sains dan teknologi tidak bebas nilai, artinya selalu terkait dengan wahyu Tuhan Yang Maha Esa; 5. Minimal perlu menguasai dua bahasa asing, yaitu Arab dan Inggris karena banyak ajaran agama Islam yang ditulis dalam dua bahasa tersebut. Kesulitan pertama yang lazimnya muncul adalah persoalan perumusan definisi. Dalam berbagai literatur ditemukan beragam batasan tentang agama. Namun terlepas dari kendala perumusan definisi, beberapa intelektual Muslim mengajukan konsep tentang obyek studi agama.

Pada tataran ini, Durkheim serta ilmuwan-ilmuwan lain yang mengikutinya membagi bidang kajian agama pada dua hal, yaitu beliefs and practices.3 Beliefs bermakna kepercayaan atau keyakinan; sedang Practices berarti aplikasi dari ajaran yang dipercayai atau diyakini tersebut. Sementara itu, Taufiq Abdullah menyebutkan bahwa terdapat tiga kategori aspek keagamaan sebagai sebuah fenomena yang menjadi obyek penelitian, yakni:4 1. Agama sebagai doktrin, yaitu mempersoalkan substansi ajaran dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran.

Beberapa pertanyaan yang muncul adalah: Apakah substansi dari keyakinan religius itu? Apa makna ajaran agama itu bagi pemeluknya? 2. Struktur dan dinamika masyarakat agama, yakni meninjau dan menelusuri agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah. Agama merupakan salah satu landasan terbentuknya suatu komunitas kognitif. Artinya agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas sosial atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama, yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama pula.

Komunitas kognitif yang menyatakan bahwa Tuhan Mutlak Satu merupakan pengetahuan 3 Emile Durkheim, dalam Jalaluddin Rahmat, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001), h. 88. Lihat juga Taufiq Abdullah dan M. Rusli karim, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Cet. II; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 92. 4 Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi � Ibid., h. xiii-xv. yang mutlak benar bagi agama Islam.

Trimurti hanya riil bagi agama Hindu, atau Tritunggal (Roh Kudus, Jesus, dan Tuhan) adalah benar bagi agama Kristen, dan seterusnya. Beberapa pertanyaan yang muncul: Bagaimana corak dan bentuk tatanan sosial tersebut? Apakah sistem pelapisan sosial? Sejauhmanakah tatanan tersebut merupakan pantulan dari keharusan doktrin agama? 3. Keberagamaan (regiousity), yakni sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya serta corak dan tingkat keberagamaan penganut agama.

Pertanyaan yang akan muncul dalam persoalan ini antara lain: Faktor-faktor apa yang menyebabkan perbedaan sikap keberagamaan pemeluk agama terhadap ajaran agamanya? Dalam pada itu, Jalaluddin Rahmat berdasarkan hasil analisisnya, ia membagi bidang pengkajian agama dalam dua hal, yakni:5 1. Ajaran (beliefs) merupakan teks baik secara lisan maupun tulisan yang sakral dan menjadi rujukan bagi pemeluk agama, seperti nash al-Quran dan al-Hadis bagi agama Islam; Injil bagi agama Kristen, atau Weda bagi agama Hindu. 2.

Keberagamaan (religiousity), yakni perilaku yang bersumber secara langsung atau tidak langsung dari nash-nash. Keberagamaan muncul dalam lima dimensi, yaitu: 5 Jalaluddin Rahmat, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi� Ibid., h. 92-94. a. Dimensi ideologis adalah dimensi yang berkenaan dengan seperangkat kepercayaan yang memberikan premis eksistensial untuk menjelaskan Tuhan, alam, dan manusia, serta bagaimana hubungan di antara ketiganya. Kepercayaan ini berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia; b.

Dimensi intelektual, yakni dimensi yang lebih mengacu pada pengetahuan agama apa yang sedang atau harus diketahui orang tentang ajaran agamanya. Studi dapat diarahkan pada tingkat pemahaman atau ketertarikan seseorang untuk mempelajari agama; c. Dimensi eksperiensial, yaitu dimensi yang menyorot keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah perasaan keagamaan (religion feeling) yang bergerak pada empat tingkat, yaitu: (1) Konfirmatif; merasakan kehadiran Tuhan atas apa saja yang diamatinya; (2) Responsif; merasa bahwa Tuhan menjawab kehendak atau keluhannya; (3) Asketik; merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan; (4) Partisipatif; merasa menjadi kawan setia, kekasih, atau wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam melakukan karya Iahiah: d.

Dimensi ritualistik, yakni dimensi yang akan merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama atau yang dilaksanakan oleh pengikutnya. Studi dapat diarahkan pada frekuensi, prosedur, pola sampai kepada makna ritus tersebut dalam konteks individual, sosial, maupun kultural; e. Dimensi konsekuensial/sosial, yaitu segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Studi lebih diarahkan pada efek sosial dari ajaran agama seperti etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian terhadap penderitaan orang lain, dan sebagainya.

Dalam konteks obyek studi agama (Islam) juga, Jujun S. Surisasumantri menyampaikan bahwa wujud yang menjadi obyek penelitian pada hakikatnya dapat digolongkan menjadi dua ketegori, yakni:6 1. Ide atau gagasan (idea) adalah seperangkat pernyataan mengenai obyek tertentu. Ide dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu ide yang merupakan gagasan manusia dan ide yang berasal dari Tuhan dalam bentuk wahyu lewat Pesuruh yang diutus-Nya.

Gagasan manusia dapat berbentuk pengetahuan dalam berbagai bidang seperti filsafat, etika, estetika, dan teori ilmiah. Kumpulan wahyu Tuhan yang berbentuk kitab suci dapat dirinci lebih lanjut menjadi pengetahuan tentang keimanan (teologi), peribadatan, hukum, dan moralitas (akhlak). 2. Fakta (fact) merupakan pengetahuan yang didapatkan langsung melalui pengalaman. Fakta merupakan unsur yang membentuk realitas empiris, seperti yang dinyatakan oleh Wittgenstein bahwa dunia adalah totalitas fakta. 6 Jujun S.

Suriasumantri, �Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi�Op. Cit., h. 75-76. Pada sisi lain, Mastuhu juga menyampaikan bidang kajian penelitian agama Islam, yaitu:7 1. Ajaran agama, yakni untuk mencari makna yang terkandung di dalamnya baik secara tekstual maupun kontekstual. Dalam kenyataannya, ada ajaran yang bersifat qath�i, yaitu ajaran kebenarannya harus menerima apa adanya dan tidak perlu dipertanyakan lagi.

Terhadap hal seperti ini sesungguhnya peneliti cukup mengimaninya saja. Misalnya, apakah Nabi Ibrahim a.s. itu pernah ada atau tidak? Ini bukan pertanyaan agama, tetapi hal itu bisa saja merupakan pertanyaan sejarah. Oleh karena itu, bagi peneliti agama Islam tidak akan menjawab pertanyaan seperti itu, tetapi memusatkan perhatiannya pada ajaran Nabi Ibrahim a.s. Sebaliknya, menurut para ahli agama Islam, bagian terbanyak ajaran agama Islam adalah dzanni, yaitu yang terbuka untuk ditafsirkan atau dipikirkan kembali oleh para sarjana muslim (�ulama).

Oleh karena itu, lahan penelitian agama Islam sebagian besar justru terletak di sini, yaitu telaah terhadap ajaran Islam yang bersifat dzanni dan hasil ijtihad ulama. Digali makna apa yang terkandung di dalamnya. Kerja- kerja di sini dapat melalui penelitian teks, penelitian budaya, penelitian filsafat, dan penelitian sejarah. 2.

Selain ajaran, bidang kajian penelitian agama juga menyangkut persoalan implikasi, aplikasi, dan dampak ajaran agama dalam tata kehidupan nyata, baik dalam skala individual, keluarga, kelompok, komunitas 7 Mastuhu, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi�Ibid., h. 132-134. (society) maupun bangsa dan negara. Misalnya, bagaimana pengaruh ajaran agama terhadap nilai-nilai luhur, tradisi kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan, dalam suatu bangsa dan sebagainya.

Bagaimana kerja sama antara umat beragama, seberapa jauh ajaran agama mendasari dan menjiwai serta memberikan pedoman dalam hidup keseharian umatnya. Interaksi antara ajaran agama dan ajaran-ajaran yang bersumber non- agama, dan seterusnya. Demikian pula dengan persoalan keterkaitan antara ajaran agama dengan struktur sosial budaya, kekuasaan, pemerintahan, politik, ekonomi, dan sebagainya. B. STUDI ISLAM SEBAGAI DISIPLIN ILMU Studi Islam (Islamic Studies) untuk disebut sebagai satu disiplin ilmu agaknya harus dipetakan terlebih dahulu.

Jika ditilik dari sisi normatif, studi Islam nampaknya kurang tepat bila dikatakan sebagai satu disiplin ilmu sebab studi Islam masih sarat dengan beban berupa muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks- teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.8 Jika demikian adanya, maka secara simpel dapat dikatakan bahwa secara normatif seperti yang terdapat dalam al- empiris.

Sebagai sebuah agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Sedangkan jika ditilik dari sisi historis, yakni Islam dalam arti yang dipraktekkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yaitu Ilmu Ke-Islaman (Islamic Studies). Argumen lain menyatakan bahwa ketika Islam dipandang dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah.9

Namun ketika Islam dipandang dari sudut historis atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai satu disiplin ilmu, yaitu Studi Islam (Islamic Studies).10 C. STUDI ISLAM DAN SAINS ISLAM Antara Studi Islam dengan Sains Islam oleh sebagian pakar menyebutkan terdapat perbedaan. Sayyed Hossein Nashr menyatakan bahwa Sains Islam adalah sains yang dikembangkan oleh kaum Muslimin sejak abad kedua Masehi, 9 Mahmud Syalthout dalam bukunya Al-Islam wa al-Syari�ah memiliki argumen yang identik dengan Maulana Muhammad Ali dalam bukunya Islamologi yang menyatakan bahwa Islam terdiri dari ajaran keimanan yang merupakan pokok dan ajaran ibadah yang merupakan cabang. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet. IV; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 103.

Quran dan al-Hadis, Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yakni paradigma analitis, kritis, metodologis, historis, dan 8 Amin Abdullah, Studi Agama: Normatifitas dan Historisitas, (Cet. I; 10 Harun Nasution menyatakan bahwa Islam tidak hanya mempunyai satu atau dua aspek saja, tetapi lebih dari itu, Islam sejatinya memiliki banyak aspek, yaitu aspek teologi, aspek ibadat, aspek moral, aspek mistisime, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan, dan sebagainya.

Lihat Harun Nasution dalam Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Demikian pula Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam menyebutkan bahwa Islam memiliki aspek hukum teologi, syariah, filsafat, tasauf, dan pendidikan. yang keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian prestasi yang sangat besar dalam peradaban Islam. Selama kurang lebih tujuh ratus tahun, sejak abad kedua sampai abad kesembilan Masehi, peradaban Islam merupakan sosok peradaban yang paling produktif dibanding peradaban lain dalam konteks sains; dan sains Islam berada pada gerda terdepan dalam berbagai kegiatan mulai dari kedokteran sampai astronomi.11

Dari penjelasan tersebut maka dapat dipahami bahwa Sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern, seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, dan pengetahuan modern lainnya yang dikonstruksi di atas fondasi yang sarat dengan nilai-nilai keislaman. Sedang studi Islam ialah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang diterjemahkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Kemudian pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya tersadur dari ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, akhlak, membaca al-Quran, dan ajaran-ajaran Islam murni lainnya.

Berdasarkan hasil pemetaan tersebut, maka lahirlah lembaga pendidikan secara formal, seperti Madrasah Diniyah yang secara khusus mengajarkan pengetahuan agama; Madrasah Ibitidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, Institut Agama Islam yang membelajarkan Studi Islam yang meliputi Tafsir, Hadis, Teologi, Filsafat, Tasauf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Pendidikan Islam; lalu Universitas Islam yang di dalamnya diajarkan sejumlah ilmu pengetahuan modern bernuansa Islam yang kemudian disebut Sains Islam.

11 Sayyed Hossein Nashr, Knowledge and the Sacred, (Edinburgh: BAB III PENDEKATAN-PENDEKATAN STUDI ISLAM Pendekatan yang dimaksud dalam studi agama adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam penelitian agama. Terdapat sejumlah pendekatan dalam penelitian agama, antara lain: pendekatan teologis-normatif; pendekatan antropologis; pendekatan sosiologis; pendekatan filosofis; pendekatan historis; pendekatan kebudayaan; pendekatan psikologi; pendekatan tasauf; pendekatan fikih/hukum Islam; pendekatan politik; pendekatan ekonomi; pendekatan tipologi; dan sebagainya. A.

PENDEKATAN TEOLOGIS-NORMATIF1 Pendekatan teologis diterjemahkan sebagai upaya memahami atau meneliti agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Pendekatan ini bersifat partikularistik, dogmatis, fanatik, eksklusif, arogan, dan tidak jarang terjadi klaim kebenaran (truth claim). Pendekatan ini lebih menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing- masing mengklaim dirinyalah yang paling benar dan sebaliknya yang lain salah. Menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinannya yang diyakini benar 1 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet.

IV; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 28-35. dan mutlak adanya karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang belum dinalar manusia.

Misalnya, Islam secara normatif pasti benar, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur; secara sosial menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti ukhuwwah, ta�awwun, tasamuh; secara ekonomi Islam menawarkan konsep keadilan, kejujuran, konsistensi, kepercayaan; secara saintek Islam memotivasi pemeluknya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pendekatan ini memandang agama sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak berifat ideal. Secara tradisional dikenal sejumlah aliran teologi dalam Islam, yaitu aliran Sunni, Syi�ah, Jabariah, Qadariah, Khawarij, Murji�ah, Mu�tazilah, Asy�ariah, Salafiyah, dan sebagainya.2

Sedang dalam konteks kemoderenan, Saayed Hossein Nashr menyebutkan empat tipologi pemikiran keagamaan, yaitu fundamentalis, modernis, messsianis, dan tradisionalis. Keempat tipologi pemikiran tersebut tidak mudah untuk disatukan karena masing-masing mempunyai �teologi� yang berbeda-beda.3 Fenomena keagamaan yang menarik untuk diteliti dengan menggunakan pendekatan teologis-normatif, misalnya: 2 Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986). 3 Lihat Abuddin Nata, Metodologi...Op. Cit., h. 29. 1.

Melacak teologi yang dianut golongan Ahmadiyah terkait dengan ajaran dan keyakinannya; 2. Organisasi Jamaah Tabligh terkait dengan aktivitas dakwahnya; 3. Komunitas muslim Gulamas dan Welado terkait dengan etos dagangnya; 4. Komunitas muslim Bugis, Makassar, Betawi, dan Bima tentang keinginan kuat mereka untuk naik haji; 5. Sekte Kristen Davidian pimpinan David Coresh bersama 80 orang pengikutnya melakukan bunuh diri massal pada April 1993; 6.

Sekte Shinto Aum Shinrikyu yang melakukan pembunuhan dengan menebarkan gas beracun di Jepang; 7. Sekte Hari Kiamat Kristen yang ingin menjemput kedatangan Hari Kiamat pada tanggal 9 bulan 9 tahun 1999 jam 9 menit ke-9 detik ke-9; 8. Sekte Pondok Nabi di Bogor Jawa Barat; 9. Seorang ibu yang terkenal fanatik bunuh diri setelah membunuh 4 anaknya dengan cara minum racun yang diracik dalam bentuk pil di Malang Jatim dan sebelumnya menulis pesan lewat surat dan mengabadikan prosesi pembunuhan itu melalui Hand Phone.

Keyakinan akan teologi yang dianut dapat melahirkan sebagian sifat yang terkesan negatif, tetapi keyakinan teologis ini memberikan corak khas kepada agama karena sifat militansinya yang begitu tinggi. Solusi atas masalah ini adalah munculnya wacana teologi masa kritis, yaitu usaha manusia untuk memahami penghayatan iman atau agamanya; suatu penafsiran atas sumber- sumber asli dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini; atau teologi yang bergerak di antara dua kutub, yaitu teks dan konteks (situasi), masa lampau dan masa kini. Sifat kritis merupakan ciri dari teologi ini.

Kritiknya pertama-tama ditujukan kepada agamanya sendiri sebagai sebuah institusi sosial, lalu kepada situasi yang dihadapinya. Teologi ini tidak hanya berhenti pada pemahaman mengenai ajaran agama, tetapi mendorong terjadinya transformasi sosial, sehingga teologi ini biasa disebut teologi kepedulian sosial atau teologi transformatif.4 B. PENDEKATAN ANTROPOLOGIS5 Parsudi Suparlan dalam salah salah satu tulisannya mengemukakan bahwa: �Agama secara mendasar dan umum dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur manusia dengan lingkungannya.�6 Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin yang terwujud sebagai teks suci.

Adapun hubungan agama dengan manusia yang menyakininya, dan 4 M. Sastrapratedja, �Agama dan Kepedulian Sosial�, dalam Soetjipto Wirosardjono, Agama dan Pluralitas Bangsa, (Cet. I; Jakarta: P3M, 1991), h. 83. 5 Lihat Abuddin Nata, Ibid., h. 35-38. 6 Parsudi Suparlan, �Kata Pengantar�, dalam Roland Roberston, Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosilogis, (Jakarta: Rajawali, 1988), h. v.

Lihat juga Parsudi Suparlan, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Antropologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001), h. 179. khususnya kegiatan-kegiatan manusia yang menjadi penganut agama tersebut, tidak tercakup dalam definisi tersebut. Para ahli ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi dan antropologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat, telah mencoba untuk melihat dan mengkaji agama sesuai dengan perspektif yang sejalan dengan corak dari bidang dan pendekatan sosiologi atau antropologi masing-masing.

Kajian-kajian tersebut dilakukan dalam upaya memahami makna dan hakikat agama di dalam dan bagi kehidupan manusia orang per orang maupun dalam kehidupan masyarakat. Diantara upaya yang telah dilakukan oleh para ahli antropologi untuk dapat memahami hakikat agama di dalam dan bagi kehidupan manusia sejumlah tulisan telah diterbitkan, antara lain oleh Geertz (1966),7 Lessa dan Vogt (1972),8 serta Robertson (1972),9 yang bertujuan agar dapat digunakan sebagai acuan bagi pendekatan-pendekatan dalam pengkajian agama, termasuk pengkajian agama Islam dalam kehidupan masyarakat-masyarakat pemeluknya.

Di antara tulisan-tulisan yang telah dihasilkan dari kajian-kajian empirik, antara lain 7 Clifford Geertz, �Religion as a Cultural System�, dalam Michael Burton, Anthropological Approaces to the Study of Religion, (London: Tavistock, 1966). Lihat juga Clifford Geertz, Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia, (Chicago: Uiniversity of Chicago Press). 8 William A. Lessa dan Evon Z. Vogt (Eds.), Reader in Comparative Religion: An Anthropological Approach, (New York: Harper and Row Publisher). 9 Roland Robertson (Ed.),

The Sociological Interpretation of Religion, (Oxford: Basil Blackwell, diterj., Agama dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis, (Rajawali: Jakarta, 1988). adalah oleh Geertz (1963 dan 1971), Suparlan (1995),10 dan Woodward (1989).11 Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropologi, seperti tersebut diatas dalam pengkajian agama adalah pendekatan kebudayaan yang dilakukannya secara eksplisit ataupun secara implisit.

Yaitu, melihat agama sebagai kebudayaan dan melihat agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan menjadi inti kebudayaan yang terwujud dan mengejawantah sebagai nilai budaya dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Kajian Geertz mengenai agama abangan, santri, dan priyayi adalah kajian mengenai variasi keyakinan-keyakinan Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa sesuai dengan konteks lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing, bukannya kajian mengenai teologi Islam.

Begitu juga kajian Suparlan mengenai Orang Jawa di Suriname mengenai variasi keyakinan Islam mereka yang tergolong tradisional (bersembahyang ke arah Barat) dan modern (bersembahyang menghadap ke arah Timur) adalah kajian mengenai Islam yang hidup dalam masyarakat Jawa Suriname dan bukannya mengenai Islam yang ada dalam teks suci al- Quran dan Hadis. Pendekatan antropologi dalam penelitian agama diartikan sebagai upaya meneliti agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Pendekatan ini melihat agama nampak dekat 10 Parsudi Suparlan, The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethically Plural Society Tempe, (Arizona:Program for Southeast Asia Studies Arizona State University, 1995). 11 Mark R. Woodward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, (Tucson, Arizona: The University of Arizona Press, 1989). dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berusaha memberikan jawabannya.

Pendekatan ini menggunakan cara berpikir induktif dan grounded dengan teknik observasi partisipatif. Sejumlah kasus ditemukan bahwa terdapat hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Misalnya, golongan miskin lebih tertarik pada gerakan keagamaan yang bersifat messianis (perubahan tatanan kehidupan). Contoh penelitian dengan model ini di antaranya: 1.

Karl Marx (1818-1883)12 memperkenalkan teori konflik karena menurutnya agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh agama yang mendukung kapitalisme di Eropa Kristen; 2. Max Weber (1864-1920)13 memandang adanya korelasi positif antara ajaran Protestan (Calvinisme) dengan munculnya semangat kapitalisme modern; 3. Robert N. Bellah14 melalui karyanya The Religion of Tokugawa melihat adanya korelasi yang signifikan antara ajaran agama Tokugawa (semacam akulturasi ajaran agama Sinto dan Budha di masa pemerintahan Meiji) dengan semangat etos kerja orang Jepang modern; 12 Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy, Vol.

I, (New York: International Publisher, 1967). 13 Max Weber, The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, (New York: Schribner�s, 1958). 14 Robert N. Bellah, Religi Tokugawa: Akar-Akar Budaya Jepang, diterj. Wardah Hafidz dan Wiladi Budiharga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992). 4. Maxime Rodinson15 seorang Yahudi menulis Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau minimal tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme. Pendekatan antropologi juga melihat hubungan agama dengan mekanisme pengorganisasian sosial (sosial organization), seperti: 1.

Clifford Geertz16 dalam karyanya The Religion of Java menemukan adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat Muslim Jawa di Desa Mojokuto, yaitu santri, priyayi, dan abangan; 2. Muhammad Alifuddin17 dalam disertasinya Islam Buton menyanggah klasifikasi tersebut bahwa di Buton kelompok santri include di dalamnya kelompok priyayi sebab Islamisasi pertama terjadi pada kelompok elit kerajaan beserta keluarga besarnya, sehingga ia menyimpulkan bahwa Islam Buton sesungguhnya Islam Elit.

Adapun abangan berada pada kelompok lain. Berdasarkan pendekatan antropologis juga ia menyebutkan bahwa jabatan Imam atau menjadi Imam di Masjid Keraton Buton hanya bisa dijabat atau dilakukan oleh mereka yang berasal dari strata Kaumu dan Walaka, sedangkan Papara tidak bisa menjadi imam. Fenomena relasi agama dan negara dapat pula diteliti 15 Maxime Rodinson, Islam and Capitalism, (Penguin Book, 1980).

16 Clifford Geertz , �The Religion of Java�, diterj. Aswab Mahasin, Abangan, Santri, dan Priyai dalam Masyarakat Jawa, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1989). 17 Muhammad Alifuddin, �Islam Buton�, Desertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006). dengan menggunakan pendekatan antropologis, misalnya: 1. Negara agama Vatikan jika dibandingkan dengan negara-negara sekuler sekelilingnya di Eropa Barat; 2. Negara Turki modern yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak bisa ditawar-tawar; 3.

Kerajaan Arab Saudi dan Republik Islam Iran tentang perbandingan dalam sistem pemerintahannya yang sama-sama menyebutkan Islam sebagai asas tunggal. Sebaliknya, Republik Indonesia sebagai negara yang mayoritas muslim tetapi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Hubungan antara agama dengan psikoterapi dalam dunia psikologi juga dapat menggunakan pendekatan antropologis, misalnya: 1. Penelitian Sigmund Freud (1856-1939)18 mengaitkan antara agama dengan Oedipus Kompleks, yaitu pengalaman infantil seorang anak di hadapan kekuasaan dan kekuatan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis; 2. C.G.

Jung menemukan sebaliknya bahwa terdapat korelasi yang sangat positif antara agama dengan kesehatan mental; Demikian pula dengan bantuan cabang ilmu antropologi, seperti arkeologi dan geografi dapat diteliti keberadaan bangkai kapal Nabi Nuh di gunung Arafat atau gua- gua yang ditempati Ashabul Kahfi (Maximilianus, Dexlitianus, dkk) dan bagaimana mereka dapat bertahan hidup selama lebih kurang 300 tahun. C. PENDEKATAN SOSIOLOGIS19 1. Overview Sosiologi Sosiologi merupakan suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat, lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.

Melalui sosiologi dapat dianalisis masalah relasi sosial, interaksi sosial, mobilitas sosial, konflik sosial, integrasi sosial, baik proses, faktor pendorong, maupun keyakinan yang memicunya. Penelitian sosiologi yang dapat dilakukan misalnya, penelitian tentang peristiwa Nabi Yusuf yang dahulunya budak lalu akhirnya menjadi raja di Mesir; mengapa Nabi Musa dalam melaksanakan tugasnya selalu dibantu oleh Nabi Harun dan Nabi Khaidir.

Dalam bukunya berjudul Islam Alternatif, Jalaludin Rahmat telah menunjukan betapa besarnya perhatian agama Islam terhadap masalah sosial dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut.20 a. Al-Quran atau Hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayat Allah Ruh Allah Khomeini al-Musawiy dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dengan ayat-ayat yang menyangkut 18 Sigmund Freud, �Ueber Psychoanalyse: F�nf Vorlesungen�, diterj. K.

Bertens, Memperkenalkan Psikoanalisa: Lima Ceramah, (Cet. V; Jakarta: Gramedia, 1984). 19 Lihat Abuddin Nata, Metodologi...Op. Cit., h. 38-42. 20 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1991), dalam Abuddin Nata, Metodolodi...Ibid., h. 40-41. kehidupan sosial adalah 1:100; b. Ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh dipendekkan atau ditangguhkan tetapi tidak ditinggalkan; c.

Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perseorangan; d. Dalam Islam terdapat ketentuan bahwa bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat (tebusan)-nya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial, seperti tidak mampu puasa cukup dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan fakir miskin; e. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnat.

Misalnya dalam Hadis: �Orang yang bekerja keras untuk menyantuni jAnda dan orang miskin adalah seperti berjuang di jalan Allah; dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan berpuasa.� (HR. Bukhari dan Muslim); �Maukah kamu aku beritahukan derajat apa yang lebih utama dari pada shalat, puasa, dan sedekah, (sahabat menjawab): tentu, yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar.� (HR.

Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Hibban) Pada dasarnya sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan sosial manusia dalam tata kehidupan bersama. Ilmu ini memusatkan telaahnya pada kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial lengkap dengan produk kehidupannya. Sosiologi tidak tertarik pada masalah- masalah yang sifatnya kecil, pribadi dan unik, tetapi sebaliknya ia tertarik pada masalah-masalah yang sifatnya besar dan substansial serta dalam konteks budaya yang lebih luas.

Jasa utama sosiologi terletak pada kemampuannya menjelaskan hal- hal yang partikuler kedalam konteks yang abstrak dan sederhana, tanpa kehilangan makna esensialnya serta melampaui batas-batas keberlakuan disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya, misalnya antropologi. Biasanya antropologi memusatkan studinya pada masalah kebudayaan kelompok atau suku bangsa tertentu dan hasil temuannya sebatas kelompok masyarakat atau suku bangsa yang menjadi objek studinya; atau ilmu ekonomi yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara bagaimana orang memenuhi kebutuhannya dengan prinsip dasar: �berusaha dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya terutama yang berkaitan dengan uang atau benda dan jasa�.

Ilmu sejarah tertarik pada peristiwa-peristiwa lampau dan signifikasikannya dengan masa kini. Psikologi mempelajari kepribadian, baik individual maupun kolektif. Seorang ahli hukum memusatkan perhatiannya pada perundang-undangan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang secara sah mengikat tingkah laku warga masyarakat yang bersangkutan. Ia tahu persis kapan suatu kontrak bisnis bersifat mengikat, kapan seorang sopir mobil dianggap melanggar, kapan suatu perbuatan bersifat memperkosa dan sebagainya.

Adapun sosiologi memusatkan perhatiannya pada persoalan pengaruh kelompok pada sikap-sikap dan perilaku anggotanya. Berbeda dengan cara kerja ilmu hukum misalnya, yang bekerja dengan konsepsi-konsepsi resmi dari suatu situasi; sosiologi bekerja dengan konsep-konsep yang sangat tidak resmi. Bagi seorang ahli hukum hakiki, yang harus dipahami adalah bagaimana hukum melihat jenis kejahatan tertentu; sedangkan pakar sosiologi melihat hal itu sama pentingnya dengan melihat bagaimana seorang penjahat melihat hukum.

Sosiologi melihat nilai-nilai hukum berbeda dibalik hubungan atau interaksi kehidupan manusia di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, sosiologi bekerja diluar relevansi sosiologi. Namun, sesungguhnya semua ilmu-ilmu sosial bertugas memahami yang lahiriah (manifest) untuk sampai kepada makna yang sebenarnya (latent). �Dunia bukanlah seperti yang tampak�, demikian kata Robert K. Merton, sebagaimana dikutip oleh Peter L. Berger.21

Dari kutipan itu seseorang sadar bahwa sebuah tradisi keilmuan manusia, termasuk didalamnya sosiologi, hanya dapat meneliti apa yang manifest. Sebihnya mereka hanya bisa berspekulasi untuk meramalkan yang latent. Jadi, selalu ada gap antara yang lahiriah dan yang batiniah. Inilah sebabnya mengapa seseorang menemukan sebuah metodologi penelitian yang bebas dari spekulasi dan kesalahan. Masalahnya sekarang adalah bagaimana cara memperkecil kesalahan dan mempertajam ketepatan pengukuran sehingga jarak antara yang manifest dan yang latent dapat diperkecil sekecil mungkin. Dan 21 Lihat Peter L. Berger, dalam Mastuhu, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Op.

Cit., h. 108. di sini pulalah yang menyebabkan tradisi ilmiah tidak mengenal kata �berhenti�. Meskipun kerja sosiologi berpeluang melampaui kerja ilmu-ilmu sosial lainnya, hal ini tidak berarti bahwa kedudukan sosiologi itu lebih �super� di antara mereka. Sosiologi hanya mampu memberikan pemahaman yang berskala makro dan mendasar serta dedukatif. Dengan demikian, suatu konsep yang secara sosiologis sudah jelas akan kembali menjadai kabur jika arti konsep itu dipertanyakan secara rinci. Misalnya, konsep �desa-kota�.

Dalam perspektif sosiologis, konsep ini hanya bisa dipahami bahwa desa bukanlah kota. Konsep ini jelas kabur pengertiannya. Untuk mengurangi kekaburan itu paling tidak seseorang hanya dapat memberikan deskripsi akan adanya perbedaan gradual-kuantitatif di antara kedua wilayah itu. Sebaliknya, disiplin ilmu-ilmu sosial seperti disebut sebelumnya berpeluang memberikan pemahaman dalam skala mikro, mendasar, dan indukatif, sehingga memungkinkan diperolehnya keterangan rinci dengan rambu-rambu yang mendekati kepastian.

Melengkapi uraian tentang apa dan mengapa sosiologi, berikut disampaikan seperangkat asumsi dasar kerja ilmiah dalam perspektif sosiologi. Didalamnya ada empat pendekatan yang umum dipergunakan dalam kerja ilmiah sosiologi.22 a. Pendekatan evolusionisme Pendekatan ini memusatkan telaahnya pada: mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda. Titik tekan perhatiannya pada 22 Mastuhu, �Penelitian Agama: Tinjauan Disiplin Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Ibid., h. 109-111.

pertanyaan �apakah ada pola umum perubahan yang bisa ditemukan dalam sebuah masyarakat?� misalnya, �apakah pengaruh proses industrialisasi terhadap keluarga di negara berkembang akan sama dengan yang di temui di Barat?�; apakah proses memudarnya masyarakat tradisional sama untuk setiap bangsa dan negara?� b. Pendekatan interaksionisme Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Interaksi itu terjadi bisa dengan menggunakan simbol-simbol atau isyarat.

Kemudian, diperhatikan reaksi orang terhadap makna dari simbol-simbol itu dan dihubungkan dengan benda-benda atau kejadian-kejadian yang berlangsung. Dalam perspektif ini sering muncul pertanyaan bahwa suatu kata, benda, atau kejadian tidak bermakna apa-apa jika orang di masyarakat itu tidak sependapat bahwa hal itu memiliki arti khusus. Misalnya, �lampu merah, hijau, dan kuning lalu lintas�. Di sini, fenomena yang diperhatikan adalah bagaimana orang terlibat dalam sebuah masyarakat merasa perlu memberikan definisi suatu situasi.

Mengapa? karena orang baru akan bertindak setelah ia menetapkan �definisi situasi� tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Herbert Blumer23: �Orang akan menanggapi orang lain sebagaimana ia membayangkan orang itu.� Dengan demikian, kenyataan bukanlah seperti apa yang tampak, melainkan kenyataan itu dibangun dalam alam kenyataan pada saat orang itu saling menilai dan menerka perasaan, serta gerak hati satu 23 Herbert Blumer, dalam Mastuhu, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Ibid.,

h. 110. sama lain, sesuai dengan definisi situasi yang telah mereka tetapkan masing-masing. Meskipun demikian, tidak semua kenyataan adalah subyektif. Hal itu hanya berlaku pada fenomena sosial, tidak pada fenomena fisik, seperti �matahari�, �bulan�, dan �bintang� adalah kenyataan yang tetap �berbeda di sana�. c.

Pendekatan fungsionalisme Dalam pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai suatu jaringan kerja sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis. Misalnya, fenomena saling ketergantungan antara �sekolah dengan anak didik, guru dan orang tua, keluarga berencana dengan usaha meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan�, dan sebagainya. Fungsi jaringan itu akan segera menjadi disfungsional jika salah satu subdisiplin menjadi tidak berfungsi.

Seperti, keluarga besar tidak selamanya berkaitan dengan kemiskinan dan ketidak sejahteraan. Sebaliknya, keluarga besar itu menjadi tidak berfungsi, bahkan menghambat fungsi-fungsi lain, jika ia menyebabkan kesehatan menjadi bertambah buruk, pengangguran semakin marak, dan sebagainya. d. Pendekatan konflik Pendekatan ini sebenarnya merupakan reaksi keras terhadap pendekatan fungsionalisme di atas. Pendekatan konflik berpendapat, bahwa �masyarakat itu terikat kerja sama yang erat karena kekuatan kelompok atau kelas yang dominan�.

Ia mewariskan sebuah ketegangan yang terus-menerus dalam sebuah fenomena setiap kelompok ini mempertahankan dominasinya. Dalam perspektif ini sering muncul pertanyaan kepada aliran fungsional: �Berfungsi dan bermanfaat bagi siapa?� dengan demikian, bidang kajian pendekatan konflik adalah: �Bagaimana kelompok dominan mencapai dan mempertahankan kedudukannya, sebaliknya bagaimana kelompok bawah yang ditekan berjuang melepaskan belenggu- belenggu yang mengikutinya�.

Ilustrasi berikut dapat lebih dalam menggambarkan bagaiamana perbedaan-perbedaan keempat perspektif di atas dengan kasus sebuah kekacauan yang pernah terjadi di Universitas Cerbellum, sebagaiamana dituturkan Paul B. Horton dan Chster L. Hut: �Pekan lalu komisi administrasi fakultas, tanpa konsultasi dengan para mahasiswa, mengeluarkan seperangkat prosedur penentuan kenaikan tingkat yang baru. Setelah beberapa hari aturan itu dikeluarkan, sekelompok mahasiswa mengeluh bahkan marah dengan aturan baru itu.

Pada hari berikutnya mereka berkumpul dalam ruang makan, menerobos ruang administrasi, menggiring keluar rektor, dekan, dan pengurus lainnya serta minta staf sekretariat berlibur. Mereka memasang rintangan pada semua pintu. Polisi diminta datang untuk mengamankan peristiwa itu.�24 Berikut ini disajikan beberapa pertanyaan yang diajukan sang pengaman itu dalam menangani kasus ini dalam empat perspektif pendekatan sosiologi. Masing-masing mengkonsentrasikan diri pada bagaimana mempelajari peristiwa sosial itu terjadi dari segi: 24 Paul B. Horton dan Chster L. Hut, h.

21, dalam Mastuhu, �Penelitian Agama Islam�, Tinjauan Disiplin Ilmu Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Ibid., h. 111. 1) Perspektif evolusionisme: a) Bagaimana urutan terjadinya konfrontasi antara mahasiswa dengan komisi administrasi? b) Pola yang sudah ada bagaimana, kalau ada yang diikuti? c) Bagaiamana peristiwa ini bisa merupakan produk dari situasi sebelumnya? 2) Perspektif interaksionisme a) Bagaimana peaturan-peraturan itu dibuat dan diubah? b) Siapa yang mempunyai wewenang untuk mengubah peraturan dan bagaimana caranya? c) Dalam konfrontasi ini, bagaimana �orang yang baik� dan �orang yang buruk� mendapat julukan? d) Bagaimana ketegangan itu terjadi? e) Peran apa yang dimainkan pada waktu semangat konfrontasi berkembang? 3) Perspektif fungsionalisme a) Alasan-alasan apakah yang mendorong perubahan tersebut? b) Dengan perubahan kebijaksanaan tersebut tujuan apakah yang kiranya bisa dicapai bagi universitas dan bagi mahasiswa? c) Akibat-akibat apakah yang bisa muncul dari konfrontasi itu? 4) Perspektif konflik a) Mengapa musuhan dari mahasiswa tidak diminta sebelum konfrontasi itu terjadi? b) Siapakah yang mendapat keuntungan dan siapakah yang dirugikan dengan perubahan kebijakan ini? c) Mengapa fakultas dan bidang administrasi menginginkan perubahan ini dan mengapa mahasiswa menentangnya? 2.

Numenklatur Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Bertolak dari uraian di atas, maka kontribusi pemikiran yang bisa disampaikan dalam pemikiran adalah mencari konsep penelitian agama Islam. Tulisan ini akan memberikan sumbangan berupa �paradigma ilmiah� menurut sudut pandang sosiologi. Sebuah sumbangan dasar dalam melihat masalah penelitian, untuk selanjutnya dapat dikembangkan berbagai metodologi penelitian ilmiah untuk ilmu-ilmu sosial, budaya, dan tentunya agama.

Untuk keperluan ini perlu dikemukakan di sini beberapa numenklatur dalam memandang masalah-masalah penelitian dimaksud, yaitu: �persoalan perbedaan istilah �ngelmu� dan �ilmu�; perbedaan bahasa harian, bahasa agama, dan bahasa ilmu; cara-cara menemukan kebenaran; perbedaan ilmu alam dan ilmu sosial, serta pebedaan skala pengukurannya�. Mengenai persoalan �perbedaan bahasa harian, bahasa agama, dan bahasa ilmu�, sedikit banyak telah disinggung. Namun, untuk menjaga keutuhan gagasan, maka perlu diulang kembali. Beberapa bahasan mengenai hal ini diikuti lewat tabel berikut ini. a.

Perbedaan Istilah �Ngelmu� dan �Ilmu�25 No. Ngelmu Ilmu  1. 2. 3. 4. 5. 6. Pengulangan dan tetap Sakral Berdimensi pewarisan dan �pemilihan� Menggunakan bahasa agama Kebenaran mutlak dan subyektif Berorientasi pada hasil akhir Perubahan dan perkembangan Profan Bukan berdimensi pewarisan tetapi mementingkan dimensi �menjadi� (terus diolah dan dikembangkan) Menggunakan bahasa ilmu Kebenaran bersyarat dan obyektif Berorientasi pada proses pencapaian tujuan  b. Perbedaan Bahasa Harian, Bahasa Agama, dan Bahasa Ilmu26 No.

Bahasa Harian Bahasa Agama Bahasa Ilmu  1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Istilah-istilah yang digunakan mengandung penafsiran terbukan dan tidak diberikan rambu- rambu batasannya Empiris harian-subyektif Tidak rasional dan sistematik Tidak obyektif Eksplisit Aksioma dituturkan dari perasaan common sense Pendekatan harian dan berpegang pada nilai- nilai common sense Istilah-istilah yang digunakan menurut rambu- rambu yang diberikan oleh ajaran agama yang bersangkutan sehingga tertutup bagi kepercayaan yang berbeda Empiris-meta-empiris Rasional intuitif dan tidak sistematik Obyektif partisipatif Eksklusif mengungkapkan spiritual Aksioma dituturkan dari ajaran agama Pendekatan holistik deduktif ke induktif empiris, kebenaran nilai-nilai akidah syariah dan agama superior terhadap nilai- nilai sains dan teknologi Istilah-istilah yang digunakan tertutup oleh definisi yang telah ditetapkan sesuai dengan masalah, tujuan, dan sudut pandang pembahasan Empiris-obyektif Rasional sistematik Obyektif imparsial agnostik terhadap Hakikat spiritual Aksioma sembarang- spekulatif Pendekatan dan kebenaran parsial serta bersyarat induktif empiris dikonfirmasikan dengan deduktif holistik, atau deduktif diuji dalam alam empiris   25 Mastuhu, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Ibid., h. 113.

26 Mastuhu, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Ibid. c. Metode Menemukan Kebenaran Ada lima cara menemukan kebenaran, yaitu sebagai berikut : 1) Tenacity, yaitu perolehan kebenaran melalui penyaksian bahwa sesuatu selalu terjadi, sehingga orang percaya bahwa hal itu memang benar demikian; 2) Authority, yaitu kebenaran diperoleh dengan mengacu pada sumber yang berwenang untuk menyatakan kebenaran. Misalnya, seorang ahli/lembaga, maupun seseorangb suci.

Jika seseorangb suci menyakan bahwa Tuhan itu Esa, orang mempercayai dan menerimanya sebagai suatu kebenaran. Atau jika BPS menyatakan bahwa penduduk Indonesia tahun 2.020 itu sekian juta, orang menerimanya sebagai sebuah kebenaran; 3) A-Priory atau Intuition, yaitu kebenaran yang diperoleh melalui intuisi atau instin,.mungkin karena pengalamannya yang sudah �banyak makan garam �; 4) Trial and Error, yaitu kebenaran yang diperoleh melalui uji coba dan perbaikan.

Jika uji coba itu menghasilkan kebenaran, akan diteruskan dan dikembangkan. Jika salah, maka akan diperbaiki; 5) Keilmuan, yaitu kebenaran yang diperoleh melalui teori, penelitian dan dikaji dalam alam empris, melalui langkah-langkah yang sistematis dan logis.27 27 Cara kelima merupakan hasil analisis Mastuhu. Lihat Mastuhu, �Penelitian Agama Islam�, Tinjauan Disiplin Ilmu Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Ibid., h. 114. Sedang cara pertama sampai d.

Perbedaan Ilmu Alam dan Ilmu Sosial Ada empat perbedaan mendasar antara tradisi penelitian ilmu alam dan ilmu sosial. Perbedaan tersebut berkembang di seputar hal berikut.28 1) Tingkat ketepatan (accuracy), dalam penelitian ilmu fisik lebih tinggi dari pada ilmu-ilmu sosial. Ada satu sindiran dalam hal ini, �salah seorang sahabat Neil Amstrong, pada waktu sedang mengarungi ruang angkasa, naik kebulan datang berkunjung ke rumah Neil Amstrong. Sesampainya di rumah Neil Amstrong; ia bertemu dengan salah seorang anak Neil Amstrong.

Anak tersebut menjawab bahwa ayahnya sedang tidak ada di rumah, �kan sedang naik ke bulan!� Tamu tersebut menjawab bahwa ia lupa akan hal itu. Namun, kemudian ia menanyakan �kapan Neil Amstrong turun ke bumi?� Dengan tepat dan tangkas, anak itu menjawab bahwa ayahnya akan mendarat pada hari Rabu tanggal 10 September 1969 jam 10.32 detik ke 10 di lapangan udara Cape Kennedy. Kemudian, sang tamu berkata apakah ia bisa bertemu dengan ibu (istri Neil Amstrong), anak tersebut menjawab bahwa ibunya sedang ke pasar untuk berbelanja, keempat merupakan metode yang ditempuh untuk menemukan pengetahuan menurut Charles Peirce, dalam M. Cohen dan F.

Nagel, An Introduction to Logic and Scientific Method, dalam Fred N. Kerlinger, �Foundation of Behavioral Research�, (3rd Ed), Asas-asas Penelitian Behavioral, (Ed. III), (Cet. VIII; Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002), h. 8-10. Lihat juga J. Buchler (Ed.), Philosophical Writing of Peirce, (New York: Dover, 1955), Bab 2. 28 Mastuhu, �Penelitian Agama Islam�, Tinjauan Disiplin Ilmu Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Ibid., h. 114-116. �Kapan ibumu pulang?� tanya tamu tersebut selanjutnya.

Anak tersebut menjawab: �Tidak tahu, entah jam berapa ia akan kembali.� Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa betapa tinggi tingkat kepastian dalam ilmu fisik, sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial (kasus ibu belanja ke pasar), sekalipun hal itu menyangkut hal-hal yang amat dekat dengan kehidupan praktis sehari-hari tidak dapat diketahui dengan pasti. Dengan kata lain, tingkat spekulasi dalam ilmu-ilmu sosial jauh lebih besar dari pada ilmu-ilmu fisik.

2) Pengukuran (measurement) dalam ilmu-ilmu fisik dapat dilakukan dengan tepat, sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial tidak mungkin dilakukan, karena variabel-variabel dalam ilmu fisik memungkinkan untuk digolongkan atau dipotong secara lebih jelas dari pada variabel-variabel dalam ilmu-ilmu sosial. Kehidupan manusia dalam ilmu-ilmu sosial-sangat kompleks. Tidak dapat dikelompokan secara hitam putih, antara hitam-putih penggolongan variabel terdapat berbagai warna.

Dan semuanya tetap dalam satu kesatuan totalitas yang berkesinambungan. Ilustrasi berikut dapat menjelaskan betapa penelitian dalam ilmu-ilmu sosial sulit untuk diisolasi dibandingkan ilmu-ilmu fisik. A B (Social Sience) (Natural Science) Apakah metode mengajar I Apakah pupuk X Lebih baik dari pada II? Lebih baik dari pada Y ? Setelah variabel-variabel lain disisihkan, misalnya pada A: murid yang diajar dengan metode I dan II telah disamakan, demikian pula halnya mengenai jumlah siswa, rata-rata IQ, fasilitas buku dan alat- alat pelajaran lainnya, guru yang mengajar, besar ruangan, dan sebagainya telah disamakan, dan dianggap tidak berpengaruh pada prestasi akademik kecuali hanya satu variabel yang diduga akan berpengaruh, yaitu: metode.

Lalu, setelah diadakan tes akan terlihat apakah metode I lebih baik dari pada meode II? Atau sama saja? Atau ditemukan perbedaan hanya sedikit sekali (tidak signifikan). Kesimpulan yang akan diperoleh di sini, tetap meragukan dan akan tetap tingal dalam spekulasi besar. Mengapa? Karena ternyata masih banyak variabel-variabel lain yang sulit untuk dikontrol, dan tidak mustahil cukup berpengaruh, bahkan menentukan prestasi akademik anak-anak. Misalnya, kejadian di luar kelas. Anak-anak dapat berintegrasi satu sama lain, antara teman sekelas maupun dengan teman sekelas lainnya.

Dan jika ditemukan signifikansinya dalam hal kenaikan prestasi akademik, berarti persoalan itu tidak murni disebabkan oleh metode I dan II. Sebaliknya, dalam kasus B: setelah segala sesuatu disisihkan, seperti kualitas tanah, jenis bibit, udara, air, dan sebagainya disamakan dan diyakini bahwa kalau ada perbedaan kesuburan tanaman disebabkan oleh mutu pupuk X dan Y yang berbeda. Kesimpulan yang diperoleh di sini memiliki derajat kepastian lebih besar dari pada penelitian yang pertama.

Hal ini karena kedua jenis tanaman tersebut tidak mungkin saling berkunjung, saling tukar pengalaman bagaimana rasanya menikmati pupuk tersebut. 3) Dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, obyeknya selalu berubah karena faktor-faktor endogen, artinya perubahan itu terjadi karena proses kehidupan dalam diri mereka sendiri, hasil interaksi di antara mereka atau faktor-faktor yang terjadi di antara mereka sendiri dan tidak tergantung pada peneliti. Kehadiran seorang peneliti tidak mengganggu perjalanan proses kehidupan.

Adapun perubahan obyek penelitian dalam ilmu-ilmu fisik terjadi karena faktor eksogen sengaja �dibuat� oleh tenaga luar (peneliti) sehingga mudah dikontrol. Seiring dengan hal ketiga, peneliti dalam ilmu-ilmu sosial sejak semula harus aktif membangun teori, menciptakan masalah dan realisasinya. Dalam ilmu- ilmu sosial, masalah dan realitas sosial tidak ditemukan, tetapi diciptakan.29 Sebaliknya, peneliti dari ilmu-ilmu fisik lebih dituntut kemampuannya untuk menemukan atau mengidentifikasikan masalah dan realitasnya.

Ini pulalah sebabnya mengapa derajat subyektifitas dalam penelitian ilmu-ilmu sosial lebih besar dibanding dengan ilmu- ilmu fisik. Seperti dikatakan George Ritzer, bahwa ilmu sosial memiliki perkembangan paradigma yang lebih lambat dari pada ilmu-ilmu fisik... �social science had less paradigmatic development than natural science.�30 e. Skala Pengukuran Ada empat skala pengukuran yang dipergunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial yang relevan dengan keempat model paradigma yang menjadi sumbangan pemikiran tulisan ini.

Empat skala pengukuran itu seperti terlihat dalam tabel berikut: Skala Hubungan Yang Contoh Tes Statistik Contoh   29 David Karbelo, (1960), h. 209, dalam Mastuhu, �Penelitian Agama Islam�, Tinjauan Disiplin Ilmu Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Ibid., h. 115. 30 George Ritzer, Sociology: A Multiple ParadigmScience, (Boston: Allyn and Bacon, 1971), h. 18-19, dalam Mastuhu, �Penelitian Agama Islam�, Tinjauan Disiplin Ilmu Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Ibid., h. 117.

Membatasi Statistik Yang Cocok Yang Sesuai    Nominal  Ekuivalensi Modus Frekuensi Koefisien Kontingensi  Tes Statistik Non- Parameterik Pria-wanita, jenis suku bangsa, tempat kelahiran, jenis pekerjaan, dsb.   Ordinal  Ekuivalensi lebih besar dari  Median Persentil  Spearman Kendali T Kendali W Hierarkhi pangkat militer, jabatan, tingkat kekerasan mineral, dsb.   Interval  Ekuivalensi lebih besar dari rasio sembarang dua interval diketahui yang berangkat dari titik/angka nol perjanjian Mean (rata- rata) Standar Deviasi Korelasi Momen Hasil Kali GAnda  Tes Statistik Parameterik dan Non- Parameterik  Kalender, waktu, dsb.

  Ratio Ekuivalensi lebih besar dari rasio sembarang dua interval diketahui yang berangkat dari titik/angka nol perjanjian  Mean  Geometri Koefisien Variasi  Tinggi, berat, dsb.   3. Paradigma Ilmiah Sosiologi Sehubungan dengan adanya perbedaan-perbedaan yang cukup besar antara karakteristik penelitian ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu fisik seperti dikemukakan di atas, langkah penting selanjutnya, sebelum masuk pada persoalan penelitian lebih lanjut, adalah pemahaman tentang paradigma keilmuan.

Yakni seperangkat asumsi yang dinyatakan secara eksplisit atau implisit, sebuah cara pandang atau �jendela pandang� seorang ilmuwan dalam memandang masalah, teori, dan metodologi. Tokoh yang paling banyak berjasa dalam persoalan paradigma keilmuan adalah Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution. Cara kerja ilmuan itu merupakan peningkatan lebih lanjut dari cara kerja orang awam biasa. Terutama dalam persoalan kerja sistematika dan produser kerja ilmiah yang harus diikuti dan dikembangkan, serta dicek oleh ilmuwan lain.

Cara kerja orang awam melalui tiga tahap. Misalnya, kalau seseorang pergi ke suatu tempat, ia tahu dari mana ia berdiri, �berangkat� dan kemana ia pergi (tujuan), yang disebut dengan �development�, dan akhirnya bagaimana dan dengan cara apa ia harus pergi --yang disebut dengan �experimental�. Demikian pula halnya dengan seorang peneliti. Ia mulai dengan telaah kepustakaan untuk me-review teorinya (reflective); merumuskan masalah (developmental), dan menyatakan langkah-langkahnya, lengkap dengan variabel dan informasi-informasi yang akan diukur dan dicarinya, serta analisis yang akan ditempuhnya (experimental).

Hasil dari penelitian itu merupakan bahan rujukan bagi penelitian- penelitian serupa lebih lanjut. Dan perlu dikukuhkan sekali lagi, kerja penelitian ilmiah senantiasa bermula dari teori dan berakhir dengan teori. Untuk memperjelas mengenai paradigma keilmuan Philips tersebut, di bawah ini akan diuraikan pokok-pokok gagasannya.31 a. Formism 31 Bernard Philips, Social Research, (New York: Mc. Graw Hill, 1988), h.

3-17, dalam Mastuhu, �Penelitian Agama Islam�, Tinjauan Disiplin Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi...Ibid., h.118-132. Paradigma ini memandang seluruh fenomena kehidupan manusia secara sederhana. Totalitas kehidupan ini hanya dibagi secara sederhana, seperti �sama� dan �berbeda�. Misalnya, pertanyaan-pertanyaan: �A adalah A�, �kamu adalah kamu�, �pesantren adalah pesantren�, dan seterusnya. Demikian pula sebaliknya, seperti �A berbeda dengan B�, �pesantren dan bukan pesantren�, �benar dengan tidak benar� dan seterusnya.

Aliran ini berangkat dari ajaran filsafat Plato, Aristitoles, aliran Scholastic, Neo-Sholastic, dan Cambridge- Realistik. Meski sangat sederhana, paradigma formism cukup realistik dan benar. Akan tetapi, masih terasa bahwa ia tidak bisa pergi jauh dan memiliki penjelasan yang lebih detail dan operasional. Pertanyaan-pertanyaan kurang memberikan inspirasi untuk berpikir lebih lanjut.

Meskipun demikian, ia tetap baik dan bermanfaat, terutama bagi peneliti pemula atau untuk penelitian masyarakat yang masih sederhana (pra- industri). Misalnya, seseorang ingin meneliti hubungan antara usia dewasa dan kemampuan menyesuaikan diri dalam lingkungan kehidupan. Seseorang ingin mengetahui mengapa ada orang yang lebih cepat menyesuaikan diri dari pada orang lain, faktor apa saja yang mempengaruhi hal itu? Adakah kondisi-kondisi memiliki kerja, kawan, dan selalu merasa mudah lebih mampu menyesuaikan diri dari pada mereka yang memiliki kondisi sebaliknya? Dari sebuah penelitian nyata, dilaporkan sebagai  STATUS KERJA KEMAMPUAN MENYESUAIKAN DIRI    JUMLAH MAMPU % (JUMLAH) JUMLAH TIDAK MAMPU % (JUMLAH)  JUMLAH TOTAL % (JUMLAH)  Bekerja Pensiunan 78 (133) 58 (57) 22 (38) 42 (41) 100 (171) 100 (89)  Dari tabel tersebut di atas tampak bahwa mereka yang bekerja mempunyai kemampuan menyesuaikan diri lebih banyak dari pada mereka yang sudah pensiun, berbeda 78%- 58% = 20%.

Tabel 2: Status Perkawinan dan Penyesuaian Diri STATUS KAWIN KEMAMPUAN MENYESUAIKAN DIRI    JUMLAH MAMPU % (JUMLAH) JUMLAH TIDAK MAMPU % (JUMLAH)  JUMLAH TOTAL % (JUMLAH)  Kawin JAnda/Duda 73 (136) 60 (130) 27 (47) 40 (87) 100 (173) 100 (2 17)   Dari tabel tersebut jelas bahwa mereka yang kawin lebih baik dalam menyesuaikan diri dari pada mereka yang bercerai, berbeda 73%-60% = 13%. Tabel 3: Perasaan Kedewasaan dan Penyesuaian Diri berikut: Tabel 1: Bekerja dan Penyesuaian Diri Dari tabel tersebut tampak bahwa yang merasa muda lebih baik dalam menyesuaikan diri dari pada mereka yang merasa tua, berbeda 69%-42% = 27%.

Dari ketiga tabel tersebut diatas tampak alur paradigma formism dalam kasus persoalan menyesuaikan diri dan tidak mampu menyesuaikan diri. Kelompok variabel: bekerja, kawin dan merasa muda, sebagai variabel-variabel yang menyebabkan mampu menyesuaikan diri di satu pihak dan kelompok variabel: pensiun, cerai dan merasa tua sebagai variabel-variabel yang menyebabkan tidak mampu menyesuaikan diri di pihak lain. Model paradigma formism tersebut sama dengan model pengukuran nominal, yang membagi seluruh fenomena kehidupan secara dikotomik.

Yaitu membedakan secara jelas dan terpisah serta kembali pada �modal pokok� (nominal)�. Dengan kata lain, membuat kategori secara diskrit, sama atau beda, dan tidak ada konotasi adanya perbedaan yang hierarkis di mana yang satu lebih tinggi atau lebih besar dari yang lain, seperti: pria-wanita, desa-kota, Islam-Kristen-Katolik, Jakrta- Surabaya-Medan, dan seterusnya. Sebagai catatan kritis untuk paradigma ini adalah kenyatan bahwa ia terlalu sederhana dalam memandang fenomena kehidupan.

Dalam praktiknya banyak mereka yang pensiun, cerai, dan merasa tua, lebih sukses menyesuaikan diri dari pada mereka yang bekerja, kawin, dan merasa muda. Dengan kata lain, masih �banyak misteri� dan �ketidakpastian�, yang tak dapat diatasi oleh paradigma formism. Oleh karena itu, muncullah pendekatan lain, yakni paradigma mechanism. b. Mechanism Kalau sifat pokok dan formism adalah �sama� dan �beda� dan sifat pengukurannya adalah �nominal�, sifat pokok mechanism adalah �kontinum� dan �mekanis�.

Menurut paradigma ini bahwa gejala kehidupan ini adalah berkesinambungan dalam proses mekanis yang terus bergerak. Paradigma ini berawal dari ajaran Demokritos, Galileo, Hobbes, Hume, Berkley, Reichenbach, dan Archimedes. Dan dalam sejarah perkembangannya, ia banyak dibesarkan oleh ilmu-ilmu matematika dan natural science, seperti yang diucapkan oleh Archimedes, �Give a place to stand lever long enough and I will move to world� (berikan kepadaku tempat dan pengungkit yang cukup panjang dan aku akan gerakan dunia ini).

Dengan mengamati secara cermat proses mekanisme alam yang amat teratur, secara matematik dapat dirumuskan hukum alam bahwa �gaya dikalikan dengan panjang pengungkit, sama dengan berat beban (hambatan) dikalikan dengan jarak: �F x p = R x d�. jadi, jika seseorang ingin menggunakan tongkat sepanjang 6m untuk mengangkat beban seberat 1.000 kg sejauh 3 m, gaya yang diperlukan adalah 6 F = 3 x 1.000 = 3.000 F = 3.000 : 6 = 500 Dengan ini seseorang akan menemukan bahwa kenaikan mekanis adalah 1.000 : 500 = 2, agar dapat menggerakkan tongkat sepanjang 6 m tersebut untuk memindahkan barang seberat 1.000 kg sejauh 3 m.

Melalui jasa-jasa ilmu fisik (natural science) dan matematik tersebut, manusia memperoleh pelajaran bahwa setiap perolehan sesuatu selalu dibarengi dengan tenaga yang harus dibayar; atau dalam bahasa filsafatnya: �setiap sesuatu selalu mengandung unsur positif dan negatif�. Masalahnya sekarang adalah bagaimana dalam kehidupan ini memaksimalkan yang positif (keuntungan) dan meminimalkan yang negatif (kerugian). Jadi, modal kerja yang harus dikeluarkan untuk mencapai sesuatu dikurangi dengan ongkos atau hambatan yang harus dibayar diperoleh keuntungan akhir (laba): F-R = L. Makin kecil R, makin besar L.

Sebaliknya, makin besar R, apalagi jika melebihi F, makin kecil laba yang akan diperoleh, bahkan mungkin akan rugi (negatif) jika R lebih besar dari F. Menyadari adanya sifat totalitas, kontinum dan mekanisme yang terus berjalan dalam fenomena kehidupan ini, dan upaya untuk mengatasi kekurangan paradigma formism, maka aplikasi mechanism dalam penelitian ilmu-ilmu sosial harus menyesuaikan diri dengannya, yaitu berusaha �mendekati�  okter Say Instrumen A ntuk Say fenomena kehidupan (alami) yang utuh, kontinum dan terus bergerak ini, sejauh mungkin mengurangi �ketegaran diskrit�, sebagaimana dialami oleh formism tersebut diatas.

Misalnya dalam memilih Jabatan. Setiap orang terus mempunyai idealisme untuk memperoleh kedudukan yang paling enak dan aman, dengan risiko atau pemebayaran sedikit mungkin. Instruksi: dalam instrument berikut berikanlah nomor urut pilihan Anda dari yang paling penting atau tidak Anda sukai. Nomor 1 menunjukan yang paling penting dan nomor 5 menunjukan yang paling tidak penting dari jabatan berikut: Instrumen tersebut untuk menghitung F, �modal� yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai.

F ini merupakan jumlah dari f1 + f2 + f3 yaitu cita- cita pertama (mengembangkan hubungan baik denga pasien), kedua mengembangkan hubungan baik dengan sejawat), dan ketiga (mengabdikan ilmu). Untuk merumuskan F, yaitu hasil nyata yang diperoleh, perlu diciptakan instrumen yang menghitung R, yaitu resistence atau biaya yang harus dikeluarkan dan R ini terdiri dari r1 + r2 + r3. faktor r1 adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk kepentingan �mengembangkan hubungan baik dengan pasien�.

Faktor r2 untuk mencapai �huungan baik dengan sejawat� dan r3 untuk keperluan �mengabdikan ilmu�. Instruksi: berikan nomor urut menurut pilihan Anda. Mana cita-cita yang paling Anda inginkan sampai cita-cita yang paling kurang dinginkan. Dari keenam bidang jabatan kedokteran berikut, sesuai dengan kesempatan bagamana mereka harus melakukannya. Instrumen B dilakukan dengan instrumen C yang mengukur pilihan mahasiswa terhadap keenam jabatan tersebut. Instrumen C Instruksi: berikan pilihan sesuai nomor urutnya.

Nomor 1 untuk jabatan yang Anda anggap memberikan kesempatan dalam mewujudkan cita-cita Anda (favourable), sampai nomor 6 untuk jabatan yang Anda anggap paling tidak dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan cita-cita Anda (unfavourable). Hasil penelitian nyata menunjukan: (setelah diramu denga hasil- hasil yang diperoleh melalui instrumen A (mencari F) dan instrumen B (mencari R) maka instrumnen C untuk mencari L memberikan hasil sebagai berikut: Misalnya, seorang mahasiswa memberikan nilai tinggi untuk mengembangkan hubungan baik dengan pasien dan tidak menilai pada mengabdikan ilmu melalui profesi dan ia memilih dokter umum sebagai pilihan pertama serta memilih patologi sebagai pilihan terakhir.

Dalam keadaan seperti ini seseorang mengatakan bahwa mahasiswa tersebut memiliki komitmen yang lebih tinggi untuk menjadi dokter umum. Dan komitmen yang lebih tinggi terhadap dokter umum ini tidak terkurangi harganya, sejak ia berpendapat bahwa melalui posisi dokter umum ia akan menemukan hubungan baik dengan pasien. Untuk mengetes apakah benar mahasiswa tersebut memilki komitmen tinggi untuk mencapai dokter umum, dapat  Tabel tersebut menunjukan bahwa mahasiswa mwmpunyai komitmen tinggi pada dokter umum sejak ia mencita-citakan mengembangkan hubungan baik dengan pasien.

Dengan kata lain, melalui dokter umum terbuka kesempatan yang paling lebar untuk mengembangkan hubungan baik dengan pasien. Model paradigma mechanism tersebut sebanding dengan model pengukuran tingkat ordinal, yang dalam hal ini fenomena dilihat sebagai hubugan berjenjang dan kontinum. Jika tidak hanya sama dan berbeda sebagaimana paradigma formism, tetapi gejala itu juga bersinambungan berjenjang naik. Hanya saja tidak diketahui nilai perbedaannya. Misalnya, jika A memperoleh nilai 8; B = 4; dan C = 2, tidak berarti bahwa kepandaian A sama dengan dua kali lipat B dan 4 kali lipat C.

Namun, jelas bahwa A lebih tinggi dari B dan lebih tinggi dari C. Dari uraian tersebut juga kiranya bahwa pandangan mechanism melebihi formism. Namun, masih tampak adanya kekurangan sempurnaan. Apa yang diperoleh melalui mechanism masih sederhana, yaitu gejala kehidupan dipandang sebagai gerak kontinum yang secara linier naik ke atas. Dalam kehidupan yang sebenarnya tidak hanya demikian; sering terjadi umpan balik (feed back) atau ketidak pastian lainnya.

Dengan kata lain, keadaan kehidupan yang sebenarnya jauh lebih kompleks dari apa yang telah digambarkan tersebut. Misalnya: jika kesebelasan A menang atas kesebelasan C, tidak dengan sendirinya kesebelasan A menang atas kesebelasan C. Ada kemungkinan kesebelasan C menang atas kesebelasan A. Demikian seterusnya, dalam kehidupan ini sungguh kompleks dan unpredictabel. Walaupun demikian, setidaknya paradigma mechanism ini cocok untuk masyarakat dalam periode awal industri.

Oleh karena itu, kalangan ilmuwan terus bergerak dan memunculkan paradigma selanjutnya, yakni organism. c. Organism Ide paradigma ini diilhami oleh sistem kehidupan organis sebagaimana diaplikasikan dalam biologi, yakni seluruh kehidupan dipandang sebagai sebuah totalitas yang berjalan secara harmoni, selaras-seimbang-serasi, serta penuh dengan kepastian. Ciri pokok dari paradigma ini adalah adanya feed back, adaptation, dan growth. Saling mengisi, terjadi penyesuaian dan pertumbuhan. Akar paradigma ini berasal dari ajaran-ajaran filsafat Scheiling, Hegel, Green, Bradley, Bosanquet, dan Rayee.

Jika seseorang mengamati proses kehidupan makhluk hidup seperti serangga, seseorang menyaksikan betapa harmonis dan teratur kehidupan alamiah mereka. Di situ jelas kelihatan adanya feedback, adaptation, dan growth. Dalam sistem kehidupan binatang ini jelas batas-batas penyesuaian diri terhadap pengaruh luar. Bahkan, ia tidak mampu memanipulasi kehidupan demi kebutuhannya sendiri. Karena itu, bagi kehidupan binatang dan makhluk lainnya seperti ini, kemungkinan untuk menyusut atau punah lebih besar dari pada manusia.

Dengan kata lain, binatang bukanlah makhluk sejarah yang mampu menciptakan dunianya sendiri. Berbeda dengan manusia, ia adalah makhluk sejarah yang mampu menciptakan dunianya sendiri, mampu menyesuaikan diri dengan jalan mengubah kepribadian dan struktur sosialnya, tanpa menunggu evolusi perubahan biologis. Kemampuan ini menciptakan kemajuan, dan kemudian memaksa manusia untuk mengadakan perubahan baru, demikian seterusnya.

Dan paradigma ini berusaha memahami kehidupan dengan jalan sintesis dan analisis yang menggabungkan metode sejarah, yang beroriwntasi pada proses sebab-akibat keseluruhan ruang dan waktu, serta metode sosiologi/antropologi yang berorientasi pada gambaran nyata menurut ruang dan waktu. Melalui jasa sosiologi diharapkan dapat dijelaskan sebab musabab timbulnya chaos (kekacauan) dalam kehidupan manusia dan memecahkannya. Seorang organis bermaksud membuat hukum ilmu yang mampu mengatur tingkah laku organism; ia tidak hanya bertumpu pada sejarah, sosiologi, dan antropologi, tetapi ia juga sangat membutuhkan bantuan matematika, mekanika, ilmu alam, kimia, biologi dalam upaya menyusun paradigma keilmuan organism.

Ruang jelajah organism ini juga tidak hanya terbatas pada masalah-masalah feedback, adaption, dan growth, tetapi juga menjelajah masalah-masalah sebaliknya, yaitu inadequat feedback, mal-adaption, dan decay. Bukan hanya kemajuan (development), melainkan juga kemunduran. Misalnya, faktor-faktor apa yang mempengaruhi dan menghasilkan pertumbuhan dan kehancuran? Bagaimana seseorang dapat mengangkat atau meningkatkan mobilitas sosial? Memperbaiki dan mengembangkan pendidikan, membangun masyarakat baru, mengembangkan pola-pola komunitas baru, dan sebagainya? Masalah-masalah tersebut melibatkan variabel-variabel yang sangat banyak dan cukup kompleks, sehingga dibutuhkan seni meneliti yang tinggi untuk mendeteksi masalahnya secara jelas: mana variabel-variabel independent dan dependent, mana variabel extra-noeus, dan bagaimana pula pengaruhnya terhadap hubungan variabel independent dan dependent, dan seterusnya.

Begitu besar dan kompleksnya variabel-variabel ini berkelindan satu sama lain. Jadi, tidak cukup didekati dengan satu disiplin ilmu saja, tetapi memerlukan pendekatan interdisipliner (berbagai disiplin ilmu).demikian pula dengan dua gabungan pendekatan metodologi penelitian: kuantitatif dan kualitatif sangat diperlukan dalam hal ini. Di sini, model penelitian dengan grounded research mulai menunjukan peranannya bersama dengan pendekatan kuantitatif; mencari nilai dan sub- sistem nilai yang tinggi.

Penguasaan numenklatur yang mendalam dan metodologi yang sesuai dengan waktu dan permasalahan yang dihadapi menjadi penting adanya. Peneliti hendaknya merasa involved dan tumbuh sense of belonging dalam dirinya. Mereka harus memiliki kewajiban moral untuk memecahkan masalah dengan sejujurnya, obyektif dan terbuka. Meskipun dengan penenaman moralitas seperti ini sering muncul subyektivitas atau bias dalam penelitian, tanpa komitmen moral tersebut peneliti hanya mampu melihat bentuk luar atau formalitas dari gejala yang sedang di teliti, tidak mungkin dapat mendekati atau merasakan esensinya.

Adalah tantangan alamiah bagi peneliti untuk selalu bersikap obyektif dan mengendalikan subyektivitasnya. Dengan penguasaan numenklatur, dimaksudkan bahwa peneliti harus menguasai istilah-istilah atau definisi-definisi yang berkaitan dengan dan dalam bidang ilmu yang diteliti. Misalnya, numenklatur �ulama�. Ia hanya benar pemakaiannya jika ia dikaitkan dengan konteks ayat-ayat al-Quran yang mengandung kata �ulama� tersebut. Tegasnya kata �ulama� hanya bisa benar jiika dipakai dalam konteks ajaran Islam.

Demikian pula halnya dengan istilah �kiyai�, apakah �kiyai� dalam konteks kejawen ataukah dalam konteks ajaran Islam. Dengan metodologi, dimaksudkan agar peneliti sadar bahwa pada dasarnya setiap masalah menuntut adanya pendekatan metodologis tersendiri sesuai dengan karakter masalahnya itu sendiri. Dari tiap-tiap disiplin ilmu memiliki gaya metodologis penelitian yang berbeda-beda. Dan sesungguhnya metodologi penelitian itu built in dalam setiap disiplin ilmu, sebagai alat mengembangkan disiplin ilmu yang bersangkutan.

Dalam persoalan pengukuran, paradigma organism sebanding dengan pola pengukuran interval. Dalam hal ini ia merupakan tingkatan lebih lanjut dari tingkat pengukuran ordinal seperti disebut sebelumnya. Kalau dalam pengukuran ordinal tidak diketahui jarak perbedaan jenjangnya, dalam interval dapat diketahui jarak perbedaan jenjangnya. Jika A memperoleh nilai 8; B = 4; dan C = 2, diharapkan dapat disimpulkan bahwa kepandaian A sama dengan dua kali lipat B dan 4 kali lipat C dan B = 2 x C.

Akan tetapi, kembali karena masalah manusia itu sangat kompleks, ketetapan ke arah itu sesungguhnya tidak pernah dapat dicapai. Oleh karena itu, sebagai penyelesaian masalah, interval kemudian menggunakan arbitrary atau kesepakatan titik 0 (nol) sebagai pangkal tolak pemikiran. Jadi, jika seseorang menyimpulkan bahwa kepandaian A = 2 x B atau 4 x C seperti tersebut di atas, hal itu disarankan atas kesepakatan bersama bahwa seseorang berangkat dari titil nol arbitrary.

Hal ini tidak akan menjadi masalah kalau pengukuran interval ini diterapkan pada ilmu alam seperti pada perbedaan termometer berikut ini: Celcius 0 10 30 100 Fahrenheit 32 50 86 212 Dengan menggunakan titik nol kesepakatan dapat diperoleh selisih rasio yang konsisten. Misalnya, Pada Celcius 30 � 10 = 2 ; 100 � 8 = 3,5 Pada Fahrenheit 86 � 50 = 2 ; 2 12 � 86 = 3,5 mekanis, dan formal. Yakni terbatas pada yang manifest saja belum menyentuh yang latent, yang justru menjadi inti fenomena kehidupan.

Tokoh-tokoh organism seprti Maine, Tonnies, dan Durkheim mendasarkan observasinya pada hal-hal yang dapat diamati. Mengenai fenomena atau masalah-masalah lain yang tidak jelas menurut penangkapan akal, membiarkannya berjalan, hanya berusaha membuat spesifikasi mengenai setiap gejala yang sedang berproses. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh pendekatan matematika (metode kuantitatif) tidak cukup menyentuh kompleksitas dan dinamika kehidupan. Sosiolog dituntut terlibat secara mendalam dalam kehidupan manusiawi. Paradigma organism ini cocok untuk masyarakat industri. d.

Pragmatism Kalau formism hanya beranjak dari titik yang statis dan asumsi yang sempit, sama, dan berbeda; sementara mechanism, yang memiliki kemampuan lebih besar dari formism dalam menghandel kompleksitas dan dinamika sosial dengan bantuan matematika, baru terbatas pada masalah-masalah fisik, belum menyentuh kehidupan atau non-living, universal dan cenderung pada kerangka kerja yang deterministik. Adapun organism membuka cakrawala kerangka kerja yang lebih luas lagi, yaitu 10 � 0 30 � 10 50 � 32 86 �t5i0dak hanya ditentukan oleh kerangka kerja yang given tetapi Angka perbedaannya tetap yaitu: 2 dan 3,5.

Meskipun paradigma organism sudah menjelah daerah kehidupan yang amat kompleks, terasa bahwa paradigma ini hanya menekankan diri pada perubahan struktur sosial sebagai kata kunci untuk memahami fenomena-fenomena sosial, dan sudut pandangnya masih terbatas pada hal-hal yang besifat fisik, juga menciptakan kerangka kerja sesuai dengan situasi dan kondisinya, sehinggga memungkinkan manusia dapat bertindak dan mengalaminya. Selanjutnya, pragmatism berusaha membuka cakrawala kerja yang lebih lebar lagi dari apa yang telah dibuat organism, yaitu dengna memperhitungkan situasi nyata dalam kehidupan ini.

Pragmatism dibangun dengan penuh keyakinan bahwa ilmu dan teknologi adalah alat vital bagi kemajuan manusia dan menjadikan apa-apa yang di luar kehidupan manusia itu, sehingga lebih manusiawi. Dalam paham pragmatism semua fenomena adalah kontekstual, tidak satupun dalam kehidupan ini tidak terkait dengan konteks atau situasinya. Seorang individu tidak dapat mengamati lingkungannya secara pasif dan membelakangi kehidupan ini. Pengamatannya selalu aktif (bermakna) dan bersumber dari situasi konkret di dalam menentukan dirinya sendiri.

Hal ini berbeda dengan organism yang hanya concered dengan sistem organisasi yang terpisah dari dirinya, tidak terlibat di dalamnya. Sebaliknya, pragmatism lebih maju lagi dengan jalan melibatkan peneliti ke dalam keterkaitannya dengan alam (kosmos) sebagai insan pencari kebenaran. Salah seorang ilmuwan yang besar sumbangannya dalam model pemikiran ini adalah George Herbart Mead dengan teorinya tentang symbolyc interaction. Secara metodologis pragmatism tetap berpegang pada metode keilmuan, yaitu bahwa pemikiran-pemikiran ilmiah perlu diuji ke dalam dunia pengalaman manusia, dan harga dari konsep ilmiahnya bergantung pada manfaat dan konteksnya.

Di sini pragmatism sering menghadapi keterbatasan, yaitu bagaimana seseorang maju berpikir kalau seseorang diblok dengan paham dikotomis: baik-buruk, surga-neraka, saleh-jahat, dan sebagainya? Akan tetapi, jika seseorang melangkah ke depan, maukah seseorang kehilangan drama dari apa-apa yang terjadi di antara ke dua titik dikotomik tersebut? Misalnya antara hidup dan mati? Pragmatism berusaha menjelaskan apa yang terjadi antara dua titik ekstrem tersebut. Misalnya antara hidup dan mati, ada pensiun-bekerja terdapat titik lain seperti teralienasi-integratif dan sebagainya.

Demikian pula ketika menjelaskan struktur perilaku/kepribadian: orang tua seharusnya sabar, tenang, memakai pakaian yang cocok dengan umurnya: warna tidak terlalu mencolak, jangan mengenakan pakaian yang ketat, tidak ajojing, tidak begadang dan meminum-minum di kedai-kedai dan sebagainya. Inilah yang sering disebut dengan peranan mengendalikan diri atau Role Breadth. Kalau dalam formism, fenomena dikelompokan dalam penggalan discred atau secara tajam seperti berikut.

Struktur Sosial ? Struktur Kepribadian ? Kesehatan Mental + Bekerja, Kawin + Merasa Muda + Mampu menyesuaikan diri - Pensiun - Merasa Tua - Teralienasi Diagram tersebut menggabarkan bahwa struktur sosial mempengaruhi struktur kepribadian, dan struktur kepribadian mempengaruhi kesehatan mental. Tanda positif dan negatif menerangkan seperti apa yang di terangkan sebelumnya, yaitu orang yang dalam keadaan: bekerja, kawin, merasa muda adalah mereka yang sehat mental sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam kehidupan. Keadaan sebaliknya adalah mereka yang menyAndang predikat negatif.

Cara pandang tersebut adalah cara pandang yang amat sederhana dalam melihat fenomena kehidupan yang sebenarnya sangat kompleks. Setiap keadaan (struktur sosial, struktur kepribadian dan kesehatan mental) merupakan proses yang terus bergerak; di samping mereka sebagai sistem sendiri-sendiri, masing-masing dari mereka merupakan subsistem dari kehidupan yang lebih luas. Cara pandang �peralihan� dari formism menuju pragmatism dapat digambarkan sebagai berikut: Struktur Sosial ? Struktur Kepribadian ? Kesehatan Mental Setiap unit masih di pandang sebagai sistem yang berdiri sendiri.

Tanda-tanda anak panah yang menunjukan bahwa setiap unit bergerak menurut sistemnya sendiri, baik meningkat maupun menurun, berkembang atau semakin menyusut. Dalam kenyataan hidup yang sesungguhnya, tidak mungkin tidak terjadi benturan atau overlapping. Dalam formism responden ditanya, misalnya: bagaimana keadaan kerja mereka saat ini (baik-buruk); bagaimana status perkawinan mereka (bahagia-susah) dan sebagainya. Sebaliknya, dalam gaya penelitian menurut cara pandang pragmatism mereka diukur secara menyeluruh dalam satu kesatuan sistem kehidupan atau multiply measurement dan dilibatkan dengan ketia dimensi waktu.

Untuk model paradigma pragmatism, dilakukan dalam beberapa langkah, yaitu: Pertama-tama responden ditanya tentang latar belakang umum kehidupan mereka, meliputi dimensi waktu: lampau-sekarang-mendatang. Seberapa jauh hal itu memuaskan. Lingkarilah Jawaban Anda! Selanjutnya, mereka ditanya seberapa jauh gaji, kondisi kerja, dan sebagainya serta keterkaitannya satu dengan yang lain �berarti tidaknya� dalam kehidupan mereka: lupakan apakah Anda pensiun atau bekerja.

Lingkarilah Jawaban Anda! Secara keseluruhan model pragmatis berusaha mengukur dan menjelaskan hubungan antara gaji, kerja, dan sebagainya. Seberapa jauh hal itu memuaskan, sangat disukai, dan membawa kebebasan, dapat memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya dan sebagainya. Baik untuk dimensi waktu lampau, sekarang, maupun mendatang. Hasil penelitian nyata yang diadakan oleh Bernard S. Philips (1976:49) dalam bukunya Social Research, hubungan antara kondisi kerja dan pola kepribadian adalah sebagai berikut: Hubungan Antara Work Role Breadth dan Personality Breadth PERSONALITY BREADTH WORK ROLE BREADTH   RENDAH TINGGI   (1) N % (2 ) N % (3) N % (4) N %  RENDAH TINGGI 98 (8) 2 (1) 42 (5) 58 (7) 39 (7) 61 (1) 11 (1) 89 (8)  JUMLAH 100 (9) 100 (12 ) 100 (18) 100 (9)   Tabel tersebut menceritakan bahwa: tinggi rendahnya kemampuan mengendalikan kerja seiring dengan tinggi rendahnya kemampuan mengendalikan kepribadian.

Mereka yang bekerja, kawin, dan merasa muda secara positif lebih dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan dan karena itu merasakan kepuasan kerja dibandingkan dengan mereka yang sebaliknya. Sesungguhnya hal itu sama dengan hasil yang dicapai oleh formism seperti terlihat dalam tabel 1, 2, dan 3 sebelumnya. Hanya saja analisnya dalam bentuk friksi atau sendiri-sendiri. Adapun dalam penyajian dengan gaya pragmatism disajikan secara keseluruhan terdapat angka perbedaan sebesar 78% yaitu dari 89%-11%, artinya mereka yang bertanda positif dan lebih baik dalam menyesuakan diri dan lebih menikmati kerja atau kehidupan dari mereka yang bertanda negatif.

Paradigma pragmatism ini sebanding dengan tingkat pengukuran rasio dalam statistik yang berusaha beranjak dari titik nol mutlak. Jadi, berbeda dengan pengukuran interval dan tingkat pengukuran rasio ini memang merupakan pengembangan interval, sebagaimana pragmatism merupakan pengembangan organism. Namun, tampaknya dalam kehidupan sosial tidak mungkin seseorang dapat menentukan titik nol mutlak yang dapat disajikan obyektif. Karena itu, dari penelitian pragmatism tetap terbuka untuk dikaji ulang. Dan yang demikian memang merupakan ciri khas dari metodologi penelitian ilmiah.

Kecuali itu perlu ditambahkan bahwa paradigma pragmatism ini juga sebanding dengan metode Grounded Research dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu suatu pendekatan penelitian yang mulai dari lapangan, sebagai lawan dari metode penelitian yang dimulai dari ide. Pendekatan Grounded Research ini dilengkapi dengan pendekatan sosiologi/antropologi yang berusaha menjangkau yang latent, tidak puas dengan yang manifest saja dalam mengelaborasi fenomena.

Lebih jauh perbedaan-pebedaan mendasar dengan ke empat paradigma di atas bisa dilihat dalam tabel berikut: Paradigma Formism, Mechanism, Organism, dan Pragmatism D. PENDEKATAN FILOSOFIS32 Filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik obyek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriah. Muhammad al-Jurjawi yang berjudul Hikmah al-Tasyri� wa Falsafatuhu, berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat dibalik ajaran-ajaran agama Islam.

Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan salat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang dapat merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya, agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya merasakan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula ibadah haji yang dilaksanakan di kota Mekkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasa bersaudara dengan sesama Muslim dari seluruh dunia.

Thawaf yang dikerjakan mengandung makna bahwa hidup harus penuh dengan dinamika yang tak kenal lelah, namun semuanya itu harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata. Mengerjakan sa�i, yakni lari-lari kecil menggambarkan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus mencoba. Dimulai dari bukit shafa yang artinya bersih, dan berakhir pada bukit marwa, yang artinya berkembang. Dengan demikian hidup ini harus diisi dengan perjuangan yang didasarkan pada tujuan dan niat yang bersih sehingga dapat 32 Lihat Abuddin Nata, Metodologi�Ibid.,

h. 42-46. memperoleh keberkahan. Sementara itu wukuf di Arafah maksudnya adalah saling mengenal, yakni dapat mengenal siapa dirinya, mengenal Tuhannya, dan mengenal sesama saudaranya, dari berbagai belahan dunia. Demikian pula melontar jamarat dimaksudkan agar seseorang dapat membuang sifat-sifat negatif yang ada dalam dirinya untuk diganti dengan sifat-sifat yang positif; dan mengenakan pakaian serba putih maksudnya adalah agar seseorang mengutamakan kesederhanaan, kebersahajaan dan serba bersih jiwanya sehingga tidak terganggu hubungannya dengan Tuhan. Demikian pula seseorang membaca sejarah kehidupan para Nabi terdahulu.

Maksudnya bukan hanya sekedar tontonan atau sekedar mengenangnya, tetapi bersamaan dengan itu diperlukan kemampuan menangkap makna filosofis yang terkandung di belakang peristiwa tersebut. Kisah Nabi Yusuf yang digoda seorang wanita bangsawan, secara lahiriah menggambarkan kisah yang bertema pornografi atau kecabulan. Kesimpulan yang demikian itu bisa terjadi manakala seseorang hanya memahami bentuk lahiriah dari kisah tersebut. Tetapi sebenarnya melalui kisah tersebut Tuhan ingin mengajarkan kepada manusia agar memiliki ketampanan lahiriah dan batiniah secara prima.

Nabi Yusuf telah menunjukan kesanggupannya mengendalikan farji-nya dari berbuat maksiat. Sementara lahiriahnya ia tampan dan menyenangkan orang yang melihatnya. Makna demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang bersifat filosofis. Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya; dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan.

Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang. Karena demikian pentingnya pendekatan filosofis ini, maka seseorang menjumpai bahwa filsafat telah digunakan untuk memahami berbagai bidang lainnya selain agama. Seseorang misalnya membaca adanya filsafat hukum Islam, filsafat sejarah, filsafat kebudayaan, filsafat ekonomi, dan lain sebagainya. Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik, yakni dengan mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti.

Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan yang formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik. E.

PENDEKATAN HISTORIS33 Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai persitiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.34 Menurut ilmu ini bahwa segala peristiwa dan dapat dilacak dengan melihat kapan persitiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam persitiwa tersebut. Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.

Dari kedaan ini, seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Pedekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kontowidjoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Quran, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Quran itu terbagai menjadi dua baian.

Bagian pertama berisis konsep-konsep, dan bagian kedua berisis kisah-kisah sejarah dan perumpamaan. Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, seseorang mendapati banyak sekali istilah al-Quran yang merujuk pada pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah, atau singkatnya peryataan-pernyataan 33 Lihat Abuddin Nata, Metodologi�Ibid., h. 46-49. 34 Taufiq Abdullah (Ed.) Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987, h. 105.

itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang terkenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Quran diturunkan, atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Quran, dan dengan demikian menjadi konsep-konsep yang otentik. Dalam bagian pertama ini, seseorang mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret.

Konsep tentang Allah, konsep tentang Malaikat, tentang akhirat, tentang ma�ruf, tentang munkar, dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu juga ditunjukkan konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkrit dan dapat diamati (observable), misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhuafa (orang-orang lemah), mustadh�afin (kelas tertindas), zalimun (para tiran), aghniya (orang-orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (para koruptor), dan sebagainya.

Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Quran berusaha membentuk pemahaman yang konprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Quran ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau persitiwa-peristiwa historis, dan juga melalui metafor-metafor yang berisi hikmah tersendiri, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupu tersurat, baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol.

Misalnya, simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Tuhan atau tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.35 Melalui pendekatan sejarah ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahamainya. Seseorang yang ingin memahami al-Quran secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Quran atau kejaidan-kejadian yang mengiringi turunnya al-Quran yang selanjutnya disebut ilmu Asbab al-Nuzul (Ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat al- Quran) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Quran.

Dengan ilmu Asbab al-Nuzul ini, seseorang dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditunjukkan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.36 F. PENDEKATAN KEBUDAYAAN 1. Pengertian Kebudayaan Dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah sama dengan metodoogi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuaut yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji.

Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data 35 Kontowidjoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Cet. I ; (Bandung : Mizan, 1991),h. 328. 36 Manna al-Qaththan, Mabahits fi �Ulum al-Quran, (Mesir : Dar al- Ma�arif, 1977) h. 79. sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian metode-metode atau teknik- teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.

Jadi, pengertian pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan atau kacamata dalam melihat, memperlakukan, dan menelitinya. Permasalahannya kemudian adalah pengertian kebudayaan yang digunakan sebagai sudut pandang atau kacamata dalam melihat gejala yang dikaji. Kalau kebudayaan itu didefinisikan sebagai hasil cipta, karsa, dan rasa, maka pengertian kebudayaan adalah konteks penilaian keberhasilan manusia dalam menaklukan alam.

Karena dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak menciptakan kebudayaan, atau kebudayaan bukanlah hasil cipta, rasa, dan karsa seseorang; tetapi justru seseorang hidup dengan mengikuti kebudayaan yang ditransmisikan atau diajarkan kepadanya oleh orang atau masyarakat. Lebih-lebih jika kebudayaan ini digunakan sebagai pendekatan untuk mengkaji agama, akan tampak amat tidak relevan. Karena agama bukanlah hasil cipta, karsa, dan rasa seseorang sebagai manusia.

Di Indonesia, di antara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebudayaan dari Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsepnya, kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yang mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan: (2) kelakuan: (3) hasil kelakuan. Konsep ini pun tidak dapat digunakan sebagai acuan bagi pendekatan kebudayaan untuk kajian agama. Karena agama bukanlah gagasan, bukan juga kelakuan, ataupun hasil kelakuan.

Sebaliknya, kebudayaan dalam pengertian Koentjaraningrat adalah wujud, dan wujud inilah yang dijadikan sasaran kajian atau penelitian antropologi. Kajian atau penelitian wujud kebudayaan ini, dalam konsep Koentjaraningrat dilakukan dengan mengacu pada kerangka konsep unsur-unsur budaya universal yang menghasilkan taksonomi kebudayaan.37 Parsudi Suparlan mengemukakan bahwa: �Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur manusia dengan lingkungannya.�

Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin yang terwujud sebagai teks suci. Adapun hubungan agama dengan manusia yang menyakininya, dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia yang menjadi penganut agama tersebut, tidak tercakup dalam definisi tersebut. Para ahli ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi dan antropologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat, telah mencoba untuk melihat dan mengkaji agama sesuai dengan perspektif yang sejalan dengan corak dari bidang dan pendekatan sosiologi atau antropologi masing-masing.

Kajian-kajian tersebut dilakukan dalam upaya memahami makna dan hakikat agama di dalam dan bagi kehidupan 37 Koentjaraningrat, Ilmu Antrologi, (Jakarta : Bharata, 1988). manusia orang per orang maupun dalam kehidupan masyarakat. Diantara upaya yang telah dilakukan oleh para ahli antropologi untuk dapat memahami hakikat agama di dalam dan bagi kehidupan manusia sejumlah tulisan telah diterbitkan, antara lain oleh Geertz (1966), Lessa dan Vorg (1972), serta Robertson (1972), bertujuan untuk dapat di gunakan sebagai acuan bagi pendekatan-pendekatan dalam pengkajian agama, termasuk pengkajian agama Islam dalam kehidupan masyarakat- masyarakat pemeluknya.

Di antara tulisan-tulisan yang telah dihasilkan dari kajian-kajian empirik, antara lain adalah oleh Geertz (1963, 1971), Suparlan (1995), dan Woodward (1989). Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropologi, seperti tersebut diatas, dalam pengkajian agama adalah pendekatan kebudayaan: yang dilakukannya secara eksplisit ataupun secara implisit. Yaitu, melihat agama sebagai kebudayaan dan melihat agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan menjadi inti kebudayaan yang terwujud dan mengejawantah sebagai nilai budaya dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Kajian Geertz (1963) mengenai agama abangan, santri, dan priyayi adalah kajian mengenai variasi keyakinan- keyakinan Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa sesuai dengan konteks lingkungan hidup dan kebudayaan masing- masing, bukannya kajian mengenai teologi Islam. Begitu juga kajian Suparlan mengenai Orang Jawa di Suriname (1995), mengenai variasi keyakinan Islam mereka yang tergolong tradisional (bersembahyang ke arah Barat) dan modern (bersembahyang menghadap ke arah Timur) adalah kajian mengenai Islam yang hidup dalam masyarakat Jawa Suriname dan bukannya mengenai Islam yang ada dalam teks suci al- Quran dan Hadis.

Dalam tulisan Suparlan telah dikemukakan bahwa kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Jika kebudayaan adalah sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat, kebudayaan tersebut harus berupa pengetahuan dan keyakinan-keyakinan, seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat; karena dan hasil kelakuan adalah produk- produk dari kebudayaan. Sebagai pedoman bagi kehidupan sebuah masyarakat, kebudayaan digunakan oleh warga masyarakat yang bersangkutan untuk menginterpretasi guna memahami lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakan-tindakan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam lingkungan tersebut untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Untuk dapat digunakan secara optimal sebagai acuan bagi interpretasi dan pemahaman, maka kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode.

Konsep-konsep dihasilkan dari sistem-sistem penggolongan mengenai dunia kehidupan masyarakat yang bersangkutan, menghasilkan golongan-golongan yang terwujud sebagai istilah-istilah atau konsep-konsep. Metode-metode dihasilkan dari upaya untuk menggolongkan atau memilah- milah, menyeleksi, serta menggabungkan hasil pilihan yang berlAndaskan atas logika yang masuk akal menurut nilai-nilai budayanya; dan teori-teori dihasilkan dari sesuatu hasil gabungan dari pilihan-pilihan yang terseleksi, yang operasional kegunaannya untuk sesuatu maksud atau tujuan tertentu dalam kehidupan yang nyata.

Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan kebutuhan hidup, kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori atau resep-resep, dan metode-metode atau petunjuk-petunjuk untuk dapat digunakan bagi menghadapi dunia yang nyata supaya dapat hidup secara biologi, sosial, dan adab yang berisikan pedoman-pedoman etika dan moral di dalam kehidupan sehari- hari. Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral dan etika yang ada, yang digunakan dalam kehidupan masyarakat adalah inti yang hakiki yang ada dalam setiap kebudayaan.

Pedoman yang inti dan hakiki ini biasanya dinamakan nilai-nilai budaya, karena isinya adalah patokan-patokan penilaian secara budaya atau yang berdasarkan atas kebudayaan tersebut mengenai tindakan- tindakan warga masyarakat serta berbagai gejala yang ada dalam masyarakat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Nilai budaya ini terdiri atas dua kategori, yaitu: (1) yang mendasar dan tidak terpengaruh oleh atau terpengaruh secara langsung kehidupan sehari-hari dari pendukung kebudayaan tersebut, yang dinamakan pandangan hidup atau world view; (2) yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan- kegiatan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan yang dinamakan etos (ethos).

Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memingkinkan bagi para warga masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa salah paham. Karena sengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak, setiap pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara bersama-sama mereka pahami makna-maknanya. Mereka itu tidak mengalami kesalahpahaman mengenai apa yang saling mereka inginkan dalam berkomunikasi dan menilai interaksi yang bersangkutan.

Pada tingkat individual, kebudayaan dari masyarakat tersebut menjadi pengetahuan kebudayaan dari para pelakunya. Secara perseorangan maka pengetahuan kebudayaan yang dipunyai oleh para pelakumya tersebut dapat berbeda antara satu dan lainnya; atau beraneka ragam, bergantung pada pengalaman- pengalaman individual masing-masing dan pada kemampuan biologi atau sistem-sistem syarafya dalam merespond dan menyerap berbagai stimulan atau masukan yang berasal dari lingkungan hidupnya, termasuk kebudayaannya dan kebudayaan-kebudayaa masyarakat lainnya.

Kebudayaan sebagai pengetahuan mengenai dunia yang ada di sekelilingnya dan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalam lingkungan hidupnya. Perubahan-perubahan kebudayaan tersebut terjadi karena kebudayaan yang diyakini kebenarannya sebagai pedoman hidupnya itu adalah pedoman yang operasional dalam menghadapi kehidupan yang nyata. Walaupun demikian, kebudayaan juga tidak mudah untuk begitu saja berubah, karena jika setiap saat pedoman bagi kehidupan tersebut berubah, kehidupan manusia dapat menjadi kacau balau.

Mekanisme yang menahan perubahan- perubahan kebudayaan atau yang melestarikan corak suatu kebudayaan adalah nilai-nilai budayanya karena nilai-nilai budaya ini berisikan keyakinan-keyakinan mengenai kebenaran dari kebudayaan yang menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat tersebut. Kuat serta lama bertahannya suatu corak kebudayaan dan nilai-nilai budaya terutama disebabkan oleh kuat dan mendalamnya keyakinan-keyakinan keagamaan yang mengejawantah atau menjadi inti dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut.

Karena pada waktu nilai-nilai budaya sesuatu kebudayaan itu berintikan atau berasaskan keyakinan agama yang bersangkutan, maka nilai-nilai budaya tersebut bersifat sakral atau suci. 2. Konsep-konsep Kebudayaan Selama ini penelitian budaya telah banyak mengalami perkembangan. Salah satu unsur yang menjadi sebab perubahan itu adalah berkembangnya konsep kebudayaan itu sendiri. Fokus perubahan konseptual itu terutama menyangkut mengenai perdebatan jangkauan dan titik pandang konsep kebudayaan.

Apakah telaah konsep kebudayaan itu harus dimulai dari materi atau dari gagasan? Baik gagasan umum maupun perorangan. Atau dalam pratik penelitian, apakah konsep kebudayaan itu ditentukan oleh pandangan peneliti ataukah hanya sebuah deskripsi akan fenomena kebudayaan yang diteliti? Namun, secara umum pemahaman akan sebuah kebudayaan bisa seseorang bagi dalam dua pandangan teori besar mengenai kebudayaan sebagai berikut. Pertama, kebudayaan harus dipahami secara utuh. Cara melihat kebudayaan seperti ini, banyak dikembangkan oleh Kroeber dan Kluckhom.

Para peneliti, dalam pandangan ini harus menampilkan kebudayaan yang ditelitinya secara utuh dan menyeluruh. Akan tetapi, pendekatan seperti ini dirasakan terlalu mencakup banyak hal sehingga terlalu sulit untuk memilah-milah serta menganalisis berbagai jalinan pengalaman manusia. Dan lebih rumit lagi ketika sampai pada interpretasi makna hubungan jaringan itu sehingga muncullah pendekatan kedua yang memandang kebudayaan sebagai sebuah sistem.

Pendekatan ini mecoba mengungkapkan kebudayaan secara lebih lengkap dengan cara �merampingkan� konsep kebudayaan itu. Secara garis besar dalam pandangan ini, dalam sebuah kebudayaan terdapat empat sistem, yaitu:38 a. Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptasi Konsep ini dikembangkan dari teori evolusi. Yang menjadi fokus perhatiannya adalah persoalan perubahan kebudayaan. Bagaimanakah kebudayaan itu berubah? Perubahan itu selanjutnya dilihat sebagai proses, sedangkan kebudayaan sendiri dipandang sebagai sistem.

Dalam hal ini perubahan kebudayaan dilihat sebagai proses adaptasi, yakni adaptasi terhadap lingkungan alam di mana kebudayaan itu berada. Sistem inilah yang selalu mencoba untuk beradaptasi antara satu sistem dan sistem yang lain, baik itu sistem lingkungan, demografi, teknologi, maupun sistem-sistem lain. Dalam proses adaptasi ini dapat dilihat apakah sistem itu menjaga keseimbangan dalam ekosistem ataukah berubah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Perubahan itu dapat dilihat dari perkembangan teknologi, cara berorganisasi sosial, pola pemukiman, cara pengelompokan, bahkan berorganisasi politik.

Demikian pula perubahan-perubahan yang terjadi dalam pola pemahaman dan penghayatan agama, lengkap dengan pemahaman akan perubahan sistem ritus (upacara) agama. 38 Noerhadi Magestari, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Ilmu Budaya�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi... Op. Cit., h. 217-219. Secara singkat, dalam pendekatan sistem kebudayaan ini mendukung fokus perhatian hubungan antara masyarakat pendukungnya dengan lingkungan di mana mereka hidup. Proses adaptasi itu dimulai dari unsur-unsur teknologi, ekonomi, organisasi sosial, dan seterusnya yang kesemuaannya langsung berhubungan dengan kemampuan produksi.

Singkat kata, dalam pandangan ini yang menjadi subyek adalah pola hidup yang berkembang di masyarakat. b. Kebudayaan Sebagai Sistem Kognitif Apabila pada pandangan kebudayaan sebagai sistem adaptasi yang menjadi perhatian utama adalah pola kehidupan masyarakat, yang menjadi perhatian di sini adalah sistem kogitif atau sistem pengetahuan dari masyarakat. Pandangan ini berargumen bahwa melalui pengetahuanlah masyarakat mencoba untuk menangkap, menghubungkan, dan menginterpretasikan benda-benda di luar dirinya.

Kebudayaan di sini dianggap sebagai �sesuatu� yang standar untuk menentukan sesuatu, menentukan apa yang diperbuat, apa pendapat tentang itu, dan apa yang dapat diperbuat terhadapnya. Pandangan ini dikembangkan dari studi linguistik yang menempatkan bahasa sebagai yang mengatur ujaran atau kemampuan yang mengatur pernyataan. Lebih lanjut pandangan ini dikembangkan dari apa yang seseorang kenal dengan ethno science. c. Kebudayaan Sebagai Sistem Struktural Paham ini berpendapat bahwa proses pemikiran menghasilkan sistem simbol.

Atas dasar ini kebudayaan dianggap sebagai sistem simbol yang dimiliki bersama dan tercipta secara kumulatif dari pikiran-pikiran. Sistem simbol ini dapat dikenali dari struktur ranah kebudayaan seperti myth (mitos), seni, sistem kekerabatan, dan bahasa. Perlu ditegaskan di sini bahwa kebudayaan yang dimaksud di sini harus diartikan secara abstrak dan bukan kebudayaan Indonesia atau Australia misalnya. Alasannya ialah bahwa kebudayaan dalam konsep seperti ini bisa saja mencakup bebrapa bahasa. d.

Kebudayaan Sebagai Sistem Simbol Di sini kebudayaan diperlakukan sebagai sistem simbol. Namun, berbeda dengan sistem simbol yang menjadi milik bersama, seperti yang dikemukakan sebelumnya. Sistem simbol di sini dilihat sebagai sistem simbol perorangan, serta dilihat dalam hubungannya dengan perseorangan yang lain. Perseorangan dianggap sebagai aktor-aktor dalam kegiatan simbolis dari suatu peristiwa khusus, seperti adu ayam atau sebuah upacara penguburan.

Sistem simbol perorangan dalam hubungan orang per orang ini ada pula yang melihatnya dari sudut pandang seorang peneliti yang telah memiliki pengetahuan tentang sistem simbol tersebut. Misalnya, tentang sistem kekerabatan (Schneider). Dan dengan pengetahuan ini, peneliti itu mencoba melihat sistem kekerabatan pada kebudayaan yang ditelitinya. 3. Pendekatan Kebudayaan, Pendekatan Kualitatif, dan Studi Agama Konsep kebudayaan yang saya kemukakan di atas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk melihat dan mengkaji serta memahami agama yang hidup dalam masyarakat.

Landasan dasar pemikirannya adalah bahwa setiap kebudayaan adalah unik atau tidak sama dengan kebudayaan yang lain, bahwa setiap masyarakat mempunyai kebudayaan masing-masing, dan bahwa setiap agama untuk dapat berpijak di bumi atau hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat haruslah menjadi pedoman yang diyakini kebenarannya bagi kehidupan suatu warga masyarakat. Jadi, suatu agama untuk dapat hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat haruslah menjadi kebudayaan bagi masyarakat tersebut.

Karena setiap masyarakat itu mempunyai kedudukan yang digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan lingkungan hidupnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang harus dipenuhi guna kelangsungan hidupnya yang mencakup kebutuhan biologi, kebutuhan sosial, dan kebutuhan adab yang integratif. Adapun agama sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat hanya mencakup serta terpusat pada penyajian untuk pemenuhan kebutuhan adab yang integaratif. Karena itu, dalam hubungan antara agama dan kebudayaan dari masyarakat setempat, agama berfungsi sebagai pedoman moral dan etika yang terwujud sebagai nilai-nilai budaya yang mengintegrasikan dan menjiwai setiap upaya pemenuhan kebutuhan biologi dan sosial dari warga masyrakat tersebut.

Dengan demikian, apabila agama dilihat dan diperlukan sebagai kebudayaan, yaitu sebagai nilai-nilai budaya dari masyarakat yang dikaji, agama diperlakukan sebagai sebuah pedoman yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan, serta pedoman bagi kehidupan tersebut dilihat sebagai sesuatu yang sakral dengan sanksi-sanksi gaib sesuai dengan aturan dan peraturan keagamaan yang diyakini. Dalam pendekatan ini, agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat, yang pengetahuan dan keyakinan tersebut menjadi patokan-patokan sakral yang berlaku di dalam hampir semua kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia, sehingga tindakan-tindakan pemenuhan kebutuhan manusia itu dapat menjadi beradab, penuh dengan ciri-ciri kemanusian yang dibedakan dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologi dan sosial hewan.

Pada waktu agama dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan maka yang terlihat adalah agama sebagai keyakinan yang ada dan hidup dalam masyarakat manusia, dan bukannya agama yang terwujud sebagai petunjuk-petunjuk dan larangan- larangan serta perintah-perintah Tuhan yang ada dalam al- Quran dan Hadis Nabi. Jika agama Islam tertuang sebagai teks suci dalam al-Quran dan Hadis itu bersifat universal, keyakinan keagamaan yang hidup dalam masyarakat itu bersifat lokal, yaitu lokal sesuai dengan kondisi masyarakat, sejarah, lingkungan hidup, dan kebudayaannya.

Mengapa bisa demikian keadaannya? Untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan-keyakinan dari masyarakat yang besangkutan, maka agama (Islam) harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam upaya meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut, di samping harus juga melakukan berbagai penyesuaian nilai-nilai hakiki yang ada dalam keyakinan agama tersebut dengan nilai-nilai budaya dari masyarakat, sehingga agama tersebut dapat diterima dan diyakini kebenarannya. Dalam keadaan demikian itulah agama yang diterima oleh sebuah masyrakat menjadi bersifat lokal.

Dalam beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para sarjana Indonesia mengenai penyebaran Islam di Jawa oleh para Wali Songo, antara lain ditunjukan bagaimana upaya dakwah tersebut dilakukan dengan menggunakan wayang kulit (tradisi budaya Jawa) dan diciptakan lakon dengan isu pokok Jamus Kalimosodo (Kalimosodo sebenarnya bahasa Jawa dari Kalimat Sahadat). Begitu juga berbagai dongeng suci atau mitologi persebaran Islam di Jawa, peng-Islaman kerajaan Pajajaran, atau kegiatan para Wali Songo dalam mengislamkan orang Jawa yang tidak menggunakan pedang, tetapi menggunakan kesaktian atau kemukjizatan Tuhan yang dipunyai oleh para wali atau da�i penyebar agama Islam, sebagai orang yang terpilih; adalah antara lain, contoh-contoh mengenai hubungan antara agama dan kebudayaan setempat.

Pendekatan kebudayaan dalam kajian agama seperti yang dilakukan oleh para ahli antropologi, dalam dunia ilmu pengetahuan dinamakan sebagai pendekatan kualitatif. Inti dari pendekatan kualitatif ini adalah pada upaya �memahami� atau verstehen dari sasaran kajian atau penelitiannya. Ini bebeda dengan pendekatan kuantitatif yang intinya mengukur. Karena dasar dari pendekatan kualitatif atau etnografi dalam antropologi adalah pemahaman, konteks kebudayaan dari masalah yang dikaji menjadi amat penting.

Karena itu, dalam pendekatan kualitatif tersebut cirinya yang mendasar, yang membedakannya dari pendekatan kuantitatif, adalah �holistik� atau �sistemik�. Max Weber adalah pelopor dari penggunaan metode verstehen yang menjadi cikal bakal dari pendekatan kualitatif atau etnografi dalam penelitian agama. Dalam karya klasiknya, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, Weber memahami teologi Kristen Protestan aliran Calvin, yang menekankan bahwa hidup manusia itu penuh dosa karena dosa turunan yang dibawanya sejak lahir akibat dari perbuatan Adam dan Hawa, dan bahwa walaupun Nabi Isa telah diturunkan untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosa tersebut, namun dosa-dosa tersebut tidak bisa hilang kecuali apabila manusia betul-betul takwa dan mengabdi kepada Tuhan.

Ketakwaan dan pengabdian kepada Tuhan tidak hanya dalam bentuk bersembahyang, tetapi yang terpenting adalah memuliakan rumah Tuhan atau gereja. Memuliakan rumah Tuhan dilakukan dengan cara bekerja untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan menyerahkan keseluruhan keuntungan tersebut kepada gereja untuk digunakan dalam rangka memuliakan-Nya. Gereja, dengan demikian adalah pusat akumulasi modal, setiap saat dapat meminjamkan modal untuk berbagai kegiatan kerja dan usaha yang menguntungkan, dan kesemuanya itu dikembalikan kepada gereja dengan segala kelebihan-kelebihan melalui keuntungan-keuntungan yang diperolehnya.

Inilah semangat kapitalisme yang acuan landasannya berasal dari Etika Kristen Protestant Calvin. Pada waktu Weber (1976) melakukan kajian etika Protestan tersebut, dia melihat teologi Kristen sebagaimana yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaan Kristen Protestan Calvin, sesuai dengan apa yang ada di dalam pengetahuan dan keyakinan penganut Kristen Protestan Calvin. Hal sama juga dilakukan oleh Clifford Geertz (1963) dalam kajiannya mengenai agama Islam orang Jawa, yang menghasilkan penggolongan abangan, santri, dan priyayi; dan kajiannya mengenai Islam di Maroko dan Jawa (1972). 4.

Metode Penelitian Kebudayaan Pada awal abad ke-20 ilmu pengetahuan budaya seolah- olah menemukan kelahirannya kembali. Setelah sebelumnya, pada abad pertengahan ilmu ini tertutup oleh perkembangan yang cukup pesat dari ilmu pengetahuan alam, kemudian tertutup oleh ilmu pengetahuan sosial. Bahkan, pada waktu sempat ada anggapan bahwa ilmu pengetahuan itu pada hakikatnya hanya memiliki suatu metode, yakni metode ilmu dan pengetahuan alam. Praktis dengan angapan ini semua ilmu pengetahuan yang bukan bidang ilmu alam sering memaksakan diri menerapkan metode ilmu pengetahuan alam.

Bidang- bidang ilmu yang kadar obyektifnya rendah menurut pertimbangan logika ilmu pengetahuan alam dianggap bukan �ilmu�. Dengan demikian, cara kerjanya pun dianggap tidak atau kurang �ilmiah�. Baru kemudian pada abab ke-20 muncullah seorang ilmuwan yang tidak setuju dengan anggapan itu. Ilmuwan itu adalah Dilthey. Ia berpendapat bahwa metode ilmu pengetahuan tidak hanya satu. Setiap disiplin ilmu memiliki metodenya sendiri sendiri.

Mengapa? Karena setiap disiplin ilmu memiliki tujuan berbeda-beda. Ilmu pengetahuan budaya misalnya, memiliki metode tersendiri karena tujuannya adalah untuk �mengerti�, dan berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan �menerangkan�. Selanjutnya, konsep �mengerti� ini berkembang menjadi dua aspek telaah, yaitu �gejala� dan �makna� yang terkandung dalam kebudayaan. Secara metodologis, konsep ini berkembang menjadi dua metode �mengerti�.

Metode pertama adalah �fenomenologi�-yang berusaha mengungkapkan makna sebagaimana yang ditunjukan gejala itu. Yang kedua ialah �hermeneutik�-yang berusaha memberikan interpretasi terhadap gejala itu sehingga maknanya yang tadinya tersembunyi dapat pula dipahami. Lebih lanjut penjelasan akan kedua metode tersebut dalam kerangka kepentingan penelitian akan dijelaskan dalam alinea-alinea berikut.39 a. Metode Fenomenologi Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tujuan metode ini adalah mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data atau gejala. Dalam kerja penelitiannya fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu: filsafat, sejarah, dan pada pengertian yang lebih luas.

Dengan demikian, �fenomenologi agama� dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu aliran dalam filsafat dan sumbangannya terhadap studi agama sebagai salah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukan pendapat peneliti (terdahulu) yang telah menerapkan metodologi fenomenologi dalam penelitian tentang sejarah agama. Dengan sendirinya mereka mengunakan religi sederhana sebagai data dan meletakan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol --seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan-- sebagai fokus perhatiannya.

Mungkin yang paling relevan dalam hubunganya dengan penelitian agama Islam dalam prespektif ilmu budaya adalah acuan ketiga, yaitu penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode itu bisa diterapkan dalam menelaah 39 Noerhadi Magestari, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Ilmu Budaya�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi... Ibid., h. 220-223. (meneliti) ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-traidisi, dan simbol-simbol keagamaan. Dengan mengacu pada tiga kerja penelitian dalam metode fenomenologi maka langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan: a) Deskripsi tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis; b) Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan; c) Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa: 1) Deskripsi ontologis, yaitu deksripsi yang memusatkan perhatiannya pada �obyek� kegiatan keagamaan.

Obyek ini dapat berupa Tuhan, �Yang Suci�, �Yang Ghaib�, �kekuasaan�, dan sebagainya; 2) Deskripsi psikologis, yaitu deksripsi yang perhatiannya diletakan pada kegiatan keagamaan itu sendiri. Di dalam penerapannya, Malinowski, misalnya, menghubungkannya dengan fungsi kegiatan itu dalam masyarakat; 3) Deskripsi dialektik, yaitu deksripsi memperhatikan hubungan antara obyek dan subyek dalam kegiatan keagamaan.

Bisa menekankan diri pada pengalaman keagamaan, bisa juga memfokuskan diri pada peran simbol- simbol keagamaan itu sebagai dasar bagi manusia dalam �mengalami� dunianya.  b. Metode Hermeneutika Apabila metode fenomenologi mencoba mengungkapkan dan mendeskripsikan hakikat agama, metode hermeneutika mencoba memahami kebudayaan melalui interpretasi. Pada mulanya metode ini diterapkan untuk menginterpretasikan teks-teks keagamaan.

Awal penelitian ini masih tetap melekat, dalam arti menempatkan konsep teks dalam kedudukan sentral. Kemudian, Dilthey mengembangkannya menjadi lebih luas, baik sebagai permasalahan filsafat maupun metodologi. Berikut disajikan langkah-langkah yang bisa diikuti dalam melakukan penelitian dengan metode hermeneutika beserta asumsi-asumsi dasar yang harus dipegang, antara lain sebagai berikut: 1) Telaah Hakikat Teks Di dalam hermeneutika, teks diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri, dilepaskan dari pengarangnya, waktu penciptaannya, dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang dalam ruang dan waktu ketika teks itu diciptakan.

Oleh karena itu, wujud teks adalah tulisan dan yang ditulis adalah bahasa maka yang menjadi pusat perhatiannya adalah hakikat bahasa. Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat komunikasi, alat untuk menyampaikan sesuatu. Sebagai akibatnya terdapat huungan antara �alat penyampaian� dan �apa yang disampaikan�. Tujuan dari metode ini adalah mengerti tentang �apa yang disampaikan� itu, dengan cara menginterpretasikan �alat penyampaiannya� yaitu teks atau bahasa tulis.

Jika sebelumnya dikatakan bahwa teks itu mandiri, apabila dikaitkan dengan bahasa yang dimaksudkan adalah sifat otonomi semantik bahasanya. Jadi, interpretasi dilakukan terhadap bahasa melalui semantiknya untuk mengerti apa yang disampaikan. Selanjutnya, jika yang disampaikan itu dikaji lebih mendalam, makna apa yang disampaikan itu dapat berupa ajaran, pesan, pengalaman, atau peristiwa. Adapun yang dimaksud �untuk mengerti�, dalam prespektif ini ialah arti atau makna secara keseluruhan, makna dari kesemuannya itu.

Demikian apa yang mula-mula bersifat subyektif, setelah dirumuskan dalam bahasa menjadi pengkuan umum atau obyektif. Ditinjau dari sisi lain makana arti atau makna dari �apa� itu pun dengan sendirinya bersifat obyektif pula walaupun �apa� itu sendiri masih bersifat individual. Permasalahan lain yang timbul ialah bahwa unit analisis hermeneutika tidak terbatas hanya pada hubungan �apa� dan �tentang apa� secara semiotik --dalam hal ini �apa� diperlakukan sebagai arti dari tanda.

Akan tetapi, semiotik di sini dipergunakan hanya sebagai alat hermeneutik karena teks adalah sesuatu yang otonom, satu dunia sendiri, yaitu dunia teks. 2) Proses Apresiasi Apabila sebelumnya disampaikan bahwa teks itu bersifat otonom, lalu bagaimana dengan pembaca atau peneliti? Di dalam penerapan metode hermeneutika, persoalan ini sering disebut dengan �proses apresiasi� yaitu proses yang pembaca- penelitinya (pembaca yang melakukan penelitian) terlebih dahulu mengerti akan dunia teks atau kemampuan ketika membaca teks yang tidak hanya bisa kembali ke dunianya sendiri, tetapi juga menciptakan dunia baru bagi dirinya.

Dengan kata lain, ia terlebih dahulu menjadi mengerti dirinya sendiri, mengerti dirinya �secara lain�, atau mungkin baru mulai mengerti akan dirinya setelah mengerti �dunia� teks. Dengan demikian, melalui hemeneutika pembaca- peneliti tidak diharapkan untuk tenggelam kedalam dunia teks, tetapi mengaktualisasikan makna dalam dunia teks, serta kemudian mengaktualisasikannya dalam dirinya sendiri.

Kemampuan aktualisasi pembaca-peneliti ini sangat ditentukan oleh �horizon-yang arti dasarnya�, �pandangan� yang dimilikinya. Pandangan yang dimiliki manusia bisa luas, bisa pula sempit. Kemampuan manusia untuk mempergunakannya pun berbeda-beda, ada yang dapat memperluas, atau bahkan membuka horizon baru. Ada pula orang yang tidak dapat mempergunakan dengan baik dan tidak mampu melihat jauh, sehingga cenderung untuk melebih- lebihkan hal yang paling dekat dengan dirinya, bergantung pada pengetahuan, pengalaman, dan keterbatasan manusia itu sendiri. Disamping horison, kemampuan aktualisasi itu juga dipengaruhi oleh �kesadaran sejarah�.

Pemilikan atas kesadaran sejarah ini akan memungkinkan manusia untuk mendapatkan horizonnya pada dimensi-dimensi yang sebenarnya. Dengan sendirinya penerapan kesadaran ini dalam proses aktualisasi dapat menghindarkan manusia dari kesalah pahaman. Dan dari sudut proses apresiasi, kesalahpahaman itu akan sangat merugikan, sedangkan dari sudut metodologi akan menimbulkan anachronisme. 3) Proses Interpretasi Pada waktu pembaca-peneliti berhadapan dengan teks, ia berada pada situasi yang dikenal sebagai situasi hermeneutik.

Manusia berada pada posisi �antara�, yaitu masa kini (di mana ia berada) dan masa lalu (di mana teks diciptakan). Demikian pula antara yang dikenal dan yang asing. Di dalam situasi ini pembaca-peneliti menerka, menginterpretasikan arti yang tampak, dan mencoba mengerti arti yang tidak tampak (tersembunyi). Arti yang tidak tampak itu menjadi tersembunyi oleh unsur atau jarak waktu, geografis, budaya, atau bahkan spiritual. Dengan demikian, proses interpretasi itu seolah-olah menjembatani unsur dari jarak itu. Atas dasar inilah maka teks itu disebut sebagai �mandiri�.

Sebaliknya, manusia pembaca-peneliti, dalam proses interpretasinya melibatkan kemampuan menerapkan �horizonnya�. Tanpa penerapan ini maka proses apresiasi tidak terjadi. Demikian pula halnya dengan kesadaran sejarah. Setiap interpretasi menciptakan situasi tertentu pada waktu tertentu pula. Hal ini berarti bahwa setiap saat terjadi interpretasi baru. Dengan kata lain, ditinjau dari proses, seolah- olah unsur kesejahteraan ini melekat dalam struktur.

Dengan sendirinya dari sudut pembaca-peneliti, diperlukan pemilikan kesadaran sejarah dalam horizonnya agar unsur kesejarahan dapat tercakup dalam proses interpretasinya. Penerapan yang demikian dapat mencegah penempatan situasi di mana ia berada pada perspektif sejarah atau pada dimensi yang keliru. Kekeliruan penempatan opada dimensi waktu inilah yang sering mengakibatkan kesalahpahaman. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa urgensi pendekatan kebudayaan dalam kajian agama adalah: Pertama, sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya; Kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan- keyakinan keagamaan yang dipunyai oleh warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar, tanpa harus menimbulkan gejolak pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut; Ketiga, kerapkali suatu keyakinan agama yang sama (Islam yang bersifat universal) itu dapat berbeda dalam aspek-aspek lokalnya.

Dengan memahami hal ini seseorang atau pemeluk agama Islam dapat menjadi lebih toleran terhadap perbedaan- perbedaan yang lokal tersebut. Dengan alasan bahwa jika aspek- aspek lokal tersebut harus diubah, akan terjadi perubahan- perubahan yang drastis dan menyeluruh dalam kebudayaan yang bersangkutan, yang ujung-ujungnya hanya akan menghasilkan berbagai bentuk konflik yang merugikan masyarakat tersebut maupun umat Islam pada umumnya. Konflik-konflik terjadi tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal, lingkungan hidup, dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat.

Dengan begitu, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan kebudayaan secara kualitatif, atau pendekatan etnografi dalam upaya memahami dan mengkaji agama akan banyak sekali gunanya bagi para guru agama, da�i, serta para pemegang kebijaksanaan politik keagamaan di Indonesia. Untuk itu, kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan haruslah dilandasi oleh kedalaman dan kesempurnaan pengetahuannya mengenai antropologi. Sebab jika tidak, pemahaman yang dihasilkan akan dangkal dan bahkan salah pemahaman, yang hanya akan menghasilkan berbagai kericuhan karena salah paham, dalam hubungan intra umat beragama maupun dalam hubungan antar umat beragama. G.

PENDEKATAN PSIKOLOGI40 Islam banyak mengajarkan pemeluknya mengenai hal- hal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Misalnya, Islam mengajarkan shalat lima waktu dilaksanakan dengan berjamaah; Islam menganjurkan infak, zakat, dan sedekah; saling tolong- menolong antar manusia dan saling menasihati antar sesama dalam kebaikan, serta masih banyak contoh lain. Ajaran-ajaran Islam seperti di atas dimaksudkan untuk membentuk umat yang beriman dan beramal saleh atau membentuk manusia yang muttakin dengan indikasi senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah (amar ma�ruf nahiy munkar).

Perilaku orang muttakin tersebut terpantul dalam kehidupan sehari-hari sebagai konteks implementasi ajaran Islam. Berdasarkan hal di atas, pendekatan psikologis dapat diartikan sebagai pendekatan agama melalui perilaku yang tampak secara lahiriah karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Misalnya, seseorang dapat merasakan dan mengetahui pengaruh psikologis dari shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya.41 H. PENDEKATAN HUKUM ISLAM 1. Pengantar Islam merupakan satu totalitas yang saling terintegrasi antara akidah, syariah, dan akhlak.

Sumber utamanya adalah al- Quran dan al-Sunnah. Dalam mengembankan unsur syariah menuntut adanya elaborasi dan dinamika lebih lanjut melalui proses ijtihad dengan menggunakan akal. Bahkan, Iqbal mengatakan bahwa ijtihad adalah prinsip gerak dalam pemikiran Islam (Ijtihad is the principle of movement in the structure of Islam).42 Dengan begitu, maka sumber hukum Islam secara keseluruhan adalah al-Quran, al-Sunnah, dan al-Ijtihad.

Hukum Islam dilandasi oleh akidah dan akhlak, yang berbeda sama sekali dengan hukum Barat. Barat berpandangan bahwa hukum adalah norma yang memiliki sanksi. Sanksi adalah milik lembaga elit yang sebagian besar dikuasai oleh Barat ketika zaman penjajahan. Maka itu, semakin dimengerti mengapa konflik antara hukum adat pro Barat diperhadapkan dengan hukum Islam pro santri betul-betul dipertajam. Sebagi bagian dari politik Devide at impera, Van Vollonhoven dan Van Haar merumuskan �Teori Resepsi� yang berkesimpulan bahwa hukum adat lebih tingi dari pada hukum Islam.

Hazairin 40 Pendapat para ahli tentang psikologi sangat banyak dan beragam, namun Muhibbin Syah menyimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang memiliki dan membahas tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia, baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini meliputi semua orang, barang, keadaan, dan kejadian yang berada di sekitar manusia. Lihat Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Edisi Revisi, (Cet. III; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997), h. 10.  41 Akhmad Taufiq et. al.,

Metodologi Studi Islam: Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru, Ed. I, (Cet. I ; Malang, Jatim : Bayumedia Publishing, 2004), h. 19-20. 42 Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Tought of Islam, (t.tp: t.p, t.th), h. 48, dalam M. Thahir Azhari, � Penelitian Agama Islam : Tinjauan Disiplin Ilmu Hukum � dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Op. Cit., h. 206-207. menamakan teori tersebut dengan �Teori Iblis.�43 Oleh sebab itu, sarjana Barat tidak mengerti secara konprehensif tentang Islam dengan segala lingkupnya.

Secara klasik pengelompokan hukum Islam terkait dengan hubungan antara Manusia dengan Tuhan (vertical/ibadah) dan Manusia dengan sesama manusia (horizontal/sosial). Ibadah yang meliputi iman, shalat, puasa, zakat, haji, dll, serta sosial kemasyarakatan, seperti muamalat (hukum perdata/hukum dagang), munakahat (hukum perkawinan), wiratsah (hukum kewarisan), �uqubat (hukum pidana), munakhassamat (hukum acara), siyar (hukum internasional), dan al-ahkam al-sulthaniyah (hukum tata negara, administrasi, dan pajak).

Hukum Islam memiliki sifat-sifat yang tidak terpisahkan karena mempunyai hubungan simbolis, yaitu: 1) Bidimensional: berdimensi duniawi dan ukhrawi atau non-sekuler; 2) Individualistik dan kemasyarakatan: hukum bersifat perseorang dan kolektif, mengatur kepentingan-kepentingan, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban pribadi (syakshiyah) dan kemasyarakat (ijtima�iyyah); 3) Adil: proses mencapai keadilan merupakan tujuan hukum Barat, sedang hukum Islam sifat adil sudah melekat dengan sendirinya secara fitrah dalam dirinya sendiri.

Tujuan hukum Islam sudah jelas dalam rumusan al-Syathibi dalam maqashid al-syari�ah, yaitu memlihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta;44 4) Konprehensif dalam aspek ibadah dan aspek muamalah; 5) Dinamis, selalu bergerak dengan menjadikan ijtihad sebagai lokomotifnya.45 Roger Garaudy menyatakan bahwa syariah adalah cara hidup yang berasal dari wahyu Allah, bersifat abadi, mutlak, dan universal. Syariah bukan kode, tetapi mode (cara hidup).

Ia bukan kode, artinya suatu perundang-undangan konstitusional atau hukum pidana diambil dari beberapa ayat yang terlepas dari konteksnya; dan diberlakukan secara harfiah, artinya di luar keseluruhan amanat yang memberikan arti padanya, tanpa memperhitungkan zaman dan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, daya laku syariah ada dua macam, yaitu: 1)normative Islami (motivasi Iman); dan 2) formal yuridis, apabila diperlukan bantuan kekuasaan Negara untuk menegakkannya, seperti dalam hukum pernikahan, zakat, hukum pidana Islam, dan lain-lain.

Shalat, puasa, haji, dan aspek-aspek ubudiyah (fardu �ain) pada umumnya merupakan hukum Islam yang berlaku secara normative. Dilihat dari konsep norma hukum, syariah mengandung lima macam kaidah yang dinamakan al-Ahkam al- Khamsah, yaitu wajib, sunnat, jaiz, makruh, dan haram. Sementara dalam konsep Barat hanya dikenal tiga macam akidah, yaitu membolehkan (permittere), melarang (prohibere), dan perintah (imperere). Dengan demikian, apabila orang ingin mempelajari Islam tidak mungkin akan menemukan hakikat yang dicari, jika menggunakan western` approach.

Mereka tidak pernah mempelajari Islam dan hukum Islam dari sudut materi, 43 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta : Tintamas, 1968), h. 5. 44 Abdul Aziz Dahlan et. al. (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, (Cet. I; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 1700. Lihat juga Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 60.  45 M. Thahir Azhari, �Negara Hukum: Studi tentang Prinsip- Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam dan Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini�, Disertasi, (Jakarta: UI, 1991), h. 7-83, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi... Op. Cit., h. 209. isi, dan substansinya.

Melainkan sarjana Barat yang sudah muslim, seperti Marcel A. Boisard, Roger Garaudy, Maurice Bucaille, bisa lepas dari penilaian tersebut. 2. Metode Penelitian Hukum Islam Secara tentatif, metode penelitian hukum Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut:46 a. Metode Normatif Islami Yang menjadi obyek penelitiannya adalah asas-asas, doktrin, konsep, sistematika, dan substansi hukum Islam yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah Rasul, baik menurut aliran klasik, maupun kontemporer.

Misalnya, untuk penelitan sistematika hukum Islam pernah dikemukakan oleh Fathi Usman dalam al-Fiqh al-Qanun al-Islami bain Ushul wa al-Syari�ah, yang meliputi: 1) al-Ahkam al-Ahwal al-Syakhshiyyah (hukum perseorangan); 2) al-Ahkam al-Madaniyyah (hukum kebendaan); 3) al-Ahkam al-Jinayah (hukum pidana); 4) al-Ahkam al- Murarasfa�at (hukum acara perdata/acara pidana/peradilan tata usaha negara); 5) al-Ahkam al-Dusturiyyah (hukum tata negara); 6) al-Ahkam al-Dauliyah (hukum politik internasional); dan 7) al- Ahkam al-Iqtishadiyah wa al-Maliyah (hukum ekonomi dan keuangan). b.

Metode Empiris Islami 1) Sosiologis Yang menjadi obyek penelitiannya adalah bagaimana implementasi syariah dalam masyarakat Islam. Dengan catatan bahwa penelitian harus menjauhi sikap prasangka negatif. 46 M. Thahir Azhari, � Penelitian Agama Islam : Tinjauan Disiplin Ilmu Hukum � dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi...Ibid., h.210-214. Cukup banyak negara muslim yang bisa dijadikan sampel penelitian ini, antara lain Malaysia, Indonesia, Pakistan, Saudi Arabia, dan Mesir.

Yang ditonjolkan dalam penelitian ini, bukan segi-segi yang bersifat konflik antara hukum Islam dan masyarakat, melainkan justru segi-segi positifnya. Misalnya, tentang keserasian hukum Islam dengan masyarakat yang terjadi di Kerajaan Saudi Arabia. Pertanyaan penelitian ini adalah: Mengapa keamanan Kerajaan Saudi Arabia relatif lebih baik dari pada di AS ? Seperti terlihat dalam kasus para petugas bank di Saudi Arabia. Apabila mengangkut uang tunai dari satu kota ke kota lain, tidak memerlukan pengawasan pihak keamanan.

Sementara di AS, hal ini merupakan hal yang mustahil karena banyak bandit. 2) Historis Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dapat dijadikan obyek penelitian. Misalnya, bagaimana pemikiran hukum Islam itu pada masa Muawiyah dan Abbasiyah? Bagaimana perkembangan pemikiran Islam pada masa Ibn Taymiyah? Bagimana pertumbuhan dan perkembangan pemikiran Islam pada masa kontemporer? Pendekatan inipun tanpa menggunakan prasangka negatif terhadap syariah. Misalnya, untuk tahap-tahap perkembangan hukum Islam itu pada umumnya para ahli membaginya dalam lima fase, yaitu: 1) Masa Nabi Muhammad (610-632 M); 2) Masa Khilafah Rasyidah (632-662 M) Kedua fase ini sering dinamakan sebagai periode negara Madinah; 3) Masa Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukaan (Abad VII-X M); 4) Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X-XIX M); dan 5) Masa Kebangkitan Kembali (XIX-Sekarang). c.

Metode Filosofis Islami Hukum Islam sebagai jalinan nilai-nilai Islami dapat diteliti secara falsafi. Manusia dengan menggunakan penalarannya secara positif, mampu menggunakan akalnya sebagai karunia terbesar dari Allah SWT. Dengan demikian, nilai-nilai transendental (wahyu Allah) dipahami oleh setiap orang beriman dengan menggunakan logika dan proses berpikir yang sangat dianjurkan al-Quran. Dalam Islam tidak mungkin terjadi konflik antara akal dan wahyu.

Cukup banyak ayat-ayat al-Quran yang menganjurkan manusia berpikir dan meneliti alam semesta ini. Salah satu contoh penelitian yang menggunakan metode falsafi Islami adalah sebuah buku karya S. Mahmassani, dengan judul Falsafat al-Tasyri� fi al-Islami, terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Farhat J. Ziadeh (1961). d. Metode Komparatif Islami Penelitian ini menggunakan metode perbandingan hukum Islam sebagai tolak ukur.

Perbandingan hukum dapat diteliti secara internal antara aliran-alairan hukum Islam (Perbandingan Mazhab). Misalnya, dalam tradisi Sunni terdapat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi�i, Hanbali, dan Zahiri. Dapat pula misalnya, dilakukan perbandingan mazhab antara Sunni dan Syi�ah. Misalnya, dalam persoalan hukum kewarisan dan konsep Imamah serta Khilafah. Secara eksternal, penelitian dapat juga dilakukan terhadap hukum Islam dengan berbagai sistem hukum yang dikenal di dunia, seperti sistem hukum sipil, sistem hukum Anglo Saxon, Sistem Hukum Adat, dan sebagainya.  e.

Metode Interpretatif Islami Ayat-ayat hukum dan hadis-hadis hukum, baik yang tercantum dalam al-Quran maupun dalam tradisi Rasul dapat dijadikan obyek penelitian dengan bantuan ilmu tafsir al- Quran, ilmu Hadis, serta ilmu bantu lainnya. Dalam penelitian ini, peran ijtihad dan kedudukannya sebagai sumber hukum Islam ketiga sangat penting diperhatikan. f. Metode Pembentukan Garis Hukum Islam Metode ini dipelopori oleh Hazairin, seperti terlihat dalam karya-karya beliau.

Secara metodologis, penelitian dengan menggunakan metode ini, suatu ayat hukum dalam al-Quran dapat dipecah menjadi beberapa garis hukum yang dirumuskan masing-masing secara alfabetis (menurut abjad). Misalnya, surat an-Nisa ayat 7 (Q.S. [4]: 7) �Bagi laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu-bapak dan aqrabun (keluarga dekat) dan bagi wanita ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu- bapak dan aqrabun (keluarga dekat) ada yang mendapat sedikit, ada yang mendapat banyak, bagian yang di wajibkan.

Ayat tersebut dirinci manjadi garis hukum sebagai berikut: Q.S. [4]: 7a: �Bagi anak laki-laki, ada bagian warisan dari harta peningalan ibu-bapaknya.� Q.S. [4]: 7b: �Bagi aqrabun (keluarga dekat) laki-laki, ada bagian warisan dari peninggalan aqrabun (keluarga dekat) yang laki-laki atau yan perempuaanya.� Q.S. [4]: 7c: �Bagi anak perempuan, ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu-bapaknya.� Q.S. [4]: 7d: �Bagi aqrabun (keluarga dekat) perempuan, ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrabun (keluarga dekat) yang laki-laki atau perempuannya.� Q.S.

[4]: 7e: �Ahli waris itu ada yang mendapat warisan sedikit dan ada yang mendapat warisan banyak.� Q.S. [4]: 7f: �Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh Tuhan.� Metode pembentukan hukum ini dapat pula disebut sebagia penalaran terhadap ayat-ayat hukum dalam al-Quran. Dengan cara ini, orang dengan mudah dapat mempelajari bidang ilmu hukum Islam yang diminatinya. Misalnya, dalam bidang hukum kewarisan (al-faraid) yang dalam sistem Fikih masih disajikan secara tradisional-klasik dan agak sulit untuk dipahami, terutama bagi mereka yan tidak mneguasai bahasa Arab.

Dengan demikian, secara keseluruhan yang menjadi pusat perhatian adalah substansi agama Islam atau al-Din al-Islami yang terdiri dari tiga komponen dasar, yaitu: 1) aqidah; 2) akhlak; 3) syari�ah, sebagi control core. Substansi itu dapat diteliti, baik secara normatif- doktrinasi, empiris, komparatif, dan interpertatif dengan disertai ruh Islam. Yakni secara prosedural, penelitian harus berangkat dari suatu keyakinan bahwa substansi agama Islam yan terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Rasul mengandung kebenaran yang bersifat mutlak, lestari, dan universal. Dengan demikian, pendekatan Islam tidak bertitik tolak dari keraguan, tetapi bertitik tolak dari suatu keyakinan.

Dan elaborasi terhadap prinsip-prinsip Islam dapat dilakukan melalui metodologi penelitian Islam agar Islam dapat berkembang dan dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. I. PENDEKATAN TIPOLOGI Para ahli sepakat bahwa pendekatan tipologi merupakan salah satu pendekatan yang cukup obyektif dalam melakukan studi Islam. Pendekatan tipologi berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topik dan tema lain yang memiliki tipe yang sama.47

Pendekatan ini sering digunakan oleh para sarjana Barat dalam memahami ilmu-ilmu manusia (humaniora). Pendekatan ini juga dapat dimanfaatkan untuk memahami agama dengan cara mengidentifikasi lima aspek atau ciri agama itu. Lalu dibandingkan dengan ciri atau aspek yang sama dengan agama lain. Misalnya, Tuhan dalam agama Islam dan Tuhan dalam agama yang lain, yakni sesuatu yang disembah oleh para pengikut agama itu; Nabi dari setiap agama yakni orang yang membawa ajaran agama itu; seseorang yang suci dari tiap agama, yaitu dasar peraturan yang diterangkan dari tiap agama yang ditawarkan kepada manusia untuk dipercayai atau diikuti; keadaan dari seseseorang waktu Nabi masih hidup dari tiap agama dan orang-orang yang didakwahi, bahwa setiap nabi menyampaikan ajarannya dengan cara yang berbeda, ada yang mengajak manusia secara umum dan ada yang memfokuskan dakwahnya kepada para raja dan bangsawan lainnya atau orang- orang pandai, ada Nabi yang dekat dengan kekuasaan sedangkan yang lainnya menjadi musuh. Dalam Islam, Nabi yang dekat dengan kekuasaan di antaranya Nabi Yusuf as.,

sedangkan yang menjauh dan menjadi musuh dari kekuasaan di antaranya Nabi Musa as. dan 47 Akhmad Taufiq et. al., Metodologi ....Op. Cit., h. 20-21. Ibrahim as. Ada pula individu yang terpilih atau yang dihasilkan oleh agama itu, yakni orang-orang pilihan yang telah terlatih lalu diterjunkan ke masyarakat. Menurut pendekatan ini, untuk dapat mengetahui lebih luas tentang Islam, maka pertama-tama orang harus mengetahui dahulu Tuhan atau Allah. Untuk mengetahui tentang Tuhan, di antaranya dilakukan dengan cara mempelajari tata cara bersuci ketika berhubungan dengan ketuhanan; memperhatikan alam dengan segala isi dan seluk beluknya; mencermati perubahan yang terjadi pada masyarakat dengan metode filsafat, iluminasi, dan maghfirah.

Beberapa teori di atas sesungguhnya tidak dapat digunakan semata-mata untuk memahami Islam secara utuh, bila hanya menggunakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu, Islam bukanlah agama yang mono-dimensi dan bukan hanya berdasarkan intuisi mistis dari manusia, yang terbatas dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sebagai contoh, untuk mempelajari hubunga manusia dengan Tuhan jelas mempergunakan metode yang filososfis, dalam arti menggunakan pemikiran metafisis yang umum.

Dimensi lain dalam agama Islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi. Untuk mempelajari dimensi ini, maka harus digunakan metode-metode yang dipergunakan dalam ilmu manusia. Islam juga merupakan agama yang dapat membentuk suatu masyarakat dan peradaban. Untuk mempelajari dimensi ini, maka pendekatan sosiologis dan sejarah harus dimanfaatkan. Perumpamaan di atas memberikan ilustrasi bahwa dalam memahami Tuhan dengan metode filosofis, berarti memahami manusia di bumi dengan mempergunakan ilmu manusia; mempejari masyarakat dan peradaban dengan metode sosiologis dan historis.

Namun sejumlah metode tersebut harus didukung oleh metode indoktrinasi, jika tujuan studi untuk melihat dan memahami Islam secara kaffah, sebab kolaborasi antara pendekatan ilmiah dan pendekatan indoktrinasi mesti digunakan secara bersama-sama guna menemukan pemahaman yang sempurna. J. PENDEKATAN SUFISTIK Pada konteks ini, paradigma yang digunakan ialah paradigma irfaniah. Memang paradigma ini tidak pernah dibicarakan orang. Paradigma ini dianggap tidak ilmiah (memang benar-sebagaimana paradigma ilmiah tidak irfaniah).

Faktanya memang belum cukup banyak diketahui tentang prosedur penelitian irfaniah. Namun berdasarkan literatur tasauf, secara garis besar dapat ditunjukan langkah-langkah penelitian irfaniah sebagai berikut: 1. Takhliah; pada tahap ini peneliti mengosongkan (tajarrud) perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatiannya kepada al-Khaliq (tawjih). 2. Tahliah; pada tahap ini peneliti memperbanyak amal saleh dan melazimkan hubungannya dengan al-Khaliq lewat ritus-ritus tertentu. 3.

Tajliah; pada tahap ini peneliti menemukan jawaban batiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.48 Sebagaimana paradigma lain, paradigma irfaniah juga mengenal teknik-teknik khusus. Dikenal tiga teknik penelitian irfaniah: 1. Riyadhah; rangkaian latihan dan ritus, dengan penahapan dan prosedur tertentu. 2. Thariqah; di sini diartikan sebagai kehidupan jama�ah yang mengikuti aliran tasauf yang sama. 3.

Ijazah; dalam penelitian irfaniah, kehadiran guru (mursyid) sangat penting. Mursyid membimbing murid dari tahap yang satu ke tahap yang lain. Pada tahap tertentu, mursyid memberi wewenang (ijazah) kepada murid.49 48 Jalaluddin Rahmat, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rsuli Karim, Metodologi...Op. Cit., h. 94. Lihat juga M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi�.Op. Cit., h. 92. 49 Jalaluddin Rahmat, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rsuli Karim, Ibid. Lihat juga M. Deden Ridwan (Ed.),Ibid.

BAB IV BENTUK-BENTUK STUDI ISLAM Agama dapat dipandang sebagai doktrin yang diyakini secara mutlak kebenarannya. Metodologi studi Islam dalam konteks ini merupakan beragam pendekatan yang dilakukan untuk memahami agama tersebut. Selain itu, masuk kedalam konteks ini ialah sejarah perkembangan kajian keagamaan: proses terbentuknya rumusan-rumusan hukum Islam (Fikih), dan sejarah intelektual kajian Islam. Namun demikian, agama sebagai doktrin diduga memberikan andil terhadap dinamika dan tatanan sosial, politik, dan ekonomi.

Sistem pelapisan masyarakat sedikit banyak dipengaruhi doktrin-doktrin agama yang diyakini, sehingga agama melahirkan kenyataan empiris sebagai gejala keagamaan. Sikap dan keterikatan pemeluk agama terhadap ajaran agama juga merupakan gejala keagamaan yang dapat menjadi objek kajian. Selain itu, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap dan keterikatan terhadap ajaran agama?seperti pendidikan, lingkungan dan status sosial?merupakan salah satu telaahan dalam studi Islam.1

Secara lebih rinci gejala keagamaan (Islam) yang menjadi objek penelitian?seperti di tulis Glock dan Stark, yang dikutip Rahmat (dalam Abdullah, 1989: 92-94)? ialah: (a) masalah kognitif keagamaan, seperti pengetahuan tentang perangkat tingkah laku yang baik yang dikehendaki agama, tingkat melek agama (religious literacy) dan tingkat ketertarikan mempelajari agama; (b) perasaan keagamaan yang bergerak dalam empat tingkat, yakni: konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan), responsif (merasa bahwa Tuhan menjawab kehendaknya), asketik (merasa hubungan akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), partisipatif (merasa menjadi kawan dengan Tuhan); (c) pelaksanaan ritus dalam kegiatan sehari-hari yang meliputi: frekuensi, prosedur, pola, sampai pada makna ritus-ritus tersebut secara individual, sosial dan kultural; dan (d) konsekuensi pelaksanaan ajaran Islam bagi kehidupan, baik individu maupun sosial, seperti etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian terhadap penderitaan orang lain dan sebagainya. Berbagai gejala keagamaan dapat diteliti dengan berbagai bentuk penelitian.

Bentuk-bentuk penelitian serta klasifikasi metode penelitian dapat dibedakan berdasarkan tujuan penelitian, jenis data yang dikumpulkan serta sumber datanya. Baerdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penelitian dapat dibedakan menjadi: (a) eksploratif; (b) deskriptif; (c) historis; (d) korelasional; (e) eksperimen; dan (f) kuasi eksperimen. Bedasarkan sumber data, penelitian dapat dibedakan menjadi (a) penelitian lapangan dan (b) penelitian kepustakaan. Selain itu, penelitian dapat dibedakan menurut jenis data dan proses penelitian menjadi: (a) penelitian kuantitatif dan (b) penelitian kualitatif.

Untuk lebih jelasnya berbagai bentuk penelitian gejala keagamaan dapat disajikan sebagai berikut: 1 U. Maman Kh, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001), h. 225. A. Penelitian Eksploratif Para peneliti gejala keagamaan (Islam) sesuai kerangka metodologi penelitian setidaknya memiliki banyak bentuk. Gejala keagamaan dapat diteliti secara eksploratif bila penelitian belum banyak mengetahui informasi tentang gejala-gejala keagamaan tersebut.

Bila di suatu tempat terjadi gejala keagamaan tertentu, seperti fatwa yang menghalalkan berzina asal dimulai dengan membaca basmallah, maka fenomena keagamaan ini dapat dieksplorasi, baik melalui telaah kepustakaan, media massa, dan lapangan maupun gabungan antara keduanya. Penelitian eksplorasi dapat digunakan untuk mengamati gejala keagamaan yang sedang terjadi, atau gejala keagamaan yang terjadi di masa lalu. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian eksploratif, dapat dikembangkan berbagai penelitian lain, seperti penelitian historis, deskriptif, korelasional, dan eksperimen. Karena itu, penelitian eksploratif sering disebut penelitian pendahuluan. 2 B.

Penelitian Historis Bila gejala keagamaan terjadi di masa lampau dan peneliti berminat mengetahuinya, maka peneliti dapat melakukan penelitian historis, yakni melakukan rekontruksi terhadap fenomena masa lampau baik gejala keagamaan yang terkait dengan masalah politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Bagaimana peran pesantren dan kiyai dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam Agresi Militer Belanda Kedua (tahun 1948). Sejarah ini belum terlalu lama berlalu, 2U. Maman Kh, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi... Ibid., h. 226.

sehingga masih banyak saksi hidup. Karena itu, untuk merekonstuksinya peneliti dapat melakukan wawancara mendalam dengan pelaku sejarah dan saksi hidup. Juga dapat melalukan telaah kepustakaan, seperti koran, majalah, arsip, dokumen-dokumen pribadi dan sebagainya. Namun demikian, bila peneliti berminat merekonstruksi berbagai gejala keagamaan yang sudak tidak ada saksi hidupnya, maka peneliti harus melakukan telaah berbagai kepustakaan. Dalam penelitian sejarah, sumber sejarah dapat dibagi menjadi dua bagian: sumber primer dan sumber sekunder.

Sumber primer meliputi dokumen, catatan harian, arsip, biografi yang ditulis langsung oleh pelaku, dan berbagai berita yang ditulis oleh orang-orang yang se zaman. Sedangkan sumber sekunder meliputi data sejarah yang bersumber dari hasil rekonstruksi orang lain, seperti buku dan artikel yang ditulis oleh orang-orang yang tidak se zaman dengan peristiwa tersebut. Bagaimana implementasi hukum syara pada masa Kesultanan Demak? Bagaimana pemberlakuan Murtabat Tujuh dalam masa pemerintahan Kesultanan Buton? Hal ini dapat direkonstruksi melalui sumber pustaka.

Dalam rekonstruksi gejala keagamaan masa lampau, peneliti sering kali tidak hanya mengamati satu variabel atau berbagai variabel secara terpisah, melainkan seringkali menghubungkan antara satu variabel dengan variabel lainnya, atau melihat pengaruh suatu variabel terhadap variabel yang lain. Adanya Gerakan Turki Muda di Turki pada awal abad ke- 20 merupakan gejala keagamaan yang dapat direkonstruksi. Apakah Gerakan Turki Muda berpengaruh terhadap gerakan Bung Karno? Sejauhmana pengaruh Gerakan Turki Muda mempengaruhi pemikiran Bung Karno tentang hubungan Islam dengan negara? Untuk menjawab pertanyaan ini, peneliti harus merekonstruksi gejala keagamaan dengan menghubungkan antara dua variabel, yakni: pemikiran Gerakan Turki Muda (Mustafa Kemal Al-Taturk) sebagai variabel bebas, dan pemikiran Bung Karno tentang hubungan Islam dan negara sebagai variabel terikat.

Penelitian sejarah tidak berdiri sendiri melainkan terkait dengan berbagai disiplin ilmu sosial yang lain. Karena itu, dalam konteks ini perlu dibedakan antara penelitian sejarah dan pendekatan sejarah. Dalam penelitian sejarah, rekonstruksi gejala sosio-religius masa lampau menjadi tujuan utama peneliti. Untuk mempertajam rekonstruksi gejala masa lampau tersebut, peneliti dapar menggunakan berbagai teori yang diadopsi dari berbagai disiplin ilmu yang lain, seperti teori-teori ilmu politik, sosiologi, antropologi, dan ekonomi.

Karena itu, penelitian sejarah dapat dilakukan dengan pendekatan sosiologi, politik, ekonomi, dan lain-lain. Bahkan penelitian sejarah dapat dilakukan dengan pendekatan multi disiplin. Pemberontakan petani terhadap Pemerintah Hindia Belanda, misalnya, dapat dilakukan dengan meminjam konsep Ratu Adil (mahdisme), di mana petani meyakini akan datangnya Ratu Adil yang akan membebaskan mereka.

Konsep pertentangan kelas dan modal produksi di mana terjadi ketidakpuasan petani akibat sumber-sumber ekonomi dan modal dikuasai oleh penjajah. Atau teori pertentangan budaya, di mana budaya pribumi sudah dikotori oleh penjajah, kaum penjajah tidak menghargai tempat-tempat ibadah, tempat pengajian, adanya perilaku penjajah yang tidak sejalan dengan kebiasaan dan kepercayaan religi kaum pribumi, dan lain sebagainya. Atau teori represif politik, di mana kedudukan penting yang terkait dengan keagamaan di tingkat desa atau kecamatan diatur oleh pemerintah Hindia Belanda.

Para kiyai tidak bebas menjalankan ajaran-ajaran agama (Islam) yang menjadi keyakinan, pejajah melakukan tekanan-tekanan politik terhadap kaum santri. Teori-teori tersebut menjadi pusat penelitian terhadap rekonstruksi gejala keagamaan masa lampau. Apa yang sudah dijelaskan merpakan penelitian sejarah dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial. Sebaliknya, ilmu sosial, seperti politik, sosiologi, ekonomi dan antropologi, dapat melakukan penelitian dengan pendekatan sejarah.

Artinya, mereka berusaha membuktikan teori (secara deduktif) atau menemukan teori (secara induktif) dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari sejarah. Geertz, misalnya, menemukan disparitas pola kehidupan beragama antara kaum santri, priyayi, dan abangan. Seorang ilmuwan politik mempertanyakan, sejauhmana disparitas pola kehidupan beragama tersebut berpengaruh pada perilaku politik. Untuk membuktikannya, ia mengamati perilaku politik dan perdebatan dalam sidang konstituante.

Karena sidang konstituante terjadi di masa lampau, seorang ilmuwan politik harus melakukan rekonstruksi sejarah. Namun apa yang ia lakukan bukan semata-mata studi sejarah, melainkan upaya membuktikan pertanyaanya tentang pengaruh disparitas pola kehidupan beragama terhadap perilaku politik. Ilmuwan politik tersebut dalam konteks ini telah melakukan penelitian politik dengan menggunakan pendekatan historis dan antropologis.3 3 U. Maman Kh, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi... Ibid., h. 227-229. C.

Penelitian Deskriptif Kata �deskriptif� berasal dari bahasa Inggris description yang berarti penggambaran. Kata kerjanya adalah to describe artinya menggambarkan. Penelitian deskriptif adalah sebuah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan gejala sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam penelitian agama, penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala keagamaan. Penelitian deskriptif berbeda dengan penelitian eksploratif. Penelitian eksploratif belum memiliki variabel yang menjadi fokus pengamatan, karena peneliti belum banyak memperoleh informasi tentang gejala keagamaan tersebut.

Sedangkan penelitian deskriptif sudah memiliki variabel yang menjadi fokus pengamatan. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui bagaimana perilaku politik kaum santri dalam menopang perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di sejumlah pesantren di Jawa Timur. Yang menjadi fokus pengamatan ialah perilaku politik. Seorang peneliti mempertanyakan, sejauh mana sebenarnya kaum santri memiliki motif wirausaha. Variabel yang menjadi fokus pengamatan ialah motif wirausaha.

Dalam penelitian deskriptif, variabel yang menjadi fokus pengamatan boleh lebih dari satu, sesuai minat peneliti. Peneliti misalnya mempertanyakan, sejauh mana kaum santri memiliki semangat wirausaha? Sejauh mana mereka memiliki kemampuan manajerial? Sejauh mana mereka memiliki akses terhadap modal dan pasar? Dari mana mereka selama ini memiliki modal usaha? Apakah mereka melakukan kerja sama permodalan dengan pihak lain? Bagaimana bentuk kerja sama permodalan yang mereka lakukan? Yang digarisbawahi adalah variabel yang menjadi fokus pengamatan.

Sudah disajikan dalam tabel 1 bahwa penelitian deskriptif dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Selain itu, penelitian deskriptif dapat menggunakan data kepustakaan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis terhadap kepustakaan secara kuantitatif sering disebut analisis isi (content analysis). Yang terakhir ini menjadi trade mark penelitian komunikasi. Berikut ini beberapa contoh judul penelitian yang berusaha mendeskripsikan gejala keagamaan. 1. Ketaatan beragama para buruh pabrik di Jabodetabek; 2.

Persepsi mahasiswa di tiga perguruan tinggi di Sultra terhadap model kajian Islam di STAIN Kendari; 3. Hubungan guru-murid di pondok pesantren Gontor VII Pudahoa Kendari; 4. Pola kepemimpinan kiyai di tiga pesantren di Jawa Timur; 5. Kepemimpinan guru dalan ajaran tasawuf; 6. Etika kepemimpinan menurut ajaran ahlussunnah wal jamaah; 7. Unsur-unsur sufisme dalam novel �Tenggelamnya Kapal van Derwijk� karya Hamka: sebuah analisis isi.

Contoh (3) mengenai �Hubungan guru-murid di pondok pesantren Gontor VII Pudahoa� memerlukan telaah kualitatif dan menghaslikan sebuah teori tentang kepemimpinan. Demikian halnya contoh (4) �Pola kepemimpinan kiyai di tiga pesantren di Jawa Timur� memerlukan telaah kualitatif dan dapat menghasilkan teori tentang pola kepemimpinan kiyai. Yang membedakan penelitian kualitatif dengan kuantitatif terutama adalah: sifat data, prosedur penelitian, dan penggunaan teorinya. Untuk lebih jelasnya, penelitian kualitatif akan disajikan dalam pembahasan tersendiri.

Contoh (5) mengenai �Kepemimpinan guru dalan ajaran tasawuf� memerlukan telaah kepustakaan. Demikian halnya contoh (6) mengenai � Etika kepemimpinan menurut ajaran ahlussunnah wal jamaah�. Kedua penelitian dalam contoh ini akan menghasilkan data kualitatif dan bersumber dari telaah kepustakaan. Contoh (7) mengenai Unsur-unsur sufisme dalam novel �Tenggelamnya Kapal van Derwijk� karya Hamka merupakan analisis isi yang menghasilkan data kualitatif.

Penelitian ini akan memberikan informasi, seberapa banyak novel tersebut mengandung unsur-unsur sufisme. Bila fenomena keagamaan terjadi di masa lampau, penelitian deskriptif berupa penelitia sejarah. Demikian halnya bila fenomena yang akan dideskripsikan bersifat spesifik dan mendalam, di mana peneliti tidak bermaksud melakukan generalisasi, maka penelitian deskriptif disebut studi kasus. Karena itu, perbedaan studi kasus dengan penelitian deskriptif terletak pada tujuan dan cakupan generalisasi.

Contoh (1) merupakan penelitian deskriptif, bukan studi kasus, karena berdasarkan sampel yang diambil, peneliti dapat menyuimpulkan ketaatan beragama kaum buruh di Jabodetabek. Demikian halnya contoh (2) tidak bisa dijadikan studi kasus, karena peneliti dapat menyimpulkan persepsi mahasiswa di tiga PT di Sultra berdasarkan sampel yang diamati. Contoh (3) dan (4) sebenarnya merupakan studi kasus karena penelitian tersebut menghasilkan generalisasi.

Pada contoh (3) kesimpulan yang bisa diambil terbatas, hanya menyajikan hubungan guru-murid di lingkungan pondok pesantren Gontor VII Pudahoa. Demikian halnya contoh (4), hanya bisa menyimpulkan pola kemimpinan kiyai di tiga pesantren di Jawa Timur, tidak melakukan generalisasi untuk seluruh pesantren di Jawa Timur.4 D. Penelitian Korelasional Penelitian korelasional ialah penelitian yang berusaha menghubungkan atau mencari hubungan antara satu variabel dengan veriabel lain.

Karena itu, dalam penelitian korelasional dikenal adanya variabel bebas (variabel yang diduga mempengaruhi variabel yang lain) dan variabel terikat (variabel yang diduga dipengaruhi oleh variabel bebas). Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dapat dibuktikan dengan data lapangan (baik secara kualitatif maupun kuantitatif) dan data hasil studi kepustakaan, atau gabungan antara studi lapangan dengan hasil kepustakaan.

Bahkan menurut Moleong bahwa penelitian kualitatif dapat menunjukan hubungan sebab-akibat dalam suatu latar yang bersifat alamiah.5 Berikut ini beberapa contoh judul penelitian korelasional, baik yang harus dibuktikan lewat data lapangan, studi kepustakaan, maupun gabungan antara keduanya. 1. Hubungan pendidikan agama dengan ketaatan beragama buruh pabrik di wilayah Tanggerang dan Bekasi, Jawa Barat. 4 U. Maman Kh, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi... Ibid., h. 229-231. 5 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Cet.

IX; Bandung: Remaja Rosda Krya, 1998), h. 4. 2. Pengaruh kajian Haroki terhadap persepsi tentang model kajian Islam di IAIN: studi di tiga universitas negeri di Jawa Barat. 3. Pengaruh kajian tasawuf terhadap pola kepemimpinan kiyai di pondok pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. 4. Pengaruh etika kepemimpinan menurut ajaran ahlussunnah wal jamaah dalam persepsi kiyai NU terhadap pola kepemimpinan kiyai di tiga pesantren di Jawa Timur. 5.

Pengaruh Gerakan Turki Muda terhadap pemikiran Bung Karno tentang hubungan Islam dan negara: studi tentang polemik Sukarno-Natsir pada tahun 1920-an. 6. Hubungan status sosial ekonomi dengan persepsi terhadap pemberitaan masalah-masalah ke Islaman di Republika: analisis khalayak pembaca di Rebuplika di Jakarta Selatan Dalam enam contoh penelitian ini terdapat variabel bebas yang diduga mempengaruhi variabel terikat; dan terdapat variabel terikat yang diduga mempengaruhi variabel bebas. Untuk lebih jelasnya tentang variabel bebas dan variabel teriakat, jenis data yang diperlukan, dan sumber data: Tabel 1.

Gambaran tentang Variabel Bebas dan Variabel Terikat, Jenis Data dan Sumber Data. No.  Variabel Bebas  Variabel Terikat Data yang Diperlukan  Sumber Data  1.. 2. 3. 4. 5. 6. Pendidikan Agama Kajian Haroki Agama Pola Tasawuf Etika Kepemimpinan Menurut Islam Gerakan Turki Muda Status Sosial Ekonomi Ketaatan Beragama Persepsi tentang model keislaman Kepemimpinan Kiyai Pola Kepemimpinan Kiyai Pemikiran Bung Karno Pemberitaan Masalah Islam Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kuantitatif Lapangan Lapangan Pustaka dan Lapangan Pustaka dan Lapangan Lapangan Pustaka, koran, analisis isi.

 Dalam enam contoh judul penelitian tersebut, nampak adanya variabel bebas, variabel terikat, jenis data yang akan dikumpulkan, dan sumber data. Selain itu, bentuk penelitian yang akan digunakan, obyek penelitian (populasi dari sampel), dan lokasi penelitian (sumber data) sudah tergambarkan dalam judul-judul tersebut. Memang judul penelitian yang baik harus menggambarkan beberapa hal yang sudah disebutkan. Pemilihan kata dalam judul harus tepat, dan tidak boleh terlalu panjang (paling panjang sebanyak 25 kata).

Dalam contoh (1) variabel bebas ialah pendidikan agama, sedangkan variabel terikat dinyatakan dengan kata �hubungan�. Untuk membuktikan hubungan antara kedua variabel tersebut diperlukan data kuantitatif yang bersumber dari lapangan. Demikian halnya dalam contoh (2) diperlukan data lapangan yang bersifat kuantitatif untuk melihat pengaruh kajia-kajian haroki terdapat persepsi tentang model kajian Islam di IAIN. Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dinyatakan dengan kata �pengaruh�.

Yang menjadi variabel bebas dalam contoh (3) ialah ajaran tasawuf yang dibuktikan melalui studi pustaka. Yang menjadi variabel terikat dalam contoh ini ialah pola kepemimpinan kiyai dipondok pesantren Suryalaya. Pengaruh ajran sufi terhadapa kepemimpinan kiyai dapat dibuktikan melalui data lapangan yang bersifat kualitatif di lingkungan pondok pesantren Suryalaya. Contoh (4) perlu dibuktikan melalui studi kepustakaan dan data lapangan yang bersifat kualitatif.

Yang menjadi variabel bebas dalam contoh ini ialah etika kepemimpinan menurut ajaran ahlussunnah wal jamaah dalam pemahaman kiyai di tiga pesantren di Jawa Timur. Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dinyatakan dengan kata �pengaruh�. Pengaruh variabel bebas terhadapa variabel terikat kadang-kadang dapat dibuktikan dengan studi kepustakaan, seperti nampak dalam contoh (5). Dalam contoh ini yang menjadi variabel bebas ialah pemikiran tentang hubungan Islam dan negara yang dikembangkan gerakan Turki Muda.

Sedangkan yang menjadi variabel terikat ialah pemikiran Bung Karno tentang hubungan Islam dengan negara. Untuk membuktikan adanya pengaruh gerakan Turki Muda terhadap pemikiran Bung Karno ketika berpolemik dengan Natsir tahun 1920-an. Contoh (6) menggambarkan analisis isi terhadap pemberitaan masalah keislaman dalam Harian Umum Republika. Lalu bagaimana persepsi khalayak terhadap berita- berita tersebut? Dalam peneltian ini diduga bahwa persepsi khalayak terhadap berita keisalaman dipengaruhi oleh status sosial ekonomi khalayak. Karena itu, status sosial ekonomi khalayak merupakan variabel bebas, sedangkan persepsi terhadap berita merupakan variabel terikat.

Status sosial ekonomi harus ditunjukkan secara kuantitatif berdasarkan data lapangan. Demikian halnya berita-berita keislaman harus ditunjukkan secara kuantitatif. Jika dalam contoh penelitian tersebut terbukti bahwa variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat, khususnya dalam penelitian korelasional kuantitatif, muncul pertanyaan: apakah pengaruh tersebut disebabkan oleh variabel bebas atau variabel yang lain? Misalnya bila terbukti bahwa ketaatan beragama memberikan pengaruh pada motif berprestasi, apakah motif berprestasi itu terdorong oleh ketaatan beragamaatau karena faktor lain, seperti: pekerjaan orang tua, pendidikan keluarga, lingkungan sosial, dan pergaulan.

Pertanyaan itu tidak akan terjawab dalam penelitian korelasional yang bersifat kuantitatif karena penelitian korelasional tidak mengendalikan berbagai variabel yang mungkin berpengaruh pada variabel bebas. Dengan kata lain, penelitian korelasional tidak mencari hubungan sebab-akibat, melainkan hanya melihat apakah terdapat hubungan antara satu variabel dengan variabel lain; dan sejauhmana bentuk irisan hubungan tersebut? Untuk memenuhi hubungan sebab akibat diperlukan penelitian eksperimen.6 6 U.

Maman Kh, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi... Op. Cit., h. 232-234. E. Penelitian Eksperimen Suatu fenomena dalam kehidupan sosial keagamaan seringkali terjadi bukan disebabkan oleh satu variabel, melainkan akibat dari berbagai variabel secara simultan. Penelitian korelasional hanya menelaah salah satu atau beberapa variabel bagi terjadi suatu fenomena sosial. Variabel- veriabel itu dipilih berdasarkan telaah logis atau berdasarkan teori tertentu.

Penelitian tersebut akan mebuktikan sejauh mana variabel yang dipilih memiliki hubungan dengan terjadinya suatu fenomena sosial keagamaan atau sejauh mana variabel-variabel tersebut memberi pengaruh bagi terjadinya fenomena keagamaan tertentu. Penelitian eksperimen tidak hanya melihat hubungan antara satu veriabel dengan variabel lain, melainkan sejauh mana suatu variabel berpengaruh pada variabel lain secara kausalitas.

Berbagai variabel lain yang diduga akan mengganggu hubungan sebab-akibat dikendalikan sedemikian rupa, sehingga peneliti dapat melihat sejah mana suatu variabel berpengaruh secara kausalitas bagi terjadinya satu fenomena sosial. Penelitian eksperimen adalah penelitian kuantititatif, sekalipun menurut Moleong penelitian kualitatif dapat melihat hubungan kausalitas, akan tetapi penelitian kualitatif dalam eksperimen sulit dilaksanakan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini gambaran penelitian eksperimen.

Peningkatan pengetahuan keagamaan siswa dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel, seperti metode mengajar, kontinuitas proses belajar-mengajar, latar belakang siswa, pendidikan lain diluar sekolah, dorongan orang tua, tingkat kecerdasan siswa, suasana kelas dan lain sebagainya. Namun demikian, peneliti hanya ingin mengetahui sejauh mana metode pembelajaran tertentu meningkatkan pengetahuan siswa. Dengan kata lain, peneliti ingin menguji sejauhmana teknik pembelajaran tertentu menimbulkan pengaruh baru bagi peningkatan pengetahuan siswa.

Karena peneliti hanya ingin mengetahui pengaruh teknik mengajar tertentu terhadap peningkatan pengetahuan siswa, maka ia harus mengendalikan berbagai variabel lain yang diduga membarikan kontribusi bagi peningkatan pengetahuan siswa. Berdasarkan gambaran diatas, maka penelitian eksperimen memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) adanya perlakuan untuk melihat pengaruh satu variabel bebas terhadap varibel terikat.

Perlakuan dalam contoh di atas ialah penerapan metode mengajar tertentu: (b) adanya teknik-teknik tertentu yang digunakan untuk mengendalikan berbagai variabel yang diduga akan mempengaruhi variabel terikat di luar variabel yang sedang dikaji: dan (c) adanya unit-unit eksperimen atau beberapa kelompok manusia yang menjadi objek kajian. Dalam contoh di atas peneliti ingin mengetahui sejauh mana metode mengajar tertentu berhasil meningkatkan pengetahuan siswa. Tentu saja dalam hal ini peneliti harus membandingkan metode yang ingin diuji dengan metode yang lain.

Misalnya, peneliti memiliki tiga metode pembelajaran; metode mana diantara ketiga metodenya yang paling berhasil meningkatkan pengetahuan siswa? Maka, peneliti harus membuat perlakuan khusus pada tiga kelompok unit eksperimen, atau pada tiga kelas. Pada kelas A diterapkan metode mengajar R, pada kelas B diterapkan metode S, dan pada kelas C diterapakan metode T. Apa yang dilakukan peneliti dalam eksperimen ini disebut �perlakuan� (treatmen).

Setelah selesai perlakuan, peneliti kemudian melakukan pengujian untuk melihat skor pengetahuan masing-masing kelompok eksperimen. Berdasarkan skor tersebut peneliti dapat membandingkan antara satu teknik pembelajaran tertentu dengan teknik lainnya. Dengan demikian, peneliti dapat mebandingkan, misalnya bahwa metode R lebih berhasil meningkatkan pengetahuan siswa. Agar lebih memudahkan pengujian efektivitas metode pembelajaran terhadap peningkatan pengetahuan siswa, maka data tentang skor penetahuan siswa perlu disajikan dalam sebuah tabel sesuai unit-unit eksperimen.7 Tabel 2.

Skor Pengetahuan Siswa Pada Masing-Masing Unit Eksperimen Jumlah Siswa/Ulangan Metode R/Kelas A Metode S/Kelas B Metode T/Kelas C  1 2 3 4 5 6 ... ... 40 15 13 9 10 11 8 ... ... 10 20 18 19 17 19 18 ... ... 19 17 163 15 12 13 13 ... ... 16  Rata-rata 13 19 15   7 U. Maman Kh, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi... Ibid., h. 235-238. Apakah skor yang disajikan dalam tabel 2 merupakan hasil perlakuan atau karena ada varibel lain yang berpengengaruh? Bahwa ternyata metode mengajar S menghasilkan pengetahuan siswa yang lebih tinggi, apakah itu akibat metode S atau memang karena anak-anak yang ada pada kelas B memiliki IQ lebih tinggi? Agar skor pengetahuan siswa yang disajikan dalam tabel 2 benar-benar akibat perlakuan, peneliti harus mengendalikan berbagai variabel yang mengganggu (Intervening variabie).

Untuk mengendalikan variabel pengganggu, dalam penelitian eksperimen dikenal adanya beberapa teknik. Diantara teknik yang paling sering digunakan adalah: 1. Teknik Random Para ahli statistik menunjukan bahwa data yang diambil secara acak (random) akan menyebar secara normal. Dalam contoh siswa yang sudah disebutkan, mungkin akan terambil siswa yang pintar, setengah pintar, yang biasa-biasa saja, dan yang kurang pintar. IQ yang diduga menjadi variabel pengganggu tidak dihilangkan, melainkan disebar ke dalam unit-unit eksperimen.

Atas hal yang demikian perlu dilakukan pengacakan dalam memilih siswa yang akan dijadikan responden, dan dalam menempatkan siswa pada masing-masing unit eksperimen. Melalui pengacakan, terdapat asumsi kuat bahwa kemampuan siswa relatif seragam dalam setiap unit eksperimen. Karena itu, skor pengetahuan siswa yang dijadikan dalam tabel 2 bukan disebabkan oleh variabel lain, melainkan karena adanya perbedaan perlakuan. 2. Analisis Ragam Skor Hasil Pre-test Asumsi bahwa kemampuan siswa dalam setiap unti eksperimen cukup seragam dapat dibuktikan dengan analisis ragam.

Mengenai teknis pelaksanaan analisis ragam, akan disajikan dalam sub bab Analisis Data. Secara singkat ialah sebagai berikut: sebelum diberikan perlakuan, peneliti melakukan Pre-test untuk masing-masing unit eksperimen. Skor hasil Pre-test dianalisis dengan menggunakan teknis analisis ragam. Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas: apakah terdapat perbedaan signifikan kemampuan siswa pada masing- masing unit eksperimen atau tidak.

Bila tidak terdapat perbedaan yang signifikan, skor yang dihasilkan post-test (uji pasca perlakuan) benar-benar akibat adanya perlakuan bukan akibat dari variabel pengganggu. Data hasil post-test juga dianalisis dengan teknik yang sama, sehingga diketahui adanya pengaruh perlakuan terhadap peningkatan skor pengetahuan siswa. 3. Variabel Bebas Kedua Dalam penelitian eksperimen seringkali terdapat variabel pengganggu yang tidak bisa dikendalikan. Misalnya, peneliti ingin mengetahui pengaruh menonton film kekerasan terhadap kecenderungan perilaku agresif siswa SMA.

Kemudian terdapat dugaan bahwa siswa laki-laki lebih potensial berperilaku agresif. Dalam kasus ini, peneliti menjadikan jenis kelamin sebagai variabel bebas kedua. Dengan demikian, siswa yang terpilih menjadi responden dikelompokan pada empat unit eksperimen--bukan dua unit--yakni: (i) kelompok siswa laki- laki menonton film kekerasan, (ii) kelompok siswa perempuan menonton film kekerasan, (iii) kelompok siswa laki-laki yang tidak menonton film kekerasan (mereka menonton film hiburan), (iv) kelompok siswa perempuan yang tidak menonton film kekerasan. Dengan demikian, pengaruh jenis kelamin akan terlihat jelas (ada/tidak ada) dalam penelitian.

Tabel 3. Skor Kecenderungan Agresif Siswa pada Masing- masing Unit Eksperimen BAB V PENDEKATAN KUANTITATIF, KUALITATIF, DAN REFLEKTIF DALAM STUDI ISLAM A. Pendekatan Kuantitatif Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gejala keagamaan dapat digambarkan secara kuantitatif. Kuantitatif berasal dari kata �Quantum� (perhitungan). Dengan demikian, peneliti kuantitatif adalah peneliti yang melakukan berbagai bentuk perhitungan terhadap gejala keagamaan. Berbagai gejala keagamaan, seperti ketaatan beragama, minat mempelajari agama, partisipasi dalam kegiatan beragama, kepedulian terhadap orang lain, etos kerja kelompok beragama, perilaku sosial dan ekonomi kelompok umat beragama, dan lain-lain diukur dan diwujudkan dalam bilangan.

Bila dikatakan bahwa kelompok masyarakat A lebih taat beragama dibandingkan kelompok masyarakat B, pernyataan tersebut harus ditunjukan dalam bentuk bilangan. Selain itu, peneliti kuantitatif melakukan berbagai uji statistik untuk melihat pengaruh, hubungan, dan perbandingan. Berikut ini akan dijelaskan unsur-unsur penelitian kuantitatif untuk membedakan jenis penelitian tersebut dengan penelitian kualitatif. Unsur-unsur penelitian kuantitatif yang sangat penting ialah: konsep, konstruk, variabel, dan teori.

Selain itu, dalam penelitian kuantitatif diperlukan adanya metode penelitian yang meliputi: populasi, sampel, unit-unit eksperimen, teknik penarikan sampel, alat ukur, pengumpulan data, dan pengolahan data dengan uji statistik. 1. Konsep Dalam kehidupan sehari-hari manusia akan berhadapan dengan berbagai kenyataan empiris. Bila kenyataan empiris tersebut diabstraksikan, maka akan menjelma menjadi konsep. Misalnya, di masyarakat terdapat orang yang rajin ke mesjid, menunaikan salat, melaksanakan ibadah sunat, melaksanakan ibadah puasa, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji. Kenyataan tersebut dapat diabstraksikan menjadi ketaatan beragama.

Demikian halnya terdapat kelompok masyarakat yang meminum minuman keras, berzina, dan senang kepada kaum sejenis. Kenyatan ini dapat diabstraksikan menjadi perilaku menyimpang. Berbagai gejala keagamaan yang sudah disebutkan, seperti ketaatan beragama, minat mempelajari agama, partisipasi dalam kegiatan beragama, kepedulian terhadap orang lain, etos kerja kelompok beragama, perilaku sosial, rasa beragama, persepsi terhadap ajaran agama, dan lain-lain sebenarnya merupakan konsep yang diabstraksikan dari berbagai kenyataan empiris. Dalam penelitian kuantitatif konsep sangat penting sebagai fokus penelitian.

Perumusan permasalahan penelitian dan tujuan penelitian sebenarnya merupakan upaya peneliti untuk memfokuskan terhadap suatu konsep, serta melihat kaitan antara satu konsep dengan konsep lain. Berikut ini contoh permasalahan penelitian: a. Sejauhmana ketaatan beragama kaum buruh di beberapa pabrik tekstil di Tangerang? b. Sejauhmana kaum buruh di Tanggerang memiliki motif berprestasi? c. Adakah ketaatan beragama berpengaruh pada motif berprestasi kaum buruh pabrik tekstil di Tangerang? Dalam permasalahan tersebut terdapat konsep yang menjadi fokus penelitian, yakni ketaatan beragama dan motif berprestasi.

Selain itu, dalam permasalahan ini peneliti ingin melihat kaitan antara konsep ketaatan beragama dengan motif berprestasi. Dalam tujuan penelitian, peneliti lebih menegaskan konsep yang mejadi fokus pengamatan. Dari permasalahan tersebut, peneliti dapat merumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: a. Mengetahui tingkat ketaatan beragama para pekerja pabrik tekstil di beberapa tekstil di Tanggerang; b.

Mengetahui motif berprestasi tenaga kerja beberapa pabrik di Tanggerang dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari; c. Memperoleh informasi mengenai kontribusi ketaatan beragama terhadap motif berprestasi di kalangan buruh pabrik di Tanggerang, Jawa Barat. Tujuan penelitian harus dirumuskan sesuai dengan permasalahan penelitian. Bahkan sering disebutkan bahwa tujuan penelitian sebenarnya merupakan ungkapan permasalahan penelitian dalam kalimat yang berbeda.

Yang penting dalam konteks ini ialah bahwa dalam permasalahan penelitian dan tujuan penelitian, peneliti sedang menegaskan konsep yang akan menjadi fokus pengamatan. Dari mana datangnya permasalahan tersebut? Mengapa peneliti menganggap hal itu sebagai masalah? Peneliti dapat memulai dari teori, pengalaman empiris, atau gabungan dari keduanya. Pengalaman empiris dan teori tersebut dituliskan secara eksplisit dalam latar belakang. Akan tetapi dalam latar belakang, pembahasan belum terlalu mendalam, hanya sekedar mengantarkan kepada permasalahan yang menjadi fokus penelitian.

Ketika peneliti merumuskan latar belakang, permasalahan penelitian dan tujuan penelitian, peneliti sebenarnya sedang melakukan konseptualisasi. Ia sedang mengabstraksikan kenyataan empiris menjadi sebuah konsep yang hendak diteliti (menjadi fokus penelitian). 2. Definisi Operasional Konsep masih abstrak, belum bisa diukur dan disajikan dalam bentuk bilangan. Karena itu, konsep harus didefinisikan menjadi sesuatu yang terukur. Konsep yang sudah didefinisikan dan sudah terukur disebut konstruk. Mendefinisikan konsep yang abstrak menjadi konstruk yang terukur disebut operasionalisasi.

Kata kerjanya, mengoperasionalisasikan. Karena itu, dalam penelitian kualitatif ada yang disebut �Definisi Operasional�.1 Definisi operasional merupakan seperangkat prosedur yang menjelaskan aktivitas yang dilakukan untuk penginderaan dan pengukuran 1 Anjuran untuk membuat definisi operasional ini pertama kali dikembangkan oleh P.W. Bridgmen dalam bukunya The Logic of Modern Physics (1961). Menurut Bridgmen bahwa arti dari sesuatu konsep ilmiah harus spesifik yang ditandai dengan pengujian terbatas yang menjelaskan suatu kriteria penggunaannya.

Arti suatu konsep secara penuh dan tegas dijelaskan melalui definisi operasionalnya. Dalam hal ini, konsep adalah siononim dengan seprangkat kegiatan yang bersesuaian dengan konsep tersebut. Lihat Baharuddin Ilyas dan Muhammad Arif Tiro, Metodologi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi, (Cet. I; Makassar: Andira Publisher, 2002), h. 48-49. dari fenomena yang digambarkan dalam konsep tersebut.2

Definisi operasional menjelaskan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang dapat diamati dengan tujuan untuk memberi definisi dari fenomena yang diwakili oleh konsep tersebut. Kebalikan dari definisi operasional adalah definisi konseptual, yaitu definisi yang menguraikan arti suatu konsep dengan menggunakan konsep lain. Misalnya, kekuatan (power) didefinisikan sebagai kemampuan seorang aktor (individu, kelompok, atau negara) untuk memerintah aktor lain guna melakukan suatu tindakan yang tidak dapat ditolaknya.3

Konsep ketaatan beragama didefinisikan secara operasional sebagai upaya memenuhi berbagai kewajiban agama (Islam), menginginkan untuk melaksanakan kewajiban yang belum tertunaikan dan melaksanakan berbagai anjuran agama sekalipun tidak wajib. Sementara itu, motif berprestasi didefinisikan sebagai memiliki semangat untuk mencapai prestasi yang lebih bagus dari apa yang dicapai hari ini, dan mewujudkan semangat tersebut dalam perilaku keseharian. Atas dasar apa peneliti mendefinisikan sebuah konsep? Peneliti merujuk kepada berbagai bahan pustaka.

Karena itu dalam penelitian kuantitatif terdapat satu bab khusus yang melakukan tinjauan pustaka. Dalam bab tersebut dibahas secara tuntas berbagai konsep yang digunakan dalam penelitian, termasuk indikator bagi setiap konsep yang sudah didefinisikan. Peneliti dapat merumuskan indikator ketaatan beragama berdasarkan berbagai bahan pustaka. Misalnya: peneliti meurmuskan indikator ketaatan beragama dengan 10 indikator, yakni: (a) tidak pernah meninggalkan salat lima waktu; (b) selalu melaksanakan puasa wajib; (c) membayar zakat/berniat membayar zakat bila memiliki kemampuan materi; (d) menunaikan ibadah haji/berniat menunaikan ibadah haji bila memiliki kemampuan materi; (e) selalu menunaikan salat sunat rawatib; (f) menunaikan salat sunat dhuha kecuali bila sangat terpaksa untuk meninggalkannya; (g) selalu melaksanakan salat sunat tahajud kecuali bila sedang sakit; (h) selalu membaca al-Quran setiap hari; (i) mempelajari bahasa Arab untuk memahami al-Quran.

Berdasarkan indikator tersebut peneliti dapat merumuskan daftar pertanyaan dalam mengumpulkan data. Berdasarkan sejumlah indikator yang sudah dirumuskan, peneliti dapat membuat skor untuk masing-masing indikator. Apakah responden memenuhi masing-masing indikator tersebut? Peneliti memberikan skor 1 untuk masing- masing indikator bila responden memenuhi indikator tersebut, dan memberikan skor 0 untuk masing-masing indikator bila responden tidak memenuhinya.

Dengan demikian, skor ketaatan beragama akan berkisar antara 1 sampai 10 dengan selang interval yang konstan. Untuk lebih jelasnya skor ketaatan beragama disajikan dalam tabel 4. 2 Lihat Baharuddin Ilyas dan Muhammad Arif Tiro, Ibid. 3 Lihat Baharuddin Ilyas dan Muhammad Arif Tiro, Ibid., h. 47. Tabel 1 Indikator Ketaatan Beragama dan Skor Untuk Masing-masing Indikator dari pertanyaan tersebut, peneliti dapat mengelompokan responden berdasarkan jawaban yang diberikan, seperti berdasarkan agama yang dianut.

Bila hasil penelitian disajikan dalam tabel dengan jumlah responden sebanyak 100 orang, maka gambaran tabel ialah sebagai berikut: Tabel 2 Distribusi Responden Menurut Agama Yang Dianut (N = 100). Agama Jumlah Responden Persentase (%)  Islam Katolik Protestan Hindu Budha 75 12 10 2 1 75 12 10 2 1  Total 100 100   Namun demikian, tidak seluruh indikator gejala sosial keagamaan diwujudkan dalam bentuk skor. Hal ini sangat tergantung pada skala pengukuran yang digunakan peneliti.

Dalam penelitian sosial dikenal adanya empat skala pengukuran, yakni: (a) nominal; (b) ordinal; (c) interval; dan (d) rasio. Berikut ini bahasan tentang masing-masing skala pengukuran tersebut: a. Nominal Pengukuran nominal adalah pengelompokan suatu gejala sosial atau gejala keagamaan tanpa mengurutkan dalam bentuk ranking. Bila peneliti bertanya: Agama apa yang anda anut? Apakah anda pernah tinggal di pesantren? Apakah anda pernah belajar al-Quran? Apakah anda pernah mendengar metode Iqra? Dengan beberapa pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan skala nominal.

Berdasarkan data yang diperoleh Dari tabel dan data ilustratif (data fiktif) yang disajikan dalam tabel 5 terlihat bahwa peneliti hanya mengelompokan responden berdasarkan agama yang dianut-tidak mengurutkan. Inilah yang disebut Skala nominal. b. Ordinal Pengukuran ordinal bukan hanya mengelompokan melainkan juga mengurutkan. Akan tetapi, jarak antara urutan tersebut tidak terurut secara baku. Misalnya, lama tinggal di pesantren dikelompokan menjadi lama (di atas 10 tahun), sedang (antara 5 s/d 10 tahun), dan sebentar (di bawah 5 tahun).

Pengelompokan ini sekaligus mengurutkan. Akan tetapi jarak antara lama, sedang, dan sebentar tidak terukur secara baku (konstan). Bila pengelompokan dan pengurutan tersebut disajikan dalam tabel dengan jumlah responden 100 orang, maka akan menghasilkan tabel sebagai berikut: Tabel 3 Distribusi Responden Menurut Lama Tinggal di Pesantren (N = 100) Tinggal di Pesantren Jumlah Responden Persentase %  Lama Sedang Sebentar 30 35 25 30 35 25  Total 100 100   c. Interval Ukuran ordinal seringkali tidak memuaskan bagi sebagian peneliti.

Peneliti ingin mengelompokkan dan mengurutkan responden dengan jarak yang konstan. Untuk itu, peneliti menggunakan skala interval. Contoh skoring untuk ketaatan beragama �seperti yang disajikan dalam tabel 4- merupakan skala interval. Tingkat ketaatan beragama yang disajikan dalam tabel 4 akan menghasilkan gugusan angka 0, 1, 2, 3, 4, 5, ... 10. Dengan demikian nampak bahwa jarak antara satu urutan dengan urutan berikutnya bersifat konstan, yakni 1 (satu).

Namun demikian dalam skala interval skor yang diperoleh tidak memiliki nilai nol (0) mutlak. Karena itu nilai ketaatan beragama tidak bisa dibagi atau dikali. Juga tidak bisa dikatakan bahwa ketaatan beragama dengan skro 10 sama dengan 2x5; atau sebaliknya angka 10 dibagi 2 menjadi 5. Mereka yang mendapat skor 5 memiliki angka sama dengan separuh ketaatan beragama orang lain. d. Rasio Skala rasio mengandung nilai waktu nol itu mutlak, sehingga angka hasil pengukuran itu bisa dibagi dan dikali. Ibarat tukang jahit yang sedang mengukur kain.

Satu meter kain sama dengan 10x10 cm. Satu meter kain bisa juga dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Skala rasio umumnya dipakai dalam ilmu eksak seperti untuk mengukur rambatan panas, volume, berat jenis, dan kepadatan besi. Dalam ilmu sosial skala rasio sangat jarang digunakan. Skala pengukuran yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial �termasuk untuk memahami gejala sosio religius� ialah skala interval, ordinal, dan nominal.

Penelitian kuantitatif yang sebenarnya ialah jika suatu fenomena diukur dengan skala interval, sehingga peneliti dapat menggunakan analisis ragam (anova) atau analisis peragam (ancova). Penelitian yang masih menggunakan skala ordinal dan nominal-menurut para ahli statistik-masih masuk kategori penelitian kualitatif. Statistik yang digunakan hanyalah statistik non-parametrik dan uji X2. 3. Variabel Salah satu unsur penting dalam penelitian kuantitatif adalah variabel. Kerlinger menyebutkan bahwa konstruk- konstruk atau sifat-sifat yang menjadi obyek studi dinyatakan sebagai variabel.

Contoh-contoh variabel dalam sosiologi, psikologi, dan pendidikan antara lain: jenis kelamin, penghasilan, kelas sosial, produktivitas organisasi, mobilitas pekerjaan, tingkat aspirasi, bakat/kecakapan verbal, kecemasan, afiliasi agama, preferensi politik, pembangunan/perkembangan politik (menyangkut suatu bangsa/negara), orientasi kerja, sikap/paham antisemit, konformitas, daya ingat (recall memory), daya kenal (recognition memory), dan prestasi.4 Variabel dapat diterjemahkan juga sebagai suatu sifat yang dapat memiliki bermacam nilai. Atau secara meluas dikatakan bahwa variabel adalah sesuatu yang bervariasi.

Variabel juga merupakan simbol atau lambang yang padanya dapat dilekatkan bilangan atau nilai. Misalnya, X adalah sebuah variabel, ia adalah suatu simbol atau lambang yang padanya dilekatkan nilai berupa angka.5 Menurut Rahmat bahwa variabel ialah sifat-sifat konstruk yang sudah diberi nilai dalam bentuk bilangan.6 Misalnya: peneliti yang sedang mengukur sikap modernisasi ajaran Islam, maka sikap tersebut dikelompokan menjadi: tidak setuju, ragu-ragu, dan setuju.

Masing-masing diberi angka 1, 2, dan 3. Namun demikian, tidak seluruh nilai konstruk bisa diberi notasi bilangan. Jenis kelamin, misalnya, hanya bisa dikelompokan menjadi laki-laki dan perempuan. Agama hanya bisa dikelompokan secara nominal menjadi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Pekerjaan bisa dikelompokan menjadi pegawai negeri, pegawai swasta, pedagang, dan pekerjaan tidak tetap.

Dengan demikian, tidah seluruh variabel dapat diberi notasi angka. Karena itu, menurut Singarimbun menyatakan bahwa variabel ialah konsep yang memiliki variasi 4 Fred N. Kerlinger, �Foundation of Behavioral Research�, (3 rd Ed), diterj. Asas-asas Penelitian Behavioral, Ed. III, (Cet. VIII; Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002), h. 49. 5 Lihat Fred N. Kerlinger, Ibid.

6 Jalaluddin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1986), h. 17. nilai.7 Badan bukan variabel, tetapi berat badan adalah variabel. Demikian halnya tingkat pendidikan, tingkat ketaatan beragama, dan rasa keberagamaan merupakan variabel. Variabel dapat dikelompokan menjadi variabel bebas (variabel yang mempengaruhi) dan variabel terikat (variabel terpengaruh). Bila seseorang melakukan penelitian �Pengaruh Pola Pendidikan terhadap Ketaatan Beragama� ialah variabel terikat.

Demikian halnya bila seseorang melakukan penelitian �Hubungan Ketaatan Beragama dengan Motif Berprestasi Karyawan PT X di Jabotabek�, maka �Ketaatan Beragama� merupakan variabel bebas, sedangkan �Motif Berprestasi� merupakan variabel terikat. 4. Teori Teori merupakan unsur penting dalam penelitian kuantitatif. Mengapa ketaatan beragama dijadikan variabel bebas dan motif berprestasi dijadikan variabel terikat? Hal ini dibimbing oleh sebuah teori. Teori yang digunakan penelitian dalam hal ini ialah berbagai teori yang mengaitkan ketaatan beragama dengan keberhasilan ekonomi, seperti pandangan klasik Max Weber yang mengaitkan etika Protestan dengan munculnya kapitalisme; atau hasil kajian Robert N.

Bellah yang menghubungkan antara Budhisme dengan keberhasilan ekonomi masyarakat Jepang. Penelitian kuantitatif seringkali berusaha membuktikan teori secara deduktif. Karena itu, hasil penelitian bersifat verifikatif (membuktikan teori). Berdasarkan teori tersebut peneliti merumuskan hipotesis yang siap dilakukan pengujian. 7 Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 21. Berbagai uji-uji statistik dilakukan untuk menguji hipotesis. Hasilnya, hipotesis diterima atau ditolak. 5. Hipotesis Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan suatu fenomena keagamaan tertentu yang terjadi di masyarakat.

Karena itu, penelitian deskriptif tidak memerlukan hipotesis. Kalaupun ada hipotesis dalam penelitian deskriptif, sifatnya hanya pernyataan penelitian, tidak perlu dirumuskan dalam sebuah hipotesis secara eksplisit. Lain halnya bagi penelitian korelasional dan eksperimen. Penelitian korelasional bertujuan mengetahui apakah ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Demikian halnya eksperimen ingin mengetahui apakah ada pengaruh perlakuan (variabel bebas) terhadap suatu gejala (variabel terikat).

Misalnya: dalam penelitian korelasional, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara ketaatan beragama dengan motif berprestasi. Dalam eksperimen, misalnya, peneliti ingin mengetahui apakah ada pengaruh metode mengajar tertentu (variabel bebas) terhadap peningkatan kemampuan bahasa Arab siswa (veriabel terikat). Kedua bentuk penelitian tersebut memerlukan hipotesis untuk kemudian dilakukan uji statistik guna melihat hubungan atau pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Hipotesis adalah pernyataan dugaan (conjectural) tentang hubungan antara dua variabel atau lebih.8

Hipotesis biasanya dinyatakan dalam dua pernyataan, yakni: pernyataan yang menyatakan adanya hubungan antara variabel bebas dengan varibel terikat atau menyatakan adanya pengaruh variabel bebas (perlakuan) terhadap variabel teriakat. Hipotesis ini disebut H1. Singarimbun menyebutkan sebagai Hk.9 Selain itu, harus ada hipotesis alternatif yang meniadakan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Hipotesis alternatif ini disebut Ho, atau kadang-kadang juga Ha. Mengenai istilah, memang tidak ada yang baku.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam contoh berikut ini: H1: terdapat hubungan antara ketaatan bergama dengan produktifitas kerja karyawan PT X di Jabotabek. Ho: tidak ada hubungan antara ketaatan beragama dengan produktifitas kerja karyawan PT X di Jabotabek. Berdasarkan hipotesis tersebut peneliti mengadakan uji statistik. Jika peneliti berhasil menolak hipotesis alternatif (Ho), maka peneliti dapat menyimpulkan adanya hubungan antara ketaatan beragama dengan produktifitas kerja. Sebaliknya, jika hasil uji statistik menunjukan Ho diterima peneliti dapat menyimpulkan tidaka ada hubungan antara ketaatan beragama dengan produktifitas kerja.

Dalam uji statistik, logika matematika digunakan untuk membuktikan apakan Ho diterima atau ditolak. Contoh hipotesis lain untuk penelitian eksperimen ialah sebagai berikut H1: ada pengaruh metode belajar terhadap kemampuan bahasa Arab siswa madrasah tsanawiah. 8 Lihat Fred N. Kerlinger, Op. Cit., h. 30. 9 Lihat Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Op. Cit., h. 22. Ho: tidak ada pengaruh metode belajar terhadap Bila peneliti tidak bermaksud menggambarkan populasi   kemampuan bahasa Arab siswa madrasah berdasarkan sampel yang diambil, sehingga peneliti   tsanawiah.

Demikin halnya, berdasarkan hipotesis ini peneliti melakukan pengujian ada atau tidak adanya pengaruh perlakuan (menerapkan metode belajar tertentu) terhadap peningkatan kemampuan bahasa Arab siswa tsanawiyah. Jika Ho ditolak berarti terdapat pengaruh perbedaan metode belajar terhadap peningkatan kemampuan bahasa Arab siswa. Sebaliknya, bila Ho diterima berarti tidak ada pengaruh perbedaan metode terhadap peningkatan kemampuan bahasa Arab siswa. 6. Populasi dan Sampel Populasi dan sampel merupakan unsur penting dalam penelitian deskriptif dan korelasional yang bersifat kuantitatif.

Penelitian deskriptif dan korelasional bertujuan menggambarkan karakteristik populasi berdasarkan sampel yang diamati. Karakteristik populasi disebut parameter, sedangkan karakteristik sampel disebut statistik. Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan parameter melalui statistik. Karena itu, penelitian deskriptif dan korelasi yang berusaha menggambarkan populasi berdasarkan sampel sering disebut penelitian survei. Atas hal demikian, prinsip utama dalam penarikan sampel ialah keterwakilan. Artinya, sampel yang harus diambil harus mewakili populasi.

Untuk itu, terdapat beragam teknik penarikan sampel agar memenuhi prinsip keterwakilan. Teknik penarikan sampel sudah dibahas dalam berbagai buku metode penelitian, sehingga tidak perlu diulang dalam pembahasan ini. mengabaikan prinsip keterwakilan, maka peneliti deskriptif berubah menjadi studi kasus. Karena itu, studi kasus ialah penelitian yang berusaha menggambarkan sebuah kasus, tanpa bermaksud menggambarkan populasi melalui sampel yang ditarik.

Demikian halnya bila sampel ditarik secara purposif (sampel ditarik tidak secara acak) atau ditarik melalui teknik quota sampling (responden sudah ditentukan oleh peneliti bukan melalui prosedur acak), maka penelitian tersebut bukan penelitian deskriptif melainkan studi kasus. Penelitian korelasional yang juga mengharuskan adanya keterwakilan yakni penarikan sampel harus dilakukan secara acak. Namun demikian, bila prinsip acak tidak terpenuhi, maka penelitian tidak memiliki kemampuan untuk menarik kesimpulan mengenai populasi berdasarkan sampel yang diamati.

Karena itu, penelitian korelasional semacam ini dikategorikan studi kasus. Berbeda dengan penelitian deskriptif dengan korelasional, penelitian eksperimen tidak bermaksud menggambarkan populasi berdasarkan sampel (bukan penelitian survei), melainkan hanya berminat mengetahui sejauh mana perlakuan dalam bentuk variabel bebas berpengaruh pada variabel terikat. Misalnya: peneliti memiliki tiga bentuk media untuk mengajarkan bahasa Arab.

Mana di antara tiga media tersebut yang paling berhasil meningkatkan kemampuan bahasa Arab siswa? Maka, peneliti melakukan percobaan (eksperimen) untuk menguji media tersebut. Karena peneliti memiliki tiga media, ia memerlukan tiga kelompok responden atau tiga unit eksperimen. Peneliti tidak mempermasalahkan apakah tiga kelompok responden tersebut mewakili populasi atau tidak. Ia hanya mengharapkan pemilihan responden dilakukan secara acak; juga penempatan responden pada masing-masing unit eksperimen dilakukan secara acak.

Penelitian kuasi eksperimen sebenarnya tidak berbeda dengan eksperimen, yakni hanya berminat mengatahui pengaruh perlakuan. Perbedaannya, penelitian kuasi eksperimen tidak membentuk unit-unit eksperimen melainkan memanfaatkan kelompok masyarakat yang sudah ada di masyarakat. Kita mengetahui bahwa ditengah masyarakat terdapat banyak kelompok, seperti kelompok pengajian, kelompok pos yandu, kelompok arisan, kelompok paguyuban, dan lain-lain yang secara rutin melakukan pertemuan.

Jika peneliti mempertanyakan media yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Arab, ia tidak perlu membentuk unit-unit eksperimen melainkan melakukan uji coba pada kelompok yang sudah ada, seperti kelas atau kelompok-kelompok lainnya. Ia kemudian melakukan pengujian pada kelompok tersebut untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Jika kelompok yang terpilih menjadi unit eksperimen memiliki anggota cukup banyak peneliti tidak perlu melakukan pengujian.

Pada seluruh anggota kelompok, melainkan cukup memilihnya secara acak mana di antara anggota kelompok tersebut yang dipilih menjadi responden penelitian. 7. Disain Penelitian Kuantitatif Didepan sudah disebutkan bahwa sedikitnya terdapat 6 bentuk penelitian gejala keagamaan yakni: ekploratif, deskriptif, historis, korelasional, eksperimen, dan kuasi eksperimen. Pelitian deskriptif dan korelasional dapat dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sedangkan penelitian eksperimen dan kuasi eksperimen hanya bisa dilakukan secara kuantitatif.

Penelitian kuantitatif untuk masing-masing bentuk penelitian tersebut memiliki disain tersendiri, terlebih-lebih penelitian eksperimen dan kuasi eksperimen yang memiliki disain yang ketat dan baku. Berikut ini akan diuraikan mengenai disain penelitian deskriptif dan korelasional yang bersifat kuantitatif, serta disain penelitian eksperimen dan kuasi eksperimen. a.

Disain penelitian deskriptif Peneltian deskriptif bertujuan menggambarkan suatu fenomena sosial keagamaan dengan variabel pengamatan sudah ditentukan secara jelas dan spesifik. Contoh judul penelitian deskriptif ialah: �Persepsi Mahasiswa terhadap Model Kajian Islam di IAIN Ciputat. Studi di Tiga Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Barat.� Yang menjadi variabel pengamatan dalam judul penelitian ini adalah �persepsi�. Unsur-unsur yang harus ada dalam disain penelitian deskriptif ialah: (a) latar belakang; (b) permasalahan; (c) tujuan penelitian; (d) kegunaan penelitian; (e) kerangka teori; (f) variabel penelitian; (g) definisi variabel; (h) populasi; (i) sampel; (j) data yang dikumpulkan; (k) intrumen penelitian; (l) pengumpulan data; (m) analisi isi. Bagaimana bentuk outline dari penelitian deskriptif tersebut? Outline dari penelitian deskriptif sebenarnya tidak ada yang baku.

Berikut contoh outline penelitian deskriptif yang dapat digunakan. BAB I : PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Kegunaan Penelitian Variabel Penelitian BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI BAB III : METODE PENELITIAN Lokasi penelitian Populasi Sampel Data dan Instrumentasi Pengumpulan Data Analisi Data BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bila contoh penelitian yang dikemukakan di atas benar- benar akan diteliti maka latar belakang penelitian penelitia dijabarkan: terdapat beberapa model kajian Islam di IAIN yang berbeda dengan model kajian Islam tradisional. Kemudian disebutkan juga terdapat pro dan kontra terhadap model kajian Islam tersebut.

Pro dan kontra terhadap kajian Islam di IAIN sebenarnya bukan hanya terjadi di kalangan kaum tradisionalisis, tetapi juga di kaum intelektual. Penelitian kemudian menyatakan minatnya untuk mengetahui persepsi mahasiswa di luar IAIN terhadap pro dan kontra tersebut. Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan, peneliti dapat merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1) Apa saja model kajian Islam yang dianggap kontroversi di kalangan para ahli? 2) Bagaimana persepsi mahasiswa di Tiga Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Barat terhadap model kajian Islam di IAIN? 3) Apa saja faktor yang memberikan kontribusi pada perbedaan persepsi mahasiswa terhadap model kajian Islam di IAIN? Tujuan penelitian ialah penegasan kembali permasalahan penelitian dalam bahasa yang berbeda. Tujuan penelitian dimaksudkan untuk lebih menegaskan fokus penelitian dan target yang hendak dicapai dalam penelitian.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, tujuan penelitiannya sebagai berikut: a) Mengetahui bentuk-bentuk kajian Islam di IAIN yang bersifat polemis di kalangan kaum intelektual non-IAIN. b) Mengetahui pandangan mahasiswa di Tiga Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Barat terhadap bentuk kajian Islam di IAIN. c) Memperoleh informasi tertang berbagai variabel yang diduga memberikan pengaruh pada keragaman persepsi mahasiswa terhadap model kajian Islam di IAIN. Penelitian yang diharapkan diharapkan memiliki kegunaan dalam membantu memecahkan masalah yang dicapai masyarakat, serta memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua hal itu harus dikemukakan secara eksplisit dalam kegunaan penelitian.

Kegunaan penelitian juga merupakan pernyataan tanggung jawab seorang peneliti/ilmuwan dalam memecahkan berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dalam contoh di atas, kegunaan penelitian dapat di kemukakan sebagai berikut: Informasi tentang model-model kajian Islam di IAIN merupakan masukan yang sangat berguna untuk menyempurnakan model kajian Islam di IAIN yang dinilai cukup polemis; Informasi tentang keragaman persepsi terhadap model kajian Islam merupakan input cukup penting dalam mewujudkan mmodel kajian Islam yang tepat bagi semua kelompok masyarakat.

Dengan adanya informasi tentang berbagai faktor yang berpengaruh pada keragaman persepsi terhadap model kajian Islam di IAIN dapat ditelusuri berbagai akar filosofis yang menyebabkan terjadinya keragaman, sehingga dapat dirumuskan model kajian Islam sesuai dengan akar filosofis tersebut. Secara akademis penelitian ini berguna dalam rangka mewujudkan model kajian Islam yang bernuansa sosiologis dan memiliki akar kultural dalam masyarakat. Apa saja variabel yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian ini? Variabel harus disebutkan secara eksplisit dalam sub bab tersendiri, serta didefinisikan secara jelas sehingga menjadi terukur dan teramati. Selain itu, variabel yang sudah didefinisikan harus menggambarkan dimensi variabel atau indikator bagi variabel tersebut.

Variabel yang menjadi fokus penelitian dalam contoh ini ialah: 1) Bentuk kajian Islam di IAIN ialah pendekatan dalam memahami teks ajaran Islam (nash) yang selama ini menjadi kecenderungan intektual di IAIN Jakarta, yakni pendekatan sosio-historis, rasional, dan pendekatan tekstual. 2) Persepsi terhadap model kajian Islam di IAIN merupakan variabel terikat yang dipengaruhi oleh variabel lain. Yang dimaksud dengan persepsi ialah pandangan responden terhadap bentuk pemahaman terhadap teks kitab suci.

Yakni pandangan terhadap pendekatan sosio-historis, rasional, dan pendekatan tekstual yang dibedakan menjadi: (a) tepat, (b) kurang tepat,(c) menyesatkan, dan (d) lain-lain. 3) Variabel yang diduga mempengaruhi persepsi responden terhadap model kajian Islam (variabel bebas) ialah: (a) kelompok pengajian yang diikuti, (b) latar belakang pendidikan pesantren, (c) buku- buku yang dibaca, dan (d) pergaulan.

Tinjauan Pustaka ialah suatu bab khusus yang berusaha melakukan pengkajian terhadap berbagai variabel yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini yang perlu ditinjau adalah berbagai hal yang terkait dengan model pemahaman terhadap naskah kitab suci dan Hadis Rasul. Mengapa pemahaman terhadap kitab suci dan Hadis Rasul dibedakan menjadi tiga pendekatan, yakni: pendekatan sosio-historis, rasional, dan pendekatan tekstual? Yang harus diperoleh dalam kepustakaan adalah akar intelektual yang memunculkan perbedaan ketiga pendekatan; spesifikasi perbedaan antara ketiga pendekatan; dan indikator yang membedakan ketiga bentuk pendekatan tersebut. Pengelompokan menjadi tiga kategori pendekatan harus muncul dari studi kepustakaan.

Karena itu, terdapat kemungkinan peneliti melakukan pengelompokan yang lain berdasarkan studi kepustakaan. Selai itu, yang perlu dari kajian pustaka adalah gambaran tentang perbedaan persepsi terhadap pendekatan dalam memahami naskah kitab suci dan Hadis Rasulullah SAW. Mengapa terjadi perbedaan persepsi? Adakah akar intektual yang berbeda di kalangan umat Islam yang menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi tersebut? Adakah faktor lain yang mendorong terjadinya perbedaan persepsi tersebut? Bahasan memberikan argumentasi mengapa peneliti memilih beberapa variabel bebas yang sudah disebutkan.

Hal lain yang diperoleh adalah: bagaimana peneliti mendefinisikan variabelnya? Mengapa persepsi responden terhadap model kajian Islam dibedakan menjadi (a) tepat, (b) kurang tepat,(c) menyesatkan, dan (d) lain-lain? Pengelompokan menjadi empat kategori persepsi tersebut harus muncul berdasarkan studi kepustakaan, bukan sebaliknya-yakni peneliti mengelompokan kemudian mencari justifikasinya. Hal lain yang perlu dicantumkan dalam disain penelitian deskriptif ialah metode penelitian, yang meliputi: lokasi penelitian, populasi, teknik penarikan sampel, data yang hendak dikumpulkan, instrumen yang digunakan, pengumpulan dan analisis data.

Bahkan dalam penelitian kuantitatif yang baik, instrumen yang digunakan terlebih dahulu diuji coba untuk mengetahui validitas (keterandalan) alat ukur dan reliabilitas (tingkat dimana alat ukur/instrumen dapat dipercaya). b. Disain Penelitian Korelasional Penelitian korelasional adalah sebuah penelitian yang berusaha mengetahui hubungan antara satu variabel dengan variabel lain. Yang pertama disebut variabel bebas, yang kedua disebut variabel terikat.

Dengan demikian, peneliti memiliki fokus yang jelas tentang variabel bebas dan veriabel terikat. Peneliti menempatkan variabel menjadi variabel bebas dan variabel terikat berdasarkan hasil studi kepustakaan, di mana peneliti menemukan teori yang hendak dibuktikan kebenarannya berdasarkan data lapangan. Karena itu, penelitian korelasional bersifat deduktif (mulai dari teori), kuantitatif, dan verifikatif (membuktikan teori). Adapun disain penelitian korelasional ialah: peneliti menentukan dengan tegas bentuk variabel bebas dan variabel terikat penelitian.

Selanjutnya peneliti menentukan hipotesis untuk menguji hubungan kedua variabel tersebut. Dan kemudian peneliti mendeteksi berbagai variabel lain yang mungkin memiliki hubungan dengan variabel terikat. Disain penelitian korelasional dapat disajikan dalam bentuk skema berikut ini: X Y X1 ......... X2 ........... X3 ........... Sesuai disain tersebut, gambaran outline penelitian korelasional adalah: BAB I : PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Variabel Penelitian Hipotesis Penelitian BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI BAB III : METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Populasi Sampel Data dan Instrumentasi Pengumpulan Data Analisis Data BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Perbedaan pokok antara outline penelitian deskriptif dengan penelitian korelasional ialah adanya hipotesis penelitian, yang merupakan pernyataan tentatif mengenai hubungan antara suatu variabel dengan variabel bebas.

Salah satu contoh penelitian korelasional adalah �Hubungan Pengkajian Haroki dengan Persepsi terhadap Model Kajian Islam di IAIN: Studi Mahasiswa di Tiga Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Barat�. Sebagaimana penelitian deskriptif, penelitian korelasional dimulai dari latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, variabel penelitian (variabel bebas dan variabel terikat), dan hipotesis penelitian.

Variabel bebas dalam judul penelitian tersebut ialah �Pengkajian Haroki�, sedangkan variabel terikat adalah �Persepsi terhadap Model Kajian Islam di IAIN�. Beberapa variabel yang harus didefinisiskan ialah: (a) model kajian Islam di IAIN, (b) pengkajian haroki, (c) persepsi terhadap model kajian Islam di IAIN. Hipotesis yang dirumuskan berdasarkan variabel bebas dan variabel terikat ialah: H1: Terdapat hubungan antara aktifitas pengkajian haroki dengan perbedaan persepsi terhadap model kajian Islam di IAIN. H2: Tidak terdapat hubungan antara pengkajian haroki dengan perbedaan persepsi terhadap model kajian Islam di IAIN.

Bila yang dimaksudkan dengan model kajian Islam di IAIN tersebut adalah cara memahami teks kitab suci dan Hadis Rasulullah SAW dibagi menjadi tiga bagian, yakni: (a) pendekatan tekstual, (b) pendekatan rasional, dan (c) pendekatan sosio-kultural, maka hipotesis utama dapat dibagi menjadi beberapa sub hipotesis, yaitu: H1: Terdapat hubungan antara aktifitas pengkajian haroki dengan perbedaan persepsi terhadap pemahaman al-Quran lewat pendekatan tekstual. Ho: Tidak terdapat hubungan antara aktifitas pengkajian haroki dengan perbedaan persepsi terhadap pemahaman al-Quran lewat pendekatan tekstual.

H1: Terdapat hubungan antara aktifitas pengkajian haroki dengan perbedaan persepsi terhadap pemahaman al-Quran lewat pendekatan sosio- kultural. Ho: Tidak terdapat hubungan antara aktifitas pengkajian haroki dengan perbedaan persepsi terhadap pemahaman al-Quran lewat pendekatan sosio-kultural. H1: Terdapat hubungan antara aktifitas pengkajian haroki dengan perbedaan persepsi terhadap pemahaman al-Quran lewat pendekatan rasional. Ho: Tidak terdapat hubungan antara aktifitas pengkajian haroki dengan perbedaan persepsi terhadap pemahaman al-Quran lewat pendekatan rasional.

Di samping hipotesis tersebut, peneliti dapat menjajagi berbagai variabel lain yang diduga memberikan kontribusi pada perbedaan persepsi, kemudian merumuskan hipotesis dan melakukan pengujian. Dengan demikian, dapat diketahui variabel yang berhubungan paling signifikan dengan perbedaan persepsi terhadap model kajian Islam di IAIN. c. Disain Penelitian Eksperimen Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang memiliki disain baku. Secara ringkas penelitian eksperimen dapat dikelompokan menjadi dua, yakni: Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan disain faktorial atau Rancangan Acak kelompok (RAK).10

RAL hanya memiliki perlakuan satu arah, sedangkan RAK memiliki perlakuan dua arah. Untuk lebih jelasnya, kedua disain penelitian eksperimen tersebut dapat disimak dalam contoh berikut ini. Seorang guru memiliki tiga metode mengajar bahasa Arab yang biasa digunakan. Ia kemudian ingin mengetahui, maka di antara ketiga metode itu paling efektif meningkatkan pengetahuan siswa tentang bahasa Arab.

Karena terdapat tiga metode mengajar, sang guru memerlukan tiga kelompok eksperimen. Kelompok A mendapat perlakuan XI, kelompok B mendapat perlakuan X2, dan kelompok C mendapat perlakuan X3. Masing-masing metode yang akan diuji coba disebut perlakuan. Tiga kelompok siswa yang akan mendapat perlakuan itu disebut kelompok perlakuan atau kelompok eksperimen. Bila masing-masing kelompok eksperimen beranggotakan 20 orang, maka jumlah responden untuk tiga kelompok eksperimen itu sebanyak 60 orang.

Responden yang berjumlah 60 orang tersebut diambil secara acak dari seluruh siswa sekolah tempat eksperimen akan dilaksanakan. Penempatan siswa ke dalam masing-masing unit eksperimen --siapa mendapat perlakuan apa-- dilakukan secara acak. Disain demikian disebut rancangan acak lengkap (RAL) karena perlakuan berlangsung hanya satu arah. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam tabel berikut ini. 10 Donald T. Campbel dan Julian C. Stanley, Experimental and Qusi- Experimental Design for Research, (Chicago: Rand McNally College Publishing Company, 1963), h.

26-27, dalam U. Maman Kh, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi�Op.Cit., h. 256. Tabel 4 Contoh Disain Rancangan Acak Lengkap unit-unit eksperimen tersebut ialah: (a) metode 1 bagi siswa pria, (b) metode 1 bagi siswa wanita, (c) metode 2 bagi siswa pria, (d) metode 2 bagi siswa wanita, (e) metode 3 bagi siswa pria, (f) metode 3 bagi siswa wanita. Bagi masing-masing kelompok eksperimen disajikan dalam bentuk tabel akan dihasilkan tabel dua arah, yaitu tabel dengan matriks 3 x 2 seperti di bawah ini: Tabel 5a.

Contoh Disain Rancangan Acak Kelompok Atas disain RAL yang disajikan dalam table 8, peneliti dapat mengajukan hipotesis sebagai berikut: H1: Terdapat pengaruh perbedaan metode belajar terhadap kemampuan bahasa Arab siswa. Ho: Tidak terdapat pengaruh perbedaan metode belajar terhadap kemampuan bahasa Arab siswa. Peneliti seringkali tidak puas hanya dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Atau seringkali eksperimen tidak akan berhasil dengan baik kalau hanya menggunakan disain RAL.

Karena itu, peneliti sering menggunakan disain rancangan acak kelompok (RAK) yang juga sering disebut faktorial. Misalnya, peneliti yang sedang melakukan uji coba tiga metode pengajaran bahasa Arab memiliki dugaan kuat bahwa metode tersebut akan mendatangkan hasil yang berbeda bila diterapkan kepada jenis kelamin yang berbeda. Karena itu, ketiga metode belajar bahasa Arab tersebut harus diuji cobakan kepada kelompok pria dan wanita. Dengan demikian, peneliti memiliki dua kelompok responden (pria dan wanita) untuk menguji ketiga metodenya, sehingga unit eksperimen bukan hanya tiga melainkan enam kelompok. Untuk lebih jelasnya,  Disain yang disajikan dalam tabel 8a disebut disain faktorial 3 x 2. Artinya, disain tersebut memiliki 3 kolom dan 2 baris.

Keberadaan disain diatas memilki arti yang cukup penting kerena peneliti dapat mengetahui secara persis, apakah terdapat pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap hasil belajar bahasa Arab atau tidak. Pengaruh jenis kelamain dapat diketahui melalui analisis ragam. Bila jenis kelamin tidak berpengaruh, perbedaan hasil belajar bahasa Arab benar-benar akibat perbedaan metode mengajarnya. Karena itulah, peneliti dapat mengetahui metode mana dari ketiga metode tersebut yang paling efektif meningkatkan kemampuan berbahasa Arab.

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap hasil belajar, peneliti dapat menggunakan analisis ragam. Demikian halnya untuk mengetahui metode yang paling efektif, peneliti dapat melakukan berbagai bentuk analisis perbandingan. Karena eksperimen tersebut bersifat dua arah (faktorial), maka hipotesis penelitiannya dapat dirumuskan sebagai berikut: H1: Terdapat pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap kemampuan bahasa Arab siswa Ho: Tidak terdapat pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap kemampuan bahasa Arab siswa H1: Terdapat pengaruh perbedaan metode belajar terhadap kemampuan bahasa Arab siswa. Ho: Tidak terdapat pengaruh perbedaan metode belajar terhadap kemampuan bahasa Arab siswa.

Contoh lain bagi pengaruh faktorial adalah kasus Adapun bentuk outline penelitian eksperimen, baik rancangan acak lengkap (RAL) maupun rancangan acak kelompok (RAK) sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Variabel Penelitian Hipotesis Penelitian BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN seorang penyuluh bahaya narkoba. Ia ingin menguji apakah ada  KERANGKA TEORI  pengaruh perbedaan gambar dan warna dalam sebuah slide BAB III : METODE PENELITIAN  terhadap peningkatan kesadaran siswa SMA tentang bahaya  Lokasi Penelitian  narkoba.

Gambar dibedakan menjadi gambar garis dan gambar  Unit Eksperimen  foto, sedangkan warna dibedakan menjadi berwarna dan tanpa  Disain Eksperimen  warna. Karena itu, ia harus merancang empat bentuk slide  Data dan Instrumentasi  yakni: (a) slide gambar garis tanpa warna, (b) slide gambar garis  Pengumpulan Data  berwarna, (c) slide gambar foto tanpa warna, (d) slide gamabar  Analisis Data  foto berwarna. Bila disajikan dalam bentuk tabel akan diperoleh BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN  tabel sebagai berikut: BAB V : KESIMPULAN DAN  Tabel 5b.

Contoh Disain Rancangan Acak Kelompok  REKOMENDASI   d. Disain Penelitian Kuasi-Eksperimen Penelitian kuasi-eksperimen sebenarnya tidak banyak berbeda dengan penelitian eksperimen. Perbedaannya terletak pada unit-unit eksperimennya. Dalam penelitian eksperimen sang peneliti hanya membentuk kelompok eksperimen, sementara dalam kuasi-eksperimen sang peneliti tinggal memanfaatkan kelompok yang sudah ada di masyarakat.

Dalam penelitian eksperimen seperti contoh pada tabel 7, peneliti harus membentuk tiga kelompok eksperimen yang dipilih dan dikelompokan secara acak. Demikian halnya dengan disain faktorial seperti tampak dalam tabel 8a memerlukan enam unit eksperimen, dan disain faktorial yang disajikan dalam tabel 8b memerlukan empat unit eksperimen. Unit-unit eksperimen tersebut harus dibentuk dan diteliti. Realisasinya tidak mudah bagi peneliti untuk membentuk unit-unit eksperimen dalam kondisi tertentu.

Untuk memecahkan kesulitan ini dikembangkan penelitian kuasi-eksperimen, yakni penelitian eksperimen yang memanfaatkan kelompok-kelompok yang sudah ada di masyarakat, seperti kelompok tani, kelompok capir, posyandu, dan lain-lain. Peneliti memberi perlakuan kepada kelompok- kelompok yang diteliti. Sebelum proses perlakuan berlangsung, peneliti bisa melakukan pretest (uji sebelum perlakuan). Dan setelah selesai perlakuan, peneliti dapat melakukan posttest (uji setelah perlakuan).

Penelitian kuasi-eksperimen memiliki kelebihan, yakni anggota kelompok yang menjadi unit-unit eksperimen tidak merasa diberi perlakuan, sebab perlakuan dapat diberikan pada saat mereka berkumpul. Seluruh anggota kelompok dapat memperoleh perlakuan sesuai dengan tujuan peneliti, meski tidak seluruh anggotanya menjadi responden. Di sini peneliti dapat memilih anggota kelompok secara acak untuk menjadi responden. Melalui penelitian kuasi-eksperimen, peneliti dapat memiliki dugaan kuat bahwa kelompok yang akan menjadi unit eksperimen memiliki homogenitas.

Hal ini dapat diperkuat dengan angka hasil pre-test. Bila ternyata tidak seragam, peneliti dapat melakukan kontrol statistik berdasarkan angka hasil pre- test. Mengenai disain penelitian kuasi-eksperimen sama sekali tidak berbeda dengan disain penelitian eksperimen. Lebih jelasnya, berikut ini akan dipaparkan outline penelitian kuasi- eksperimen. BAB I : PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Variabel Penelitian Hipotesis Penelitian BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI BAB III : METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Unit Eksperimen Disain Eksperimen Data dan Instrumentasi Pengumpulan Data Analisis Data BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.

Pengumpulan dan Analisis Data Setelah merumuskan disain penelitian, tahapan yang harus dilakukan adalah pengumpulan data dan analisis data. Data dapat dikumpulkan dengan baik bila peneliti sudah menentukan populasi dan sampel penelitian dalam penelitian deskriptif dan korelasional, atau jika peneliti sudah menentukan unit-unit eksperimen dalam penelitian eksperimen. Penarikan sampel dilakukan dengan prinsip keterwakilan. Artinya, sampel harus mewakili populasi, sehingga peneliti dapat menyimpulkan karakteristik atau keadaan populasi berdasarkan sampel.

Bila prinsip keterwakilan tidak terpenuhi, seperti sampel yang ditarik secara purposif atau kuota, peneliti tidak dapat menyimpulkan karakteristik pupulasi berdasarkan sampel. Teknik penarikan sampel sudah dibahas dalam buku-buku metode penelitian, sehinga tidak perlu diulang dalam buku ini. Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian deskriptif dan korelasional adalah wawancara terstruktur. Dalam wawancara terstruktur pertanyaan disusun berdasarkan definisi operasional dan pengukuran variabelnya.

Variabel dapat diukur secara nominal, ordinal, maupun interval. Bila variabel disusun secara nominal, peneliti dapat mengajukan beberapa pertanyaan. Misalnya: agama apa yang anda anut? Apakah Anda pernah tinggal di pesantren? Apakah Anda pernah belajar al-Quran? Apakah Anda pernah mendengan metode iqra? Data hasil penelitian yang diukur dalam skala nominal dikelompokan dan disajikan dalam tabel distribusi, seperti dicontohkan dalam tabel 5. Demikian halnya bila variabel hendak diukur menurut skala ordinal, pertanyaan disesuaikan dengan skala tersebut.

Untuk mengukur lama tingggal di pesantren, peneliti dapat mengjukan pertanyaan: berapa lama Anda tinggal di pesantren? Peneliti kemudian mengelompokkan lama tinggal di pesantren menjadi lama (di atas 10 tahun), sedang (antara 5 s/d 10 tahun), dan sebentar (di bawah 5 tahun). Data dapat disajikan dalam tabel distribusi, seperti nampak dalam tabel 7. Untuk mengumpulkan data yang diukur menurut skala interval, peneliti harus mengumpulkan sejumlah indikator variabel �ketaatan beragama�.

Misalkan variabel �ketaatan beragama� memiliki sepuluh indikator seperti yang disajikan dalam tabel 4. Berdasarkan indikator tersebut peneliti dapat merumuskan daftar pertanyaan sebagai berikut: Tabel 6 Distribusi Responden Menurut Ketaatan Beragama Pertanyaan Ya Tidak  1. Apakah Anda selalu melaksanakan salat lima waktu? 2. Apakah Anda selalu melaksanakan puasa wajib? 3. Apakah Anda mengetahui nishab zakat? 4. Apakah Anda sudah wajib zakat? 5. Apakah Anda selalu membayar zakat? 6.

Apakah Anda berminat membayar zakat bila mampu?    Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat dianalisis dengan teknik seperti disajikan dalam tabel 4. Hasil skoring dapat diturunkan menjadi sakala ordinal dan disajikan dalam skala interval sesuai kebutuhan peneliti. Tabel 10 merupakan contoh hasil skoring yang diturunkan menjadi skala ordinal, dan disajikan dalam tabel distribusi. Tabel 7 Distribusi Responden Menurut Ketaatan Beragama (N=100) Bila peneliti ingin melihat hubungan antara satu variabel dengan variabel lain, seperi antara lama tinggal di pesantren dengan ketaantan beragama, dengan menggunakan data yang diukur dalam skala nominal atau ordinal, peneliti dapat menganalisisnya dengan menggunakan tabel silang. Tabel 11 merupakan contoh tabel silang di mana peneliti ingin melihat hubungan lama tinggal di pesantren dengan ketaatan beragama.

Tabel 8 Distribusi Responden Menurut Lama Tinggal di Pesantren dan Ketaatan Beragama (N=150) Ketaatan Beragama Tinggal di Pesantren Total   Lama Sedang Sebentar   Tinggi (7-10) Sedang (4-6) Rendah (... < 4) 25 12 8 18 13 17 10 15 32 53 40 57  Total 45 48 57 150  Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel 10, peneliti dapat melakukan uji X2 (Chi Square) untuk melihat sejauh mana lama tinggal di pesantren berhubungan dengan ketaatan beragama. Mengenai uji X2 dapat dipejari dalam buku- buku statistik.

Bila variabel pengukuran diukur menurut skala interval, maka penyajian dan pengolahan data tidak bisa menggunakan tabel silang dan uji X2. Data yang disajikan dalam tabel 11 merupakan contoh penyajian data yang diukur dengan skala interval. Tabel ini menggambarkan bahwa seorang peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan (korelasi) antara ketaatan beragama dengan motif berpretasi. Peneliti kemudian membuat skor ketaatan beragama dan skor motif berprestasi. Skor kedua variabel tersebut untuk masing-masing responden disajikan dalam tabel 11.

Tabel 9 Skor Motif Berprestasi dan Ketaatan Beragama. Nomor Responden Skor Ketaatan Beragama Skor Motif Berprestasi  1 2 3 4 5 6 7 ... 10 9 8 10 10 6 5 ... 5 4 4 5 5 2 2 ...  Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel 11, peneliti dapat melakukan uji statistik, seperti uji tanda atau uji korelasi, sehingga peneliti dapat mengetahui sejauhmana adanya hubungan ketaatan beragama dengan motif berprestasi. Mengenai uji statistik tersebut dapat dipelajari dalam buku- buku statistik.

Penyajian data yang diukur dalam skala interval biasa digunakan dalam penelitian eksperimen. Contoh data interval dalam sebuah eksperimen disajikan dalam tabel 4. Pada tabel 4, peneliti menghitung skor perilaku agresif masing-masing siswa, baik yang menonton film kekerasan atau film hiburan. Ia ingin mengetahui sejauhmana film kekerasan berpengaruh terhadap munculnya perilaku agresif. Akan tetapi ada dugaan bahwa pria lebih agresif dibanding wanita, maka peneliti mengelompokkan responden menjadi laki-laki dan wanita.

Berdasarkan data tersebut peneliti dapat melakukan analisis ragam dan uji f untuk melihat apakah terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku agresif, dan juga apakah terdapat pengaruh menonton film kekerasan terhadap perilaku agresif. Mengenai analisis ragam dan uji f dapat dipelajari dalam buku-buku statistik, khususnya dalam rancangan percobaan (eksperimen). B. Pendekatan Kualitatif Penelitian kuantitatif, khususnya penelitian eksperimen bersifat menipulatif dengan latar laboratorium.

Penelitian semacam ini berhasil melihat suatu pengaruh variabel terhadap variabel lainnya, tetapi tidak berhasil mengungkap keadaan yang sebenarnya yang bersifat alamiah. Padahal penggambaran sesuatu yang bersifat alamiah sangat penting, seperti bagaimana hubungan guru-murid di sebuah pesantren, bagaimana perilaku ekonomi kaum santri di suatu tempat, bagaimana sesungguhnya apresiasi keadaan kelompok masyarakat trasmigran, dan bagaimana percampuran kepercayaan antara penduduk asli dengan pendatang di suatu tempat. Hal-hal tersebut tidak bisa diungkap oleh sebuah penelitian yang berlatar belakang laboratorium.

Karena itu, dalam khazanah penelitian muncul apa yang disebut penelitian kualitatif --sebuah penelitian yang berusaha mengungkap keadaan yang bersifat alamiah secara holistik. Penelitian kualitatif bukan hanya menggambarkan variabel-variabel tunggal, melainkan dapat mengungkap hubungan antara satu variabel dengan variabel lain. Bahkan Moleong pernah menegaskan bahwa penelitian kualitatif dapat melihat hubungan sebab-akibat dari suatu keadaan. Hanya saja yang menjadi titik tekannya adalah suatu keadaan secara alamiah (apa adanya).

Dalam konteks tersebut terlihat adanya pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain maupun hubungan sebab- akibat dari keadaan yang diamati. Untuk lebih jelasnya mengenai penelitian kualitatif, berikut ini disajikan karakteristik, paradigma, sumber data, tahapan pelaksanaan, serta contoh-contoh penelitian kualitatif. 1. Paradigma Penelitian Kualitatif Penelitian kualitatif menggunakan paradigma alamiah. Artinya penelitian ini mengasumsikan bahwa kenyataan empiris terjadi dalam suatu konteks sosio-kultural yang saling terkait satu sama lain.

Karena itu menurut paradigma alamiah setiap fenomena sosial harus diungkap secara holistik. Sebaliknya, pada penelitian kuantitatif menggunakan paradigma ilmiah. Paradigma ini berasal dari positivisme yang menyatakan bahwa segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara obyektif. Karena itu, paradigma ilmiah melahirkan berbagai bentuk percobaan, perlakuan, pengukuran, dan uji statistik yang berlatar belakang laboratorium. Perbedaan kedua paradigma penelitian tersebut dapat terlihat melalui tabel berikut:11 Tabel 10 Paradigma Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Gambaran Tentang Paradigma   Ilmiah Alamiah  Teknik yang digunakan Kriteria kualitas Sumber teori Persoalan kausalitas Tipe pengetahuan yang digunakan Pendirian Maksud Kuantitatif Rigor Apriori Dapatkah X menyebabkan Y ? Proporsional Reduksionis Verifikasi Kualitatif Relevansi Dasar-dasar (Grounded) Apakah X menyebabkan Y dalam latar alamiah ? Proporsional yang diketahui bersama Ekspansionis Ekspansionis   11 Lihat Lexy J. Moleong, Op. Cit.,h. 16.

Paradigma alamiah disebut penelitian kualitatif karena penelitian ini menggunakan teknik kualitatif. Peneliti berusaha menggambarkan fenomena sosial secara holistik tanpa perlakuan manipulatif. Keaslian dan kepastian merupakan faktor yang sangat ditekankan. Karena itu kriteria kualitas lebih ditekankan pada relevansi, yakni signifikansi dan kepekaan individu terhadap lingkungan sebagaimana adanya. Sebaliknya paradgima ilmiah lebih ditekankan pada validitas internal dan eksternal, reliabilitias instrumen dan obyektivitas yang bersifat kuantitatif.

Penelitian kualitataif karena menekankan pada aspek keaslian, tidak bertolak dari teori secara deduktif (apriori) melainkan berangkat dari fakta sebagaimana adanya. Rangkaian fakta yang dikumpulkan, dikelompokkan, ditafisrkan, dan disajikan dapat menghasilkan teori. Oleh karena itu, penelitian kualitatif tidak berangkat dari teori, tetapi menghasilkan teori yang disebut grounded theory (teori dasar). Sebaliknya penelitian kuantitatif sering bertolak dari teori, sehingga penelitiannya bersifat reduksionis dan verifikatif, yakni hanya membuktikan teori (menerima atau menolak suatu teori). Penelitian kuantitatif khususunya eksperimen dapat menggambarkan hubungan sebab akibat.

Peneliti seringkali tertarik untuk mengetahui apakah X mengakibatkan Y? Atau, sejauhmana X mengakibatkan Y? Jika peneliti hanya tertarik untuk mengetahui pengaruh X terhadap Y, maka penelitian eksperimen akan mengendalikan atau mengontrol berbagai variabel (X1, X2, X3, dan seterusnya) yang diduga berpengaruh pada Y. Kontrol dilakukan sedemikian rupa bukan hanya melalui teknik-teknik penelitian, melainkan juga melalui analisis statistik. Penelitian kualitatif seringkali tertarik untuk melihat hubungan sebab akibat.

Bedanya, penelitian kuantitatif berusaha mengetahui sebab akibat dalam latar yang bersifat laboratorium, sehingga pengaruh X terhadap Y diusahakan terjadi. Sebaliknya, penelitian kualitatif melihat hubungan sebab akibat dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Peneliti mengamati suatu keaslian gejala sosial. Kemudian dengan cermat menelusuri apakah fenomena tersebut mengakibatkan fenomena lain, atau sejauhmana suatu fenomena menyebabkan fenomena lain. Sudah disebutkan bahwa penelitian kuantitatif bertujuan mengetahui hubungan sebab akibat.

Hal ini mengakibatkan penelitian ini harus berangkat dari teori yang diterjemahkan ke dalam proposisi (pernyataan yang dapat diuji kebenarannya), kemudian diturunkan menjadi hipotesis yang siap diuji berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan. Karena itu, peneliti kuantitatif berpendirian reduksionis, yakni hanya mencari fokus kecil di antara berbagai fenomena sosial yang sesuai dengan teori yang hendak dibuktikannya. Pada penelitian kualitatif, peneliti mengembangkan perspektif yang akan digunakan untuk memahami dan menggambarkan realitas.

Karena itu, peneliti kualitatif berpendirian ekspansionis, bukan reduksionis. Ia tidak menggunakan proposisi yang berangkat dari teori, melainkan menggunakan pengetahuan umum yang sudah diketahui bersama serta tidak mungkin dinyatakan dalam bentuk proposisi dan hipotesis. 2. Karakteristik Penelitian Kualitatif Paradigma alamiah yang menjadi pegangan dalam penelitian kualitatif melahirkan karakteristik metodologid yang berbeda dengan penlitian kuantitatif.

Di antara unsur-unsur metodologis penting yang membedakan kedua jenis penelitian ini ialah satuan kajian, disain, instrumen, waktu pengumpulan dan analisis data. Tabel 11 Karakteristik Metodologis Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Unsur-Unsur Metodologis Paradigma   Ilmiah Alamiah  Instrumen Waktu penetapan dan analisis data Disain Gaya Latar Perlakuan Satuan Kajian Unsur kontekstual Kertas, pinsil, dan alat tulis lainnya Sebelum penelitian Pasti (pre ordinate) Intervensi Laboratorium Stabil Variabel Kontrol Orang sebagai peneliti Selama dan sesudah pengumpulan data Muncul-berubah Seleksi Alam Bervariasi Pola-pola Turut campur atas undangan  Satuan kajian dalam penlitian kuantitatif adalah variabel. Variabel ditempatkan menjadi variabel bebesa dan variabel terikat berdasarkan teori.

Karena itu, dalam penlitian kualitatif yang berlatar ilamiah tidak menggunakan variabel sebagai satuan kajian, melainkan pola-pola yang terdapat dalam masyarakat. Dengan adanya variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian kuantitatif, disain penelitian menjadi baku karenanya. Mana yang menjadi variabel bebas, variabel terikat, atau variabel kontrol? Hal tersebut tercermian dalam penelitian kuantitatif. Dalam penelitian eksperimen misalnya terdapat RAL dan RAK faktorial yang tidak bisa berubah.

Sebaliknya dalam penelitian yang berlatar alamiah, disain penelitian sudah disiapkan sebelum penelitian berlangsung sebagai fokus penelitian. Meski demikian, disain penelitian yang berlatar alamiah ini dapat berubah setiap saat, tergantung pada realitas alamiah yang ditemukan. Karakteristik metodologis lain yang membedakan kedua jenis penelitian di atas adalah instrumen pengumpulan data. Dalam penelitian kuantitatif, instrumen pengumpulan datanya berupa tes tertulis, kuesioner, dan kolom-kolom hasil pengamatan dan dilengkapi dengan alat tulis lainnya.

Peneliti dapat menugaskan sejumlah enumerator (petugas pengumpul data) karena data yang akan dikumpulkan dan instrumen yang digunakan sudah baku. Sementara instrumen dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, karena disain, data yang dikumpulkan, dan fokus penelitian bisa berubah sesuai dengan kondisi alamiah yang ada. Mengenai waktu pengumpulan dan analisis data pada penelitian kuantitatif sudah dapat dipastikan sebelumnya. Peneliti dapat menentukan berbagai aturan yang terkait dengan pengumpulan data, jumlah tenaga yang diperlukan, berapa lama pengumpulan data akan dilakukan, dan jenis data yang dikumpulkan sesuai dengan hipotesis yang dirumuskan. Hal ini sejalan dengan instrumen yang sduah baku dan sudah dipersiapkan sebelumnya.

Demikian halnya dengan model analisis data, uji statistik, dan cara penyajian datanya, termasuk tabel-tabel yang akan digunakan, sudah dapat ditemukan sebelumnya. Hal sebaliknya terjadi pada penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, jenis data yang akan dikumpulkan, model analisis, penyajian data, dan waktu yang diperlukan untuk pengumpulan data belum bisa ditentukan secara pasti. Hal ini tidak berarti bahwa penelitian kualitatif tidak memiliki fokus penelitian dan tidak memiliki aturan baku.

Keberadaan fokus penelitian dalam penelitian kualitatif sangat penting guna membatasi lingkup penelitian dan jenis data yang akan dikumpulkan. Hal lain yang menjadi karakteristik penelitian kualitatif ialah proses pengambilan kesimpulan yang dilakukans ecara induktif.Dengan pengungkapan kenyataan secara alamiah, peneliti dapat menarik kesimpulan dan akhirnya merumuskan teorinya secara induktif. Karena itu, penelitian kualitatif akan menghasilkan teori, bukan membuktikan teori. 3.

Sumber dan Teknik Penelitian Data Secara umum sumber data penlitian kualitatif ialah tindakan atau perbuatan yang berlangsung dalam latar yang bersifat alamiah. Sumber data lainnya adalah bahan-bahan pustaka, seperti dokumen, arsip, koran, jurnal ilmiah, majalah, buku, laporan tahunan, dan sebagainya. Data statistik yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka seperti pertambahan jumlah penduduk, perubahan jumlah umat beragama, jumlah murid dalam suatu pesantren, merupakan sumber yang dapat digunakan. Selain itu, video dan foto yang menggambarkan suasana alamiah dapat pula menjadi bahan rujukan.

Adapun teknik pengumpulan data dalam penlitian kualitatif antara lain wawancara mendalam, riset partisipatif, pengamatan, da studi pustaka. Pada prinsipnya, semua teknik pengumpulan data tersebut digunakan untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan secara alamiah. Sumber apa yang akan digunakan? Teknik apa yang akan dipakai untuk mengumpulkan data? Hal ini sangat tergantung pada masalah yang menjadi fokus penelitian. Penelitian yang berjudul �Hubungan Guru-Murid di Pondok Pesantren Modern Gontor VII di Pudahoa Kecamatan Landono Sultra�, jelas memerlukan pengamatan langsung, wawancara mendalam, dan ditambah dengan studi pustaka untuk memperoleh gambaran lebih jelas tentang jumlah murid dan apa yang dimaksud dengan murid dalam penelitian ini.

Bila penelitian tersebut lebih ditingkatkan lagi menjadi �Pengaruh Sufisme terhadap Hubungan Guru-Murid: Studi Pada Pondok Pesantren Gontor VII dan Pondok Pesantren Ummushabri�, maka penelitian ini memerlukan studi pustaka secara mendalam mengenai sufisme, serta konsep guru-murid dalam ajaran sufisme. Apakah terdapat pebedaan sufisme yang dikembangkan pada kedua pesantren tersebut? Apa saja perbedaan dan persamaannya? Hal ini dapat diungkap melalui studi pustaka (jika ada), melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung.

Peneliti kemudian mengadakan pengamatan lansgsung mengenai hubungan guru-murid di kedua pesantren tersebut. Apakah terdapat pengaruh sufisme terhadap pola hubungan guru-murid di kedua pesantren tersebut? Jika ada, apa saja pengaruh sufisme itu? Apakah pengaruhnya cukup kental? Apakah terdapat perbedaan pengaruh sufisme di kedua pesantren terhadap hubungan guru-murid? Apa saja perbedaan dan persamaannya? Pengaruh sufisme terhadap hubungan guru-murid merupakan salah satu fenomena sosial keagamaan yang harus didekati secara kualitatif.

Banyak fenomena sosial keagamaan lainnya yang memerlukan pendekatan yang sama. Misalnya penelitian yang berjudul �Pengaruh Gerakan Turki Muda terhadap Pemikiran Bung Karno Mengenai Hubungan Islam dan Negara: Telaah Kepustakaan Polemik Sukarno-Natsir Pada Tahun 1920-an.� Judul penelitian di atas memerlukan telaah kepustakaan mengenai Gerakan Turki Muda, yang meliputi tokoh utamanya, corak pemikirannya, dan faktor-faktor yang berpengaruh besar terhadap pemikiran tokoh utamanya.

Selain itu juga memerlukan telaah khusus atas tulisan-tulisan karya mereka, serta di mana dan dalam bentuk apa mereka menuliskannya (buku, artikel, terbitasn khusus, dan lainnya). Pada sisi lain, peneliti perlu mempelajari gambaran singkat mengenai kehidupan Bung Karno dan Natsir. Dari mana Bung Karno dan Natsir mempelajari Islam? Apakah Bung Karno dan Natsir mempelajari pemikiran yang dikembangkan Gerakan Turki Muda? Dari mana mereka mempelajarinya? Sejauhmana pemikiran Gerakan Turki Muda berpengaruh pada pemikiran mereka? Apa saja pengaruhnya?apakah pengaruh itu cukup signifikan? Mengapa terjadi perbedaan pemikiran antara Bung Karno dengan Natsir dalam menyikapi Gerakan Turki Muda? Hal-hal seperti inilah yang seharusnya diungkap dalam penelitian berdasarkan judul penelitian yang dikemukakan di atas. 4. Pendekatan dalam Penelitian Kualitatif Aspek lain yang cukup penting dalam penelitia kualitatif adalah pendekatan penelitian.

Fenomena social keagamaan dapat didekati dengan berbagai pendekatan, seperti pendekatan sosiologi, antroplogi, historis, politik, ekonomi, budaya, atau melalui pendekatan multidisiplin. Hal ini berarti seorang peneliti social keagamaan harus menguasai salah satu disiplin ilmu yang disebutkan, bahkan jika memungkinkan ia menguasai berbagai disiplin ilmu sekaligus. Beberapa contih disiplin ilmu yang disebutkan di atas menjadi sudut pandang dalam memahami fenomena social keagamaan.

Perdebatan dalam siding Konsitutuante di Bandung tahun 1955-1957 mengenai dasar Negara (apakah Islam atau Pancasila?) dapat didekati secara politik, khususnya tentang kekuatan politik Indonesia di era 1950-an. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan judul: �Perdebatan Dasar Negara dalam Sidang Konstituante: Runtuhnya Islam Politik di Indonesia.� Berdasarkan judul ini, peneliti dapat menggambarkan akar kekuatan politik Islam di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.

Pemilu tahun 1955 (yang memilih anggota DPR) dan pemilihan anggota konstituante 1956 (memilih wakil-wakil untuk merumuskan dasar negara) yang melahirkan partai-partai Islam yang salah satu pemenangnya merupakan puncak perjuangan Islam politik di Indonesia. Namun demikian, kekalahan partai-partai politik Islam dalam menetapkan dasar negara Islam dapat dipandang sebagai berakhirnya kekuatan politik Islam dan setelah itu perjuangan politik islam menjadi surut. Selanjutnya, perjuangan mengambil bentuk lain, yakni perjuangan kultural.

Kasus yang sama, yakni perdebatan konstituante dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan sosio-antropologi. Peneliti dapat menunjukkan bahwa perdebatan dalam sidang Konstituante merupakan cermin disparitas kultur umat Islam. Karena itu, peneliti dapat menulis judul: �Perdebatan Sidang Konstituante 1956: Sebuah Telaah Kultural Umat Islam Indonesia�. Berdasarkan judul penelitian tersebut, peneliti dapat menggambarkan terjadinya pengelompokkan budaya umat Islam Indonesia yang terbentuk sejak masa penjajahan.

Dalam hal ini peneliti dapat meminjam teori Geertz yang membagi umat Islam menurut apresiasi kultural keagamaan menjadi santri, abangan dan priyayi. Selain itu, peneliti dapat membagi disparitas umat Islam berdasarkan pendidikan menjadi Islam modern (yang berpendidikan Belanda) dan Islam tradisional (yang berpendidikan pesantren). Kegagalan menetapkan Islam sebagai dasar negara mencerminkan kekuatan dari kelompok Islam abangan terhadap kelompok Islam modern (yang berpendidikan Belanda) dan Islam tradisional (yang berpendidikan pesantren). Kegagalan ini jelas menunjukkan kekuatan kelompok Islam abangan di Indonesia.

Dalam konteks lain, fenomena sosial keagamaan dapat dijelaskan melalui pendekatan ekonomi. Misalnya, terdapat penelitia yang berjudul: �Potensi Ekonomi Pondok Pesantren: Studi Tentang Pengaruh Ketaatan Beragama terhadap Kemandirian Ekonomi di Ponpes Gontor VII Kendari�. Dalam judul ini, peneliti dapat menguraikan secara alamiah ketaatan beragama di kalangan santri. Kemudian dilanjutkan dengan mendeksripsikan kemandirian ekonomi mereka, serta pengaruh ketaatan beragama terhadap kemandirian ekonominya. 5.

Tahap Pelaksanaan Penelitian kualitatif meskipun dilaksanakan secara induktif, bukan berarti peneliti tidak mempunyai perspektif sendiri. Ia dapat memilih permasalahan penelitian dan mencari cara pendekatan yang tepat sebagai perspektif awal dalam memahami gejala sosial keagamaan yang akan ditelitinya. Untuk itu, seorang peneliti harus membekali diri dengan sejumlah teori atau setidaknya ia perlu membaca hasil-hasil penelitian sebelumnya yang memiliki kedekatand engan permasalahan penelitiannya. Penelitian kualitataif harus dilakukan dalam beberapa tahap.

Tahap pertama ialah menyusun rancangan penelitian Isi rancangan penelitian ini sebenarnya tidak ada yang baku, akan tetapi secara umum rancangan penelitian kualitatif berisi: (1) latar belakang masalah; (2) tinjauan pustaka; (3) pemilihan lokasi penelitian (jika ada) ; (4) penentuan jadual penelitian; (5) rancangan pengumpulan data; dan (6) rancangan prosedur analisis data. Tahap kedua adalah studi kepustakaan. Melalui studi kepustakaan diharapkan akan menghasilkan: (1) rumusan masalah dan fokus penelitian; (2) pertanyaan-pertanyaan penelitian; dan (3) signifikansi penelitian.

Tahap ketiga adalah pengumpulan dan pengolahan data. Tahap keempat adalah penulisan laporan penelitian. Mengenai outline penelitian kualitatif, berikut ini akan disajikan satu contoh outline penelitian kualitatif dengan judul �Pengaruh Sufisme Terhadap Hubungan Guru-Murid: Studi di Ponpes Modern Gontor VII dan Ponpes Ummushabri Kendari�. Rincian outlinenya adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Lingkup penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA Signifikansi Penelitian Sufisme di BAB V AJARAN SUFISME DI PONPES   Indonesia   GONTOR VII DAN PONPES   Penelitian Sufisme Yang pernah   UMMUSHABRI KENDARI   Dilakukan   Gambaran Umum Modern Gontor   Penelitian Sufisme di Pesantren   VII   Masalah Yang Menjadi Fokus   Gambaran Umum Ummushabri   Penelitian   Sejarah Sufisme di Ponpes Gontor VII  BAB III METODOLOGI PENELITIAN   dan Ummushabri    Lokasi Penelitian   Prinsip-prinsip Ajaran Sufisme di    Disain penelitian   Gontor VII dan Ummushabri    Sumber Data BAB VI PENGARUH SUFISME DALAM    Pengumpulan Data   TATA PERGAULAN    Analisis Data   Hubungan Guru-Murid di Gontor VII  BAB IV PENGARUH SUFISME   dan Ummushabri    TERHADAP KEHIDUPAN   Pengaruh Sufisme Terhadap    PESANTREN   Hubungan Guru-Murid    Masuk dan Berkembangnya Sufisme di BAB VII PENUTUP    Indonesia   Kesimpulan    Sufisme dalam Kehidupan Pesantren   Implikasi Penelitian    Prinsip-prinsip Ajaran Sufisme   Rekomendasi    Hubungan Guru-Murid dalam Ajaran      Sufisme C.

Pendekatan Reflektif : Menjembatani Pendekatan Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif 1. Pengantar Ada yang berpendapat bahwa penelitian kualitatif dan kuantitatif memiliki perbedaan paradigmatik yang tidak ada titik temunya, sebagaimana tampak dalam tabel 12 dan13. Pendapat ini jelas keliru, sebab pada dasarnya kedua penelitian ini tidak mempunyai perbedaan yang sangat mencolok. Justru sebaliknya, sekarang ini terdapat kecenderungan kedua jenis penelitian itu untuk saling mendekat dan melengkapi satu sama lain.

Misalnya, penelitian eksperimen tidak lagi berlatar belakang laboratorium, melainkan berlatar alamiah. Disain penelitian eksperimen tidak lagi murni eksperimen, melainkan beralih pada kuasi-eksperimen yang berlatar alamiah. Uraian tentang titik singgung kedua jenis penelitian tersebut dideskripsikan kemudian. 2. Penelitian Deskriptif Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penelititan deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial keagamaan yang terjadi.

Misalnya, seorang peneliti menulis judul penelitian �Ketaatan Beragama Buruh Pabrik Tekstil di Jabotabek�. Penelitian deskriptif dapat dilakukan melalui pendekatan kuantitatif. Dalam hal ini peneliti mengukur ketaatan beragama dengan menggunakan skala interval berdasarkan indikator ketaatan beragama (tabel 4). Peneliti kemudian mengambil sejumlah sampel yang dapat mewakili populasi, yakni pabrik buruh tekstil di wilayah Jabotabek.

Karena sampel peneltian bersifat representatif, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan berdasarkan sampel yang diambil. Penelitian deksriptif di atas termasuk jenis penelitian kuantitatif. Namun bersamaan dengan itu, peneliti dapat pula mengungkap latar yang bersifat alamiah. Ia dapat mempertanyakan mengapa terjadi perbedaan tingkat ketaatan beragama di antara para buruh? Bagaimana wujud ketaatan beragama mereka diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana mereka mengatur waktu antara kepadatan kerja dengan kegiatan keagamaan? Pertanyaan tersebut jelas tidak dapat dijawab secara kuantitatif, melainkan memerlukan jawaban yang bersifat kualitatif dalam suatu latar yang bersifat alamiah.

Dengan begitu terjadi titik temu antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif. 3. Penelitian Korelasional Bentuk penelitian lain yang termasuk penelitian kuantitatif ialah penelitian korelasional (ex post facto). Seorang peneliti, misalnya ingin mengetahui hubungan ketaatan beragama dengan produktivitas kerja para eksekutif menengah di beberapa perusahaan yang berlokasi di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.

Ia merumuskan judl penelitianya: �Hubungan Ketaatan Beragama dengan Produktivitas Kerja Para Eksekutif Menengah di Perusahaan-perusahaan PMDN yang Berkantor di Jalan Thamrin Jakarta Pusat�. Untuk melihat hubungan dan keeratan hubungan antara kedua variabel penelitian (ketaatan beragama dengan produktivitas kerja), peneliti dapat mendefinisikan dan mengukur variabelnya secara kuantitatif. Peneliti merumuskan skor produktivitas kerja untuk masing-masing responden.

Berdasarkan skor yang diperoleh, peneliti dapat melakukan uji statistik guna mengetahui hubungan dan keeratan ketaatan beragama dengan produktivitas kerja. Jika berdasarkan uji statistik terdapat hubungan antara ketaatan beragama dengan produktivitas kerja, mengapa terjadi hubungan? Sebaliknya, jika tidak terdapat hubungan, mengapa tidak ada hubungan? Bagaimana mereka mengekspresikan ketaatan beragama dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana mereka mengatur waktu antara kesibukan kerja dengan kewajiban beragama? Faktor apa saja yang mendororng mereka untuk memeiliki ketaatan beragama? Mengapa sebagian dari mereka tidak taat beragama? Bagaimana sosok keseharian mereka yang taat dan yang tidak taat beragama? Beberapa pertanyaan di atas jelas tidak dapat diungkapkan melalui uji statistikmelainkan harus dijelaskan secara alamiah.

Dengan demikian walaupun penelitian didisain sebagai penelitian korelasional kauntitatif, tetapi harus dilengkapi dengan pengungkapan realitas kehidupan mereka yang sesungguhnya. Oleh karena itu, batas antara penelitian kualitatif dan kuantitatif menjadi sangat cair tanpa batas. 4. Penelitian Eksperimen Kritik terhadap penelitian kuantitatif yang paling utama sebenarnya tertuju pada penelitian eksperimen karena eksperimen itu dianggap sebagai penelitian yang sebenar- benarnya kuantitatif.

Yang dimaksud paradigma ilmiah yang sebenarnya ialah penelitian eksperimen karena penelitian inila yang berlatar belakang laboratorium. Namun sebenarnya perkembangan penelitian eksperimen, khususnya peneltian terhadap manusia, telah beralih dari eksperimen murni yang berlatar belakang laboratorium menjadi kuasi-eksperimen yang berlatar alamiah. Penelitian eksperimen memang ditujukan untuk menguji coba media, uji coba metode, atau penemuan lainnya, serta bagaimana pengaruh penemuan tersebut terhadap manusia.

Peneliti seringkali membentuk unit-unit eksperimen yang bersifat buatan. Pengaruh yang terjadi bukan sebagaimana adanya melainkan diusahakan agar terjadi dalam uji laoratorium (unit eksperimen). Namun demikian para peneliti eksperimen menyadari bahwa hal itu sangat sulit dilakukan karena manusia ditempatkan dalam unit-unit eksperimen menyadari bahwa mereka seringkali bersfat artifisial, bukan perilaku yang sebenarnya.

Untuk mengatasinya, para peneliti eksperimen memanfaatkan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat untuk melakukan uji coba media, metode, dan penemuan lainnya, sehingga mereka merasa tak sedang diberi perlakuan. Perilaku mereka diharapkan tidak bersifat artifisial. Inilah yang disebut penelitian kuasi-eksperimen. Pada sisi lain dengan menggunakan kuasi-eksperimen, peneliti dapat menyajikan latar yang bersifat alamiah. Misalnya, jika seorang peneliti melakukan uji coba tiga buah media pada tiga kelompok tani di suatu desa, maka peneliti dapat mengungkap keberadaan tiga kelompok tani tersebut secara alamiah.

Mengapa media yang satu lebih tepat bagi suatu kelompok tani dan bukan media yang lain? Hal ini dapat dijawab bukan hanya dengan uji statistik, seperti analisis ragam da perbandingan nilai tengah yang sudah dijelaskan sebelumnya, melainkan berdasarkan kenyataan yang bersifat alamiah dalam kelompok tani tersebut. Dengan demikian, perbedaan antara penelitian kualitatif dengan kuantittaif menjadi tidak nampak. Begitu pula dikotomi paradigma ilmiah dan alamiah nyaris tidak terlihat, bahkan yang terjadi adalah saling melengkapi dan dipakai dalam waktu yang bersamaan. D.

Paradigma Penelitian Agama Bagaimana orang bisa sampai kepada kebenaran? Untuk menjawab pertanyaan ini Guba dan LincoIn menunjukkan tujuh paradigma. Setiap paradigma mempunyai teknik-teknik pokoknya dan jenis keberadaan yang diperolehnya. Di bawah ini disajikan tabel paradigma untuk memperoleh kebenaran. Tabel 12: Paradigma Penelitian12 Khusus untuk penelitian agama, dapat dibuat peta penelitian dengan menggunakan tiga paradigma, yakni paradigma ilmiah, akliah (logikal), dan irfaniah (mistikal).

Tabel 13: Bidang Kajian Agama Bidang Kajian  Dimensi Keagamaan   Paradigma  Ajaran  Ideologis  Intelektual Eksperien sial Ritualisti k Konse kuensial   Ilmiah Akliah Irfaniah  x x x  x x x  x x x  x x x  x x x  x x x   Dengan memperhatikan epistimologi Islam, maka dapat dikelompokkan paradigma di atas ke dalam dua hal saja, yakni paradigma akliah untuk paradigma logis, dan paradigma ilmiah untuk paradigma sisanya. Menurut Islam, betapun banyaknya paradigma di atas, tabel itu masih kekurangan satu paradigma lagi, yakni paradigma mistikal.

Kita percaya bahwa kita dapat memperoleh pengetahuan tidak melalui pengamatan empiris, juga tidak lewat analisis logis, tetapi bisa melalui serangkaian pengamatan mistikal. Dengan melihat tabel di atas, maka dengan jelas digambarkan bahwa terdapat 18 jenis penelitian agama. Untuk setiap paradigma, terdapat 6 jenis penelitian agama. Masing- masing jenis penelitian tampil dengan gayanya tersendiri dan bagi para peneliti penelitian agama tinggal melihat kesesuaian sifat, bentuk, jenis, dan kondisi obyek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian agama. 12 Guba dan Lincoln, Naturalistic Inquiry, (Beverly Hills: Sage Publications, 1985), h.53-55, dalam Jalaluddin Rahmat, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rsuli Karim, Op.Cit. h. 94. Lihat juga M. Deden Ridwan (Ed.), Op. Cit., h. 90.

BAB VI MODEL-MODEL STUDI ISLAM A. MODEL STUDI TAFSIR Model1 studi atau penelitian2 tafsir3 adalah suatu contoh, ragam, acuan atau macam dari penyelidikan secara 1 Kata �model� yang terdapat pada judul di atas berarti contoh, acuan, ragam, atau macam. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. XII; Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 653 2 �Penelitian� berati pemeriksaan, penyelidikan yang dilakukan dengan berbagai cara, secara seksama dengan tujuan mencari kebenaran- kebenaran yang objektif yang disimpulkan melalui data-data terkumpul.

Kebenaran-kebenaran objektif yang diperoleh tersebut kemudian digunakan sebagai landasan untuk pembaharuan, pengembangan atau perbakain dalam masalah-masalah teoritis dan praktis dalam bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan. Lihat H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan: Islam dan Umum, (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 142. 3 Adapun tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (Beirut: Librairic Du Liban & London: MacDonald & Evans Ltd., 1974), h. 713.

Selain itu tafsir dapat pula berarti al- idlah wa al-tabyin yaitu penjelasan dan keterangan. Lihat Muhammad al-Adzim al-Zarqaniy, Manabil al-Irfanfi �Ulum al-Quran, Juz II, (Mesir: Mushthafa al-Babiy al-Halabiy wa Syurakauh, t.th.), h. 3. Pendapat lain menyatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf�il, diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap, dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang digunakan untuk suatu alat yang bisa digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit. Lihat Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Al-Itqan fi �Ulum al-Quran, Juz I, (Cet.

III; Mesir: Mushthafa al-Babiy al-Halabiy, 1951), h. 173. Selanjutnya pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar al- Quran tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al- Jurjani, misalnya, mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna-makna al-Quran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab al- nuzulnya, dengan mengunakan ungkapan atau keterangan yang dapat seksama terhadap penafsiran al-Quran yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkait dengannya. 1.

Model Quraish Shihab Quraish Shihab (lahir tahun 1944) �pakar di bidang tafsir dan Hadis se-Asia Tenggara-, telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama terdahulu di bidang tafsir. Misalnya, Ia telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh dan H. Rasyid, dengan judul Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan H. Rasyid yang telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Hidayah pata tahun 1994. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analisis dan perbandingan.

Yaitu model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainnya. Data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan kategorisasi dan perbandingan.

Hasil penelitian Quraish Shihab terhadap Tafsir Al- Manar Muhammad Abduh, misalnya menyatakan bahwa Syaikh menunjukan kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Lihat Ahmad al-Jurjani, Kitab al-Ta�rifat, (Mesir: Da al-Ma�arif, 1965), h. 65. Sementara itu Imam al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Quran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia.

Lihat Muhammad Abd al-Adzhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi �Ulum al-Quran, Juz II, (Mesir: Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Syurakauh, t.th.), h. 3. Muhammad Abduh (1849-1909) adalah salah seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip �tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam al-Quran. Ketika menafsirkan firman Allah dalam al-Quran surat 101 ayat 6-7 tentang �timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian�, Abduh menulis �cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tidak lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui, maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya hanya kepada Allah SWT, atas dasar keimanan.4

Bahkan �Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh sahabat �Umar bin Khatab ketika membaca abba dalam surat Abasa (Qs., 80:32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk- makhluk-Nya.5 Selanjutnya dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan tafsir.

Antara lain tentang: (1) periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir, (2) corak-corak penafsiran, (3) macam- macam metode penafsiran al-Quran, (4) syarat-syarat dalam menafsirkan al-Quran dan (5) hubungan tafsir modernisasi. 4 Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Juz �Amma, (Mesir: Dar al-Hilal, 1967), h. 189. 5 Lihat Syaikh Muhammad Abduh, Ibid., h. 26. Berbagai aspek yang berkaitan dengan penafsiran al-Quran ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut: a. Periodesasi Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir Menurut hasil penelitian Quraish Shihab, jika tafsir dilihat dari segi penulisannya (kodifikasi), maka perkembangan tafsir dapat dibagi kedalam tiga periode.

Periode I, yaitu masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi�in, dimana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi Hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis (99-101 H), dimana tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan Hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab Hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah tafsir bi al-Ma�tsur. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli diduga dimulai oleh al-Farra (w.

207 H) dengan kitabnya berjudul Ma�ani al-Quran.6 Periodesasi tersebut masih dapat ditambahkan lagi dengan periode ke empat yaitu periode munculnya para peneliti tafsir yang membukukan hasil penelitiannya itu, sehingga dapat membantu masyarakat mengenal karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama pada periode sebelumnya dengan mudah. b. Corak Penafsiran Berdasarkan hasil penelitiannya. Quraish Shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain (a) corak sastra bahasa, yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada 6 Lihat H.M. Quraish Shihab, Op. Cit., h. 73.

mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al- Quran di bidang ini. (b) Corak Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak yang tercermin dalam penafsiran mereka.

(c) Corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak Fikih atau Hukum, akibat berkembangnya ilmu Fikih, dan terbentuknya mahzab-mahzab Fikih, yang setiap golongan membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak Tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.

(f) Bermula pada maas Syaikh Muhammad �Abdullah (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit- penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam usaha yang mudah dimengerti tapi indah didengar.7 c. Macam-macam Metode Penafsiran al-Quran 7 Lihat H.M. Quraish Shihab, Ibid.

Menurut hasil penelitian Quraish Shihab, mermacam- macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar al-Quran. Metode penafsiran al- Quran tersebut secara garis besar dapat dibagi dua bagian yaitu corak ma�tsur (riwayat) dan corak penalaran. Kedua macam metode ini dapat dikemukakan sebagai berikut. 1) Corak Ma�tsur (Riwayat) Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat- sahabat Nabi SAW., ditemukan bahwa pada dasarnya-setelah gagal menemukan penjelasan Nabi SAW., mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab.

Cukup banyak contoh yang banyak dikemukakan tentang hal ini. Misalnya Umar bin al-Khaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya�khuzahum �ala takhawwuf (Qs. 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan artinya adalah �pengurangan�. Artinya ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami al-Quran.

Setelah masa sahabat pun, para tabi�in dan al-tabi�in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Kalaulah kita berpendapat bahwa al-Farra� (w. 207 H) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma�aniy Qur�an, maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula al-Thabari (w. 310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.

Metode Ma�tsur (riwayat) tersebut memiliki jeistimewaan antara lain: (a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran; (b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya; (c) Mengikat musafir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektivitas berlebihan. Sedangkan kelemahannya antara lain: (a) Terjerumusnya sang musafir ke dalam uraian kebahasaan dan kesusaatraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Quran menjadi kabur dicelah uraian tersebut.

(b) Seringkali konteks turunnya ayat (uraian ashabul-nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasih mansukh hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.8 Pendekatan-pendekatan fiqhiyah yang bersifat lahiriah , atomistis, dan arbitrer dalam kenyataannya telah menimbulkan kesulitan besar sehubungan dengan doktrin bahwa al-Quran mengatur seluruh aspek kehidupan manusia karena penafsiran semacam ini tentunya menghasilkan perangkat legalisasi yang terbatas.

Keterbatasan inilah yang dijadikan sebagai sumber- sumber lainnya untuk memperluas cakupan hukum Islam.9 2) Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak- coraknya Banyak cara, pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya saru per satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efisien, bila bertitik tolak dari pandangan al-Famawi yang membagi metode tafsir yang bercorak penalaran ini kepada empat macam metode, yaitu tahlily, ijmaly muqarin dan maudhu�iy.10 Keempat macam metode panafsiran yang bertitik tolak penafsiran ini dapat dikemukakan sebagai berikut.

a) Metode Tahlily Metode tahlily atau yang dinamai oleh Baqir al-Shadr sebagai metode tajzi�iy adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al- Quran sebagaimana tercantum di dalam mushhaf. Dalam hubungan ini mufassir mulai dari ayat ke ayat berikutnya, atau dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan termaktub di dalam mushhaf. Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufassir tajzi�iy/tahlily diuraikan.

Yaitu bermula dari kosakata, ashab-al-nuzul, munasabat, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Setelah semua langkah yang tersebut di atas sudah ditempuh, mufassir tahlily lalu menjelaskan seluruh aspek dari semua penafsiran dan penjelasannya di atas dan kemudian ia memberikan penjelasan final mengenai isi dan maksud ayat al- Quran tersebut. Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat. Analisis ayat dilakukan secara 8 Lihat H.M.

Quraish Shihab, Ibid., h. 84. 9 Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Quran, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1990), h. 32. 10 Lihat Abd. al-Hayy Al-Farmawiy, Al-Bidayat fi al-Tafsir al- Maudh�iy, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Maudhu�iy, (Cet. I; Jakarta: LSIK dan RajaGrafindo Persada, 1994), h. 30-37. Lihat pula Ali Khalil dalam Al-Muzakkarat al-Khathiyyah; Muhammad Hijazi, Al-Wahdah al-Maudhu�iyyah, (t.t: t. tp., t.h.), h. 25.

mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan kecenderungan mufassir. Metode ini, walaupun dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain. Cara penafsiran ayat-ayat dalan Tafsir al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari dan Tafsir al-Kabir karangan al-Razi, biasanya dijadikan sebagai contoh untuk memahami tafsir dengan cara tahlily.

Berikut ini, antara lain contoh tersebut dalam ayat 164 surat an-Nisa (wa kallamallah Musa taklima) dapat kita lihat tafsirnya dalam kedua kitab tafsir di atas. Al- Zamakhsyari, dengan melakukan penafsiran kosakata, mengartikan lafadz kallama dengan al-jarh. Dengan demikian, ayat tersebut diberi arti dan �Allah telah melukai Musa dengan kutu-kutu ujian dan cobaan-cobaan hidup�. Untuk ayat dan lafadz yang sama, alRazi tetap memakai arti umum, yaitu berbicara.

Sehingga penafsiran yang diberikan oleh al-Razi kepada ayat tersebut seperti penafsiran selama ini dikenal, yaitu bahwa Allah berbicara kepada Musa. b) Metode Ijmali Metode Ijmali atau disebut juga dengan metode global adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dalam prateknya metode ini sering terintegrasi dengan metode tahlily karena tiu sering kali metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode ini seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar saja.

c) Metode Muqarin Metode muqarin adalah suatu metode tafsir al-Quran yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al-Quran yang satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, dan atau membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan Hadis-Hadis Nabi Muhammad SAW, yang tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran al-Quran. Sejalan dengan kerangka tersebut di atas, maka prosedur penafsiran dengan cara muqarin tersebut dilakukan sebagai berikut. 1.

Menginventarisir ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi; 2. Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut; 3. Mengadakan penafsiran. Contoh: Dua ayat terebut redaksinya kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum muslimin ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal sebagai berikut. Surat al-Anfal (1) Mendahulukan kata ... dari pada ... (2) Memakai kata ... (3) Berbicara mengenai perang Badar. Surat Ali �Imran: (1) Memakai kata ... (2) Berbicara tentang perang Uhud. Keterdahuluan kata ... dan penambahan kata ...

dalam ayat pertama diduga keras sebagai tauhid terhadap kandungan utama ayat, yakni bantuan dari Allah pada perang Badar, mengingat perang itu yang pertama, dan jumlah kaum muslimin sedikit. Dalam perang Uhud, tauhid itu tidak diperlukan, sebab pengalaman perang sudah ada, dan umat Islam sudah banyak, dan pemakaian kata di sini menandakan kegembiraan itu hanya bagi sahabat, bukan kegembiraan abadi seperti kasus ayat pertama.

d) Metode Maudhu�iy Salah satu pesan Ali bin Abi Thalib adalah: �Ajaklah al- Quran berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya�. Pesan ini antara lain mengharuskan penafsiran merujuk kepada al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode maudhu�iy di mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Quran dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Adanya metode penafsiran dengan cara tematik tersebut, menurut Quraish Shihab berasal dari Mahmud Syaltout. Dalam hubungan ini Quraish Shihab mengatakan, bahwa pada bulan Juli 1960, Syaikh Mahmud Syaltout menyusun kitab tafsir berjudul Tafsir al-Quran al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh al-Syatibi (w. 1388 M) yaitu bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda- beda tersebut.

Berdasarkan ide al-Syatibi tersebut, Syaltout tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Namun menurut Quraish Shihab, apa yang ditempuh oleh Syalthout belum menjadikan pembahasan tetang petunjuk al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, bahwa satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat.

Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Dr. Sayyid al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode maudhu�iy gaya Mahmud Syaltout di atas. Berdasarkan data tersebut Quraish Shihab sampai pada kesimpulan bahwa metode maudhu�iy mempunyai dua pengertian.

Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al- Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuan secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al- Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.

Berbagai metode penafsiran al-Quran tersebut bagi Quraish Shihab bukan hanya sekedar teori atau pengetahuan belaka sebagaimana pada umumnya yang dimiliki para pakar, tetapi telah dipraktekkannya dalam kegiatan menafsirkan al- Quran. Ia misalnya menulis buku Mahkota Tuntutan Ilahi (terbitan Untagama tanpa tahun) yang isinya adalah Tafsir Surat al-Fatihah. Sementara bukunya yang lain seperti Membumikan al- Quran dan Wawasan al-Quran, yang diterbitkan Mizan di tahun 90-an berisi pembahasan tentang berbagai masalah sosial kemasyarakatan dengan mengunakan metode tematik. 2.

Model Ahmad al-Syarbashi Pada tahun 1985 Ahmad al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana halnya yang dilakukan Quraish Shihab. Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir, seperti Ibn Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyari, Jalaluddin al-Suyuthi, al-Raghib al-Ashfahani, al-Syatibi, Haji Khalifah dan lain-lain. Hasil penelitiannya itu mencakup tiga bidang.

Pertama, mengenai sejarah penafsiran al-Quran yang di bagi kedalam tafsir pada masa sahabat Nabi. Kedua, mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi dan tafsir politik. Ketiga, mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir. Menurutnya bahwa tafsir pada zaman Rasulullah SAW., pada masa pertumbuhan Islam disusun pendek dan tampak ringkas, karena penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al-Quran.

Pada masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa Arab yang murni tadi mengalami kerusakan akibat percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-bangsa lain, yaitu ketika pemeluk Islam berkembang meluas ke berbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan bangsanya, orang-orang Arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti Ilmu Nahwu (gramatika), Balagha (retorika), dan sebagainya. Disamping itu mereka juga mulai menulis tafsir al-Quran untuk dijadikan pedoman bagi kaum muslimin.

Dengan adanya tafsir itu umat Islam dapat memahami banyak hal yang samar dan sulit untuk ditangkap maksudnya. Lebih lanjut Al-Syarbashi mengatakan, tentu saja pertama-tama kita harus mengambil tafsir dari Rasul Allah SAW., melalui riwayat-riwayat Hadis yang tidak ada keraguan atas kebenarannya. Ini sangat perlu ditekankan, karena banyak Hadis maudlu (palsu-buatan). Setelah kita pegang tafsir yang berasal dari Nabi, barulah kita cari tafsir-tafsir dari para sahabat beliau.11

Tentang Tafsir Ilmiah, Ahmad al-Syarbashi mengatakan, sudah dapat kita pastikan bahwa dalam al-Quran tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari kedudukannya sebagai mu�jizat. Munculnya istilah Tafsir Ilmiah yang dikemukakan Al-Syarbashi tersebut antara lain didasarkan data pada kitab Tafsir Ar-Razi. Dalam kaitan ini ia mengatakan bahwa dalam kitab Ar-Razi banyak bagiannya yang dapat dianggap ilmiah, sama halnya dengan kitab tafsir Muhammad Bin Ahmad Al-Iskandrani dengan judul panjang, yaitu Kasyful Asrar Al-Nuraniyah al-Quraniyyah fi Ma Yata�allaqu bi al-Arwah al- Samawiyyah wa al-Ardliyah.

Demikian juga dengan kitab-kitab tafsir yang lain seperti Muqaranatu Ba�dhi Mabahith al-Hai�ah bi al-Warid fi al�Nushushy Syar�iyyah, karya Abdullah Pasha Fikri; Kitab Tafsir al-Jawahir karya Syaikh Thantawi Jauhari, dan kitab- 11 Ahmad al-Syarbashi, Sejarah Tafsir al-Quran, (terj.), (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), h. 69. kitab tafsir lainnya yang cenderung menafsirkan al-Quran secara ilmiah. Selanjutnya tentang tafsir sufi al-Syarbashi menyatakan bahwa ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf al- Quran dan berusaha menerangkan hubungannya yang satu dengan yang lainnya. Adanya tafsir sufi tersebut, al-Syarbashi mendasarkan kepada kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para ulama sufi.

Untuk itu ia mengutip pendapat al-Thusi yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau dengan berbagai macam ilmu pengetahuan segala sesuatu yang telah dapat dipahami dan segala sesuatu yang tekah diungkapkan sertra diketahui oleh manusia, semuanya itu berasal dari dua huruf yang terdapat pada permulaan kitabullah yaitu Bismillah dan al-Hamdulillah. Karena kedua bermakna Billah (karena Allah) dan Lillah (bagi Allah). Ilmu dan pengetahuan apa saja yang dimiliki manusia, atau apa saja yang tekah dapat dimengerti oleh manusia tidaklah ada dengan sendirinya, melainkan adanya karena Allah dan bagi Allah.12

Mengenai tafsir politik, al-Syarbashi mendasarkan pemahamannya kepada pendapat-pendapat kaum Khawarij yang terlibat dalam politik dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Menurut mereka terdapat ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan perilaku dan peran politik yang dimainkan oleh kelompok yang bertikai. Misalnya, ayat yang artinya: �Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya demi keridahaan Allah.� (QS. al-Baqarah [2]: 207). Menurut kaum Khawarij, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Ibn Muljam, orang yang membunuh Ali Ibn Abi Thalib.

Selanjutnya ayat yang artinya: 12 Lihat Ahmad al-Syarbashi, Ibid., h. 139. �Jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikanlah antara keduanya.� (QS. al-Hujarat: 9) Menurut Kaum Khawarij bahwa ayat tersebut duturnkan Allah berkaitan dengan terjadinya peperangan antara Ali Ibn Abi Thalib dan golongan Muawiyah Ibn Abi Sufyan.13

Selanjutnya mengenai gerakan pembaharuan di bidang atfsir, Ahmad al-Syarbashi mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad kedua puluh. Ia menyebutkan Sayyid Rasyid Ridha �murid Syaikh Muhammad Abduh�yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya dalam majalah Al-Manar. Hal tersebut merupakan langkah pertama. Langkah selanjutnya, ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama Tafsir al-Manar, yaitu kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuaid engan perkembangan zaman.

Menurut al-Syarbashi, bahwa Muhammad Abduh telah berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Quran dengan kehidupan masyarakat, di samping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi, dan cocok bagi segala keadaan, waktu, dan tempat.14 Metode tafsir yang digunakan Muhammad Abduh dalam tafsirnya itu adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, Hadis-Hadis sahih, serta dengan tetap berpegang pada makna menurut pengeritan bahasa Arab.

Hal ini dilakukan, karena Syaikh Muhammad Abduh memandang bahwa teks induk al-Quran sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan.15 13 Lihat Ahmad al-Syarbashi, Ibid., h. 150. 14 Lihat Ahmad al-Syarbashi, Ibid., h. 161. 15 Lihat Ahmad al-Syarbashi, Ibid., h. 162. 3. Model Syaikh Muhammad al-Ghazali Syaikh Muhammad al-Ghazali dikenal sebagai tokoh pemikir Islam kontemporer yang produktif. Banyak hasil penelitian yang ia lakukan, termasuk dalam bidang tafsir al- Quran.

Sebagaimana para peneliti tafsir lainnya, Muhamad al- Ghazai menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif deskriptif dan analisis dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama tafsir terdahulu. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad al-Ghazali adalah berjudul: Berdialog dengan al- Quran�. Dalam buku tersebut dinyatakan antara lain macam- macam metode memahami al-Quran, ayat-ayat kauniyah dalam al-Quran, bagaimana memahami al-Quran, peran ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam memahami al-Quran.

Tentang macam-macam metode memahami al-Quran, al-Ghazali membaginya ke dalam metode klasik dan metode modern dalam memahami al-Quran. Menurutnya dalam berbagai kajian tafsir, banyak ditemukan metode memeahami al-Quran yang berawal dari ulama generasi terdahulu. Mereka telah berusaha memahami kandungan al-Quran, sehingga lahirlah apa yang dikenal dengan metode mahamai al-Quran.16 Kajian-kajian ini berkisar pada usaha-usaha menemukan nilai- nilai sastra, Fikih, kalam, aspek sufistik-filosofisnya, pendidikan, dan sebagainya.

Dengan menggunakan metode yang telah ada, dapatkan kita menggunakannya pada zaman sekarang? Demikian pertanyaan yang diajukan al-Ghazali setelah ia menemukan berbagai metode yang digunakan para ulama 16 Syaikh Muhammad al-Ghazali, �Kaifa Nata�amal ma�a al-Quran, diterj. Masykur Hakim dan Ubaidillah, Berdialog Dengan al-Quran, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996), h. 29. terdahulu dalam memahami al-Quran. Muhammad al-Ghazali misalnya, menyebutkan metode kajian teologis, sugistik, dan filosofis yang dianggap cukup radikal dan menyentuh masalah- masalah hukum.

Berbagai macam metode atau kajian yang dikemukakan Muhammad al-Ghazali tersebut oleh ulama lainnya disebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Hal ini terjadi karena sebagai sebuah displin ilmu biasanya memiliki metode. Dalam hubungan ini, Muhammad al-Ghazali kelihatannya ingin mengatakan bahwa metode yang terdapat dalam berbagai disiplin ilmu tersebut ingin digunakan dalam memahami al- Quran. Selanjutnya Muhammad al-Ghazali mengemukakan adanya metode meodern dalam memahami al-Quran.

Metode modern ini timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan pada berbagai metode yang disebutkan di atas. Dalam hubungan ini, Muhammad al-Ghazali menginformasikan adanya pendekatan Atsariyah atau tafsir bi al-matsur. Meneurutnya kajian ini dapat kita lihat dalam kitab tafsir Ibn Katsir, kitab tafsir yang populer. Metode ini pernah digunakan oleh Ibn Jarir al-Thabari. Tetapi menurut Muhammad al-Ghazali metode ini perlu mendapa kritik karena ayat-ayat dalam kajian tersebut banyak dikaitkan dengan Hadis-Hadis dhaif, sehingga apa yang diharapkan dari sebuah tafsir al-Quran dengan pemikiran Qur�ani, tampaknya belum begitu terlihat.

Sayyid Quthub dalam sebuah karyanya, Fi Dzilal al-Quran misalnya, dinilai oleh Muhammad al-Ghazali, hanya mengutib nash-nash saja dari tafsir Ibn Katsir, sedangkan Hadis-Hadisnya tidak dikutip selengkap ia mengutip nash-nash yang ada. Hal ini dimaksudkan agar beliau dapat menemukan pikiran-pikiran baru yang orisinal. Selanjutnya Muhammad al-Ghazali mengemukakan ada juga tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan oleh al-Razi dalam tafsirnya al-Tafsir al-Kabir. Menurutnya tafsir ini banyak menyajikan tema-tema menarik, namun sebagian dari tema tafsir tersebut sudah keluar dari batasan tafsir itu sendiri, yang menjadi acuan kebanyakan penafsir al-Quran.

Berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang terkandung dalam metode penafsiran masa lalu, terutama jika dikaitkan dengakeharusan memberikan jawaban terhadap berbagai masalah kontemporer dan modern, Muhammad al- Ghazali sampai pada suatu saran antara lain: �Kita inginkan saat ini adalah karya-karya keislaman yang menambah tajamnya pandangan Islam dan bertolak dari pandangan Islam yang benar serta berdiri di atas argumen yang memiliki hubungan dengan al-Quran. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pikiran manusia adalah relatif dan spekulatif, bisa benar bisa juga salah.

Keduanya memiliki bonot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Di sisi lain, tidak boleh pula menutup mata terhadap adanya manfaat serta sumbangan pemikiran keagamaan lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat.17 Itulah sebagian kesimpulan dan saran yang diajukan Muhammad al-Ghazali dari hasil penelitiannya. 4. Model Penelitian Lainnya Selantujnya dijumpai pula penelitian yang dilakukan oleh para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dalam al-Quran.

Diantaranya ada yang memfokuskan penelitiannya terhadap 17 Lihat Syaikh Muhammad al-Ghazali, Ibid., h. 37. kemukjizatan al-Quran,18 metode-metode penafsiran,19 kaidah menafsirkan al-Quran,20 kunci-kunci memahami al-Quran,21 serta corak dan arah penafsiran al-Quran secara khusus yang terjadi pada abad ke empat.22 Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama: Normatifitas dan Historisitas telah melakukan penelitian deskriptif secara simple terhadap perkembangan tafsir.

Amin Abdullah mengatakan jika dilihat secara garis besarnya, perjalanan sejarah penulisan tafsir pada abad pertengahan sepertinya tidak berlebihan bila dikatakan penulisan tafsir al- Quran secara leksiografis (lughawi) terasa lebih dominan. Tafsir karya Shehab al-Din al-Khaffaji (1659) memfokuskan perhatiannya pada analisi gramatika dan analisis sintaksis atas ayat-ayat al-Quran. Begitu pula al-Baidawi (1286) karyanya 18 Penelitian terhadap kemukjizatan al-Quran dilakukan antara lain oleh Muhamas Mutawalli al-Sya�rawi dalam bukunya yang berjudul Mu�jizat al- Quran. 19 Abd.

al-Hayy Al-Farmawiy merupakan tokoh yang khusus mengembangkan metode maudhu�iy (tematik), seperti yang dituliskan dalam kitabnya Al-Bidayat fi al-Tafsir al- Maudhu�iy. Demikian pula Muhammad Baqir al-Shadr menulis buku yang berjudul Al-Madrasah al-Quraniyyah al-Tafsir al- Maudhu�iy dan Tafsir Tajzi�i dalam al-Quran. 20 Abd al-Rahman bin Nashir al-Shu�diy misalnya menulis buku berjudul Al-Qawa�id al-Lisan li Tafsir al-Quran. Dalam buku tersebut dikemukakan tujuh puluh kaidah dalam menafsirkan al-Quran.

Di antaranya kaidah yang berbunyi Al-Ibrah bi umum al-Lafdz la bi a-lKhusus al-Sabab ; Thariqah al-Quran fi Taqrir al-Tauhid; Thariqat al-Quran fi Taqrir al-Nubuwwah; Thariqat al-Quran fi al-Khitab bi al-Ahkam. 21 Syaikh Abduh al-Fatah menulis buku yang berjudul Mafatih li al- Ta�ammul Ma�a al-Quran. Di dalamnya dikemukakan tentang nama-nama dan sifat-sifat al-Quran, berbagai pandangan para ahli tentang al-Quran, serta tujuan dan kandungan al-Quran. 22 Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Rumiy dalam bukunya berjudul Ittijabat al-Tafsir fi al-Qarn al-Rabi�I �Asyr sebanyak tiga juz membahas panjang lebar tentang perkembangan tafsir yang terjadi pada abad keempat. masih digunakan oleh pesantren-pesantren hingga sekarang.

Ia lebih memusatkan perhatiannya pada penafsiran al-Quran yang bercorak leksiografis. Tafsir modern karya Aisyah Abdul Rahman binti Al- Syati� yang berjudul al-Tafsir al-Bayan li al-Quran al-Karim yang oleh silabus jurusan tafsir hadi fakultas Ushulluddin UIN Sunan Kalijaga halaman 151 disebut sebagai tafsir al-�Ashri, juga masih bercorak leksiografis.23 Meskipun demikian Amin Abdullah mengatakan bahwa tafsir karya bin al-Syati� itu mengunakan metode komparatif dalam memahami dam menafsirkan arti kosakata al- Quran.

Binti al-Syati� selalu merujuk kepada pendahulunya seperti al-Thabari, al-Naisaburi, al-Razi, al-Suyuthi, al- Zamakhsyari, Ibn Qayyim, dan Muhammad Abduh, sebelum al- Shati mengemukakan pendapatnya sendiri diakhir pembahasan. Tafsir yang bercorak leksiografis dapat mebawa pada pemahaman al-Quran yang kurang utuh sebab belum mencerminkan sistematisasi secara utuh dari ajaran al-Quran yang fundamental.

Karya tafsir yang menonjolkan �ijaz umpamanya membuat pembacanya terpesona akan keindahan bahasa al-Quran, tetapi belum tentu dapat menguak nilai-nilai spiritual dan sosio moral al-Quran untuk kehidupan manusia sehari-hari. Demikian pula karya tafsir yang menonjolkan asbab al-Nuzul, jika terlepas dari nilai-nilai fundamental, universal, yang ingin ditonjolkan � sudah barang tentu bermanfaat untuk mempelajari latar historis turunnya ayat, tetapi juga mengandung kelemahan dari sisi relevansi dan kepaduan antara 23 Amin Abdullah, Studi Agama: Normatifitas dan Historisitas, (Cet. I ; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 136.

ajaran al-Quran yang bersifat universal dan transendental bagi kehidupan manusia dimana pun mereka berada.24 B. MODEL STUDI HADIS 1. Model Quraish Shihab Quraish Shihab sebenarnya lebih banyak meneliti al- Quran dibanding Hadis.25 Dalam bukunya yang berjudul Membumikan al-Quran, Quraish Shihab hanya meneliti dua aspek atas eksistensi Hadis yakni hubungan Hadis dengan al- Quran serta fungsi dan posisi Sunnah dalam tafsir. Referensi yang digunakan Quraish Shihab adalah studi kepustakaan yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar Hadis termasuk al- Quran.

Adapun sifat penelitiannya adalah bersifat deskriptif analitis dan bukan uji hipotesis. Quraish Shihab dalam studinya tentang fungsi Hadis terhadap al-Quran menyatakan bahwa al- 24 Lihat Amin Abdullah, Ibid., h. 139-140. 25 Kata Hadis dalam bahasa Arab secara etimologis berarti: komukasi; cerita; perbincangan; religius atau sekuler; dan historis atau kekinian. Di dalam al-Quran, kata Hadis ditemukan dalam beberapa makna tersebut, yaitu: (1) sebagai komunikasi religius, pesan, atau al-Quran, ditemukan dalam QS.

al-Zumar [39]: 23 dan QS. al-Qalam: 44; (2) sebagai cerita tentang masalah sekuler atau umum ditemukan dalam QS. al-An�am [6]: 68; (3) sebagai cerita historis, terlihat dalam QS. Thaha [20]: 9; (4) cerita atau perbincangan yang masih hangat didapati dalam QS. al-Tahrim [66]: 3. Hadis secara adjektif berarti baru. Kata ini ditemukan dalam al-Quran sebanyak dua pulu tiga kali. Sedangkan menurut Ahli Hadis bahwa Hadis ialah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW.,

baik berupa perilaku, perkataan, persetujuan terhadap tindakan sahabat stsu deksripsi tentang sifat dan karakternya. Sifat ini menunjukkan kepada penampilan fisik Nabi. Walaupun demikian, penampilan fisik Nabi tidak termasuk kategori Hadis, menurut ahli Fikih. Lihat Muhammad Mushthafa �Azami, �Studies in Hadith Methodology and Literature�, (AS: American Trust Publication, 1977), diterj. A. Yamin, Metodologi Kritik Hadis, (Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 17-19. Quran menekankan keberadaan Rasulullah SAW.,

adalah untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS. 16: 44). Penjelasan tersebut dalam pandangan ijma ulama deraneka ragam bentuk, sifat, dan urgensinya. Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh al-Azhar dalam bukunya al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha, seperti yang dikutip Quraish Shihab menuliskan bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan al-Quran dan fungsi yang berhubungan dengan pembinaan hukum syara. Dengan merujuk pada pendapat Imam Syafi�i melalui al-Risalah, Abdul Halim menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan al-Quran ada fungsi Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu Bayan Ta�kid dan Bayan Tafsir. Bayan Ta�kid hanya sekedar menguatkan dan menggaris bawahi kembali apa yang terdapat dalam al-Quran.

Ulama lain menyebutnya sebagai menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al- Quran. Dalam keadaan yang demikian, maka al-Quran dan al- Sunnah keduanya secara bersamaan menjadi sumber hukum. Contoh fungsi al-Sunnah terhadap al-Quran misalnya dalam Hadis riwayat Bukhari Muslim berbunyi: �Ala unabbiukum bi akbari al-kabaairi? qaluw balaa. qala ...wa qala alaa wa qawlu al- zuri� (Tidakkah kamu sekalian ingin aku jelaskan tentang dosa yang paling besar? Para sahabat menjawab: Ya Rasulullah. Beliau bersabda ...

bersaksi palsu�. Hadis tersebut berfungsi menetapkan dan menggaris bawahi ayat al-Quran (al-Hajj: 30) yang berbunyi: �Wajtanibuw qaula al-zuri�. (Dan jauhilah perkataan dusta). Fungsi kedua dari al-Sunnah adalah memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al- Quran. Memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat yang masih mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat yang masih mutlak dan memberikan takhshish (penentuan khusus) ayat al-Quran yang masih umum.

Misalnya perintah mengerjakan sembahyang, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji didalam al-Quran tidak dijelaskan jumlah rakaat dan bagimana cara pelaksanaannya, tidak diperincikan nisab zakat dan juga tidak dipaparkan cara melaksanakan ibadah haji. Tetapi semua itu telah ditafsil (diterangkan secara terperinci) dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Hadis. Contohnya Hadis yang artinya: �Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai yaitu bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan dua macam darah itu adalah hati dan limfa�.

(H.R. Ibnu Majjah dam al-Hakim). Hadis ini merupakan pengecuakian terhadap ayat al-Quran yang sifatnya umum seperti: �Diharamkan bagimu (memakan bangkai darah dan daging babi) (Qs. Al�Maidah, 5: 3). Selanjutnya dijumpai pula Hadis yang artinya: �Seorang muslim tidak boleh mewarisi hartasi kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi harta si Muslim�. (H.R.

al-Jama�ah); dan Hadis yang artinya: �Si pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang yang dibunuh sedikit pun�. (H.R. Nasa�iy). Kedua Hadis tersebut merupakan pembatas terhdap ayat yang sifatnya mutlak, yaitu ayat yang artinya: Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak- anakmu, yakni untuk laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. (Q.s An-Nisa, 4:11). Selain itu al-Hadis juga dapat mengambil peran sebagai menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati di dalam al- Quran.

Dalam hubungan ini kita misalnya membaca Hadis yang artinya: �Tidak boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan saudari bapaknya dan seorang wanita dengan saudari ibunya�. (H.R. Bukhari Muslim). Hadis lain mengatakan: �Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab�. H.R Bukharai Muslim. Materi hukum yang ditetapkan keharamanya oleh kedua Hadis tersebut tidak dijumpai dalam al-Quran sehingga Nabi mengambil inisiatif untuk mengharamkannya.

2.

Model Musthafa al-Shiba�iy Musthafa al-Shiba�iy adalah intektual Muslim asal Mesir merupakan pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin yang banyak menulis tentang masalah sosial-ekonomi dari perspektif Islam serta menulis buku-buku kajian agama Islam. Di antara bukunya yang berkenaan dengan Hadis adalah Al-Sunnah wa makanatuha fi al-Tasyri�i, al-Islami yang diterjemahkan Nurcholish Madjid menjadi Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni. Cetakan pertama yang diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta tahun 1991.

Penelitian Mustafa al-Shibay dalam bukunya tersebut bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analisis yakni dalam sistem penyajiannya mengunakan pendekatan kronologi dalam sejarah. Buku tersebut ditulis kurang lebih dua ratus tahun sejak dari masa rintisan Shihab al- Din al-Zuhri (w. 124 H/742 M) sampai penyelesaian al-Masai (w.303 H/916 M) salah seorang tokoh al-Kutub al-Sittah.

Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa al-Shiba�iy antara lain mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya Hadis mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan Hadis dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan Sunnah, dibukukannya ilmu Musthalah al-Hadis, Ilmu Jarh dan al-Ta�dil, Kitab-kitab tentang Hadis- Hadis Palsu dan Para Pemalsu dan penyebarnya. Selanjutnya Al-Siba�iy juga menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pandangan kaum Khawarij, Syi�ah, Mu�tazilah dan Mutakallimin, para penulis kaum modern dan kaum Muslimin pada umumnya terhadap al-Sunnah.

Dilanjutkan dengan laporan tentang sejumlah kelompok di masa sekarang yang mengingkari kehujjahan al-Sunnah disertai pembelaannya. Dengan melihat isi penelitian yang dikemukakan diatas, al-Siba�iy nampak tidak netral. Ia berupaya mengumpulkan bahan-bahan kajian sebanyak mungkin untuk selanjutnya diarahkan untuk melakukan pembelaan kaum sunni terhadap al-Sunnah. Selanjutnya ia menyajikan data apa adanya, sedangkan penilaiannya diserahkan kepada pembaca. 3.

Model Muhammad al-Ghazali Muhammad al-Ghazali yang menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam bukunya yang berjudul al- Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis adalah salah seorang ulama jebolan Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khusunya Timur Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif. Menurut Qurash Shihab buku ini telah menimbulkan tanggapan yang berbeda, sehingga menjadi salah satu buku terlaris dengan lima kali naik cetak dalam waktu antara Januari-Oktober 1989.

Dilihat dari sedi kandungan yang terdapat dalam buku tersebut, nampak bahwa penelitian Hadis yang dilakukan Muhammad al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya mengenai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks Hadis tersebut. Dengan kata lain Muhammad al- Ghazali terlebih dahulu memahami Hadis yang ditelitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat. Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analisis.

Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan Fikih, sehingga terkesan ada misi pembelaan, dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan al-Quran dan al-Sunnah yang mutawatir. Masalah yang terdapat dalam buku hasil penelitian Muhammad al-Ghazali itu nampak cukup banyak. Setelah ia menjelaskan tetang kesahihan Hadis dan persyaratannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya, tentang hukum qishash, salat tahiyat masjid, tentang sekitar dunia wanita yang meliputi antara kerudung dan cadar, wanita keluarga dan profesi, hubungan wanita dengan masjid, kesaksian wanita dalam kasus-kasus pidana dan qishash, perihal nyanyian, etika makan, minum, berpakaian dan membangun rumah, kemasukan setan: esensi dan cara pengobatannya, memahami al-Quran secara serius, Hadis-Hadis tentang masa kekacauan, antara sarana dan tujuan, serta takdir dan fatalisme.

Berbagai masalah yang dimuat dalam buku tersebut nampak didominasi oleh masalah-masalah Fikih yang aktual. Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan etika dan teologi hanya disinggung secara sepintas saja. Di sini menunjukan kecenderungan peneliti menekuni masalah Fikih. 4. Model Zain al-Din Abd al-Rahim bin al-Husain al- Iraqy Al-Hafidz Zain al-Din Abd al-Rahim bin al-Husain al- Iraqy yang hidup tahun 725-806 tergolong ulama generasi pertama yang banyak melakukan penelitian Hadis.

Bukunya berjudul al-Taqyid wa al-Idlah Syarh Muqaddiman Ibn al-Shalah adalah termasuk kitab ilmu Hadis tertua yang banyak mengemukakan hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan oleh para peneliti dan penulis Hadis berikutnya. Ia disebutkan sebagai penganut mazhab Syafi�i belajar di Mesir dan mendalami bidang Fikih. Diantara gurunya adalah al-Asnawiy dan Ibn �Udlan yang keduanya termasuk pendiri mazhab Syafi�i. Selain itu juga dikenal menguasai ilmu al-nahwu (gramatika), ilmu qira�at dan Hadis.

Mengingat sebelum zaman al-Iraqy belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak ia berusaha membangun ilmu Hadis dengan mengunakan bahan-bahan Hadis Nabi serata berbagai pendapat para ulama yang dijumpai dalam kitab tersebut. Dengan demikian penelitiannya bersifat penelitian awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan- bahan untuk digunakan membangun suatu ilmu. Buku inilah buat pertama kali mengemukakan macam-macam Hadis yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada Hadis yang tergolong sahih, hasan, dan dhaif.

Kemudian dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi Hadis musnad, muttasil, marfu, mauquf, mursal, al-munqatil. Selanjutnya dilihat pula dari keadaan kualitas matannya yang dibagi menjadi Hadis yang syadz dan munkar. Dalam buku tersebut dikemukakan tentang sifat dan karakteristik orang yang dapat diterima riwayatnya, cara menerima dan menyampaikan hadiah, etika dan tatak rama kesopanan para ahli Hadis dan lainnya yang berkaitan dengan adanya Hadis-Hadis yang secara lahiriah bertentangan dan cara mengkompromikannya. C.

MODEL STUDI FILSAFAT ISLAM 1. Model M. Amin Abdullah Dalam rangka penulisan disertasinya, M. Amin Abdullah mengambil bidang penelitiannya pada masalah Filsafat Islam.26 Hasil penelitiannya ia tuangkan dalam bukunya berjudul The Idea of Universality Ethical Norm In Ghazali and Kant. Dilihat dari segi judulnya, penelitian ini mengambil metode penelitian kepustakaan yang bercorak deskriptif, yaitu penelitian yang mengambil bahan-bahan kajiannya pada berbagai sumber baik yang ditulis oleh tokoh yang diteliti itu sendiri (sumber primer), maupun sumber yang ditulis oleh orang lain mengenai tokoh yang ditelitinya itu (sumber sekunder).

Bahan-bahan tersebut selanjutnya diteliti keotentikannya secara seksama; diklasifikasikan menurut 26 Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos, yang berarti ilmu atau hikmah. Lihat Lois O. Kattsof, �Element of Philosophy�, diterj. Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Cet. VI; Yogyakarta: bayu Indah Grafika, 1989), h. 11. Lihat juga Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi, (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 3. Sedang filsafat Islam pada prinsipnya merupakan medan pemikiran yang berkembang secara kontinyu dan berubah; atau segala aktivitas pemikiran yang menjadikan Islam sebagai nafasnya. Lihat Musa Asy�ari, �Filsafat Islam: Suatu Tinjauan Ontologis�, dalam Irma Fatimah (Ed.), Filsafat Islam, (Cet.

I; Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), h. 13. variabel yang ingin ditelitinya, dalam hal ini masalah etik; dibandingkan antara satu sumber dengan sumber lainnya, dideskripsikan (diuraikan menurut logika berpikir tertentu), dianalisa dan disimpulkan. Selanjutnya dilihat dari segi pendekatan yang digunakan, M. Amin Abdullah kelihatannya mengambil pendekatan studi tokoh dengan cara melakukan studi komparasi antara pemikiran kedua tokoh tersebut (al-Ghazali dan Immanuel Kant), khususnya dalam bidang etika. Hasil penelitian M.

Amin Abdullah dalam bidang Filsafat Islam selanjutnya dapat dijumpai dalam berbagai karyanya baik yang ditulis secara tersendiri, maupun dengan gabungan karya-karya orang lain. Dalam bukunya berjudul Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, M. Amin Abdullah mengatakan ada kekaburan dan kesimpangsiuran yang patut disayangkan di dalam cara berpikir kita, tidak terkecuali di lingkungan Perguruan Tinggi dan kalangan akademis. Tampaknya kita sulit mebedakan antara Filsafat dan Sejarah Filsafat, antara Filsafat Islam dan Sejarah Filsafat Islam.

Biasanya kita korbankan kajian filsafat, karena kita selalu dihantui oleh trauma sejarah abad pertengahan, ketika Sejarah Filsafat Islam diwarnai oleh pertentangan pendapat dan perhelatan pemikiran antara al-Ghazali dan Ibn Sina, yang sangat menentukan jalannya sejarah pemikiran umat Islam. Kritik M. Amin Abdullah tersebut timbul setelah ia melihat melalui penelitiannya, bahwa sebagian penelitian Filsafat Islam yang dilakukan para ahli selama ini berkisar pada masalah Sejarah Filsafat Islam, dan bukan pada materi Filsafatnya itu sendiri. Penelitian yang polanya mirip dengan M.

Amin Abdullah tersebut dilakukan pula oleh Sheila Mc. Donough dalam karyanya berjudul Muslim Ethics and Modernity: A Comparative Study of The Ethical Though of Sayyid Ahmad Khan and Mawlana Mawdudi. Buku tersebut telah diterbitkan oleh Wilfrid Laurier University Press, Kanada, pada tahun 1984. Dalam buku tersebut yang dijadikan objek penelitian adalah Ahmad Khan dan Maulana Maududi yang keduanya adalah orang Pakistan dan telah dikenal di dunia Islam.

Penelitian tersebut termasuk kategori penelitian kualitatif, berdasar pada sumber kepustakaan yang ditulis oleh kedua tokoh tersebut atau oleh orang lain mengenai tokoh tersebut. Sedangkan corak penelitiannya adalah penelitian deskriptif analisis, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tokoh dan komparatif studi. Melalui penelitian demikian akan dapat dihasilkan kajian mendalam dalam salah satu bidang kajian, serta latar belakang pemikiran yang menyebabkan mengapa kedua tokoh tersebut mengemukakan pendapatnya seperti itu. 2.

Model Otto Horrassowitz, Majid Fakhry, dan Harun Nasution Dalam bukunya berjudul History of Muslim Phylosophy yang diterjemahkan dan disunting oleh M.M Syarif kedalam bahasa Indonesia menjadi Para Filosof Muslim, Otto Horrassowitz telah melakukan penelitian terhadap seluruh pemikiran filsafat Islam yang berasal dari tokoh-tokoh filosof abad klasik, yaitu al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Tufail, Ibn Rusyd, dan Nasir al-Din al- Tusi. Dari al-Kindi dijumpai pemikiran filsafat tentang Tuhan, keterhinggaan, ruh dan akal.

Dari al-Razi dijumpai pemikiran filsafat tentang teologi, moral, metode, metafisika, Tuhan, ruh, materi, ruangan, dan waktu. Selanjutnya al-Farabi dijumpai pemikiran filsafat tentang logika, kesatuan filsafat, teori sepuluh kecerdasan, teori tentang akal, teori tentang kenabian, serta penafsiran atas al-Quran. Selanjutnya dari Ibn Miskawaih dijumpai pemikiran filsafat tentang moral, pengobatan rohani, dan filsafat sejarah. Dalam pada itu, dari Ibn Sina dikemukakan pemikiran filsafat tentang wujud, hubungan jiwa dan raga, ajaran kenabian, Tuhan dan dunia.

Dari Ibn Bajjah dijumpai pemikiran filsafat tentang materi dan bentuk, psikologi, akal dan pengetahuan, Tuhan, Sumber Pengetahuan, Politik, Etika, dan tasawuf. Dari Ibn Tufail dikemukakan pemikiran filsafat tentang akal dan wahyu sebagai yang dapat saling melengkapi yang dikemas dalam novel fiktifnya yang berjudul Hay Ibn Yaqzan yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia; tujuan risalah, doktrin tentang dunia, Tuhan, kosmologi cahaya, epistemologi, etika, filsafat dan agama. Selanjutnya dari Ibn Rusyd, dikemukakan pemikiran filsafat tentang hubungan filsafat dan agama, jalan menuju Tuhan, jalan menuju pengetahuan, jalan menuju ilmu, dan jalan menuju wujud.

Dalam pada itu dari Nasir al-Din Tusi dikemukakan pemikiran filsafat tentang akhlak nasiri, ilmu rumah tangga, politik sumber filsafat praktis, psikologi, metafisika, Tuhan, creation ex nihilo, kenabian, baik dan buruk serta logika. Selain mengemukakan berbagai pemikiran filosofis sebagaimana tersebut di atas, Horrassowitz juga mengemukakan mengenai riwayat hidup serta karya tulis dari masing-masing tokoh tersebut.

Untuk mendalami berbagi pemikiran filosofis tersebut silakan anda langsung membaca buku tersebut, kerena disini hanay dikemukakan dari sisi penelitiannya saja. Dengan demikian jelas terlihat bahwa penelitiannya termasuk penelitian kualitatif. Sumbernya kajian pustaka. Metodenya deskriptif analisis, sedangkan pendekatannya historis dan tokoh. Yaitu bahwa apa yang disajikan berdasarkan data-data yang ditulis ulama terdahulu, sedangkan titik kajiannya adalah tokoh.

Penelitian serupa itu juga dilakukan oleh Majid Fakhry. Dalam bukunya berjudul A History of Islamic Philosophy dan diterjemahkan oleh Mulyadi Kartanegara menjadi Sejarah Filsafat Islam, Majid Fakhry selain menyajikan hasil penelitiannya tentang Ilmu Kalam, Mistisisme, dan kecenderungan-kecenderungan modern dan kontemporer juga berbicara tentang filsafat. Khusus dalam bidang filsafat, ia berbicara tentang al-Kindi, Ibn al-Rawandi, al-Razi, Abu Hayyan, al-Tauhidy, Ibn Miskawaih, Yahya bin �Adi, Ibn Massarah, Al- Majrithi, Ibn Bajjah, Ibn Tufail, Ibn Rusyd, al-Suhrawardi dan Shadr al-Din al-Syiazi.

Majid Fakhri selain mengemukakan riwayat hidup juga mengemukakan pemikirannya dalam bidang filsafat. Penelitian tersebut nampaknya menggunakan campuran. Yaitu selain mengunakan pendekatan historis juga mengunakan pendekatan kawasan, bahkan pendekatan substansi. Melalui pendekatan historis, ia mencoba meneliti latar belakang munculnya berbagai pemikiran filsafat dalam Islam. Sedangkan dengan pendekatan kawasan, ia mencoba mengelompokan para filosof ke dalam kelompok Timur dan Barat (dalam hal ini Spayol), dan dengan pendekatan substasi, ia mencoba mengemukakan berbagai pemikiran filsafat yang dihasilkan dari berbagi tokoh terebut.

Untuk lebih mendalami materi kajian yang dikemukakan oleh para tokoh tersebut silahkan anda langsung menelaah buku tersebut. Dalam pada itu Harun Nasution, juga melakukan penelitian filsafat dengan menggunakan pendekatan tokoh dan pendekatan historis. Bentuk penelitiannya deskriptif dengan menggunakan bahan-bahan bacaan baik yang ditulis oleh tokoh yang bersangkutan maupun penulisan yang lain yang berbicara mengenai tokoh tersebut. Dengan demikian penelitiaanya bersifat kualitatif.

Melalui pendekatan tokoh, Harun Nasution mencoba menyajikan pemikiran filsafat berdasarkan tokoh yang ditelitinya yang dalam hal ini adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd. Sedangkan dengan pendekatan historis, Harun Nasution mencoba menyajikan tentang sejarah timbulnya pemikiran filsafat Islam yang dimulai dengan kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafat Yunani. 3.

Model Ahmad Fuad al-Ahwani Ahmad Fuad al-Ahwani termasuk pemikir modern dari Mesir yang banyak mengkaji dan meneliti bidang filsafat Islam. Salah satu karyanya dalam bidang filsafat berjudul Filsafat Islam. Dalam bukunya ini ia selain menyajikan sekitar problem filsafat Islam juga menyajikan tentang zaman penerjemahan, dan filsafat yang berkembang di kawasan masyriqi dan maghribi. Di kawasan masyriqi dikemukakan nama al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina. Sedangkan dikawasan maghribi ia kemukakan Ibn Bajjah, Ibn Tufail, dan Ibn Rusyd.

Selain dengan mengemukakan riwayat hidup serta karya dari masing-masing tokoh filosof tersebut, juga mengemukakan tentang jasa dari masing-masing filosof tersebut serta pemikirannya dalam bidang filsafat. Dengan demikian metode penelitian yang ditempuh Ahmad Fuad Al-Ahwani adalh penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan kepustakaan. Sifat dan coraknya adalah penelitian deskriptif kualitatif.

Sedangkan pendekatannya adalah pendekatan yang bersifat campuran, yaitu pendekatan historis, pendekatan kawasan dan tokoh. Melalui pendekatan historis, ia mencoba menjelaskan latar belakang timbulnya pemikiran filsafat dalam Islam. Sedangkan dengan pendekatan kawasan ia mencoba membagi tokoh-tokoh filosof menurut tempat tinggal mereka, dan dengan pendekatan tokoh, ia mencoba mengemukakan berbagai pemikiran filsafat sesuai dengan tokoh yang mengemukakannya.

Berbagai hasil penelitian yang dilakukan para ahli mengenai filsafat Islam tersebut memiliki kesan kepada kita, bahwa pada umumnya penelitian yang dilakukan bersifat penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang menggunakan bahan-bahan bacaan sebagai sumber rujukannya. Metode yang digunakan umumnya bersifat deskriptif analisis. Sedangkan pendekatan yang digunakan umumnya pendekatan historis, kawasan dan substansial. Penelitian dan pengkajian filsafat demikian sulit diharapkan dapat melahirkan para filosof.

Penelitian tersebut belum berhasil mengangkat dasar pemikiran yang membentuk filsafat itu sendiri. Pengkajian filsafat biasanya terbiasa dengan diskusi dan perbincangan yang begitu mendalam tentang uraian-uraian dan kutipan filosofis, hampir seolah-olah kutipan-kutipan filosofis itu baru saja dihasilkan dan seolah-olah tidak mengalami kesulitan interpretasi yang melelahkan. Bedasarkan informasi tersebut, sebenarnya masih terbuka luas obyek penelitian di bidang filsafat Islam, yaitu obyek yang berkenaan dengan cara atau metode yang digunakan oleh para filosof terdahulu untuk kemudian dijadikan sebagai bahan perbandingan untuk selanjutnya digunakan bagi kepentingan pengembangan pemikiran filsafat lebih lanjut. Sesungguhnya masih banyak hasil penelitian yang dilakukan para ahli di bidang filsafat Islam yang tidak dikemukakan seluruhnya disini.

Ahmad Hanafi, MA. misalnya menulis buku berjudul Pengantar Filsafat Islam. Dalam buku yang merupakan hasil penelitian kepustakaan itu dikemukakan tentang pemikiran filsafat al-Kindi, al-Farabi, Ikhwanusshafa, dan Ibn Sina. Fazlur Rahman dalam bukunya Islam juga memuat pembahasan tentang filsafat Islam yang didasarkan pada rujukan dibidang kefilsafatan. Fazlur Rahman mengatakan bahwa sistem filsafat Islam yang disusun merupakan suatu reaksi mulia dalam kebudayaan Islam.

Dalam sistem itu sendiri terdapat suatu hasil yang mengagumkan baik dalam landasan etosnya maupun dalam struktur aktualnya. Filsafat itu menggambarkan suatu bagian penting yang murni dalam pemikiran manusia, karena ia berada dalam ambang antara masa purba dan masa modern. Namun berhadapan dengan agama Islam, filsafat itu menciptakan suatu situasi yang berbahaya untuk dirinya sendiri. Dalam doktrin-doktrin filsafat aktual tidak terlalu banyak menerangkan pekerjaan-pekerjaan keduaniaan yang berbahaya, namun dipergunakan dalam beberapa kebijaksanaan putusan pengadilan agama dan merupakan implikasinya terhadap syari�ah.

Apa yang dikemukakan para penelti terhdap pemikiran filsafat Islam terebut nampak selalu menyajikan tokoh yang dari satu sisi ada tokoh yang bersamaan diteliti, dan ada pula tokoh yang tidak diangkat oleh peneliti yang satu, namun oleh peneliti lainnya diangkat. Kita tidak tahu persis mengapa hal itu terjadi. Apakah karena keterbatasan sumber rujukan yang dimiliki masing-masing, atau karena maksud lainnya yang disebabkan kerena peneliti tersebut kurang tertarik atau kurang sejalan dengan tokoh filosof yang ditelitinya. Dewasa ini setahap demi setahap pemikiran filsafat Islam atau berpikir secara filosofis sudah mulai diterima masyarakat.

Berbagai kajian dibidang keagamaan selalu dilihat dari segi pemikiran filosofisnya, sehingga makna substansial, hakikat, inti dari pesan spiritual dari setiap ajaran keagamaan tersebut dapat ditangkap dan dihayati dengan baik. Tanpa bantuan filsafat, maka msyarakat akan cenderung terjebak ke dalam bentuk ritualistik semata-mata tanpa tahu apa pesan filosofis yang terkandung dalam ajaran terebut. Filsafat juga semakin diperlukan dalam situasi yang semakin memadu dan menyatu antara satu bidang pengetahuan dengan pengetahuan lainnya. D.

MODEL STUDI ILMU KALAM 1. Penelitian Pemula a. Model Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidy al- Samarqandy. Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidy al-Samarqandy telah menulis buku Ilmu Kalam27 berjudul Kitab al-Tauhid. Buku ini telah ditahklik oleh 27 Ilmu Kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah); sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya; sifat-sifat yang tidak ada Fathullah Khalif, magister dalam bidang sastra pada Universitas Iskandariyah dan Doktor filsafat pada Universitas Cambridge.

Dalam buku tersebut selain dikemukakan riwayat hidup secara singkat dari al-Maturidy, juga telah dikemukakan berbagai masalah yang detail dan rumit dibidang ilmu kalam. Di antaranya dibahas tentang cacatnya taklid dalam hal beriman, serta kewajiban mengetahui agama dengan dalil al-sama� (dalil nakli dan dalil akli); pembahasan tentang alam, antrophormisme atau paham jisim pada Tuhan, sifat-sifat Allah, perbedaan paham diantara manusia tentang cara Allah menciptakan makhluk, perbuatan makhluk, paham qadariyah; pada-Nya; dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya serta membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan; untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya; sifat-sifat yang mungkin ada padanya; dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya.

Lihat Syaikh Muhammad Abduh, �Risalah al-Tauhid�, dalam Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 3. Kemudian Ibn Khaldun berpendapat bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin gegerasi pertama dan ortodoksi Muslim. Lihat Ibn Khaldun, �Muqaddimah�, diterj. Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Cet. II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 589.

Penamaan Ilmu Kalam disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu: 1) karena istilah Ilmu kalam diambil dari metodologinya, khususnya metode dialog (kalam); 2) karena kerasnya cara berdialog, sehingga Ilmu kalam merupakan salah satu cabang ilmu yang paling banyak melahirkan perbedaan pendapat dan pertentangan; 3) karena lebih berpegang pada argumentasi- argumentasi rasional dari pada wahyu dan kemampuannya untuk memberikan kepuasan jiwa; 4) karena merupakan ilmu yang pertama mengharuskan mempelajrinya dengan �kalam� kemudian penggunaan istilah �kalam� dikhususkan pada ilmu ini dan tidak digunakan ilmu lain untuk membedakannya.

Lihat Hassan Hanafi, �Min al-�Aqidah ila al-Tsaurahal- Muqaddimat al-Nazhariyah�, (Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba�ah wa al-Nasyr, t.th.), diterj. Asep Usman Ismail et. al., Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2003), h. 4-5. qada dan qadar; masalah keimanan; serta tidak adanya dispensasi dalam hal iman dan Islam. b. Model Al-Imam Abi Al-Hasan bin Isma�il Al- Asy�ari. Al-Imam Abi Al-Hasan bin Isma�il Al-Asy�ari yang wafat pada tahun 330 H, telah menulis buku berjudul Maqalat al- Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin.

Buku i9ni telah ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin �Abd al-Hamid, sebanyak dua juz. Juz pertama setebal 351 halaman, sedangkan juz keduanya 279 halaman. Seseorang yang ingin mengetahui secara mendalam tentang teori Ahlu Sunnah mau tidak mau harus mempelajari buku ini, dan buku karangan al-Maturidy sebagaimana tersebut diatas. Namun kita tidak tahu persis apakah buku ini dikaji di pesantren-pesantren atau tidak. Yang penullis ketahui, para santri mempelajari pemikiran teologi Ahli Sunnah dari sumber kedua atau ketiga.

Sebagaimana halnya al-Maturidy, al-Asy�ari juga dalam buku terebut membahas masalah-masalah yang rumit dan mendetail tentang teologi. Pada juz pertama bukuk tersebut antara lain dibahas mengenai permulaan timbulnya masalah perbedaan pendapat dikalangan umat Islam yang disebabkan karena perbedaan dalam bidang kepemimpinana (imamah dan politik) yang dimulai dari zaman Usman Ibn �Affan; pembahasan tentang aliran-aliran induk (Ummahat al-Fiqr) yang jumlahnya mencapai sepuluh.

Yang pertama adalah aliran Syi�ah yang jumlahnya mencapai lima belas aliran yaitu al- bayaniyah, al-jinahiyah, al-mughayyirah, al-manshuriyah, al- khithabiyah, al-ma�mariyah, al-baghiziyah, al-amariyah, al- mufdhilah, al-hululiyah, al-qailunan ilahiyatu �Ali, al-faridlah, al- sabi�iyah, al-mufawwidah dan al-imamiyah; dan al-imamiyah ini dibagi lagi menjadi dua puluh empat gologan. Selanjutnya dalam buku terebut dibahas pula tentang perbedaan pendapat di sekitar penanggung arasy (hamalatul arsy), kebolehan bagi Allah dalam menciptakan alam, tentang al- Quran, perbuatan hamba, kehendak Allah, kesanggupan manusia, perbuatan manusia dan binatang, kelahiran, kembalinya kematian ke dunia sebelum datangnya hari kiamat, masalah imamah (kepemimpinan), masalah kerasulan, masalah keimanan, janji baik dan buruk, siksaan bagi anak kecil, tentang tahkim (arbitrase), hakikat manusia, aliran khawarij dengan berbagai sektenya, dan masih banyak lagi masalah rumit yang pada hemat penulis belum banyak dikaji oleh kalangan yang mengku dirinya sebagai penganut teologi Asy�ariyah.28 c.

Model �Abd al-Jabbar bin Ahmad �Abd al-Jabbar bin Ahmad menulis buku berjudul Syarh al-Ushul al-Khamsah yang tebalnya mencapai 805 halaman. Buku ini telah ditahkik oleh Doktor Abd al-Karim �Usman dan diterbitkan oleh penerbit Makatabah wahbah tanpa menyebutkan tahunnya. Bagi seorang yang ingin mengkaji tentang ajaran-ajaran Mu�tazilah secara mendalam dan mendetail mau tidak mau harus membahas buku ini dengan sikap yang wajar dan obyektif tanpa didahului oleh buruk sangka atau pra konsepsi.

Hal ini penting dilakukan, karena hinga saat ini mayoritas umat Islam memandang Mu�tazilah agak kurang proporsional bahkan cenderung menghakimi secara sepihak, tanpa memberikan kesempatan kepada Mu�tazilah untuk melakukan pembelaan diri. Sikap buruk 28 Al-Imam Abi al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy�ariy, Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th). sangka dan tidak proporsional terhdap Mu�tazilah tersebut mungkin disebabkan karena dendam lama atas keburukan yang pernah dilakukan oknum Mu�tazilah di zaman al-Ma�mun.

Mereka yang tidak merasa senang terhadap Mu�tazilah ini menulis buku yang mengesankan Mu�tazilah bernada negatif. Kini saatnya umat Islam bersifat obyektif terhadap kaum Mu�tazilah dengan cara mempelajari pemikiran Mu�tazilah terebut dari buku atau sumber bacaan yang ditulis oleh orang Mu�tazilah sendiri. Diketahui bahwa ajaran pokok Mu�tazilah ada lima, yaitu al-Tauhid, yaitu mengesakan Allah, al-Adl yaitu paham keadilan Tuhan, al-wa�ad al-wa�id yakni paham janji baik dan buruk diakhirat, al-manzilah bain al-manzilatin serta amar ma�ruf nahi munkar.

Kelima ajaran dasar Mu�tazilah terebut dibahas secara mendetail dalam buku ini. Diantaranya kewajiban yang utama dalam mengetahui Allah, makna wajib, makna keburukan, hakikat pemikiran dan macam-macamnya, pembagian manusia, urusan dunia dan akhirat, makna berpikir, dan sebagainya.29 d. Model Thahawiyah Imam al-Thahawiyah telah menulis buku berjudul Syarh al-Akidah al-Thahawiyah yang telah ditahkik oleh sekelompok para ulama dan diperiksa (diedit) oleh Muhammad Nashir al- Din al-Bayai dan diterbitkan oleh al-Maktab al-Islamy pata tahun 1984.

Buku yang tebalnya 536 halaman ini secara keseluruhan membahas teologi di kalangan ulama salaf, yaitu ulama yang belum dipengaruhi pemikiran Yunani dan pemikiran lainnya yang berasal dari luar Islam, atau bukan dari al-Quran dan al-Sunnah. Dalam buku ini antara lain dibahas tentang kewajiban mengimani apa yang dibawa oleh para Rasul, kewajiban mengikuti ajaran-ajaran para Rasul, makna tauhid, tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah, tafsir potongan ayat ma itakhaza Allah min walad (Allah tidak mengambil anak), macam- macam tauhid yang dibawa oleh Rasul, tafsir potongan ayat laitsa ka mitslihi syaim (tidak ada sesuatu yang serupa dengan Allah), mengenai wujud yang berada di luar zat, tafsir tentang qudrat dan penjelasan bahwa Allah tidak dapat dilemahkan oleh segala sesuatu, tafsir kalimat lailaha illa Allah, pembahasan mengenai sifat al-hayat, kelangsungan sifat yang utama, sifat zat dan sifat perbuatan bagi Allah, apakah sifat merupakan tambahan atas zat atau bukan dan masalah lainnya yang jumlahnya lebih dari dua ratus pokok masalah.30

Menurut pengalaman penulis buku ini belum banyak dikenal di masyarakat, atau mungkin masyarakat belum mengenalnya sama sekali. Untuk itu peneliti lebih lanjut terhdap buku ini perlu dilakukan, sehingga teologi yang bercorak salafi yang diajarkan Rasulullah dan belum terpengaruh oleh ajaran dari luar Islam dapat diketahui oleh masyarakat Islam. e. Model al-Imam al-Haramain al-Juwainy (478 H). Imam al-Haramain al-Juwainy yang dikenal sebagai guru dari Imam al-Ghazali menulis buku berjudul al-Syamil fi Ushul al- Din yang tebalnya 729 halaman.

Buku ini telah ditahkik oleh Ali Sami al-Nasyr, Fashil Badir Uwan dan Suhair Muhammad Mukhtar, dan diterbitkan oleh penerbit al-Ma�arif Iskandariyah tahun 1969. Di dalam buku telah dibahas tentang penciptaan alam yang didalamnya dibahas tentang hakikat jauhar 29 Abd al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Mesir: Maktabah Wahbah, t.th.). 30 Imam al-Thahawiyah, Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah, ditahqiq oleh Jam�ah min al-Ulama (Mesir: Al-Maktabah al-Islamiy, t.th.). (substansi), arad (aksiden) menurut berbagai pendapat para ahli; kitab tauhid yang didalamnya dibahas tentang hakikat tauhid, kelemahan kaum Mu�tazilah, penolakan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki jisim; pembahasan tentang akidah; kajian tentang dalil atas kesucian Allah SWT; pembahasan tentang ta�wil; pembahasan tentang sifat-sifat bagi Allah; masalah illat atau sebab.31

Selain itu Imam al-Haramain juga telah menulis buku berjudul Kitab al-Irsyad Ila Qawaithi� al-Adillah fi Ushul al-�Itiqad li imam al-Haramain al-Juwainy. Buku ini ditahkik oleh doktor Yusuf Musa, Dosen pada Fakultas Ushul al-Din Mesir, dan Ali Abd al-Mun�im Abd al-Hamid, diterbitkan oleh Maktabah al- Halabi Mesir, tanpa menyebutkan tahunnya. Dalam buku ini dibahas antara lain tentang ketentuan berpikir, hakikat ilmu, barunya alam, sifat-sifat yang wajib bagi Allah, penentuan sifat ilmu dengan sifat maknawiyah, tentang dapat dilihatnya Allah di akhirat, penciptaan perbuatan, paham tentang daya, tentang perbuatan yang baik dan terbaik, penetapan tentang kenabian, tentang sifat-sifat kehidupan akhirat, tentang taubat dan tentang imam.32 f. Model Al-Ghazali (w. 1111 M).

Imam al-Ghazali yang pernah belajar pada Imam al- Haramain sebagaimana disebutkan diatas, dan dikenal sebagai Hujjatul Islam telah pula menulis buku berjudul al-Iqtishad fi al- 31 Imam al-Haramain, Al-Syamil fi Ushul al-Din li Imam al-Haramain al- Juwainiy, ditahqiq oleh Ali Sam�iy al-Nasyr, Fashil Badir Uwan dan Sahir Muhammad Mukhtar, (Iskandariyah: Al-Ma�arif, 1969). 32 Imam al-Haramain al-Juwainiy, Kitab al-Irsyad ila Qawathi al-Adillah fi Ushul al-I�tiqad li Imam al-Haramain al-Juwainiy, ditahkik oleh Muhammad Yusuf Musa dan Ali Abd al-Mun�im Abd al-Hamid, (Mesir: Maktabah al- Halabiy, t.th.). I�tiqad, dan telah diterbitkan pada tahun 1962 di Mesir.

Dalam buku ini dibahas tentang pembahasan bahwa ilmu diperlukan dalam memahami agama, tentang perlunya ilmu sebagai fardlu kifayah, pembahasan tentang zat Allah, tentang qadimnya alam, tentang bahwa pencipta alam tidak memiliki jisim, karena jisim memerlukan pada materi dan bentuk, dan penetapan tentang kenabian Muhammad SAW.33 g. Model al-Amidy (551-631 H). Saif al-Din al-Amidy menulis buku berjudul Ghayah al- Maram fi Ilmu Kalam. Buku yang tebalnya 458 halaman ini telah ditahkik oleh Hasan Mahmud �Abd al-Lathif dan diterbitkan pada tahun 1971.

Dalam buku ini telah dibahas tentang sifat- sifat yang wajib bagi Allah, sifat-sifat nafsiyah yaitu sifat iradah, sifat ilmu, sifat qudrat, sifat kalam dan sifat idrakat, pembahasan tentang sifat yang jaiz bagi Allah, pembahasan tentang keesaan Allah Ta�ala, perbuatan yang bersifat wajib al- Wujud, tentang tidak ada pencipta selain Allah, tentang barunya alam serta tidak adanya sifat tasalsul dan tentang imamah.34 h. Model Al-Syahrastani Syaikh al-Imam al-Alim Abd al-Karim al-Syahrastani menulis buku berjudul Kitab Nihayahal-Iqdam fi Ilmi al-Kalam sebanyak dua jilid.

Jilid pertama berjumlah 511 halaman, sedangkan jilid kedua berjumlah 237 halaman. Dalam buku ini dibahas dua puluh masalah yang berkaitan dengan teologi. Di antaranya tentang bahrunya alam, tauhid, tentang sifat-sifat 33 Hujjatul Islam al-Imam Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al- I�tiqad, (Mesir: Maktabah al-Halaby, 1962). 34 Saif al-Din al-Amidiy, Ghayah al-Maram fi Ilmu al-Kalam, (Mesir: Muhammad Taufiq al-Uwaidhah, 1971). azali, hakikat ucapan manusia, tentang Allah sebagai yang Maha Mendengar dan perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba sebelum datangnya syari�at.35

Selanjutnya dalam karyanya berjudul al-Milal wa al-Nihal, yang tebalnya 520 halaman, al- Syahrastani selain berbicara tentang Islam, Imam dan Ihsan, juga membahas berbagai aliran dalam teologi Islam seperti Mu�tazilah, lengkap dengan tokoh-tokohnya, jabariyah lengkap dengan tokoh-tokohnya, sifatiyah yang didalamnya dimasukkan al-Asy�ariyah, al-Musyabihah dan al-Karamiyah, Khawarij, Murji�ah dan al-Wa�idiyah, Syi�ah, lengkap dengan berbagai aliran yang ada di dalamnya.36 i. Model Al-Bazdawi Al-Bazdawi, yang oleh sebagian peneliti dimasukkan sebagai kelompok Asy�ariyah menulsi buku berjudul Kitab Ushul al-Din yang tebalnya mencapai 260 halaman. Buku ini telah ditahkik oleh Doktor Hanaz Birlis dan diterbitkan oleh penerbit Isa al-Baby al-Halaby pada tahun 1963 di Mesir.

Dalam buku ini dibahas tentang perbedaan pendapat para ulama mengenai mempelajari Ilmu Kalam, mengjarka dan menyusunnya, perbedaan pendapat para ulama mengenai sebab-sebab seorang hamba mengetahui sesuatu, pancaindera yang lima, defenisi mengenai ilmu pengetahuan, macam-macam ilmu pengetahuan, pendapat ahli al-Sunnah mengenai alam sebagai sesuatu yang mencakup segala yang kaujud, pembahasan tentang keesaan Allah tanpa sekutu, tentang tidak ada sesuatu yang serupa dengan Allah, tentang Allah sebagai Pencipata alam semesta, 35 Al-Syaikh al-Imam al-Alim Abd al-Karim al-Syahrastani, Kitab Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, (Msir: al-Fard Jayum, t.th.).

36 Al-Syaikh Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad al- Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.). tentang bahwa Allah Ta�ala berbicara dengan perkataan yang sifatnya qadim, tentang kehidupan di akhirat dan masih banyak lagi masalah teologi yang dibahas hingga mencapai 97 permasalahan.37 Seluruh penelitian yang dilakukan para ulama yang hasilnya telah dituangkan dalam berbagai buku tersebut tanpa dikategorikan sebagai penelitian pemula.

Dengan demikian penelitian tersebut bersifat eksploratif yang menggali sejauh mungkin ajaran teologi Islam yang diambil dari al-Quran dan Hadis serta berbagai pendapat yang dijimpai dari para pemikir di bidang teologi Islam. Karena sifatnya sebagai penelitian eksploratif, maka penelitian tersebut tidak menguji suatu teori atau mencari pembenaran atas suatu konsep yang ingin dibangun. Penelitian tersebut murni bersifat penggalian mengingat sebelumnya belum ada penelitian yang dilakukan para ahli.

Seluruh penelitian tersebut nampak mengunakan pendekatan doktriner atau substansi ajaran, karena yang dicari adalah rumusan ajaran dari berbagai golongan atau aliran yang ada dalam Ilmu Kalam. 2. Penelitian Lanjutan Selain penelitian yang bersifat pemula sebagai mana tersebut diatas, dalam bidang Ilmu Kalam ini juga dijumpai penelitian yang bersifat lanjutan. Yaitu penelitian atas sejumlah karya yang dilakukan oleh para peneliti pemula.

Pada penelitian lanjutan ini, para peneliti mencoba melakukan deskripsi, analisa, klasifikasi dan generalisasi. Berbagai hasil penelitian lanjutan ini dapat dikemukakan sebagai berikut. 37 Muhmmad Abd al-Karim al-Bazdawi, Kitab Ushul al-Din, ditahkik oleh Hanaz Birlis, (Mesir: Isa al-Baby al-Halaby, 1962). a. Model Muhammad Abu Zahra Abu Zahrah mencoba melakukan penelitian tehadap berbagai aliran dalam bidang politik dan akidah yang dituangkan dalam karyanya berjudul Tarikh al-Mazahib al- Islamiyah fi al-Siyasah wa al-�Aqaid.

Permasalahan teologi yang diangkat dalam penelitiannya ini di sekitar masalah objek-objek yang dijadikan pangkal pertentangan oleh berbagai aliran dalam bidang politik yang berdampak pada masalah teologi. Selanjutnya dikemukakan pula tentang berbagai aliran dalam mazhab Syi�ah yang mencapai dua belas golongan, diantaranya al-Sabaiyah, al-Ghurabiyah, golongan yang keluar dari Syi�ah, al- Kisaniyah, al-Zaidiyah, Itsna asyariyah, al-Imamiyah, Isma�iliyah.

Selanjutnya dikemukakan pula aliran Khawarij dengan berbagai sektenya yang jumlahnya mencapai enam aliran; Jabariyah dan Qadariyah, Mu�tazilah, dan Asy�ariyah lengkap dengan berbagai pandangan teologinya.38 b. Model Mushtafa Ali al-Ghurabi Al-Ghurabi memusatkan perhatiannya pada masalah aliran dan pertumbuhan ilmu kalamdi kalangan masyarakat Islam. Hasil penelitiannya itu ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy�atu ilmu al-Kalam �ind al-Muslimin.

Dalam hasil penelitiannya, ia mengungkapkan antara lain sejarah pertumbhan ilmu kalam, keadaan akidah pada zaman Nabi Muhammad, Khilafah Rasyidah, Bani Umayyah dengan berbagai permasalahan teologis yang muncul pada setiap zaman tersebut. Setelah itu dilanjutkan dengan pembahasan mengenai aliran Mu�tazilah dan Khawarij lengkap dengan tokoh-tokoh dan pemikiran teologinya.39 c. Model Muhammad Abd al-Latif Muhammad al- �Asyr Al-�Asyr secara khusus melakukan studiterhadap agenda pemikiran yang dianut aliran Ahl al-Sunnah.

Hasil studinya dituangkan dalam karyanya yang berjudul Al-Ushul al-Fikriyyah li Madzhab Ahl al-Sunnah yang tebalnya 162 halaman dan telah diterbitkan oleh Dar al-Nahdhah al-Arabiyah di Mesir tanpa menyebutkan tahunnya. Kandungan buku tersebut menyangkut faktor-faktor penyebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan Muslim; masalah mantiq dan falsafah; hubungan mantiq dengan ilmu humaniora; bentuk dan pemikiran; pembentukan konsep; barunya alam; sifat yang melekat pada Allah; nama dan keadilan Tuhan; penetapan kenabian; mu�jizat dan karamah; rukun Islam; iman dan Islam; taklif (beban); al- samiyyat (wahyu atau dalil naql); al-imamah; serta ijtihad dan hukum agama.40 d.

Model Ahmad Mahmud Shubhi Shubhi adalah seorang dosen filsafat pada Fakultas Adab Universitas Iskandariyah. Ia melakukan studi tentang teologi dengan judul Fi Ilmi Kalam dalam dua buku. Buku pertama setebal 368 halaman khusus membahas tentang aliran Mu�tazilah disertai tokoh dan ajarannya; sedang buku kedua 38 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al- Siyasah wa al-Aqaid, (Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, t.th.).

39 Ali Mushtahafa al-Ghuraby, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy�atu ilmu al-Kalam �ind al-Muslimin, (Mesir: Maktabah al-Mathba�ah Muhammad Ali Shabih wa Auladuhu, t.th.). 40 Muhammad Abd al-Latif Muhammad al-�Asyr, Al-Ushul al-Fikriyyah li Madzhab Ahl al-Sunnah, (Mesir: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, t.th.). setebal 334 halaman khusus berbicara tentang aliran Asy�ariyah disertai tokoh dan ajarannya pula.41 e. Model Ali Sami al-Nasyr dan Ammar Jam�iy al- Thaliby Al-Nasyr dan Al-Thaliby melakukan studi khusus tentang akidah kaum Salaf dengan sampel Ahmad Ibn Hanbal, al-Bukhari, Ibn Khutaibah, dan Usman al-Darimy. Buku tersebut diterbitkan oleh Al-Ma�arif Iskandariyah tanpa menyebutkan tahunnya.

Kandungan buku tersebut menyngkut pemikiran kaum Salaf yang berasal dari tokohnya yang menonjol.42 Ulama Indonesia yang pernah melakukan studi terhadap kaum Salaf adalah Abubakar Atjeh dengan karyanya berjudul Salaf (Salaf al-Shalih Islam dalam Masa Murni) sebanyak dua jilid, diterbitkan Permata Jakarta tahun 1970. Dalam karyanya ini, selain dikemukakan tentang kelebihan Salaf; pandangan Salaf terhadap al-Quran dan al-Sunnah; Salaf, keyakinan, dan hukum; juga dibahas tentang pertumbuhan aliran yang terdiri dari sebab-sebab pertumbuhanaliran; Ahmad Ibn Hanbal; bantuan Asy�ary; bantuan Maturidi; dan Salaf Tabi�in.43 f.

Model Zurkani Yahya Dalam disertasinya, Zurkani Yahya meneliti tentang �Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologis�. Pendekatan 41 Ahmad Mahmud Shubhi, Fi Ilmi Kalam, Juz I & II, (Cet. IV; Mesir: Muassasah al-Tsaqafah al-Jam�iyyah, 1982). 42 Ali Sami al-Nasyr dan Ammar Jam�iy al-Thaliby, �Aqaid al-Salaf li Aimmah Ahmad Ibn Hanbal, al-Bukhari, Ibn Qutaibah, wa Usman al-Darimy, (Iskandariyah: Al-Ma�arif, t.th.). 43 Abubakar Atjeh, Salaf: Salaf al-Shalih Islam dalam Masa Murni, Jakarta: Permata, 1970).

yang digunakan adalah pendekatan komparatif dengan terlebih dahulu menelusuri sejumlah kepustakaan. Aplikasi dari metodologi yang disampaikan ini, Zurkani Yahya melakukan beberapa hal, yaitu: Pertama, mengkaji metode pemikiran tentang masalah akidah pada masa pra al-Ghazali dari kalangan teolog, filsuf, dan kaum sufi yang tumbuh dan berkembang seirama dengan sejarah perkembangan pemikiran Islam. Bahan yang diteliti dalam langkah ini ialah tulisan para ahli sekitar abad keempat hijriah.

Hasil kajian ini berupa bentuk metode pemikiran tentang akidah yang sudah dikenal sampai masa hidup al-Ghazali. Hasil tersebut akan menjadi alat analisis terhadap metode pemikiranal-Ghazali dalam teologinya. Kedua, meneliti karya tulis al-Ghazali tentang akidah yang sudah diterbitkan dengan menyisihkan karya para ahli yang diperdebatkan orisinalitasnya. Pertimbangannya bahwa yang diteliti adalah masalah akidah yang dalam perumusan doktrinnya hanya menggunakan informasi yang bersifat qath�i. g.

Model Harun Nasution Dalam bukunya berjudul Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan menerangkan tentang sejarah timbulnya berbagai aliran teologi beserta tokoh dan pemikirannya; kemudian melakukan analisis dan perbandingan terhadap masalah akal dan wahyu; fungsi wahyu; free will dan predestination; kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan; Keadilan Tuhan; perbuatan-perbuatan Tuhan; sifat-sifat Tuhan; konsep iman; lalu mengambil kesimpulan.44 Catatan yang diperoleh melalui studi ini adalah: Pertama, konsepsi al-Ghazali bidang teologi terlihat dalam 44 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1986). konepsinya mengenai kalam.

Al-Ghazali menyatakan bahwa kalam tidak identik dengan ilmu tauhid, justru ilmu tauhid adalah bagian dari ilmu kalam. Ilmu kalam lahir karena para pemikir Islam banyak berbicara tentang argumen rasional pada sekitar obyekmaterial ilmu tauhid, karena itu mereka disebut Mutakallimin (orang-orang yang banyak bicara). Dari sinilah muncul istilah kalam yang selanjutnya disebut ilmu kalam setelah pemikiran rasional mereka dibukukan menjadi suatu konsep.

Kedua, al-Ghazali menetapkan tiga sumber teologinya, yaitu wahyu, akal, dan kasyf. Wahyu merupakan sumber utama teologi karena diterima secara dharury, akal merupakan potensi fikir manusia yang membedakannya dengan hewan, dan kasyf adalah pengetahuan (ma�rifah) yang diperoleh manusia secara lebih jelas dan terperinci dari sesuatu hal jika dibandingkan dengan pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran. Ketiga sumber ini merupakan ladang utama al-Ghazali untuk mengambil materi akidah, argumentasi, dan metodologinya.

Ketiga, dalam teologi al-Ghazali ada tiga cara yang ditempuh untuk meyakini kebenaran akidah dan mengimaninya, yaitu melalui peniruan (taklid), dengan menrima argumentasi (istidlal), dan dengan penghayatan terhadap hakikat kebenaran materi akidah lewat kasyf. Iman taklid disebut iman al-awwam; iman yang memerlukan argumentasi adalah iman al-mutakallimin; dan iman orang yang berhasil memperoleh ma�rifah disebut iman al-�arifin. Untuk mencapai jenjang ma�rifa ini, al-Ghazali menawarkan metode �suluk� yang diadopsi dari sufisme.

Suluk adalah jalan yang ditempuh seseorang untuk lebih dekat (qarb) dengan Tuhan. Setelah membedah konsepsi al-Ghazali, Zurkani Yahya mengemukakan bahwa metode pemikiran teologi al-Ghazali adalah kolaborasi dari metode rasional, tekstual, moderat, dialektis, dan intuitif. Dengan hasil ini, Zurkani Yahya membuat simpulan dengan mengacu pada pendapat Nurcholish Madjid dan Abu Zahrah bahwa metode pemikiran teologi al- Ghazali bersifat sinkretik-kretaif.

Disebu sinkretik karena ia mampu meletakkan metode-metode tersebut secara proporsional, sehingga tepat bila dikatakan al-Ghazali merupakan seorang pemikir bebas, mandiri, dan independen yang menggunakan berbagai metode untuk menghasilkan corak khas teologi Islam. 45 Dengan mencermati secara seksama hasil-hasil studi yang dilakukan, maka dapat diketahui karakter dari studi tersebut, yaitu: Pertama, jenis penelitian yang dilakukan oleh para peneliti teologi tersebut tergolong penelitian kualitatif dengan terfokus pada studi kepustakaan (library research) dengan cara menyadur sejumlah karya teologi secara primer dan sekunder; Kedua, pada umumnya penelitian yang dilakukan disajikan dalam bentuk deskriptif analitis dengan mengungkap seobyektif mungkin data-data yang ditemukan; Ketiga, teknik analisis yang dilakukan adalah teknik analisis komparatif dan analisis doktrin ajaran dari masing-masing aliran; Keempat, pendekatan yang digunakan pada umumnya menggunakan pendekatan historis, yaitu mengkaji pemikiran dan tokoh yang tidak lepas dari setting sosio-historis yang melingkupinya.

45 Lihat Zurkani Yahya, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Cet. I; Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 1996), h. 10-13; 80-113; 123-157; dan 164-248. E. MODEL STUDI TASAUF 1. Model Sayyed Hossein Nashr Model penelitian Sayyed Hossein Nashr di bidang tasauf46 dituliskan dalam karyanya yang berjudul Tasawuf Dulu dan Sekarang, yang diterjemahkan Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh Pustaka Firadus di Jakarta tahun 1985.

Dalam buku ini disebutkan hasil penelitiannya dengan menggunakan teknik analisis kritis dan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasauf sesuai dengan tema- tema tertentu. Di antaranya tentang fungsi tasauf, yakni dan pengutuhan manusia. Di dalamnya disebutkan bahwa tasauf adalah sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Kemudian tentang puncak capaian sufistik, manusia di alam kelanggengan penuh perubahan yang nampak.

Disnggung pula perkembangan tasauf pada abad ketujuh dan Ibn Arabi, serta pertemuan Islam dengan agama lain. Dikemukakan pula tentang problema lingkungan dalam cahaya tasauf, penaklukan alam dan ajaran Islam tentang pengetahuan dunia Timur.47 46 Ragam istilah tasauf dikemukakan Harun Nasution, yaitu al- Shuffah (Ahl Shuffah) ialah orang yang ikut berhijrah dengan Nabi SAW dari Mekkah ke Medinah; Shaf ialah barisan yang dijumpai dalam melaksanakan berjamaah; Shufi berarti bersih dan suci; Sophos (Yunani) berarti hikmah; dan Shuf, yakni kain wol kasar.

Lihat Harusn Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 56-57. Namun secara terminologis, tasauf berarti upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak mulia. Lihat Sayyed Hossein Nashr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, diterj. Abdul Hadi W.M., (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firadus, 1985), h. 29. 47 Sayyed Hossein Nashr, Tasawuf...Ibid., h. 2. 2.

Model Mustafa Zahri Zahri menulis buku yang berjudul Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, diterbitkan Bina Ilmu, Surabaya, tahun 1995. Penelitiannya bersifat eksploratif, yakni menggali ajaran tasauf dari sejumlah literatur. Buku tersebut teridri dari 26 bab sangat kental dengan nuansa kerohanian yang mengungkapkan kehidupan spiritual Nabi Muhammad SAW; kunci mengenal Tuhan; sendi kekuatan batin; fungsi kerohanian dalam menentramkan batin; tarekat dari segi arti dan tujuannya.

Kemudian dibahas pula cara membuka tabir yang membatasi diri dengan Tuhan; mengenal diri sebagai cara mengenal Tuhan; makna La Ilaha Illa Allah; hakikat pengertian tasauf dan ajaran tentang ma�rifat.48 3. Model Kautsar Azhari Noor Buku yang berjudul Ibn Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan merupakan disertasi Kautsar Azhari Noor yang diterbitkan Paramadina, Jakarta, tahun 1995. Studi yang dilakukan merupakan studi tokoh, yakni Ibn Arabi dengan paham wahdat al-wujudnya. Paham Wahdat al-Wujud memang kontroversial.

Ia timbul bermula dari konsep Hulul, yakni Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, maka itu dijadikanlah alam ini. Alam ini adalah cerminan Tuhan. Di kala Tuhan ingin melihat diri-Nya, maka Ia melihat alam. Benda-benda yang terdapat di alam, di dalamnya memiliki sifat- sifat Tuhan. Dari sini kemudian timbul paham kestuan. Meskipun di alam ini kelihatan banyak tetapi esensinya adalah satu, bagaikan orang yang melihat dirinya dalam banyak cermin yang ada di sekelilingnya.

Kesan yang timbul dari paham ini 48 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 2-3. adalah seolah-olah Tuhan itu banyak, padahal Tuhan itu satu. Yang banyak itu bukanlah zat-Nya, tetapi sifat-sifat-Nya. Dari sisi kualitas, sifat Tuhan berbeda jauh dengan sifat manusia. Jika Tuhan Maha Mengetahui, hal itu berarti pengetahuannya mencakup segala hal dan tidak luput dari pengetahuan-Nya, sedangkan manusia memiliki sifat yang terbatas.49

4. Model Harun Nasution Harun Nasuiton juga melakukan studi tentang tasauf yang bersifat deksriptif eksploratif. Dalam bukunya yang berjudul Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, yang diterbitkan pertama kali oleh Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1973 ini, mengambil bentuk pendekatan tematik dengan menyajikan jalan untuk dekat pada Tuhan; zuhud dan station-station lain, al-mahabbah, al-ma�rifah, al-fana dan al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Hal tersebut disertai para tokoh dan pemikirannya yang dilengkapi dengan data perpustakaan.

Selain itu, diperkenalkan juga tentang sejarah timbulnya paham tasauf dalam Islam.50 5. Model A. J. Arberry Arberry seorang peneliti Barat telah melakukan studi tentang tasauf yang dibukukannya dengan judul Pasang Surut Aliran Tasauf, melalui pendekatan yang kolaboratif antara studi tokoh dan pendekatan tematik. Di dalamnya disinggung tentang Firman Tuhan; kehiduoan Nabi; para zahid; para sufi; para ahli teori tasauf, stuktur teori dan amalan tasauf; tarikat sufi; teosofi; dan runtuhnya aliran tasauf. Arberry menelisiknya 49 Kautsar Azhari Noor, Ibn Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina,1995).

50 Harun Nasuiton, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 93. dari sudut pandang sejarah, namun tidak ditransformasikannya ke masa kini yang lebih modern. Sejumlah studi yang identik dan menjadi studi awal tentang tasauf juga pernah dilakukan oleh Abu al-Qasim Abd al- Karim Hawaran al-Qusyairi al-Naisabury dengan karya yang berjudul Al-Risalah al-Qusyairiyah fi �Ilmal-Tasawwuf,51 kemudian juga al-Ghazali dalam Ihya �Ulum al-Din jilid III.52 F. MODEL STUDI FIKIH 1.

Model Harun Nasution Dalam karyanya yang berjudul Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, dengan corak deksriptif, eksploratif, dan dipadu dengan pendekatan historis, Harun Nasution menginterpretasi data-data historis yang dikaitkan dengan konteksnya. Deskripsinya mencakup struktur hukum Islam (Fikih)53 secara konprehensif, yaitu kajian terhadap ayat hukum; 51 Abu al-Qasim Abd al-Karim Hawaran al-Qusyairi al-Naisabury, Al- Risalah al-Qusyairiyah fi �Ilm al-Tasawwuf, (Mesir: Dar al-Khair, t.th.). 52 Abu Hamid al-Ghazali,Ihya �Ulum al-Din, Jjilid III, (Beirut: Dar al- Fikr, t.th.).

53 Kata Fiqh secara etimologis berarti pemahaman yang mendalam, yang membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian ini dapat ditemukan dalam Surat Thaha [20]: 27-28: �Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahami perkataanku�. Pengertian fiqh secara etimologis ini juga ditemukan dalam surat al-Nisa [4]: 78; dan Hud [11]: 91. Kemudian pengertian yang sama juga terdapat dalam Sabda Rasulullah saw yang artinya: �Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam).� (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad Ibn Hanbal, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah).

Fiqh secara terminologi adalah: �mengetahui hukum-hukum syara yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.� Lihat Al-Allamah al-Bannani, Hasyiyah al-Bannani ala Syarh al-Mahalli ala Matan Jam�i al-Jawami, Jilid I, (Beirut: Dar al- Fikr, 1402 H/1992), h. 25. asbab al-nuzulnya; pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam sejak zaman Nabi hingga sekarang; munculnya mazhab hukum dan perbedaan pendapat. Tidak lupa pula Harun Nasuiton membagi perkembangan hukum Islam dalam empat periode, yaitu periode Nabi, periode shabat, periode ijtihad dan kemajuan, serta periode taklid dan kemunduran.

Demikian pula jumlah mazhab sebenarnya banyak dalam Islam selain yang empat, seperti mazhab Sufyan al-Tsauri, Syuraih al-Nakhai, Abi Saur, al- Auza�i, al-Thabari, dan al-Zahiri. Selain itu, disinggung pula mazhab Syi�ah, antara lain mazhab Saidiyah, Itsna Asyara, dan Isma�iliyah.54 2. Model Noel J. Coulson Hasil studi Noel J. Coulson dipublikasikan melalui bukunya yang berjudul Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, diterjemahkan Hamim Ahmad dan diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) 1987. Dengan menggunakan pendekatan historis dan teknik deksriptif analitis, Noel J.

Coulson mengulas hukum Islam dalam beberapa bagian, yaitu: Pertama, mengulas tentang sejarah terbentuknya hukum syariat; legalisasi al-Quran, praktek hukum di abad pertama Islam, akar Yurisprudensi sebagai mazhab pertama, Imam al-Syafi�i sebagai Bapak Yurisprudensi, dan Secara sederhana disebutkan bahwa Fikih adalah pembahasan secara khusus mengenai persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun hubungan manusia dengan Penciptanya. Lihat Abdul Aziz Dahlan (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, (Cet. I; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 333.

54 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI Press, 1979). menjelang kemandegan; Kedua, ulasan tentang pemikiran dan praktek hukum Islam abad pertengahan yang memuat teori hukum klasik, antara kestuan dan keragaman, dampak aliran dalam sistem hukum, pemerintahan Islam dan hukum syariat, serta masyarakat Islam dan hukum syariat; Ketiga, menerangkan tentang hukum Islam abad modern yang di dalamnya membahas tentang penyerapan hukum Eropa, hukum syariat kontemporer, taklid dan pembaruan hukum, serta neo-ijtihad.55 3.

Model Mohammad Atho Mudzhar Mohammad Atho Mudzhar mempublikasikan desertasinya dalam bentuk buku yang berjudul Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Studi Islamic Legal Thought in Indonesian 1975-1988, tidak lepas dari pendekatan histories dengan mendeskripsikan bahwa tujuan diadakan studi ini, yakni untuk mengetahui materi fatwa MUI dan latar belakang sosio-politik yang melatari munculnya fatwa tersebut sejak tahun 1975-1988. Asumsi awalnya adalah produk fatwa MUI selalu dipengaruhi oleh setting sosio-politik dan sosio-kultural. Hasil studinya ini dituangkan dalam empat bab.

Pada bab pertama dikemukakan tentang latar belakang dan karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap hukum Islam. Karakteristik tersebut ditilik dalam empat aspek, yakni latar belakang kultur, doktirn teologi, struktur sosial dan ideologi politik. Kemudian pada bab kedua diulas tentang latar belakang berdirnya MUI, kondisi sosio-politik yang melingkupinya, hubungan MUI dengan pemerintah dan 55 Noel J. Coulson, �The History of Islamic Law�, diterj.

Hamim Ahmad, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1987). organisasi non-muslim serta ormas Islam berikut fatwa yang dikelurkan. Pada bab ketiga membahas tentang produk fatwa MUI dan metode yang digunakan. Fatwanya antara lain bidang spiritual, masalah keluarga dan perkawinan, kebudayaan, makanan, perayaan hari-hari besar Nasrani, masalah kedokteran, KB, serta aliran minoritas dalam Islam.

Selanjutnya bab keempat berisi kesimpulan yang menyatakab bahwa ternyata MUI tidak selalu konsisten mengikuti pola metodologi dalam penetapan fatwa sebagaimana yang telah ditemukan dalam ilmu Fikih. Fatwa tersebut terkadang merujuk kepada al- Quran sebelum merujuk kepada Hadis dan kitab para ulama mazhab. Sedangkan selebihnya tidak didukung oleh argumen yang meyakinkan, baik secara tektual maupun rasional. Namun demikian tidak berarti bahwa MUI tidak memiliki metodologi ijtihadi.

Secara teoritis, metodologi yang ditempuh MUI didasarkan pada al-Quran, al-Hadis, Ijma, dan Kias yang dianut mazhab Syafi�i. Namun dalam prakteknya dasar-dasar hukum tersebut tidak selamanya diikuti karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, utamanya faktor sosio-politik seperti kebijakan pemerintah, antara lain fatwa penyembelihan binatang, KB, ibadah ritual, serta Pelabuhan Udara Jeddah atau Bandara King Abd al-Aziz sebagai tempat melakukan miqat bagi jamah haji Indonesia.56

56 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Studi Islamic Legal Thought in Indonesian 1975-1988, (Los Angeles: University of California, 1990), h. 248-251. G. MODEL STUDI POLITIK 1. Model Achmad Syafi�i Ma�arif Dalam disertasi Ph.D.--nya yang membahas tentang politik57 yang berjudul �Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante�, Achmad Syafi�i Ma�arif terlebih dahulu mengemukakan latar belakang bahwa: Pertama, Indonesia dikenal sebagai negara Muslim di dunia dengan jumlah sekitar 88% dari 140 juta penduduk Indonesia tahun 1980.

Meskipun Islam tidak disebut sebagai agama negara dalam konstitusi, tetapi eksistensinya sangat diperhitungkan dan menempati posisi sentral dalam percaturan politik Indonesia. Islamisasi di Indonesia bukanlah karena produk sejarah yang sudah rampung tetapi merupakan proses yang berkelanjutan. Kedua, ijatihad para ulama dan sarjana muslim Indonesia belum mendapatkan temapt yang layak dalam konteks pemikiran kontemporer keindonesiaa. Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah hanyalah slogan belaka.

Sementara 57 Politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan, dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu Negara atau terhadap Negara lain. Lihat W J S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. XII; Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 763. Sebagai suatu system, politik berarti suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa bertanggung jawab; dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Cet. I; Jakarta: UI Press, 1990), h. 2-3.

teori politik Islam belum dirumuskan secara baik oleh para intelektual muslim. Ketiga, belum adanya studi yang lengkap tentang dasar negara Indonesia, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Olehnya itu, sajian yang diberikan Syafi�i Ma�arif dapat memberikan sedikit kejelasan tentang watak dan arti Islam dalam sejarah Indonesia, utamanya yang terkait dengan perkembangan dan perubahan politik negeri ini.

Sedangkan yang menjadi fokus kajian Syafi�i Ma�arif dalam disertasinya ini ialah ingin memahami lebih sempurna bentuk perjuangan para politisi Muslim dengan strategi ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara pada bagian akhir tahun 1950-an. Metode penelitian yang digunakan Syafi�i Ma�arif adalah metode deskriptif historis dengan menjelaskan secara konkrit sejarah perjuangan umat Islam Indonesia pada abad ke- 20, khususnya pada tahun 1950-an.

Setelah diungkap secara jelas, kemudian Syafi�i Ma�arif menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis evaluatif guna mendapatkan jawaban atas fokus masalah yang diangkatnya. Hasil pembacaan Syafi�i Ma�arif menerangkan bahwa upaya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara akhirnya kandas di tengah jalan karena disebabkan beberapa faktor: Pertama, adanya sikap fanatisme berlebihan dari masing-masing golongan Islam dengan mengabaikan kepentingan umat.

Munculnya fanatisme disebabkan oleh belum adanya pemahaman yang jelas tentang teori politik Islam yang konprehensif, sistematis, dan operasional. Kedua, adanya perbedaan pandangan antara kaum konservatif yang berbasis pesantren dengan kalangan modernis, sehingga terdapat jurang pemisah dalam pemahaman terhadap Islam. Ketiga, belum adanya bangunan intelektual Islam yang kukuh dan kuat, sehingga diperlukan kesadaran bersama untuk menyatukan Islam dengan undang-undang negara guna membentuk negara yang benar-benar berdasarkan Islam.58 2. Model Harry J.

Benda Penelitian dibidang politik dengan mengunakan pendekatan historis normatif dilakukan pula oleh Harry J. Benda, sebagaimana terlihat dalam bukunya berjudul Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae dari judl aslinya The Crescent and The Rising Sun, dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1980. Penelitin tersebut berusaha mencari informasi dari sumber-sumber sesudah perang, dalam usaha untuk menguji dan memperbaiki gambaran yang telah muncul dari studi catatan-catatan masa pendudukan.

Menurutnya, berbeda dengan periode kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang di Indonesia pada umumnya dan perkembangan Islam selama tahun-tahun terebut khususnya, sejauh ini sangat tidak mendapatkan perhatian dari kalangan penulis-penulis Indonesia lainnya. Sejalan dengan upaya tersebut, maka penelitian yang ia lakukan dibuat untuk memberikan analisa sosio-historis tentang elite Islam, dan dalam jangkauan yang lebih kecil, tentang elite- elite non-religius yang bersaing dipangung politik Indonesia di bawah kekuasaan asing.

Karenanya penelitian tersebut diarahkan pada tempat-tempat yang diberikan kepada para 58 Lihat Achmad Syafi�I Ma�arif, �Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante�, Desertasi. pemimpin masyarakat Islam oleh tuan penjajah berturut-turut, dan kostelasi kekuasaan yang terpancar darinya yang melibatkan para pemimpin Islam, aristokrat Indonesia, dan tokoh-tokoh pergerakan nasionalis Indonesia sekuler di abad ini.

Di lihat dari segi cakupannya, secara garis besar penelitian ini membahas perkembangan Islam di Pulau Jawa saja. Batasan ruang lingkup yang patut disesalkan ini sebagian besar ditentukan oleh sumber-sumber bahan yang bisa diperoleh. Terutama bagi masa Jepang, catatan-catatan tertulis dari pulau lain, dengan beberapa pengecualian kecil, tidak dapat diperoleh peneliti. Sedangkan efek-efek dari masa pendudukan Jepang terhadap Islam Indonesia di Aceh, salah satu daerah Islam di Sumatera yang kokoh keislamannya, telah menjadi pembahasan yang sangat bagus dari monograf Belanda, nasib masyarakat Islam di daerah-daerah lain di Nusantara, terutama di daerah pantai Barat Sumatera yang penting itu, masih harus dipelajari secara terperinci.

Bagian pertama, peneliti memasukan referensi singkat tentang wilayah tersebut, dimana hal itu kelihatannya sesuai untuk memperbandingkan dan mempertentangkannya dengan situasi di Jawa, tetapi sayangnya peneliti tidak sanggup melakukan penelitian bagian ini ke dalam zaman Jepang. Selamjutnya dikatakan buku tersebut, karena aspek politik Islam Indonesia merupakan pokok utama dalam buku tersebut, generalisasi tidak dapat dihindarkan. Pembahasan seperti ini terpaksa tidak memperdulikan adanya perbedaan regional yang meliputi Islam bahkan dalam konteks terbatas di Pulau Jawa, dimana cabang-cabang politiknya, teristimewa di Karesidenan Banten di Jawa Barat, dinilai harus mendapatkan perhatian tersendiri.

Di antara kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tersebut adalah meskipun Islam di daerah lain tidak dapat disangkah telah memainkan peran utama di dalam perkembanga politik Indonesia, di Jawa�menurut Benda�telah mendapatkan perwujudan organisatoris paling penting. Di sanalah juga, kelompok-kelokmpok Islam paling langsung terlibat dalam membentuk politik Indonesia pada umumnya.59 Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa model penelitian yang dilakukan Harry J.

Benda mengambil bentuk penelitian kepustakaan dengan corak penelitian deskriptif, dengan menggukan pendekatan analisis sosio-historis, sebagaimana penelitian yang dilakukan Syafi�i Ma�arif tersebut di atas. H. MODEL STUDI PENDIDIKAN ISLAM 1. Model Hamid Fahmy Zarkasyi Dalam kajian pendidikan Islam60 tentang �Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan�, Hamid Fahmy Zarkasyi menggunakan pendekatan historis approach, yaitu bahwa 59 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (terj.)

Daniel Dhakidae, dari judl aslinya The Crescent and The Rising Sun, Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1946, Cet. II, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,1985), h. 22-23. 60 Dari berbagai macam pendapat baik secara literal maupun secara terminologis dapat dirangkum bahwa pendidikan Islam adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utamasesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet. IV; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 292. Lihat juga Zuhairini et al., Sejarah Pendidikan Islam, (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 13; Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Cet. IV; Bandung: Al-Ma�arif, 1980), h. 23; Fadhil al-Jamali, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, diterj. H.M. Arifin, (Cet. II; Jakarta: Golden Trayon Press, 1992), h. 51. Hamid melihat pendidikan dalam kontks universal tanpa ada verifikasi antara pendidikan Islam dengan pendidikan sekuler (Barat).

Dalam konteks ini, Hamdi mengatakan bahwa tokoh- tokoh Islam terpengaruh oleh pola pendidikan Barat, akibatnya pengetahuan mereka tentang al-Quran bukan saja lemah tetapi bahkan diperoleh melalui jalur sekunder. Partikularistik approach juga dipakai Hamid, yakni melihat pendidikan secara khusus dari sudut pandang Islam dengan target menggiring pendidikan yang telah berpuncak pada tragedi sekularisme ke perubahan wajah Islamisme.

Dalam tataran ini, Hamid menginginkan cara penyelesaian melalui Islamisasi ilmu dan sistem pendidikan secara holistik. Di samping itu, Hamid juga memakai comparative approach, yakni mencoba mengintegrasikan kedua pendekatan di atas dengan cara memfilter kosep yang tidak sesuai, menambah yang perlu, mengambil tafsiran semula dan mengambil bagian yang sesuai dengan pandangan dan nilai-nilai Islamiah. Sementara itu, teknik analisis yang digunakan Hamid adalah analisis filosofis, psikologis, dan tasauf.

Analisis filosofis mengantarkan pada pemahaman pemikiran al-Ghazali tentang kewujudan Allah, alam semesta yang mencakup kejiwaan dan kebendaan, serta manusia sebagai mahluk yang memiliki daya pikir, kemampuan membuat keputusan, serta memilih dan meninggalkan suatu perbuatan. Analisis psikologis digunakan untuk mengetahui gerakgerik murid yang terlibat dalam interaksi bersama guru. Secara psikologis, manusia memiliki daya motorik (quwwah muharrikah) dan daya sensa (quwwah mudrikah).

Sedangkan analisis tasauf digunakan untuk mengetahui bahwa manusia terdiri dari jasad dan ruh, bagaikan kerajaan dan raja. Keduanya harus seimbang dan sinergis. Ruh mempunyai tiga ciri, yaitu al-nafs al-muthmainnah; al-lawwammah; dan al-ammarah.61 2. Model Mastuhu Penelitian yang bertemakan kultur pendidikan Islam yang ada di Pesantren dilakukan Mastuhu pada saat menulis disertai untuk program doktor. Penelitian dimaksud berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren yang diterbitkan oleh Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) pada tahun 1994.

Penelitian tersebut dituangkan dalam lima bab, yaitu bab tentang pendahuluan, tinjauan pustaka, kerangka dan metode, hasil dan pembahasan serta bab mengenai kesimpulan dan saran. Dari segi metodenya, penelitian ini mengunakan pendekatan grounded research yang mendasarkan analisanya pada data dan fakta yang ditemui di lapangan, jadi bukan melalui ide- ide yang ditetapkan sebelumnya.

Metode ini dinilai dapat menolong peneliti untuk menjadi warga dari komunitas objek studi dengan tetap menjaga jarak sebagai peneliti, dan jasa sosiologi yang menolong peneliti untuk menjadi orang asing di kalangan komunitas sendiri. 3. Model Zamakhsyari Dhofier Model penelitian yang dilakukan Zamakhsyari Dhofier masih di sekitar pesantren. Penelitian yang dilakukannya berjudul Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, dan telah diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1982.

Tidak sebagaimana halnya model penelitian yang dilakukan Mastuhu di atas, penelitian ini tidak menyebutkan 61 Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali. secara eksplisit tentang latar belakang pemikiran, pertanyaan penelitian, tujuan, ruang lingkup, metode, pendekatan dan sebagainya sebagaimana lazimnya sebuah penelitian. Namun jika dipelajari secara seksama, nampak berbagai unsur yang ada dalam penelitian buku ini. Sehubungan dengan itu, dalam buku ini, peneliti berusaha menunjukkan sumbangan pendekatan sosiologis dalam usaha kita memahami Islam di Jawa secara lebih tepat.

Pendekatan sosiologis akan mengurangi kecenderungan menarik kesimpulan yang terlalu cepat seperti tersebut di atas. Pernyataan tersebut dapat menunjukan tentang adanya latar belakang pemikiran yang diajukan dalam penelitian tersebut. Yaitu ingin melihat latar belakang tradisi di pesantren dengan pendekatan sosiologis yang selama ini kurang banyak digunakan. Pendekatan sosiologis diasumsikan dapat mengurangi terjadinya penarikan kesimpulan yang meleset yang disebabkan penggunaan pendekatan teologis.

Berdasarkan uraian di atas, maka model penelitian yang dilakukan Zamakhsyari Dhofier, tergolong penelitian lapangan dengan menggunakan metode survei, pengamatan, wawancara dan studi dokumentasi. Pembahasannya bersifat deskriptif. Sedangkan analisanya mengunakan pendekatan sosiologis. Penelitian ini nampak hampir semodel dengan penelitian yang dilakukan Mastuhu. Kedua penelitian tersebut tergolong kaum pembaharu. Mereka berdua kelihatannya ingin mengetahui seberapa jauh tradisi dan nilai-nilai yang diberlakukan di pesantren masih ada yang cocok untuk masyarakat modern saat ini, dan sejauh mana tradisi dan nilai-nilai yang tidak cocok lagi. I. MODEL STUDI SEJARAH ISLAM (STUDI KAWASAN) 1. Model John L.

Esposito Penelitian sejarah Islam 62 dapat dilakukan dengan melihat kawasan di mana peristiwa itu terjadi. John L. Esposito, misalnya mengedit buku berjudul Islam in Asia, Religion, Politics & Society. Di dalam buku tersebut dikemukakan perkembangan Islam di Asia pada umumnya, perkembangan Islam di Iran, Pakistan, Afghanistan, Philipina, Asia Tengah (Soviet), Cina, India, Malaysia dan Indonesia.

Buku tersebut tidak termasuk ke dalam hasil penelitian dalam arti yang khas, melainkan lebih merupakan kumpulan esai dengan menggunakan sumber- sumber sekunder. Sebagai bahan studi awal untuk memasuki studi kawasan lebih lanjut, buku tersebut patut untuk dikaji. Dari buku tersebut paling tidak dapat dihilangkan kesan bahwa Islam identik dengan Arab. David D. Newsom, dalam tulisannya berjudul Islam in Asia Ally or Adversary? Yang dimuat dalam buku tersebut antara lain menyatakan, bahwa Islam sebagaimana dipahami oleh sejumlah orang Amerika sebagai agama dunia Arab, ternyata tidaklah benar, karena sebagian besar pemeluk Islam sebagaimana dijumpai pada masa yang lalu tinggal di Asia.

Dari sana kemudian dunia mengakui bahwa Islam dan geraknya dalam menghadapi berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat, menunjukan bahwa Islam adalah agama yang sangat penting dalam merespondi berbagai masalah yang timbul di belahan dunia. 62 Sejarah Islam dapat diartikan berbagai persitiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. Lihat Abuddin Nata, Metodologi... Op. Cit., h. 315.

Selain itu melalui studi tersebut dapat dihingakan berbagai kesan negatif terhadap Islam yang berkembang sebelumnya. Di masyarakat Barat misalnya ada berbagai kesan negatif terhadap Islam. Pertama, Islam seringkali digambarkan sebagai agama yang suka membuat kerusuhan, anti-Barat dan reaksioner baik dalam bidang politik maupun masyarakat. Kedua, Islam sering digambarkan sebagai agama yang tidak memiliki hubungan dengan berbagai masalah yang timbul di masyarakat.

Islam lebih digambarkan sebagai sistem ibadah yang hanya mementingkan hubungan spiritual dengan Tuhan, tanpa memperdulikan berbagai masalah yang terjadi di masyarakat. Islam dalam kenyataan menyediakan dan menawarkan kesatuan secara fundamental antara masalah ibadah dan keyakinan dengan praktek kehidupan sehari-hari, dapat berintegrasi dengan berbagai kebudayaan dan kelompok etnik sebagaimana hal demikian dijumpai dalam kenyataan sejarah. Ketiga, bahwa aspek yang selama ini belum dapat membuka mata orang Amerika adalah mengenai berbagai pendekatan yang variatif yang dilakukan oleh ummat Islam dan pemerintahannya dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.

Penelitian ini menunjukan dengan jelas bahwa tidak seluruhnya para peneliti Barat atau orientalis memandang negatif terhadap Islam, melainkan juga ada yang berpikiran positif sebagaimana yang dilakukan John Esposito.63 2. Model Arthur Goldschmidt, Jr. Model penelitian sejarah yang mengambil pendekatan kawasan juga dilakukan oleh Arthur Goldschmidt, Jr, sebagaimana terlihat dalam bukunya berjudul A Concise History of The Middle East.

Melalui bukunya itu Arthur Goldschmidt telah berhasil mendeskripsikan secara komprehensif berbagai peristiwa yang terjadi di Timur Tengah sepanjang berkaitan dengan Islam, mulai sejak kedatangan Islam di daerah tersebut sampai dengan perkembangannya yang terakhir. Di dalam buku tersebut dikemukakan tentang kondisi alam Timur Tengah, situasi sosial kemasyarakatan Timur Tengah sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw., keberadaan Nabi Muhammad Saw.,

di Mekkah, dasar-dasar ajaran Islam, para khulafaur Rasyidin, gerakan Syi�ah, Turki, perang salib dan serbuan bangsa Mongol, kebudayaan Islam, kekuasaan raja, perhatian dunia Eropa dan penjajahannya terhadap daerah Timur Tengah, gerakan westernisasi yang terjadi pada abad kesembilan belas, munculnya gerakan nasionalisme, pembaharuan pemerintahan pada beberapa negara yang merdeka, perjuangan bangsa Mesir dalam memperoleh kemerdekaannya, gerakan dan perjuangan bangsa Palestina, ekspansi bangsa Israel dan reaksi bangsa Arab, mulai dari Terusan Sues sampai ke Aqaba dan gerakan membangkitkan kembali kekuatan Islam.

Hasil penelitian tersebut nampaknya berguna sebagai informasi awal untuk melakukan penelitian sejarah yang mengambil pendekatan kawasan. Penelitian tersebut dapat dikategirikan sebagai penelitian literatur yang didukung oleh survei, dan dianalisa dengan pendekatan sejarah dan perbandingan.64 63 John L. Esposito, Islam in Asia, Religion, Politics & Society, (New York: Oxford University Press, 1987). 64 Arthur Goldschmidt, Jr., A Concise History of The Middle East, (Egypt: The American University in Cairo Press, t.th.). 3.

Model Azyumardi Azra Model penelitian sejarah kawasan lebih lanjut dilakukan oleh Azyumardi Azra. Dalam hasil penelitiannya yang kemudian ditulis dalam bukunya berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, terlihat dengan jelas bahwa yang menjadi fokus kajiannya adalah mengenai sejarah interaksi antara ulama Timur di kepulauan Nusantara yang terjadi pada abad XVII dan XVIII Masehi. Dengan kata lain fokusnya adalah Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, sedangkan yang dikaji pada kawasan tersebut adalah mengenai interaksi antara ulama yang selanjutnya menciptakan jaringan. Pada bagian pendahuluan bukunya itu, Azyumardi mengemukakan mengapa penelitian dengan judul tersebut perlu dilakukan.

Untuk ini ia mengatakan bahwa transmisi gagasan-gagasan pembaharuan merupakan bidang kajian Islam yang cukup terlantar. Berbeda dengan banyaknya kajian tentang transmisi ilmu pengetahuan, misalnya dari Yunani kepada kaum Muslimin dan selanjutnya ke Eropa modern, tidak terdapat kajian komprehensif tentang trasmisi gagasan-gagasan keagamaan, khususnya gagasan pembaharuan dari pusat-pusat keilmuan Islam ke bagian-bagian lain di dunia Islam. Tentu saja terdapat sejumlah studi tentang transmisi Hadis dari suatu generasi ke generasi berikutnya pada masa awal Islam melalui isnad, mata rantai yang berkesinambungan.

Kemudian Azyumardi menyatakan bahwa sejauh ini belum terdapat kajian konprehensif tentang jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara. Meskipun ada juga kajian tentang ulama Melayu Indonesia abad ke-17 dan ke-18, tetapi tidak banyak upaya kritis untuk menggali sumber pemikiran mereka dan mentransmisikannya sehingga mempengaruhi perjalan sejarah Islam di bangsa ini. Urgensi dilakukannya studi ini ialah bahwa kajian tentang transmisi dan penyebaran gagasan pembaruan Islam, khususnya pada masa menjelang ekspansi kekuasan Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 sangat sedikit dan kebanyakan studinya lebih terfokus pada sejarah politik muslim.

Karena terjadinya kemerosotan entitas politik muslim, periode ini sering dipandang sebagai masa gelap (dark age) dalam sejarah muslim. Betentangan dengan banyak pandangan yang diperpegangi ini. Dalam kaitan ini, Azyumardi menyatakan kehendaknya, yaitu, bahwa dalam studi ini ia akan mengungkapkan bahwa abad ke- 17 dan ke-18 merupakan salah satu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial intelektual kaum Muslimin.

Selanjutnya Azyumardi menyatakan bahwa sumber dinamika Islam dalam abad ke-17 dan ke-18 adalah jaringan ulama yang terutama berpusat di Mekkah dan Madinah. Posisi penting kedua kota suci ini, khususnya dalam kaitan dengan ibadah haji, mendorong sejumlah besar ulama dan penganut ilmu dari berbagai penjuru dunia Muslim datang dan bermukim di sana, yang pada gilirannya menciptakan semacam jaringa keilmuan yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik. Untuk lebih menguatkan studinya, Azyumardi melakukan studi kepustakaan.

Dalam kaitan ini, ia mengatakan bahwa beberapa tulisan Voll membahas tentang jaringan ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah dan hubungan- hubungan mereka dengan bagian-bagian lain dunia muslim. Tetapi ia membahas terutama tentang kebangkitan jaringan itu di antara ulama Timur Tengah dan anak benua India; ia hanya sambil lewat menyebut keterlibatan ulama Melayu-Indonesia seperti Abd al-Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al- Maqassari dalam jaringan ulama internaisonal tersebut.

Sementara itu Johns di pihak lain, menurut Azyumardi dalam beberapa tulisannya juga membahas hubungan-hubungan tersebut, khususnya antara al-Sinkili dan Ibrahim al-Kurani. Tetapi dia tidak melakukan usaha membahas lebih lanjut jaringan keilmuan al-Sinkili dengan ulama lain di Haramayn. Langkanya kajian tentang jaringan keilmuan tokoh-tokoh ulama Melayu Indonesia lainnya bahkan lebih mencolok. Kajian-kajian yang membahas ulama terkemuka selain al-Sinkili gagal mengungkapkan jaringan keilmuan mereka dengan ulama Timur Tengah.

Kajian kepustakaan tersebut selain menunjukkan adanya potensi tentang kajian jaringan ulama dimaksud, juga memberikan peluang untuk melakukan penelitian lebih lanjut di bidang tersebut. Dilihat dari data yang digunakan dalam penelitian ini dinyatakan bahwa kajian ini merupakan studi pertama yang menggunakan sumber-sumber Arab secara ekstensif. Kamus- kamus biografi berbahasa Arab tentang ulama dan tokoh lainnya pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan bahan informasi tentang para guru Murid-murid Jawi yang terlibata dalam jaringan ulama.

Kesimpulan yang ditarik oleh Azyumardi adalah: Pertama, sebagian besar mereka yang terlibat dalam jaringan ulama ini yang berasal dari berbagai wilayah dunia Muslim membawa berbagai tradisi keilmuan ke Mekkah dan Madinah. Terdapat usaha sadar di antara jaringan ulama untuk memperbarui dan merevitalisasi ajaran Islam serta merekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim. Kedua, pengembangan gagasan pembaruan dari transmisi melalui jaringan ulama melibatkan proses yang kompleks.

Terdapat saling interaksi di antara banyak ulama dalam jaringan sebagai hasil dari proses keilmuan mereka khususnya dalam bidang Tasauf dan Hadis. Interaksi ulama Melayu-Indonesia dengan Timur Tengah dan Anak Benua India serta Persia tidak hanya dalam bentuk dagang tetapi juga penyebaran Islam kepada penduduk setempat. Ketiga, kemakmuran kaum Muslim di Nusantara merupakan hasil perdagangan Internasional yang memberikan kesempatan kepada masyarakan Muslim Melayu-Indonesia untuk mengunjungi pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah.

Upaya dinasti Umayyah Usmani mengamankan jalur perjalanan haji berdampak pada semakin baiknya perjalanan haji dari Nusantara. Ketika hubungan ekonomi, politik, dan sosial keagamaan antara negara-negara Muslim di Nusantara dengan Timur Tengah semakin meningkat sejak abad ke-14 dan ke-15 maka kian banyak pulalah penuntut ilmu dan jamaah haji dan dunia Melayu-Indonesia berkesempatan mendatangi pusat keilmuan terebut di sepanjang rute perjalanan haji. Hal ini mendorong munculnya komunitas Ashhab al-Jawiyyin (saudara kita orang jawi) di Haramayn.

Keempat, murid-murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual Islam di antara kaum Muslimin Melayu-Indonesia. Kajian atas sejarah kehidupan, dan karya mereka menjelaskan tidak hanya sifat hubungan keagamaan dan intelektual yang terjadi diantara kaum Muslimin di Nusantara dengan Timur Tengah tetapi juga perkembangan Islam semasa di dunia Melayu-Indonesia. Kelima, studi ini berhasil menampik ketidak benaran asumsi yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara tidak memiliki tradisi keilmuan yang mantap.

Bahkan Islam di Nusantara dianggap �bukan Islam yang sebenarnya� karena bercampur dengan budaya lokal. Intinya, Islam di Nusantara berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Keenam, adalah keliru jika menganggap hubungan antara Islam Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politik ketimbang keagamaan. Namun setidaknya sejak abad ke- 17 dan ke-18 hubungan keduanya lebih bersifat keagamaan dan keilmuan meski juga terdapat hubungan politik antara beberapa kerajaan Muslim Nusantara dengan Dinasti Usmani salah satunya.

Berdasarkan deskriptif di atas studi ini termasuk studi sejarah kawasan dengan tema jaringan ulama antara Timur Tengah dengan Melayu-Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18. Penelitian tersebut tergolong penelitian eksploratif dokumentatif, dan kualitatif karena berupaya mengungkap berbagai masalah terkait dengan jaringan ulama tersebut berdasarkan dokumen tertulis yang sahih.65 65 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Cet.

III; Bandung: Mizan, 1995). J. MODEL STUDI PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM66 1. Model Deliar Noer Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, yang diterbitkan LP3ES sekitar tahun 80- an. Berdasarkan tema yang diangkat tersebut, secara kentara terlihat bahwa penelitiannya bersifat deksriptif analitis, yakni mencoba mendeksripsikan gerakan modern Islam di Indonesia yang terjadi antara tahun 1900-1942.

Penelitian ini mengandung latar belakang pemikiran, permasalah yang ingin dipecahkan, metode dan pendekatan serta analisis yang digunakan. Latar belakang dan asumsi yang diungkapkan adalah bahwa periode tahun 1900-1942 merupakan tahun pergantian penguasa di Indonesia dari tangan Belanda ke tangan Jepang yang turut berpengaruh pada gerakan Islam modern di Indonesia. Perkembangan pemikiran modern dalam kurun waktu 1900-1942 semakin dinamis karena banyak wacanayang 66 Obyek sorotan pemikiran modern dalam Islam senantiasa mengarah pada pembaruan dalam Islam. Term �pembaruan�66 yang sering dijumpai dalam bahasa Indonesia selalu diidentikkan dengan term modern, modernisasi atau modernisme.

�Modern� secara simpel dapat diartikan dengan �baru�; sedangkan �modernisasi� dimaksudkan adalah proses pemoderenan atau proses untuk menjadi baru; kemudian �modernisme� diterjemahkan sebagai paham atau aliran yang sarat dengan kebaruan ide. Pembaruan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Atau mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam al-Quran dan al-Sunnah.

Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Cet. XII; Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 11. Lihat juga Abuddin Nata, � Op. Cit., h. 330-331. muncul, di antaranya masalah khilafiyah; fragmentasi multi partai Islam, nasionalis, dan Parpindo; kepemimpinan yang lebih bersifat pribadi; polemik tentang paham; suasana hubungan dengan pemerintah yang menyimpan konflik laten dan terbuka.

Sumber bahan yang digunakan adalah karya-karya yang berbahasa Indonesia dan bahasa Asing, seperti bahasa Belanda dan Inggris, serta hasil wawancara dengan tokoh-tokoh yang berkompeten. Bahan-bahan tersebut diuraikan secara sistematis dan kronologis dengan menggunakan pendekatan sosiologi dan kesejarahan. Studi yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa Timur Tengah sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran dan sifat gerakan modern Islam di Indonesia; sistem pendidikan sekolah; kepemimpinan dan gerakan pembaruan; kalangan modern Islam dan reaksi Belanda.

Di samping itu, sikap belanda yang terkesan memasang standar ganda dalam memberikan kebebasan beragama. Pada satu pihak, pemerintah Belanda bersikap netral, tetapi pada pihak lain pemerintah Belanda bersikap diksriminatif terhadap Islam. Islam dilarang untuk disebarkan pada kaum animis, sementara pihak Kristen secara leluasa mengirimkan missionarisnya, bahkan mendapatkan sokongan dana dari pihak Belanda.

Sementara itu, hubungan golongan tradisi dengan modernis dinyatakan bahwa golongan tradisi tidak selalu bersifat statis, tetapi mereka juga mencoba bangkit dengan mengorganisasikan dirinya dalam wadah Nahdatul Ulama (1926) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1929). Reformasi di bidang pendidikan juga mereka lakukan, yaitu dengan memperkenalkan sistem kurikulum dan sistem pembelajaran klasikal serta melakukan upaya penerbitan dalam bentuk brosur dan majalah.67 2. Model H.A.R. Gibb Gibb dalam buknya Modern Trends in Islam yang diterjemahkan L.E.

Hakim dengan judul Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, dan diterbitkan oleh Tintamas-Jakarta tahun 1954. Penelitian yang dilakukannya bersifat kualitatif melalui studi kepustakaan (library research) dan bercorak deksriptif eksploratif yang disadur dari bahan-bahan pustaka; dengan menggunakan pendekatan filosofis historis, yaitu suatu penelitian yang tekanannya ditujukan kepada pengungkapan nilai-nilai universal dan mendasar dari suatu ajaran atau obyek yang diteliti serta didukung oleh data-data historis yang valid dan reliabel.

Berawal dari tesisnya yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang hidup dan vital dengan menyampaikan dakwah yang menyentuh hati, pikiran, dan perasaan kepada berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus miliun manusia guna memberikan kepadanya suatu pedoman supaya hidup jujur, sungguh-sungguh, dan bertakwa. Untuk membenarkan tesisnya ini, Gibb melakukan penelusuran pada al-Quran dan al- Sunnah. Gibb juga mengemukakan dasar-dasar alam pikiran Islam, ketegangan dalam Islam, dasar-dasar modernisme, agama kaum modern, hukum dan masyarakat, serta Islam di dunia.

Argumentasi yang dikemukakan di antaranya, ketika berbicara tentang dasar alam pikiran Islam, Gibb menyinggung tentang al- Quran yang berisi perintah-perintah yang didakwahkan oleh 67 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1980). Nabi Muhammad SAW yang berisi ajaran kesusilaan, bukti mereka yang ingkar dan tafsir atas kejadianyang berlaku serta aturan sosial dan hukum. Gibb juga mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara agama dengan alam pikiran rasional, tetapi jika keyakinan itu dikendalikan oleh agama hanya sebagai sautu khayalan subyektif, maka alam rasional memandang agama sebagai bagian dari obyeknya.

Tentang ketegangan dalam Islam, Gibb menyatakan bahwa semua agama didapati adanya ketegangan yang disebabkan oleh agama itu sendiri, batasan antara yang disembah dan yang menyembah, pengertian kesucian dan dosa. Semua agama mengakui tentang keberlainan Tuhan, tetapi sang penyembah meyakini akan dekatnya Tuhan; akan kemustahilan pemencilan kemauan Tuhan dari pengalaman batinnya sendiri.

Menyinggung masalah dasar-dasar modernisme, Gibb mengatakan bahwa modernisme akan menimbulkan pergolakan pemikiran bagi mereka yang dangkal ilmunya, tetapi bagi golongan �Manar� modern yang bercorak �Neo-Hambali� tidak akan mengalami hal serupa.68 K. MODEL STUDI ANTROPOLOGI AGAMA (MODEL C. GEERTZ) Penelitian di bidang antropologi agama69 antara lain dilakukan oleh seorang antropologi bernama Clifford Geertz 68 H.A.R. Gibb,�Modern Trends in Islam�, diterj. L.E. Hakim, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Tintamas, 1954).

69 Antropologi (agama) adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku (beragama) pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia. Lihat Mattulada, �Studi Islam Kontemporer: Sitesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi, dan Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan�, dalam Taufiq Abdullah pada tahun 50-an. Hasil penelitiannya itu telah dituliskan dalam buku berjudul The Religion of Jawa. Penelitian ini dilakukan di desa Mojokuto Jawa Tengah.

Geertz menyatakan bahwa masyarakat Jawa di Mojokuto dilihat sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agama yang sinkretik yang terdiri atas suk kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang berlainan. Struktur sosial dimaksud adalah abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), santri (yang intinya berpusat ditempat perdagangan atau pasar), dan priyai (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan atau di kota).

Adanya tiga struktur sosial tersebut menunjukan bahwa dibalik kesan yang didapat dari pernyataan penduduk Mojokuto itu beragama Islam, sesungguhnya terdapat fariasi dalam sistem kepercayaan, nilai, dan upacara yang berkaitan dengan struktur sosial tersebut. Tiga lingkungan yang berbeda yakni pedesaan, pasar, dan kantor pemerintah yang dibarengi dengan kultur yang berbeda pula yaitu terkait dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa telah mewujudkan adanya abangan yang menekankan pentingnya aspek animistik, santri dan M.

Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Cet. I: Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. 1. Jadi penelitian antropologi agama adalah upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Lihat Abuddin Nata, Metodologi... Op. Cit., h. 35 & 343. Sementara M. Amin Abdullah mengatakan bahwa antroplogi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat.

Dalam berbagai penelitian antroplogi agama ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, (Cet. I; Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 1996), h. 31. yang menekankan pentingnya aspek Islam dan priyai yang menekankan aspek Hindu.70 Berdasarkan deskripsi di atas, model penelitian yang dilakukan Geertz adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian ini dilakukan melalui wawancara, pengamatan, survei, dan grounded research. l. MODEL STUDI SOSIOLOGI AGAMA (MODEL R.N. BELLAH) Penelitian sosiologi agama71 ini pernah dilakukan oleh Robert N. Bellah dalam bukunya berjudul Religion Evolution: American Sociological Review tahun 1964. Menurutnya bahwa teori-teori penelitian tentang agama telah dibuat sejak ratusan tahun yang lalu, yakni sejak zaman Herodotos. Tetapi penelitian 70 Clifford Geertz , �The Religion of Java�, diterj. Aswab Mahasin, Abangan, Santri, dan Priyai dalam Masyarakat Jawa, (Cet.

I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1989). 71 Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proseskehidupan bersama tersebut. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1982), h. 18 & 53. Sosiologi merupakan suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat, lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.

Melalui sosiologi dapat dianalisis masalah relasi sosial, interaksi sosial, mobilitas sosial, konflik sosial, integrasi sosial, baik proses, faktor pendorong, maupun keyakinan yang memicunya. Lihat Abuddin Nata, Metodologi� Op. Cit., h. 39. Jika perilaku beragama yang dijadikan sebagai obyek studi, maka sosiologi agama diperlukan untuk menyorotinya dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu.

Lihat Mattulada, �Studi Islam Kontemporer: Sitesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi, dan Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan�, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi�Loc. Cit. terhadap agama dilakaukan secara ilmiah dan tetmatis baru dimuali sejak pertengahan abad ke-19. Menurut Chantepie de La Saussaye (1904) menyatakan munculnya penelitian yang bersifat ilmiah ini karena adanya dua kondisi awal yang mempengaruhi. Pertama, semasa Hegel agama telah dijadikan obyek spekulasi filosofis komprehensif; dan Kedua, semasa Buckle, obyek ini diperluas lagi hingga meliputi sejarah peradaban dan kebudayaan pada umumnya.

Pada awal perkembangan ilmu pengetahuan agama sebagaian dipengaruhi oleh Darwinisme yang didominasi oleh kecenderungan evolusioner yang tersembunyi di dalam filsafat Hegel dan historiografi awal abad ke-19. Dua sosiolog modern, yakni Spencer dan Conte banyak memberikan sumbangan kepada disain evolusioner terhadap studi agama. Demikian pula Durkheim dan Weber meski dengan berbagai persyaratan. Hasil penelitian Bellah terhadap agama primitif menyimpulkan bahwa agama primitif secara keseluruhan diarahkan kepada suatu kosmos tunggal, mereka sama sekali tidak mengetahui suatu dunia yang sama sekali berbeda dalam hubungannya dengan dunia nyata yang sama sekali tidak bernilai.

Agama-agama ini menaruh perhatian terhadap pemeliharaan keharmonisan diri manusia, sosial, dan kosmis serta berkepentingan atas pencapai tujuan-tujaun tertentu, seperti hujan, panen, anak, kesehatan yang selalu menjadi tujuan hidup manusia biasa.72 72 Robert N. Bellah, �Religion Evolution: American Sociological Review�, dalam Roland Robertson, Sosiologi Agama, (Cet. I; Jakarta: Aksara Persada 1986), h. 294. M. MODEL STUDI EKONOMI ISLAM 1.

Model Afzalur Rahman Dalam karyanya yang berjudul Doktrin Ekonomi Islam yang terdiri dari empat jilid, Afzalur Rahman menguraikan sejumlah konsep yang terkait dengan ekonomi Islam. Ia memulai uraiannya dengan mengemukakan terlebih dahulu ciri- ciri berbagai sistem ekonomi, seperti sistem ekonomi kapitalis, sosialis, dan Islam. Kemudian secara berturut-turut dilanjutkan dengan membahas golongan spiritualis dan materialis; keadilan dalam membagi kakayaan menurut ajaran Islam; kesejahteraan sosial dan individu; kesederhanaan menurut Islam; perundang- ndangan; sumbangan Islam terhadap prinsip keadilan; ciri-ciri utama sistem ekonomi Islam; gradasi ekonomi; tanggung jawab negara; pembayaran bantuan keuangan; hubungan modal dan tenaga kerja; kemudian masalah produksi, yakni faktor-faktor produksi yang meliputi tanah, tenaga kerja, modal, dan organisasi. Tema tersebut dikupas secara tuntas dalam karya jilid pertamanya.

Pada jilid kedua, Afzalur Rahman mengungkap tentang konsep ekonomi Islam dalam masalah industri; konsumsi; pertukaran kekayaan; distribusi kekayaan; sewa atas tanah; pembagian tanah; cara-cara pengolahan; pemilikan tanah; sistem tuan tanah atau jagirdari; hak-hak petani; pengairan; permasalah upah; dan masalah keuntungan. Kemudian jilid ketiga, ia mengulas masalah bunga yang disebutnya sebagai riba; masalah bunga dalam konteks modern; pandangan sajana Islam terhadap bunga; larangan memungut bunga menurut Islam; definisi riba; institusi bunga tidak menguntungkan melainkan meyengsarakan masyarakat; kesejahteraan masyarakat tanpa bunga; pernyataan menentang suku bunga positif; faktor-faktor kelembagaan; faktor-faktor ekonomi dan kecenderungan bunga; aliran sekuler dalam angka suku bunga; suku bunga nol; masalah zakat; serta garis besar bank Islam.

Pada jilid akhir, ia mengemukakan tentang asuransi; asuransi mutual dan koperasi;jaminan sosial Islam; perbankan; bank pembangunan Islam.73 Dari hasil karya Afzalur Rahman ini terkesan kuat bahwa ia melakukan studi kepustakaan (library research) yang bercorak deskriptif. 2. Model Muslimin H. Kara Muslimin H. Kara alumnus UIN Syarif Hidayatullah dalam disertasinya yang kemudian dijadikan buku dengan judul "Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerinrah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah" melakukan studi terhadap kebijakan pemerintah Indonesia di sektor perbankan syariah.

Dengan menggunakan pendekatan politikal-ekonomi, Kara memotret arah kebijakan ekonomi pemerintahan Orde Baru dari sisi ekonomi dan politik serta memaparkan sejumlah produk perundang-undangan sebagi embrio lahirnya peraturan perundangan yang melegalisasi eksistensi perbankan syariah di Indonesia. Selain itu, Kara juga melakukan periodisasi lahirnya kebijakan pemerintah tentang perbankan syariah. Ia menyebutkan bahwa pada kurun waktu 1992-1998 merupakan peletakkan dasar sistem perbankan Islam, kemudian periode 73 Afzalur Rahman, �Economic Doctrines of Islam�, diterj. Soeroyo dan Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, II, III & IV, (Cet. I: Yogyakarta: Yayasan Dana Bhakti Wakaf, 1995).

berikutnya, yakni 1998-1999 disebutnya sebagai periode reformasi kebijakan perbankan Islam.74 Kara memandang bahwa pada periode terakhir ini ketika lahirnya UU. No. 10/1998 tentang Perubahan atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan semakin memberikan angin segar bagi perbankan syariah untuk tumbuh dan berkembang secara signifikan. Kebijakan tersebut tidak lagi memandang sebelah mata bank syariah sebagai bank inferior, tetapi justru mengangkat derajat bank syariah sejajar dengan bank-bank konvensional yang ada.

Melalui kebijakan ini pula pemerintah merespon konversi bank-bank konvensional menjadi bank syariah serta memberikan peluang kepada bank konvensional untuk membuka kantor cabang atau kantor cabang pembantu yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah (dual banking system) atau mengkonversi secara langsung kantor cabang bank konvensional tersebut menjadi bank syariah. Namun demikian, Kara juga secara jujur mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah tersebut belum mengakomodasi prinsip syariah secara paripurna karena masih ditemukan produk yang mengandung unsur riba, seperti pemberian bonus bagi peserta Surat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) sesuai pasal 10 ayat [3] Peraturan BI tentang SWBI menyebutkan bahwa peserta yang menitipkan uangnya pada BI akan mendapatkan bonus berdasarkan tingkat indikasi imbalan Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA).

Demikian pula dengan penggunaan revenue sharing yang bertentangan dengan skim Mudharabah yang hanya menggunakan profit and 74 Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, (Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 185-223. loss sharing. Penggunaan revenue sharing dalam SIMA berimplikasi pada tingkat imbalan yang bernilai positif (menguntungkan) bila bank penerbit mengalami kerugian. Dalam kebijakan tersebut juga terlihat bahwa pengawasan DPS yang masih lemah; terjadinya inkonsistensi hukum sebab kebijakan itu hanya mengakomodir pembiayaan keuangan saja, bukan pembiayaan sektor ril yang menjadi basis utama pembiayaan syariah; perlakuan sama dalam penilaian Capital Adequacy Ratio (CAR) antara bank syariah dengan bank konvensional sebab Dana Pihak Ketiga (DPK) bagi bank konvensional menjadi modal, sebaliknya pada bank syariah tidak dianggap sebagai modal, hanya menjadi milik bank secara institusional; perlakuan sama atas produk aktiva pruduktif bank konvensional dengan ban syariah sesuai SK Direksi BI No.

31/147/KEP/DIR/1998; dan berbagai masalah lainya, sehingga pada akhirnya Kara memberikan solusi bahwa bank syariah ke depan harus memiliki regulasi tersendiri yang mengatur aktivitas perbankannya.75 Dengan uraian di atas secara jelas terlihat bahwa penelitian yang dilakukan tergolong penelitian kebijakan yang bercorak deksriptif-eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan hukum yang didukung oleh sumber- sumber kepustakaan (library research).

Meskipun Kara menyebutkan bahwa pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan politikal-ekonomi. 3. Model Gemala Dewi Selanjutnya dalam lingkup ini, analisis yang dilakukan oleh Gemala Dewi seorang alumnus magister (LL.M) 75 Muslimin H. Kara, Ibid., h. 224-230 Washington College Law, The American University, Washington DC. Amerika Serikat 1997, dalam studinya dengan tema �Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia� terungkap bahwa Dewi terkesan hanya meng-overview sejumlah konstitusi yang menjadi dasar pijakan operasional sistem perbankan syariah di Indonesia.

Dewi menyampaikan metamorfosis periode konstitusi perbankan terkait dengan prinsip bagi hasil, yaitu: a) Periode UU No. 14/1967 tentang Pokok-pokok Perbankan yang belum menyinggung sama sekali tentang pengelolaan keuangan secara syar�i; b) Periode UU. No. 7/1992 tentang Perbankan ini belum menjelaskan pengertian bagi hasil dan pengertian bagi hasil itu dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaan dari UU ini. Dua peraturan pelaksanaan yang pertama, yaitu PP. No. 70/1992 tentang Bank Umum dan PP No.

71/1992 tentang BPR juga tidak menjelaskan pengertian bagi hasil. Baru pada peraturan pemerintah No. 72/1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil terdapat keterangan pada Pasal 2. Lebih lanjut dalam PP. No. 72/1992 diperleh penjelasan dan ketentuan-ketentuan pertimbangan perlunya bank berdasatkan prinsip bagi hasil. Kemudian PP ini juga memperkenalkan Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai pengontrol aktivitas perbankan dengan prinsip ini; dan c) Periode UU. No.

10/1998 tentang Perubahan atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan semakin memberikan landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia. Hal tersebut didukung lagi oleh dikeluarkannya surat-surat keputusan dari Direksi Bank Indonesia dan peraturan-peraturan BI yang memberikan kemudahan bagi operasionalisasi perbankan syariah di Indonesia.76 Dengan demikian, studi ini bercorak deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan hukum dan pendekatan historis. Hal ini terlihat dengan mengemukakan produk-produk hukum tentang perbankan syariah di Indonesia yang tentu tidak lepas dari setting sosio-historis.

76 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Ed. Revisi, (Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo, 2006), h. 163-179. DAFTAR PUSTAKA Abduh, Syaikh Muhammad, Tafsir Juz �Amma, (Mesir: Dar al- Hilal, 1967). Abduh, Syaikh Muhammad, �Risalah al-Tauhid�, dalam Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996) Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normatifitas dan Historisitas, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Abdullah, Taufiq, (Ed.)

Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987). Abdullah, Taufiq, dan Karim, M. Rusli, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Cet. II; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990). Ahmad, Abd al-Jabbar bin, Syarh al-Ushul al-Khamsah, (Mesir: Maktabah Wahbah, t.th.). Al-Attas, Syed Naquib, Islam, Secularization and the Philosophy of the Future, (London: Manshel Publishing Limited, 1985). Ali, Maulana Muhammad, Islamologi (Dinul Islam), (Jakarta; Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1980).

Ali, Muhammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali, 1990), Ali, Mukti, �Metodologi Ilmu Agama Islam�, dalam Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989). Alifuddin, Muhammad, �Islam Buton�, Desertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006). Al-Amidiy, Saif al-Din, Ghayah al-Maram fi Ilmu al-Kalam, (Mesir: Muhammad Taufiq al-Uwaidhah, 1971).

Al-Asy�ariy, Al-Imam Abi al-Hasan Ali bin Ismail, Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th). Al-�Asyr, Muhammad Abd al-Latif Muhammad, Al-Ushul al- Fikriyyah li Madzhab Ahl al-Sunnah, (Mesir: Dar al- Nahdhah al-Arabiyah, t.th.). Al-Bannani, Al-Allamah, Hasyiyah al-Bannani ala Syarh al-Mahalli ala Matan Jam�i al-Jawami, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1402 H/1992). Al-Bazdawi, Muhammad Abd al-Karim, Kitab Ushul al-Din, ditahkik oleh Hanaz Birlis, (Mesir: Isa al-Baby al- Halaby, 1962). Al-Farmawiy, Abd.

al-Hayy, Al-Bidayat fi al-Tafsir al- Maudh�iy, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Maudhu�iy, (Cet. I; Jakarta: LSIK dan RajaGrafindo Persada, 1994). Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya �Ulum al-Din, Jjilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.). Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Iqtishad fi al-I�tiqad, (Mesir: Maktabah al-Halaby, 1962). Al-Ghazali, Syaikh Muhammad, �Kaifa Nata�amal ma�a al- Quran, diterj. Masykur Hakim dan Ubaidillah, Berdialog Dengan al-Quran, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1996).

Al-Ghuraby, Ali Mushthafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy�atu ilmu al-Kalam �ind al-Muslimin, (Mesir: Maktabah al-Mathba�ah Muhammad Ali Shabih wa Auladuhu, t.th.). Al-Haramain, Imam, Al-Syamil fi Ushul al-Din li Imam al- Haramain al-Juwainiy, ditahqiq oleh Ali Sam�iy al-Nasyr, Fashil Badir Uwan dan Sahir Muhammad Mukhtar, (Iskandariyah: Al-Ma�arif, 1969). Al-Jamali, Fadhil, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, diterj. H.M. Arifin, (Cet. II; Jakarta: Golden Trayon Press, 1992).

Al-Jurjani, Ahmad, Kitab al-Ta�rifat, (Mesir: Da al-Ma�arif, 1965). Al-Juwainiy, Imam al-Haramain, Kitab al-Irsyad ila Qawathi al- Adillah fi Ushul al-I�tiqad li Imam al-Haramain al-Juwainiy, ditahkik oleh Muhammad Yusuf Musa dan Ali Abd al- Mun�im Abd al-Hamid, (Mesir: Maktabah al-Halabiy, t.th.). Al-Naisabury, Abu al-Qasim Abd al-Karim Hawaran al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyah fi �Ilm al-Tasawwuf, (Mesir: Dar al-Khair, t.th.).

Al-Nasyr, Ali Sami, dan al-Thaliby, Ammar Jam�iy,�Aqaid al-Salaf li Aimmah Ahmad Ibn Hanbal, al-Bukhari, Ibn Qutaibah, wa Usman al-Darimy, (Iskandariyah: Al-Ma�arif, t.th.). Al-Qaththan, Manna, Mabahits fi �Ulum al-Quran, (Mesir : Dar al-Ma�arif, 1977). Al-Suyuthi, Jalal al-Din Abd al-Rahman, Al-Itqan fi �Ulum al- Quran, Juz I, (Cet. III; Mesir: Mushthafa al-Babiy al- Halabiy, 1951). AL-Syahrastani, Syaikh al-Imam al-Alim Abd al-Karim, Kitab Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, (Msir: al-Fard Jayum, t.th.).

Al-Syahrastani, Syaikh Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad, Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.). Al-Syarbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir al-Quran, (terj.), (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985). Atjeh, Abubakar, Salaf: Salaf al-Shalih Islam dalam Masa Murni, Jakarta: Permata, 1970). Al-Thahawiyah, Imam, Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah, ditahqiq oleh Jam�ah min al-Ulama (Mesir: Al-Maktabah al- Islamiy, t.th.).

Al-Zarqaniy, Muhammad al-Adzim, Manabil al-Irfanfi �Ulum al- Quran, Juz II, (Mesir: Mushthafa al-Babiy al-Halabiy wa Syurakauh, t.th.). Amal, Taufiq Adnan, dan Panggabean, Syamsul Rizal, Tafsir Kontekstual al-Quran, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1990). Arifin, H.M., Kapita Selekta Pendidikan: Islam dan Umum, (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1993). Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi, (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 2003). Asy�ari, Musa, �Filsafat Islam: Suatu Tinjauan Ontologis�, dalam Irma Fatimah (Ed.), Filsafat Islam, (Cet.

I; Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992). Azami, Muhammad Mushthafa,�Studies in Hadith Methodology and Literature�, (AS: American Trust Publication, 1977), diterj. A. Yamin, Metodologi Kritik Hadis, (Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996). Azhari, M. Thahir,�Negara Hukum: Studi tentang Prinsip- Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam dan Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini�, Disertasi, (Jakarta: UI, 1991) Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Cet. III; Bandung: Mizan, 1995). Bellah, Robert N.,

�Religion Evolution: American Sociological Review�, dalam Roland Robertson, Sosiologi Agama, (Cet. I; Jakarta: Aksara Persada 1986). Bellah, Robert N., Religi Tokugawa: Akar-Akar Budaya Jepang, diterj. Wardah Hafidz dan Wiladi Budiharga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992). Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (terj.) Daniel Dhakidae, dari judl aslinya The Crescent and The Rising Sun, Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1946, (Cet. II; Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,1985).

Berger, Peter L., dalam Mastuhu, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Sosiologi�, M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001). Blumer, Herbert, dalam Mastuhu, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001). Bridgmen, P.W., The Logic of Modern Physics (1961). Buchler, J.,

(Ed.), Philosophical Writing of Peirce, (New York: Dover, 1955). Campbel Donald T., dan C. Stanley, Julian, Experimental and Qusi-Experimental Design for Research, (Chicago: Rand McNally College Publishing Company, 1963) Coulson, Noel J.,�The History of Islamic Law�, diterj. Hamim Ahmad, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1987). Dahlan, Abdul Aziz, et. al. (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, (Cet.

I; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997) Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Ed. Revisi, (Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo, 2006). Durkheim, Emile, dalam Jalaluddin Rahmat, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001). Freud, Sigmund,�Ueber Psychoanalyse: F�nf Vorlesungen�, diterj. K. Bertens, Memperkenalkan Psikoanalisa: Lima Ceramah, (Cet. V; Jakarta: Gramedia, 1984). Galloway, George, The Philosophy of Religion, (Edinburg: T&T Clark, 1935).

Geertz, Clifford, �Religion as a Cultural System�, dalam R. Banton (Ed), Anthropological Approach to the Study of Religion, (London: Travistock, 1965). Geertz, Clifford,�The Religion of Java�, diterj. Aswab Mahasin, Abangan, Santri, dan Priyai dalam Masyarakat Jawa, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1989). Geertz, Clifford, Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia, (Chicago: Uiniversity of Chicago Press, t.th.). Gibb, H.A.R.,�Modern Trends in Islam�, diterj. L.E. Hakim, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Tintamas, 1954). Goldschmidt, Jr.,Arthur, A Concise History of The Middle East, (Egypt: The American University in Cairo Press, t.th.).

Guba dan Lincoln, Naturalistic Inquiry, (Beverly Hills: Sage Publications, 1985) Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Cet. XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996) Hanafi, Hassan,�Min al-�Aqidah ila al-Tsaurahal-Muqaddimat al-Nazhariyah�, (Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba�ah wa al-Nasyr, t.th.), diterj. Asep Usman Ismail et. al., Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2003). Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta : Tintamas, 1968). Horton, Paul B., dan Hut, Chster L.,

dalam Mastuhu, �Penelitian Agama Islam�, Tinjauan Disiplin Ilmu Sosiologi�, M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001). Ilyas, Baharuddin, dan Tiro, Muhammad Arif, Metodologi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi, (Cet. I; Makassar: Andira Publisher, 2002) Iqbal, Mohammad, The Reconstruction of Religious Tought of Islam, (t.tp: t.p, t.th) James, William, Varietes of Religious Experience, (New York: Longmans, 1929). John L.

Esposito, Islam in Asia, Religion, Politics & Society, (New York: Oxford University Press, 1987). Kara, Muslimin H., Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, (Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2005), Karbelo, David, (1960) dalam Mastuhu, �Penelitian Agama Islam�, Tinjauan Disiplin Ilmu Sosiologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001). Kattsof, Lois O., �Element of Philosophy�, diterj.

Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Cet. VI; Yogyakarta: bayu Indah Grafika, 1989) Kerlinger, Fred N., �Foundation of Behavioral Research�, (3rd Ed), Asas-asas Penelitian Behavioral, (Ed. III), (Cet. VIII; Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002). Khaldun, Ibn, �Muqaddimah�, diterj. Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Cet. II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000). Khalil, Ali, Al-Muzakkarat al-Khathiyyah; Muhammad Hijazi, Al- Wahdah al-Maudhu�iyyah, (t.t: t. tp., t.h.).

Kleden, Ignas, �Dialog Antaragama: Kemungkinan dan Batas- batasnya�, Agama dan Tantangan Zaman, Kumpulan Artikel Prisma 1975-1984, (Jakarta: LP3ES, 1985). Koentjaraningrat, Ilmu Antrologi, (Jakarta : Bharata, 1988). Kuntowidjoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Cet. I ; (Bandung : Mizan, 1991). Lessa, William A., dan Vogt, Evon Z., (Eds.), Reader in Comparative Religion: An Anthropological Approach, (New York: Harper and Row Publisher). Ma�arif, Achmad Syafi�I,�Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante�, Desertasi.

Magestari, Noerhadi,�Penelitian Agama Islam: Tinjauan Ilmu Budaya�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001). Maman, U. Kh, �Metodologi Penelitian Agama�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001). Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Cet. IV; Bandung: Al-Ma�arif, 1980) Marx, Karl, Capital: A Critique of Political Economy, Vol.

I, (New York: International Publisher, 1967). Mastuhu, �Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Sosiologi�, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001). Menzies, Allan, History of Religion, (London: John Murray, 1922). Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Cet. IX; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998) Mudzhar, Mohammad Atho, Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Studi Islamic Legal Thought in Indonesian 1975- 1988, (Los Angeles: University of California, 1990). Naff, William E.,

�Reflection on the Question of �East and West� from the Point of View of Japan�, dalam Comparative Civilization Review, No.13/Spring 1986). Nashr, Sayyed Hossein, Three Muslim Sages, (Massachussets: Harvard University Press, 1964). Nashr, Sayyed Hossein, Knowledge and the Sacred, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1984). Nashr, Sayyed Hossein, A Young Muslim�s Guide in The Modern World, diterj. Hasti Tarekat, Menjelajah Dunia Modern, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1995).

Nashr, Sayyed Hossein, Tasawuf Dulu dan Sekarang, diterj. Abdul Hadi W.M., (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firadus, 1985). Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1983). Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1979). Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986).

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Cet. XII; Jakarta: Bulan Bintang, 1996) Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Cet. IV; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000). Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1980). Noor, Kautsar Azhari, Ibn Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina,1995). Panenbergh, W., �The Falla and Rise of Mythology�, Religious Studies Review, No. 11, 1976. Peirce, Charles, dalam M. Cohen dan F.

Nagel, An Introduction to Logic and Scientific Method, dalam Fred N. Kerlinger, �Foundation of Behavioral Research�, (3rd Ed), Asas- asas Penelitian Behavioral, (Ed. III), (Cet. VIII; Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002). Permata, Ahmad Norma, (Ed.), Metodologi Studi Agama, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Philips, Bernard, Social Research, (New York: Mc. Graw Hill, 1988). Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. XII; Jakarta: Balai Pustaka, 1991) Pratt, J.B., The Religious Consciousness, (New York: Macmillan, 1920).

Rahman, Afzalur, �Economic Doctrines of Islam�, diterj. Soeroyo dan Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, II, III & IV, (Cet. I: Yogyakarta: Yayasan Dana Bhakti Wakaf, 1995). Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1991). Razak, Nasruddin, Dinul Islam, (Cet. II; Bandung: Al-Ma�arif, 1977),. Ritzer, George, Sociology: A Multiple ParadigmScience, (Boston: Allyn and Bacon, 1971). Robertson, Roland, (Ed.), The Sociological Interpretation of Religion, (Oxford: Basil Blackwell, diterj., Agama dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis, (Rajawali: Jakarta, 1988).

Rodinson, Maxime, Islam and Capitalism, (Penguin Book, 1980). Said, Edward, Orientalism, (New York: Pantheon Books, 1978) Sastrapratedja, M., �Agama dan Kepedulian Sosial�, dalam Soetjipto Wirosardjono, Agama dan Pluralitas Bangsa, (Cet. I; Jakarta: P3M, 1991). Schmid, G., Principles of Integral Science of Religion, (Mounton: The Hague, 1979). Sharpe, Erich J., Understanding Religion, (London: Duchworth, 1982). Shubhi, Ahmad Mahmud, Fi Ilmi Kalam, Juz I & II, (Cet. IV; Mesir: Muassasah al-Tsaqafah al-Jam�iyyah, 1982).

Singarimbun, Masri, dan Effendi, Sofyan, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1982). Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Cet. I; Jakarta: UI Press, 1990). Smart, Ninnian, Science of Religion and the Sociology of Knowdledge, (New Jersey: Princeton University Press, 1973. Smith, Huston, Agama-agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985). Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 1982).

Spiro, Melford E., �Religion: Problem Definitions and Explanation�, dalam Banton, Anthropological Approach to the Study of Religion, (London: Travistock, 1965). Suparlan, Parsudi, The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethically Plural Society Tempe, (Arizona:Program for Southeast Asia Studies Arizona State University, 1995). Suparlan, Parsudi,�Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Antropologi�, dalam M. Deden Ridwan, (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet. I; Bandung: Nuansa, 2001). Suriasumantri, Jujun S.,�Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan�, dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Cet.

I; Bandung: Nuansa, 2001). Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, (Cet. VIII; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994). Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Edisi Revisi, (Cet. III; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997). Syalthout, Mahmud, Al-Islam wa al-Syari�ah, dalam Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Cet. IV; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000). Syariati, Ali, On the Sociology of Islam, diterj. Saifuddin Mahyuddin, Tentang Sosiologi Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Ananda, 1982). Tan, Mely G.,�Masalah Perencanaan Penelitian�, dalam Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Cet. V; Jakarta: Gramedia, 1983). Taufik, Akhmad, et. al.,

Metodologi Studi Islam: Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru, (Cet. I; Malang-Jatim: Bayumedia Publishing, 2004), h. 5. Taylor, Edward Burnet, Medievel Mind, (Cet. I; Massachussets: Harvard University Press, 1929). Tzu, Lao, Tao Te Ching, (London: Penguin, 1989) Waardenburg, Jacques, Classical Approach to the Study of Religion, (London: The Hague, 1973). Weber, Max, The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, (New York: Schribner�s, 1958).

Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, (Beirut: Librairic Du Liban & London: MacDonald & Evans Ltd., 1974). Whitehead, A.N., Religion in The Making, (Cambridge: Cambridge University Press, 1926). Woodward, Mark R., Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, (Tucson, Arizona: The University of Arizona Press, 1989). Yahya, Zurkani, Teologi al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Cet. I; Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 1996) Yinger, Milton J.,

The Scientific Study of Religion, (London: Macmillan, 1970). Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al- Siyasah wa al-Aqaid, (Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, t.th.). Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1995). Zarkasyi, Hamid Fahmy ,�Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali�, Desertasi. Zuhairini et al., Sejarah Pendidikan Islam, (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1992) TENTANG PENULIS Husain Insawan lahir di Kendari, 17 Agustus 1973.

Sebagai dosen muda dengan pangkat Lektor Kepala di STAIN Kendari, ia telah menyelesaikan pendidikan berawal dari MIN Kendari 1985, MTsN Kendari 1988, PGAN Kendari 1991, kemudian melanjutkan pendidikan pada Program Sarjana (S1) di IAIN Alauddin di Kendari dan selesai tahun 1996 spesifikasi jurusan Pendidikan Bahasa Arab dengan predikat Cumlaude serta predikat Wisudawan Terbaik I. Setelah itu lanjut pada Program Pascasarjana (S2) di Universitas Muhammadiyah Malang konsentrasi Pendidikan Islam dan selesai tahun 2000 dengan predikat Cumlaude.

Ia menjadi Doktor pada UIN Alauddin Makassar dengan konsentrasi studi Hukum Islam/Ekonomi Islam. Ketika menjadi mahasiswa, aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, baik intra universiter maupun ekstra universiter. Tercatat beberapa organisasi yang pernah digelutinya, yaitu Wakil Ketua HMJ Pendidikan Bahasa Arab 1993; Pengurus Senat Mahasiswa FAKTAR IAIN Alauddin di Kendari 1995; Dankima 1994 dan Wadanyon 242 IAIN Alauddin di Kendari 1995; Wakil Asisten Bidang LITBANG SKOMEN MAHALEO Sultra 1996; dan Pengurus MPM PPS IAIN Alauddin Makassar 2004.

Ia juga dikenal sebagai pentolan HMI Cabang Kendari, menjadi Pengurus MASIKA ICMI ORWIL Sultra 2004 dan Wakil Sekretaris Ikatan Sarjana Sultra (IKASARI) 1998, Sekretaris Umum Majelis Pengurus Wilayah Himpunana Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia (MPW-HISSI) Sultra. Pendidikan dan latihan yang pernah diikuti adalah Diklatsarmil Menwa Angkatan XII 1992 di Kendari; Diklat SAR dan PBA Nasional III 1995 di Bandung; Basic Training HMI 1993 dan Intermediate Training HMI 1995 di Kendari.

Semasa menjadi dosen, pendidikan dan latihan yang pernah diikuti antara lain Pelatihan Dosen Bahasa Asing, Pelatihan Metodologi Penelitian, Pelatihan KBK, dan berbagai workshop lainnya. Di samping itu, Cheng memiliki pengalaman meneliti, antara lain: Studi Analisa Penerapan Metode Pengajaran Bahasa Arab di MAN 2 Kendari, 1996 (Peneliti Utama); Perilaku Akademik Mahasiswa Muslim Aktivis: Studi Kasus di STAIN Kendari, 2000 (Peneliti Utama); Akulturasi Adat dan Agama dalam Menunjang Pembangunan di Buton, 2002 (Tim Peneliti); Undang-Undang Barata Kesultanan Buton dan Konstitusi Negara Madinah, 2003 (Peneliti Utama); Pengaruh Penerapan MBS terhadap Peningkatan Mutu Hasil Pendidikan pada MAN 1 Kota Kendari, 2004 (Peneliti Utama); Bentuk Pembinaan Keagamaan Masyarakat Pesisir: Studi Kasus Pada Masyarakat Bajo di Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, 2004 (Tim Peneliti); Syuhada dalam Perspektif al-Quran: Kajian Qurani dengan Metode Tematik, 2005 (Peneliti Utama); Dakwah dalam Masyarakat Plural: Studi tentang Persepsi Tokoh Agama di Kota Kendari, 2005 (Kompetitif Nasional/Tim Peneliti) Hijrah dalam Perspektif al-Quran: Kajian Tafsir al-Quran Secara Tematik, 2006 (Tim Peneliti); dan Nilai-Nilai Moral dalam Sistem Operasional Perbankan Syariah pada BMI Cabang Kendari, 2007 (Peneliti Utama); serta Religiositas Lokal dalam Muhammadiyah: Respon Komunitas Muhammadiyah Buton terhadap Tradisi Islam Lokal, 2008 (Kompetitif Nasional/Tim Peneliti).

Selaku Dewan Redaksi, berbagai artikel yang pernah ditulis dan dimuat dalam media cetak, antara lain: Respon Islam terhadap Peradaban Barat Modern (Jurnal Shautut Tarbiyah); Transformasi Sebuah Tradisi Intelektual: Asal Usul Pendidikan Islam pada Masa Awal Sejarah Islam (Jurnal Shautut Tarbiyah); Wilayah al-Faqih (Jurnal Shautut Tarbiyah); Peranan ZIS dalam Menata Perekonomian dan Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat (Jurnal Shautut Tarbiyah); Al-Ijarah dalam Perspektif Hadis: Kajian Hadis dengan Metode Maudhuiy (Jurnal Hasil Penelitian); Bentuk Pembinaan Keagamaan Masyarakat Pesisir: Studi Kasus Pada Masyarakat Bajo di Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe (Jurnal Al-Izzah); dan Dimensi Sains dalam Ramadan Sebagai Bulan Kesembilan (Kendari Pos).

Pengalaman jabatan yang pernah dilalui adalah sebagai Ketua Program Studi Ekonomi Islam, 2002 s.d. 2003; Anggota Senat Wakil Dosen, 2003 s.d. 2007; Sekretaris Jurusan Syariah; 2009 s.d. 2010; dan Ketua Jurusan Syariah, 2010 hingga sekarang.